Share

Bab 3

Tak terasa bahwa malam telah berganti menjadi pagi yang cerah, terdengar suara ketukan berulang kali di pintu kamar Nesya. Hari sudah menjelang siang, tidak seperti biasanya Nesya belum keluar dari kamarnya. Merasa tidak ada tanda-tanda keberadaan adiknya, Abi pun mendobrak pintu kamar Nesya. Matanya menatap seluruh ruangan, tubuhnya menegang saat tak mendapati Nesya di kamar itu, menyusuri setiap ruangan di rumahnya. Akan tetapi nihil, Nesya memang tidak ada disana, hanya secarik kertas yang berisi tulisan menjawab kecemasannya.

“Bedebah!” tangannya merobek surat itu, tubuhnya ambruk, dia tahu jika pelakunya tak lain adalah Fariz, dugaannya benar jika Nesya yang akan menjadi sasaran Fariz untuk melampiaskan dendamnya. Abi merasa bingung, entah kemana dia harus mencari Nesya.

“Bagaimana keadaan kamu Nesya?” laki-laki itu bangkit kemudian bergegas menuju rumah Fariz.

“Cari siapa mas?” tanya seorang wanita setengah baya, Abi tahu jika dia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Fariz selama ini.

“Saya nyari Fariz, Bu.” menjawab dengan sopan, namun rasa khawatirnya semakin menjadi saat wanita itu mengatakan jika Fariz telah pergi entah kemana sejak kemarin malam, dia hanya menitip pesan padanya untuk tetap menjaga serta merawat rumah peninggalan orang tuanya.

Berjalan gontai di bawah teriknya matahari, sedikitpun dia tak merasa lelah demi menemukan adik kesayangannya. Hanya bermodal foto Nesya di ponsel yang ia punya karena hasil kerja kerasnya, Abi bertanya dengan menunjukkan foto Nesya pada orang-orang disekitarnya. Berteduh di bawah pohon rindang seraya menyeka keringatnya, Abi mulai putus asa, apalagi dia tidak bisa menghubungi nomor telepon Fariz. Ingin rasanya dia menangis, adik yang ia jaga dan rawat selama bertahun-tahun, kini hilang dalam sekejap. Menyesal? Tentu saja iya, telat menjelaskan kebenaran pada Fariz hingga kini nyawa Nesya yang menjadi taruhan.

Sementara itu, di sebuah rumah luas dan megah yang hanya dihuni oleh dua orang saja, di sini lah Nesya berada. Masih terlelap karena pengaruh obat bius yang diberikan oleh Fariz, namun ia sontak membuka matanya saat mendengar suara berat yang menggelegar seiring dengan guyuran air yang membasahi kausnya. Antara bingung dan juga takut, melihat Fariz yang tersenyum penuh arti, laki-laki itu menarik Nesya yang masih terbengong di tempat tidur hingga terjerembab di lantai.

“Kak Fariz...” bibir Nesya gemetar seraya menahan rasa sakit, pertama kalinya dia mendapat perlakukan seperti ini.

“Jangan panggil aku kakak! Aku tidak sudi memiliki adik dari seorang pembunuh, panggil aku Tuan!!” aura keangkuhan mulai terlihat di laki-laki itu, sorot matanya penuh dengan kebencian, wajahnya menyiratkan penuh rasa dendam.

“Tapi akhh!!” Nesya menangis, merasakan sudut bibirnya terluka akibat tamparan keras dari Fariz, tangan yang dulu menjadi tameng baginya, kini akan terus menyiksanya. Manik matanya tak berani melihat Fariz yang tengah berjongkok di depannya.

“Kenapa menangis? Ini belum seberapa,” mengangkat dagu Nesya kemudian mencengkeramnya dengan kuat, ia tersenyum saat Nesya meminta ampun.

Merasa belum puas, Fariz bangkit lantas menyeret Nesya ke kamar mandi, tak peduli dengan Nesya yang sudah meronta meminta untuk dilepaskan, sedikit pun tidak ada rasa belas kasih di benak Fariz, baginya jeritan Nesya adalah nyanyian indah di telinganya.

“Ampun kak..” lirihnya, tubuhnya menggigil karena sedari tadi Fariz terus mengguyurnya, spontan wajahnya menengadah saat rambut panjangnya ditarik oleh laki-laki itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status