Kehidupan pernikahan yang dijalani Tari selama 10 tahun harus kandas karena suaminya membawa perempuan lain dalam rumah tangga mereka. Demi harga diri, Tari memutuskan bercerai dan kembali ke kampung halaman. Namun, status janda dan cap mandul diberikan orang sekelilingnya untuk merundung Tari. Sang ibu tak rela. Segera ia menjodohkan Tari dengan seorang duda dengan dua anak. Sayangnya, kehadiran sosok dari masa lalu membuat keraguan hadir. Apakah Tari akan bertahan atau memilih mundur di pernikahan kedua ini?
View MoreSuasana ruang tamu bercat putih dengan berbagai hiasan dinding itu, terasa menegangkan. Mengingat empat orang dewasa di sana sedang terlibat perdebatan yang sedari tadi belum menemukan jalan keluar.
“Sudah, ceraikan saja Tari kalau dia tidak mau menerima Ajeng!”
Tari menatap wanita tua di depannya dengan sendu. Masih jelas di ingatannya, dulu wanita itu sangat menerima kehadirannya dengan baik. Menyayanginya, membanggakannya di depan semua orang. Namun, ketika usia pernikahannya memasuki tahun ketiga, ibu mertuanya mulai berubah.
Apa yang dilakukannya selalu salah di mata wanita itu. Bahkan mertuanya juga suka membandingkan dirinya dengan wanita lain.
Semua itu terjadi hanya karena dia tidak bisa memberi sesuatu yang diinginkan wanita paruh baya itu. Lalu dengan tega wanita itu menyakiti hatinya berulang kali.
“Ma, jangan begitu. Aku yakin Tari pasti mau menerima Ajeng. Iya, ‘kan?”
Dipta memandang istrinya penuh harap. Pria itu sadar jika meminta Tari bertahan, dia akan terlihat sebagai pria egois. Karena wanita mana yang mau bertahan saat suaminya berkhianat? Namun, dia juga tidak bisa melepaskan wanita yang masih dicintainya itu. Wanita yang menemaninya dari bawah, meski kesalahan fatal telah dia lakukan.
Tari memandang datar pada pria yang sudah sepuluh tahun ini menemaninya. Pria yang dia puja, seseorang yang dia hormati. Rasanya Tari masih sulit percaya, sang suami tega menghancurkan hatinya dengan cara yang paling menyakitkan. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Kenangan saat pria itu memintanya pada orang tuanya, awal pernikahan mereka, kebahagian di awal pernikahan, perjalanan penuh suka duka yang pernah mereka alami saat ini berputar di kepalanya. Menciptakan gelombang rasa sakit yang luar biasa. Hingga sulit sekali baginya untuk bernapas.
“Maaf, Mas. Aku enggak bisa. Lebih baik kita berpisah seperti kata mama,” jawab Tari setenang mungkin. Dia mencoba kuat, tidak ingin menunjukkan kehancurannya saat ini. Sadar jika menunjukkan kesedihan, orang-orang itu pasti akan bahagia dan dia tidak mau itu terjadi!
Ini bukan masalah dia mau atau tidak dimadu, tapi ini tentang bagaimana sang suami telah mengkhianatinya dengan bermain api bersama sahabatnya. Dalam bayangannya, dia tahu akan hancur jika memilih untuk bertahan.
“Jangan bercanda, Tari! Kamu bisa apa tanpa aku!” bentak pria itu. “Tak ada perpisahan di antara kita!”
Dipta berdiri. Emosi tergambar jelas di wajah rupawan itu. Tangannya meraih lengan Tari yang akan pergi menjauh. Tidak! Tari harus tetap bersamanya!
Ketika dia memutuskan untuk memberitahu rahasia besarnya pada Tari, pria itu yakin sang istri akan memaafkannya. Namun, dia tidak menyangka wanitanya memilih untuk berpisah, mengingat bagaimana wanita lembut itu sangat mencintainya. Ini diluar perkiraannya.
“Sudahlah, Mas. Kalau Tari mau berpisah, kamu turuti aja.”
“Diam kamu, Ajeng!”
Wanita bertubuh sintal itu terkesiap mendengar bentakan Dipta, kemudian menatap Tari dengan tajam. Ajeng merasa kesal, hanya karena wanita yang tidak lebih cantik darinya, ayah dari anaknya itu berani membentak dirinya.
“Jangan membentak ibu dari anakmu, hanya demi mempertahankan seseorang yang tak bisa memberimu keturunan.”
Kalimat yang diucapkan dengan nada dingin itu, sukses membuat Tari merasa begitu hancur. Rasa sakit mengetahui sang suami telah berselingkuh, kini bertambah parah ketika sang mertua dengan jelas mengungkap alasan dibalik perbuatan Dipta.
Bukannya selama ini Tari tidak pernah berusaha. Segala hal telah dilakukan wanita berlesung pipit itu. Melakukan saran orang-orang terdekat, berbagai jenis makanan yang dipercaya membuat orang subur dia konsumsi. Minuman herbal yang pahit, semua itu sudah pernah dicobanya.
Tari juga sudah memeriksakan diri ke beberapa dokter dan semuanya mengatakan tidak ada yang salah pada dirinya. Dia sehat dan subur.
Dulu dia pernah mengajak Dipta untuk program bayi tabung, tapi sang suami menolak dengan berbagai macam alasan. Parahnya, ketika berita itu sampai di telinga sang mertua, dia dimarahi habis-habisan. Dia dituduh ingin menghamburkan uang suaminya.
“Untuk kali ini saja, aku mohon mama jangan ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.” Dipta menekan suaranya, meski rasanya ingin melepaskan amarah pada sang ibu.
“Jangan bodoh Dipta. Jika Tari memilih pergi, biarkan saja.”
Ajeng melirik sinis pada Tari. Senyum penuh kemenangan tergambar di bibir yang dipoles warna merah itu, melihat bagaimana ibu Dipta membelanya.
“Dipta tak akan membiarkan Tari pergi, Ma.”
Tari memandang takjub pada pria di sampingnya. “Sungguh egois!” batinnya.
Melepaskan cengkeraman Dipta di lengannya, Tari mengedarkan pandangan, sesaat dia terpaku melihat foto pernikahannya dengan sang suami yang terbingkai indah. Dalam foto itu tergambar jelas bagaimana bahagianya mereka dulu, seakan mereka mampu melewati semua hal buruk yang terjadi dimasa depan. Namun, nyatanya pikiran Tari salah. Dia hancur!
Menghela napas dalam, Tari kembali menatap kembali ketiga orang yang tengah memandangnya tajam. Kemudian senyum tipis dia berikan kepada sang suami. Untuk terakhir kali dia akan mencoba peruntungannya. “Kalau kamu enggak mau aku pergi. Maka kamu harus memilih, Mas.”
Kedua wanita yang berada di ruangan yang sama dengan Tari itu memelototkan mata. Sedangkan Dipta menatap tidak percaya pada sang istri. Mereka seakan tidak menyangka Tari bisa mengeluarkan kalimat seperti itu.
“Jadi, silakan kamu tentukan, Mas. Aku atau Ajeng?”
“Kamu mengancamku?!” geram Dipta.
“Aku bukan mengancam, tapi aku memberi pilihan.”
Dipta memandang sang istri dengan tajam. Egonya terusik saat wanita yang dia tahu sangat penurut kini berani menggertaknya.
Sebuah senyum sinis tergambar di bibir Dipta. “Baiklah kalau itu maumu.” Dadanya bergemuruh hebat kala melihat raut tenang Tari, ada rasa tidak rela untuk melepaskan wanita itu. Namun, harga dirinya seolah terinjak karena sang istri berani melawannya. Maka dengan keyakinan penuh, dia mengatakan, “Batari Andriani mulai hari ini aku menceraikanmu.”
Meskipun Tari sudah menebak siapa pilihan sang suami. Namun, dia tidak bisa memungkiri rasa sesak yang terasa begitu menyakitkan. Oksigen di sekelilingnya seolah menipis hingga menimbulkan rasa sesak. “Baik, Mas. Aku akan pergi.”
“Kamu pasti akan menyesal Tari!” Dipta menyeringai, semata-mata untuk menutupi keraguan hatinya.
“Kita lihat nanti, Mas. Aku atau kamu yang akan menyesal,” jawab Tari setenang mungkin.
Lalu dengan langkah tegap, wanita itu berjalan menjauhi ruang tamu tanpa memedulikan reaksi ketiga orang di belakangnya. Kamar adalah tujuan utamanya, tempat di mana dia bisa mengeluarkan segala rasa yang terpendam.
Maka begitu sampai dalam kamar bercat putih itu, Tari langsung menyandarkan tubuhnya pada tembok. Pertahanan yang sedari tadi coba dia bangun, akhirnya roboh. Mengakibatkan kakinya tidak mampu lagi menopang tubuh, dia jatuh terduduk bersamaan dengan air mata yang mengalir deras.
“Ya Allah ....” Tari menyebut berkali-kali Sang Pencipta. Berharap dengan itu dia mampu kembali untuk bangkit.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments