Pemandangan hijau di kanan dan kiri, tidak hanya membawa kesejukan di mata bulat wanita berlesung pipit itu. Hatinya pun terasa begitu damai menikmati keindahan yang ada di kampung halamannya. Sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.
Belum lagi, sapaan orang-orang yang akan pergi ke sawah. Menambah kadar bahagia yang dia rasakan. Keramahan yang selalu bisa menular, hingga menciptakan sebuah senyuman.“Bapak sudah bicara dengan ibumu, agar membatalkan rencananya.”
Tari menoleh kepada cinta pertamanya, yang saat ini sedang mengantarnya berangkat ke sekolah. Setelah tadi menitipkan motor terlebih dahulu ke rumah sang paman, yang kebetulan terletak tidak jauh dari tempatnya mengajar.
Empat bulan setelah kembali ke sini, dia ditawari pekerjaan. Sebagai guru di sebuah PAUD yang tentu saja dia terima dengan senang hati. Dia bersyukur dengan bekerja, bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang terkadang masih menghantui. Pun ingatan tentang mantan suaminya yang perlahan terkikis.
“Mungkin cara ibumu salah. Namun, kamu harus tau itulah caranya mencintaimu. Dia ndak mau kamu jadi bahan gunjingan.” Pria tua itu menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. Mencoba menjadi penengah di antara istri dan putrinya.
“Bapak ingat bagaimana ibumu begitu emosi ketika kamu telpon waktu itu. Bahkan ibu langsung mengajak bapak untuk menjemputmu.” Tawa kecil keluar dari bibir pria paruh baya itu. “Ibumu berkata ingin memberi pelajaran pada mantan suami dan sahabatmu. Katanya ibu ingin menjambak mereka."
Meskipun cairan bening sudah menumpuk di matanya, tapi Tari tetap tertawa mendengar cerita bapaknya. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah cantik sang ibu yang penuh kemarahan.
Ketika Putra menghentikan langkah, Tari juga melakukan hal yang sama. Ayah dan anak itu pun saling berpandangan. “Jadi jangan marah sama ibumu. Dia hanya sangat menyayangimu, meskipun dengan cara yang kurang tepat.”
“Engge, Pak.” Tari tersenyum saat merasakan usapan lembut di kepalanya.
Pria itu memang sering kali mengingatkan betapa Sinta sangat menyayanginya, ketika wanita itu mulai memaksakan kehendak.
Terlahir dari keluarga berada, ibunya memilih meninggalkan semua kenikmatan yang dia terima demi menikah dengan Putra, yang saat itu bekerja sebagai guru honorer. Waktu itu hanya kakeknya yang menerima kehadiran bapaknya. Karena semua menganggap status sosial keduanya terlalu berbeda jauh.
Dia ingat, keluarganya sering dipandang sebelah mata oleh keluarga sang ibu bahkan hingga saat ini. Bahkan ketika ada acara penting terkadang mereka tidak diajak diskusi, hanya diberi undangan untuk datang di acara yang diselenggarakan. Maka hal itu menyebabkan Sinta selalu berusaha menjadikannya sebagai wanita yang hebat dan tangguh. Agar bisa bersikap masa bodoh ketika diperlakukan semena-mena.
Sebuah usapan lembut di kepala, membuat Tari menghentikan lamunannya. Dia menatap sang bapak yang juga tengah melakukan hal yang sama.
“Jangan kuatir. Ibu ndak akan lagi memaksamu untuk bersama Juragan Heru.”
“Makasih, Pak,” ujar Tari seraya mengeratkan tautan tangannya di lengan sang bapak.
Dia bersyukur. Sesulit apa pun hidupnya saat ini, dia masih mempunyai orang tua yang mencintainya. Kedua orang yang selalu menerimanya dengan tangan terbuka. Mereka tidak menyalahkannya atas perceraian yang terjadi.
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Aku ganggu enggak?” tanya Sekar, sahabat Tari di seberang sana.
“Enggak kok, ini baru selesai.” Tari menganggukkan kepala ketika salah satu pengajar berpamitan padanya. Tangannya bergerak merapikan meja.
“Syukur, deh. Gimana kabarmu? Duh, aku kangen sama kamu.”
Wanita itu tersenyum mendengar nada heboh dari sang sahabat. “Alhamdulillah. Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah, sehat.” Tari bisa mendengar helaan napas panjang di seberang sana. Jeda beberapa detik, hingga sebuah suara kembali terdengar di telinganya.
“Semalam ... Ajeng nelpon.”
“O, ya, kenapa?” tanya Tari sambil menghalau rasa sakit yang kembali dia rasakan karena mendengar nama Ajeng. Ternyata nama itu masih sanggup mempengaruhi suasana hatinya.
Tari menggeleng pelan kala Sekar menceritakan tentang Ajeng yang menelepon karena ingin meminta nomor barunya. Namun, tentu saja Sekar tidak mau memberikannya. Mengingat betapa dirinya tidak mau lagi berurusan dengan istri dari mantan suaminya itu.
Lalu Ajeng tetap bersikeras meminta nomornya hingga membuat Sekar bertanya alasannya, jawaban Ajeng menyebabkan amarah sahabat Tari itu naik. Bagaimana tidak, wanita itu memberitahu bahwa dia butuh tanda tangannya agar bisa menjual rumah yang mereka tempati. Karena sertifikat itu memang atas nama Tari.
“Sumpah, ya, aku gemes banget sama tuh anak. Kalaupun mau ngejual rumah, seharusnya pria enggak tau diri itu yang menelponku, kenapa harus pelakor itu?”
Mendengar nada penuh emosi sahabatnya, Tari tertawa, meski nyeri di dada belum menghilang sepenuhnya. “Jangan gitu, biar gimana pun dia itu sahabatmu,” goda Tari.
“Mantan sahabat!” Aku heran dulu kok bisa, ya, kita sahabatan sama rubah itu. Gila, ya, pinter banget dia mengelabuhi kita.”
Jangankan Sekar, Tari pun bingung kenapa Ajeng bisa berbuat seperti itu. Padahal mereka bertiga sangat akrab. Kemana-mana selalu bersama, saling berbagi cerita dan juga saling membantu saat salah satu ada kesulitan. Ketika Ajeng bercerai dengan mantan suaminya, Tari dan Sekar lah yang membantu wanita itu bangkit.
“Udahlah enggak usah bahas itu lagi, aku akan bicara sama bapak masalah sertifikat rumah itu. Jadi, kalau dia telpon tolong kamu kabari aku.”
Ya, perempuan itu tidak mau membuat keputusan yang gegabah dan menyebabkan hidup tenangnya terganggu. Berbicara dengan orang tua adalah pilihan paling baik.
***
Tari berlari, ketika melihat seorang gadis kecil terjatuh dari ayunan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya.
Anak itu menangis sambil menutupi lututnya yang berdarah.
“Boleh tante lihat kakinya?” Bibir tipis Tari yang dihiasi lipstik nude, tersenyum hangat pada gadis di depannya. Dia berharap hal itu bisa menghilangkan raut ragu si gadis. “Gak pa-pa, biar tante obati dulu lukanya.”
Mata bulat itu masih memerah. Namun, perlahan-lahan gadis kecil itu membuka tangannya.
Bergegas Tari membuka tasnya untuk mengambil tisu. Dia menghela napas kala melihat luka gadis itu tidak parah. Tari meniup tisu di tangannya. “Bismillah, sembuh.”
“Cuma ditiup aja, bisa sembuh?” Kening anak itu mengerut seperti memikirkan sesuatu.
“Insya Allah, dan nanti setalah sampai rumah harus segera di bersihkan. Oke?”
Rambut gadis itu yang dikucir ekor kuda bergerak, seiring anggukan penuh semangat dari gadis bermata bulat serta hidung kecil yang mancung. Membuat gadis itu terlihat seperti boneka.
Gemas dengan tingkah si gadis, Tari mengusap pelan rambut berwarna hitam milik nona kecil di hadapannya.
“Ica!”
Teriakan kencang, diikuti derap langkah yang semakin dekat membuat Tari dan si gadis berpaling secara bersamaan.
Gadis bak boneka itu tersenyum lebar, seraya mengangkat kedua tangannya mengetahui siapa yang kini berlari ke arahnya.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada