"Mas, kok pagi-pagi udah rapih, mau ke mana?" tanyaku dengan nada senormal mungkin, berusaha menyembunyikan rasa sakit dan kecewa, akibat luka yang telah dia torehkan.
"Ke kantor, memangnya ke mana lagi," jawabnya dibarengi dengan senyuman.
"Tidak, Mas. Aku hanya bertanya." Aku masih berfokus memakaikannya dasi, tidak ingin menatap matanya yang penuh kebohongan.
"Ibu sama Faris ke mana? Kok gak keliatan?" Dia bertanya tentang Faris--anak pertamaku yang sudah berusia lima tahun.
"Ibu lagi pergi ke kamar, Faris."
"Ah, bagitu. Ya sudah, ayo turun. Mas, sudah lapar." Mas Chandra menggandeng tanganku keluar kamar. Jujur, sebenarnya aku jijik dengannya, apalagi ketika membayangkan tangannya menjamah wanita tidak tahu diri tersebut.
Di kejauhan, kulihat ibu dan Faris sudah duduk di meja makan. Saat melihat kedatangan kami, Faris langsung turun, berlari ke arah Mas Chandra.
"Kenapa, Sayang?" Faris tidak menjawab pertanyaan Mas Chandra, dia malah mengulurkan tangannya, meminta untuk di gendong.
Mas Chandra sepertinya juga tidak keberatan, buktinya dia langsung meraih Faris dan mendudukkannya di atas paha.
Aku yang melihat hal tersebut, langsung berkata, "Nak, jangan duduk di sana. Kasian, Ayah jadi susah makannya."
"Gak, mau! Faris, mau sama, Ayah. Faris, kangen, Ayah."
"Sudah, biarkan saja, Mila. Lagipula, Chandra tidak kesusahan." Ibu melirikku yang menghembuskan nafas berat selama beberapa kali. "Dia sepertinya sangat rindu dengan, Ayahnya."
Aku menganggukan pasrah, membiarkan Faris tetap berada di pangkuan ayahnya.
Ketika aku menawarkan Faris untuk makan, dia menggeleng. Ibu yang biasanya paling bisa membujuk Faris, tiba-tiba tidak bisa berbuat apa-apa.
***
"Nak, sudah turun, ya! Kasian, Ayah mau pergi ke kantor." Aku berusaha meraih Faris yang berada di pelukan ayahnya dengan kepala bersandar pada bahu.
"Gak, mau!" Faris menggeleng cepat. "Faris, mau main sama Ayah."
"Tapi, Nak. Ayah mau kerja, Faris main sama Ibu dan Nenek, ya!"
"Gak, mau! Faris mau main sama Ayah." Faris terus saja merengek, namun saat aku hendak meraihnya lagi, dia malah menangis dengan kencang, tidak mau lepas sama sekali.
Mas Chandra menatapku lekat, kemudian beralih ke arah Faris yang masih saja terus menangis. Tiba-tiba, dari arah dapur datang ibu sambil menenteng sebuah plastik obat dan segelas air putih.
Ibu menawari Faris untuk segera minum obat, karena beberapa hari yang lalu dia sempat demam dan terus memanggil ayahnya.
"Nak, minum obat dulu, ya! Biar kamu cepat sembuh," ucap Mas Chandra dengan nada lembut sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Faris mendongak, dia menatap Mas Chandra dengan cukup lekat, kemudian tidak beberapa lama kemudian dia mengangguk. "Iya, tapi Ayah janji, jangan pergi ke kantor, ya?" Faris mengangkat jari kelingkingnya ke hadapanku.
"Janji, Nak. Jadi, minum obat dulu, ya. Nanti main sama Ayah," jawab Mas Chandra sambil mengaitkan jari kelingkingnya.
Mas Chandra segera berjalan ke arah sofa, diikuti oleh olehku yang membawa plastik obat yang tadi berada di tangan ibu. Aku segera mengeluarkan beberapa obat dan memberikannya pada Mas Chandra, tidak lupa aku pun menyerahkan juga segelas air.
Penuh semangat, Faris segera menenguk obat pemberian ayahnya. Padahal, biasanya dia paling sulit, jika harus meminum obat.
"Mas." Aku merangkul tangan Mas Chandra, lalu menyandarkan kepalanya ke bahunya.
Mas Chandra terlihat mengelus rambutku dengan lembut, sementara itu satu tangannya menepuk-nepuk bokong Faris.
"Mas, pinjam ponsel kamu dong," ucapku sambil meraih ponsel yang ada di dalam satu celana Mas Candra. Dia nampak terkejut, tapi tidak bisa mencegahku. "Tumben banget pake password, kek ada rahasia aja."
"Gak ada," balas Mas Chandra sambil menyebutkan password.
Telat, Mas! Aku sudah tahu lebih dulu.
Saat aku sedang bermanja-manja dengan Mas Chandra tiba-tiba dering ponsel terdengar. Raut wajah Mas Candra tiba-tiba berubah.
Mati kamu, Mas!
Pinter sekali suamiku ini, sepertinya dia sengaja mengganti nama kontak wanita tersebut. Tanpa menunggu persetujuannnya, aku langsung menggeser tombol hijau dan menempelkannya di telinga.
"Dinda, apa yang kamu katakan?" Aku melirik Mas Chandra sekilas. Wajahnya terlihat pucat pasi, bahkan sesekali dia membasahi bibirnya . "Kenapa kamu ... memanggil suamiku dengan panggilan, Mas dan menyuruhnya untuk pulang padamu?!"
Dinda--wanita yang tidak lain adalah adik almarhum sahabatku sendiri. Tidak ingat 'kah dia, bagaimana aku dan ibu membantu keluarganya dulu.
Tidak tahu, malu!
Sengaja aku bertanya dengan nada tinggi, ingin tahu ekspresi apalagi yang akan dia perlihatkan.
"Ah, salah sambungnya, ya? Aku kira, kamu ada hubungan lain dengan suamiku." Aku terkekeh pelan, berusaha menutupi amarah yang sudah siap meledak. "Ya sudah, aku akhiri panggilannya, ya."
"Sayang, ada apa?" tanya Mas Chandra dengan suara tercekat, keringat terlihat memasahi wajahnya
"Aneh banget, Dinda nikah tapi gak bilang-bilang sama aku. Terus, namanya juga sama dengan kamu." Aku menaruh ponsel Mas Chandra ke sofa. "Ada-ada, saja."
Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak, ketika melihat ekspresi ketakutan yang berusaha Mas Chandra tutup-tutupi.
Dasar! Pasangan b*d*h. Harusnya kalian belajar akting dulu, jika ingin bermain-main di belakangku.
"Mila. Mau ke mana?" Mas Chandra yang masih berkutat di depan laptop, langsung menghentikan aktivitasnya ketika melihatku berdiri tepat di depannya."Bosen di rumah terus. Jalan-jalan, yuk, Mas!""Jalan-jalan ke mana, Sayang?" Mas Chandra membenarkan sedikit posisi kacamatanya. "Mas, sedang kerja, sayangnya.""Tapi, Mas." Aku bergelayutan manja di tangannya, sedikit menariknya untuk bangkit dari kursi. "Mas, sudah sering ke luar kota, masa aku minta jalan sekali aja gak mau. Gak kasian apa sama dedek bayinya." Sengaja aku mengelus perutku yang memang sudah sedikit buncit. Mengingat kehamilanku sudah masuk empat bulan.Mas Chandra terpejam sambil mengangguk pelan. Dia langsung menarik badanku ke dalam dekapannya. Kecupan hingga kecupan, dia daratkan di keningku.Seketika aku langsung menjauh badan, kala mengingat foto pernikahan antara Mas Chandra dan Dinda. Tentu saja, hal
"Mila, lihat ini!" Ibu menunjukan lokasi di mana mobil yang kendarai Mas Chandra berhenti di sebuah titik. Aku dan ibu saling pandang. Kami tahu betul daerah itu."Bu, ayo susul Mas Chandra ke sana!" saat aku hendak menarik tangan Ibu, tiba-tiba dia langsung menghentikan pergerakanku."Tunggu, Mila! Chandra kembali pergi ke tempat lainnya. Seperti ini--""Ke mall," potongku cepat.Segera kuraih tas yang tergelatak di atas sofa. Sebenarnya mesti usia kehamilanku masih kecil, tapi tetap saja ini sedikit menghambat pergerakanku.Menyedihkan memang, di saat wanita hamil lainnya mendapatkan perhatian lebih dari laki-laki yang dicintainya, aku malah harus mendapatkan kenyataan yang begitu pahit. Di mana suamiku sendiri, ternyata sudah menikah dengan adik sahabatku sendiri."Ayo, pergi!" Ibu menuntunku keluar rumah, menunggu taksi pesanan kami yang akan segera
"Chandra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kali ini Ibu keluar, mengagetkan dua sejoli yang sedang dimabuk cinta."Ah, i--itu, Bu, aku akan membelikan Mila dan Ibu hadiah, tapi karena kalian datang kemari, jadinya gagal, deh," bohong Mas Chandra sambil bersikap seolah-olah merasa kecewa.Dih! Berani sekali dia berbohong seperti itu."Begitu, ya, jadi kami boleh dong, pilih-pilih tas di sini?" tanya ibu dengan mata berbinar. Sungguh, Ibu benar-benar sangat pintar.Sementara itu, Dinda yang berdiri di samping Mas Chandra terlihat mati kutu. Mampus kamu Dinda! Ini baru permulaan."Tentu saja, pilih-pilih saja. Terserah kalian mau beli yang bagaimana.""Bu, ini bagus. Kenapa tidak pilih itu saja?" ucap Dinda sambil menyerahkan tas yang ada di tangannya.Kulihat Ibu tidak menghiraukan Dinda, dia lebih memilih melihat tas tersebut sa
Aku benar-benar tidak menduga akan rencana Ibu. Bahkan, akupun lupa jika hari ini adalah anniversary pernikahan kami. Mungkin, karena aku terlalu kecewa dengan Mas Chandra, sehingga tidak memperdulikan hal itu lagi.Saat mobil kami tiba di depan rumah, seketika aku langsung tercengang ketika melihat dekorasi rumah yang cukup mewah. Aku tidak menyangka, hanya dalam hitungan jam saja, para orang-orang suruhan Ibu sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik.Kulirik Mas Chandra sekilas, laki-laki itu pun memperlihatkan ekspresi yang sama. Mungkin dia tidak menyangka, aku akan mempersiapkan hal seperti ini.Ya, tentu saja aku bisa! Setelah mengetahui perselingkuhan Mas Chandra dengan Dinda, aku semakin tidak bisa menahan diri. Aku tidak ikhlas, jika uang hasil jerih payah suamiku, di pakai poya-poya oleh orang lain selain istri dan keluarganya."Mas, kamu suka kejutan dariku dan ibu, 'kan?" Kulirik Ibu
"Aku ikut, ya!" Sengaja aku menggandeng Mas Chandra dengan erat. Memperlihatkan kemesraanku pada Dinda."Iya, Sayang.""Bram, apa kabar?" sapa Mas Chandra pada seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya."Baik, Dra." Laki-laki bernama Bram itu menatapku dari bawah hingga atas, membuatku sedikit risih. "Istrimu yang?" tanyanya dengan eskpresi sedikit terkejut.Ah, jadi dia yang bernama Bram. Aku ingat itu. Aku berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bram yang di ajukan pada Mas Chandra."Dia istriku satu-satunya," jawab Mas Chandra dengan cepat. Peringgainya tiba-tiba berubah, bahkan dia sampai terpejam dalam waktu yang cukup lama.Seperti baru menyadari situasi, Bram mengangguk cepat, dia menggaruk tengkuknya. "Ah, i-iya. Hai salam kenal, aku Bram."Ragu-ragu aku menjabat tangannya. "Mila.""Mas, kenapa di
Kuseret kakiku untuk segera menjauh dari tempat tersebut, sebelum hal yang lebih menyakitkan terlihat."Sayang, kamu dari mana?" Ibu segera menghampiriku yang tengah berjalan dari arah lain."Lihat, Bu." Aku menghidupkan gawai, lalu memperlihatkan video yang sempat aku rekam.Seketika, wajah Ibu langsung memerah, rahangnya mengeras. "Ini, tidak bisa dibiarkan, Mila."Ibu segera merongoh ponsel dari tas kecilnya dan menempelkan benda persegi itu di telinga."Halo, bagaimana urusan kantor, apa sudah selesai?"Aku tidak tahu Ibu menelpon siapa, namun yang pasti dia terlihat mengangguk selama beberapa saat."Bagus! Pastikan Chandra tidak mengetahui hal ini terlebih dahulu." Ibu menoleh ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyuman. "Ya, benar. Kamu memang bisa di percaya.""Bagaimana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang kembali memasukan ponsel berlogo apel ke tas mewahnya."Beres!" Ibu mengacungkan jempol. "Ayo! Acaranya inti akan segera di mulai. Tapi, sebelumnya kamu ingat 'kan, Nak, apa yang haru
Hampir semua ibu-ibu sosialita sudah berkumpul di rumahku. Dari pakaiannya saja, aku sudah bisa menebak, jika mereka bukan dari kalangan biasa saja. Perhiasan, hingga barang-barang bernilai jutaan rupiah melekat di tubuh mereka. Maka tidak heran, jika baru sampai saja, sudah saling memamerkan kekayaan masing-masing. "Eh, kalian tahu, gak? Katanya si Dinda mau ikut arisan, loh." Seketika aku langsung menoleh, saat secara tidak sengaja mendengar nama Dinda. Aku tidak menyangka, jika kulit wajahnya benar-benar tebal. "Beneran? Ih, jijik banget tau gak Jeng. Gak mau deket-deket aku sama dia, takut," tambah ibu-ibu yang lainnya. Ibu-ibu yang awalnya saling pamer harta, seketika langsung terdiam. Mereka langsung nimbrung, ketika membahas soal Dinda. Apa kataku kemarin, sepertinya Dinda tidak akan tahan hidup lama-lama di sini. Rasakan, Dinda! Julitan ibu-ibu lebih kejam dari apapun. "Eh, katanya lagi Bu Dea udah gugat cerai Pak Bram, loh." "Seriusan? Bagus, lah! Laki-laki kayak gitu
"Ada apa, Mila?" Aku menoleh ke arah Ibu yang nampak kaget. "Mas Chandra kecelakaan, Bu." "Sri ... Sri," teriak Ibu dengan cukup nyaring. Dari arah dapur, datang seorang wanita paruh baya memakai daster batik. " Bi Ani, Tolong bilang ke Sri, jaga Faris sampai saya dan Mila kembali. Jangan khawatirkan soal upah." "Baik, Nyonya." "Aku tunggu di depan," ucapku pada Ibu, setelah sebelumnya menyambar dompet yang tergeletak di meja. "Panggil Pak Asep!" perintaku pada seorang satpam yang sedang duduk di teras. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pria datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Bu?" "Cepat, Panaskan mobil! Kita akan segera pergi ke rumah sakit." "Baik, Bu." Kutarik napas dalam selama beberapa kali, lalu menjatuhkan bokong di salah satu kursi kayu yang tertata dengan cukup rapih di teras. Keningku terasa berdenyut, jantung berdegup cukup kencang. Beberapa kali aku memijat pelipis sambil menunduk dalam. "Mila, cepat berangkat!" Aku mendongak, lalu segera bangkit, mengik