Share

2. Kampung Halaman

Keringat deras membasahi kening Tari ketika bangun dari tidurnya. Seketika wanita berlesung pipit itu mengedarkan pandangannya. Hatinya terasa lega mengetahui kalau sekarang dia berada di kamar masa kecilnya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya.

Sudah lebih dari setahun kejadian di mana Dipta menceraikannya, tapi dia masih saja sering memimpikan kejadian saat pria itu mengucapkan talak padanya.

Potongan peristiwa lalu yang kini berputar di otaknya, lagi-lagi menimbulkan rasa sesak yang menyakitkan di dada.

Sakit itu belum pergi.

Luka hatinya belum sepenuhnya menghilang.

“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirihnya sembari mengusap wajahnya yang berkeringat. Berharap dengan itu dia kembali merasakan ketenangan.

Setelah beberapa menit, Tari memutuskan untuk bangkit. Dia ingin mengadukan semua yang dirasakannya kepada Sang Maha Kuasa. Hal yang selama ini selalu dia lakukan untuk memperoleh kedamaian.

Memangnya siapa lagi yang bisa memberi kita ketenangan, jika bukan Sang Pencipta?

*** 

“Segini cukup, Pak?” tanya ibu Tari seraya mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya.

“Cukup, Bu.”

Tari tersenyum tipis melihat pemandangan di depannya. Sang ibu tengah menyendokkan makanan untuk bapaknya. Dulu dia juga pernah berharap pernikahannya akan langgeng seperti kedua orang tuanya.

Menua bersama, berbagi tawa dan tangis sampai maut memisahkan. Namun, nyatanya ... Tari menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir bayangan menyakitkan yang dengan lancang memasuki pikirannya. Wanita lemah lembut itu memilih kembali memfokuskan padangan pada kedua orang tuanya, hingga pikirannya kini melayang pada kejadian satu tahun lalu.

Waktu itu ketika dia bercerita tentang hal menimpanya lewat telepon, bapaknya langsung menyuruh untuk pulang. Bahkan pria paruh baya itu berkata akan menjemputnya. Namun, Tari menolaknya. Dia tak ingin membuat repot orang tuanya, setelah kabar buruk yang disampaikannya. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana raut kesedihan di wajah tua keduanya, saat dia sampai di sini sendiri. Karena sepertinya sang mantan suami tidak mau repot mengantarnya.

Senyum dan pelukan hangat langsung dia terima saat itu.

“Semua akan baik-baik saja. Kamu punya bapak sama ibuk. Kamu punya Allah,” ujar bapaknya, sambil menepuk-nepuk punggungnya. Sedangkan ibunya tidak mengatakan apa-apa, wanita itu hanya memeluknya seraya menangis.

Setelahnya sang ibu setia menemaninya tidur. Membelai lembut kepalanya agar dia bisa tertidur nyenyak, persis seperti saat dia masih kecil. Kegiatan itu bahkan berlangsung selama hampir satu bulan. 

Dengan gerakan tidak kentara, Tari menghapus bening yang menumpuk di peluk mata ketika mengingat hal itu. Salah satu hari terburuk dalam hidupnya, karena bagaimana pun membuat sedih orang tua adalah hal yang paling dia hindari.

Untung saja kedua orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu berpikir bijak, bahwa mungkin saja apa yang terjadi dalam kehidupannya adalah ujian untuk meningkatkan kelasnya. Karena itulah pelan-pelan dia mulai bangkit, mengingat bapaknya selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan.

“Kamu ke sekolah sama Bapak saja. Bapak mau ke rumah pak lek-mu.”

“Engge, Pak.”

“O, ya, jangan lupa nanti sore ada pertemuan di rumah bude.” Sinta menatap putrinya yang tengah menuangkan air ke dalam gelas.

“Engge, Bu.” Tari tersenyum kecil. Meski dalam hati dia begitu gelisah. Pertemuan keluarga selalu menjadi momok yang menakutkan untuknya. Apalagi setelah perceraiannya, dia merasa semua orang selalu menjadikannya pusat perhatian.

Sepertinya dia harus menguatkan hati sebelum nanti ke rumah saudaranya. Setidaknya dengan begitu dia tidak akan terlalu sakit hati jika ada kejadian yang tidak mengenakkan di sana.

Dia berharap semoga di acara nanti tidak ada yang membahas kehidupan pribadinya. Meskipun rasanya tidak mungkin, tapi tidak ada salahnya berharap kan?

*** 

Tari berusaha menguatkan diri, saat langkah kakinya memasuki rumah yang di dominasi dengan ornamen kayu itu. Dari halaman yang luas, wanita itu sudah bisa menebak jika beberapa anggota keluarganya sudah datang. Mengingat beberapa kendaraan sudah terparkir rapi di sana.

Perempuan berlesung pipit itu menyapa para laki-laki yang berkumpul di ruang tamu luas, dengan banyak hiasan dinding yang terkesan kuno.

Setelahnya Tari berjalan ke dalam, tempat para wanita berkumpul. Terlihat ibunya sudah duduk di samping bude-nya. Memang tadi ibunya berangkat terlebih dahulu dengan sang ayah. Sedangkan dia dengan alasan masih ada yang mau dikerjakan, mengatakan akan menyusul.

Padahal alasan sebenarnya adalah, dia sengaja mengulur waktu agar dia mengikuti acara sebentar saja. Salah satu usaha yang dilakukannya agar terhindar dari sakit hati.

“Kamu ndak ada rencana nikah lagi, Tari?”

“Belum ada, Bude.” Wanita cantik itu tersenyum menjawab pertanyaan kakak dari ibunya. Pertanyaan yang membuat dia mengingat masa lalu.

“Kamu belum isi?”

“Kamu dulu pernah KB, ya?”

“Coba makan ini, minum ini.”

Dulu pertanyaan seperti itulah yang sering Tari dengar. Kini bertambah lagi pertanyaan yang selalu dia terima sejak perceraiannya, tentang apakah dia mau menikah lagi?

Awalnya dia selalu menangis mendengar hal-hal seperti itu. Sampai dia merasa malas jika harus hadir di acara keluarga, tapi lama-lama Tari merasa hatinya kebal. Wanita dengan bulu mata lentik itu, mulai tidak peduli. Seiring berjalannya waktu dia sadar tidak akan mampu mengatur perkataan orang, yang perlu dia lakukan hanya menguatkan hatinya.

“Ada anak teman Bude yang cari istri, kamu mau tak kenalin?” tanya Saras, kakak pertama Santi.

“O, ya, temanmu juga ada yang cari istri, kan, Nduk?” tanya Sari pada Rani, anaknya.

“Iya, Bu,” jawab Rani pelan. Wanita yang sudah punya dua anak itu menoleh sungkan pada Tari. Dia mengerti, bagaimana tidak nyamannya ditanya hal-hal yang bersifat pribadi.

“Maaf, Bude. Tari belum ada rencana dalam waktu dekat.”

“Inget, Tari. Umurmu itu sudah ndak muda lagi. Tahun depan kamu sudah 34 tahun lo. Kasihan orang tuamu mereka sudah tua, masih harus menjagamu lagi.”

Tari memejamkan matanya, untuk menghalau amarah yang mulai muncul. Dia tidak masalah jika hanya dirinya yang dibicarakan, tapi tidak suka jika ada yang melibatkan orang tuanya.

“Aku sama Mas Putra ndak masalah harus jaga Tari lagi, toh dia kan anak kami. Soal menikah biar Tari siap dulu,” jawab Sinta dingin.

Karena sejujurnya dia juga jengah mendengar kehidupan anaknya di komentari orang lain. Selama ini dia hanya diam saja karena masih menghormati kakak-kakaknya. Namun, hari ini dia tidak bisa diam lagi melihat anaknya dipojokkan.

Ibu mana yang tidak sakit hati saat anaknya diperlakukan dengan buruk?

Sementara itu, Tari menoleh ke arah sang ibu. Rasa bersalah langsung menjalari hati wanita  lembut itu, melihat raut muka tidak nyaman yang tergambar di wajah ibunya.

Lagi-lagi dirinya membuat ibunya sedih.

*** 

Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Tari membersihkan wajahnya. Menutup botol yang berisi krim malam, lalu dia berjalan menuju pintu.

“Ibu, ada apa?” tanya Tari seraya membuka pintu lebar, mempersilahkan sang ibu masuk.

“Kamu beneran belum ada pikiran menikah?” tanya sang ibu ketika mereka sudah duduk di tepi ranjang.

Tari menghela napas mendengar pertanyaan Sinta. Meskipun tadi ibunya berkata tidak masalah di depan keluarga besarnya, tapi dia tahu kalau sebenarnya sang ibu juga memikirkan masa depannya.

“Tari baru satu tahun bercerai, Bu. Tari belum siap kalau harus menjalani pernikahan lagi.”

Sinta menghela napas seraya menatap lekat putri satu-satunya. “Meskipun Ibu ndak suka denger omongan mereka, tapi mereka benar. Sebentar lagi umurmu bertambah, kamu butuh seseorang yang bisa menjagamu.”

“Tapi, Tari— “

“Barusan bude-mu telpon. Katanya Juragan Heru berniat melamarmu,” ujar Sinta memotong kalimat anaknya.

Tari terkesiap mendengar cerita ibunya. Dia tahu siapa yang dimaksud wanita itu, Juragan Heru adalah salah satu orang terkaya di kampungnya.

“Ta–tapi, Bu. Tari masih— “

“Kamu coba kenalan dulu, ya. Status kalian juga sama.”

Bukan status Juragan Heru yang membuat Tari menolak keinginan sang ibu. Karena dia juga sadar, akan statusnya yang seorang janda. Namun, kenyataan bahwa pria itu berusia dua puluh tahun di atasnya, dan juga punya anak yang sudah dewasa, begitu mengusiknya. 

Dia merasa tidak siap jika harus menerima penolakan. Kecil kemungkinan seorang anak menerima ayahnya menikah lagi dengan wanita yang berusia muda, bukankah begitu?

Lagi pula rasa sakit yang dirasakannya akibat pengkhianatan dan perceraian itu belum sembuh.

“Bu ....”

“Ibu minta kamu kenalan dulu, Tari!”

Keriput disudut bibir Sinta terlihat begitu jelas, ketika wanita itu tersenyum kepadanya. Akan tetapi, dia tahu arti senyum ibunya. Senyum yang menandakan kalau wanita itu tidak mau dibantah.

Maka dengan terpaksa Tari mengangguk. Mungkin setelah ini dia akan berbicara pada sang bapak agar membantu meyakinkan sang ibu untuk membatalkan rencana perjodohan ini.

Sungguh, dia masih butuh waktu!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status