Apa kata wanita itu? Wanita itu malah mengatainya pelakor? Laras merasa kesal mendengarnya, wanita itu yang bersalah sudah merebut Radit darinya dan wanita itu malah berani mengatainya? Sungguh tak bisa dibiarkan!
"Udah jelas-jelas kamu itu lagi berduaan sama suami saya tapi kamu malah ngatain saya yang pelakor? Ngaca dong, Mbak! Minimal tau diri lah! Mana ada sejarahnya saya yang istri sah dikatain pelakor sama kamu yang pelakor ulung!" Laras meradang. Karena mereka sedang berada di tempat umum jadi tentu saja banyak orang yang menonton perkelahian mereka namun mereka tak peduli. "Radit kamu jelasin ke dia ini, kasih paham siapa aku sebenarnya!" tuntut wanita itu datar. Radit dengan takut-takut akhirnya melihat ke arah Laras. Ia menelan ludah dengan susah payah tampak gugup. "Iya, Ras. Dina itu sebenarnya istri saya," kata Radit pelan. "Yang lengkap dong! Saya ini istrinya Radit, istri pertama malahan." Dina menjelaskan dengan tegas. Bagai tersambar petir di siang hari ketika Laras mendengar pengakuan tersebut. Radit ternyata sudah menikah lebih dulu dengan wanita itu? Dan ia hanyalah istri kedua? Itu berarti memang ia yang sudah merebut Radit dari istri pertamanya itu? Satu kaki Laras melangkah mundur dan tubuhnya terasa lemas, saat tubuhnya terhuyung ke belakang dengan sigap Aryo menopangnya agar tak terjatuh. Radit yang melihat pemandangan itu merasa cemburu dan tak suka Laras dipeluk oleh laki-laki lain namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa karena ada Dina di sana. Ia hanya bisa menunduk sedih. "Itu nggak mungkin kan, Mas? Wanita ini bohong kan? Cuma aku kan istri kamu satu-satunya? Iya kan? Mas Radit jawab!" Laras menangis sekarang. Hatinya terasa sakit mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Radit hanya diam saja tak bisa berkutik di samping Dina, sang istri pertama. "Jadi kamu selama ini bohongin aku? Aku cuma istri kedua kamu, Mas?" Isak Laras. Hatinya terasa pedih sekali. "Mau gimana lagi, aku pengangguran dan aku butuh uang buat hidupin istri dan anak kami jadi aku terpaksa lakuin itu. Aku terpaksa harus nikah sama kamu biar ekonomi keluarga aku sama Dina terjamin," kata Radit datar. Lagi dan lagi Laras merasa terkejut dengan pengakuan dari Radit. Jadi pria itu menikahi dirinya hanya untuk uang semata? Ia sengaja dimanfaatkan dari awal mereka kenal? "Kamu tega, Mas!" teriak Laras. Kenyataan pahit tersebut tak bisa ia terima dan membuatnya pingsan di pelukan Aryo. Radit terkejut melihatnya. Namun, saat ia akan menolong Laras, Dina langsung memelototinya.Di sisi lain, Aryo tampak lebih sigap.Pria itu pun langsung membawa Laras ke mobilnya dengan cara menggendongnya bridal style.
"Aku kira kamu udah nggak peduli sama dia, tapi ternyata kamu masih peduli?" gertak Dina. "Nggak kok, Sayang. Aku nggak peduli lah sama dia buat apa aku peduliin orang nggak penting kayak si Laras itu," balas Radit takut-takut. "Bagus!" "Kita kayak lagi nonton drama ya seru banget aslian deh!" "Iya tuh judulnya pertikaian antara istri pertama dan istri kedua." "Ternyata malah justru yang tadi ngelabrak itu yang istri kedua berarti kan dia yang pelakor." "Iya si pelakor nggak tau malu banget ya udah labrak orang yang nggak salah justru dia itu yang gatel rebut laki orang!" "Justru dia itu malu makanya pingsan." "Palingan cuman pura-pura pingsan aja karena udah terlanjur malu banget." "Iya bener tuh!" Begitulah seruan orang-orang yang menonton perseteruan antara Laras dan Dina. Sementara itu, di rumah Aryo, tampak Laras terbaring lemah di tempat tidur mewah.Ia melamun memikirkan kejadian yang sudah terjadi padanya. Air matanya kembali mengalir mengingat pengakuan yang sangat mengejutkan baginya. Pengakuan dari Dina yang terus terang kalau wanita itu adalah istri pertama Radit dan ia hanyalah istri kedua.
"Kenapa kamu bohongin aku selama ini, Mas? Kalau aku tau kamu udah nikah aku nggak mungkin mau nikah sama kamu," Isak Laras pilu. "Kalau gini caranya aku yang jahat di sini, aku yang udah rebut kamu dari wanita lain," monolog Laras lagi. Ia jadi teringat Dina yang sama sekali tak takut saat ia melihatnya bahkan panik pun tidak. "Pantesan aja dari awal liat aku Dina biasa aja, itu karena dia emang nggak salah. Emang bener bukan dia yang pelakor tapi aku. Aku yang pelakor...hiks..." Laras tak bisa berkata apa-apa lagi karena air matanya terus mengalir.Ia pun kembali menangis sejadi-jadinya.
Pantas saja, saat acara pernikahan tak ada satupun orang dari pihak Radit yang hadir karena pria itu mungkin tak memberi tahu para kerabatnya. Pantas saja selama menikah ia belum pernah bertemu dengan mertuanya. Itu mungkin karena Radit memang menyembunyikan pernikahan mereka dari keluarganya.
Laras baru saja menyadari hal itu, semua kejanggalan yang terjadi padanya selama ini. Radit sudah pernah menikah maka dari itulah Radit menyembunyikan pernikahannya dengan Laras. Sering ia meminta Radit untuk mengenalkan dirinya pada keluarganya namun suaminya itu tak pernah mau dengan alasan keluarganya semuanya di luar negeri. Ya, itulah sebabnya, semuanya menjadi masuk akal sekarang. "Selama ini aku hidup dalam kebohongan semata, dia udah bohong sama aku semuanya nggak ada yang jujur. Omongannya kelakuannya nggak ada yang benar, dia emang ternyata orang yang munafik, pembohong ulung. Dari awal nikah udah nggak ada kejujuran bahkan sampai saat ini. Harusnya aku bisa tau kalau dia tuh nggak serius, dia deketin aku dan nikah sama aku hanya karena uang." Mendadak tangisan Laras berhenti, sungguh luka yang telah dibuat Radit sangat menghancurkannya. Sampai membuat hati Laras beku. Rasa cintanya pada Radit yang dalam kini sudah terkikis, sekarang hanyalah rasa benci yang ia rasakan untuk pria benalu itu. Tangan Laras mengepal dan ia meremas seprei dengan kuat. Tangan satunya mengusap air matanya kasar, terlihat emosi yang dalam di mata indahnya itu. Aryo masuk ke dalam kamar Laras untuk melihat keadaan wanita cantik itu. Ia prihatin melihat keadaan Laras. "Gimana keadaan kamu, Laras? Udah mendingan?" tanya Aryo lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur itu. Laras menoleh ke arah Aryo dengan lemah yang membuat Aryo terlihat bingung. "Tawaran yang waktu itu Bapak ucapin ke saya masih berlaku?" tanya Laras. Aryo mengangguk tegas. "Iya masih." "Kalau gitu saya bersedia, saya bersedia menikah sama Pak Aryo," kata Laras datar. "Saya mau gugat cerai orang itu, orang itu nggak pantes menyandang status sebagai suami saya."Aryo terdiam, sebelum menampilkan senyum miring di wajahnya. "Ok saya akan bantu urus perceraian kamu sama dia secepatnya, Laras."Sejak itu, sudah dua hari Laras berada di rumah Aryo untuk mempersiapkan peperangannya.Kini saatnya ia pulang. Untungnya, dia tetap didampingi oleh Aryo karena pria itu khawatir Radit akan kembali membuat Laras ragu untuk bercerai. "Terima kasih udah nganterin saya pulang, Pak," kata Laras saat ini ia bersama Aryo di mobil. "Nggak usah bilang makasih udah sewajarnya saya anterin kamu karena sebentar lagi kamu bakalan jadi tanggung jawab saya sepenuhnya, kamu bakalan jadi istri saya," balas Aryo. Laras menghela napas. "Iya, Pak. Setelah saya cerai dari orang itu saya bakalan jadi istri Pak Aryo." "Ya udah kalau gitu kita masuk, saya bantu kemasi barang-barang kamu." "Nggak usah, Bapak tunggu di sini aja..." "Pokoknya saya ikut masuk takutnya nanti orangnya dateng kamu bisa bahaya, Laras." Laras pun menurut saja, ada benarnya juga ucapan Aryo itu. Radit kan orang yang kejam jadi takutnya ia bisa nekat jika ia tahu mereka akan segera bercerai. Jangan lupa, Radit sendiri yang me
Aryo menghela napas. "Ma, yang paling penting kan dia bisa hamil kalau soal status mau dia janda atau gadis kan nggak masalah," bantahnya."Aryo dengerin Mama! Kalau kamu bilang begitu itu sama aja kamu mau bikin Mama malu terutama di hadapan si ular itu!""Siapa yang kamu sebut wanita ular ha?" Sekar, seorang wanita setengah baya yang baru saja masuk ke ruangan itu. Rita melengos tak sudi menatap Sekar. "Ngapain kamu dateng ke sini? Udah gitu masuknya main nyelonong aja tanpa permisi," katanya sinis. "Suka suka saya lah," balas Sekar dengan santainya lalu ia pun duduk di samping Aryo. Aryo hanya diam saja melihat kedua wanita itu, ia menghela napas pasrah. "Kalau gitu aku keluar dulu," pamit Aryo. "Permisi, Tante Sekar." Sekar mengangguk namun wajahnya tampak judes, melirik Aryo pun ia tak mau. Aryo keluar dari ruangan itu, ia tak ingin menganggu mereka berbicara. "Saya dengar Aryo anak kamu itu sebentar lagi akan menikah," kata Sekar. "Iya dong! Emangnya kayak anak kamu yang
Tepat saat Radit akan mendekati Laras, Aryo datang menghalanginya dan langsung menendang pria itu hingga tersungkur di tanah. Pisau yang ia pegang pun terlempar jauh. Laras dan juga Dina yang melihat kejadian itu pun terperangah kaget sambil menutupi mulut mereka masing-masing. Laras tak menyangka jika Radit berani berbuat Nekat seperti itu. "Berani juga ya kamu di tempat umum seperti ini mau nyelakain orang," kata Aryo. "Lu lagi! Ngapain sih lu selalu ikut campur urusan gue?" seru Radit. Aryo langsung memukuli Radit agar pria itu tak bisa bicara lagi dan hanya merintih kesakitan akibat pukulan demi pukulan yang ia lakukan di perut dan wajah Radit. Radit terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya dan tak lama para polisi datang untuk menangkapnya. Ia bicara kasar dan penuh umpatan yang ditujukan untuk Aryo dan terutama Laras. "Lepasin saya, Pak! Saya nggak salah," pinta Radit yang berusaha untuk melepaskan diri dari para polisi yang menahannya itu. "Nggak salah gimana? Tuh udah
"Gimana? Kamu udah siap?" tanya Aryo yang baru saja masuk ke dalam kamarnya Laras di hotel ternama yang ia sewa untuk Laras tinggali itu. Ya, sejak kejadian itu Aryo memang meminta Laras untuk tinggal di hotel untuk sementara waktu sebelum mereka resmi menikah. Ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk kepada calon istrinya itu. "Udah kok, Pak." Aryo tersenyum, ia kagum melihat kecantikan Laras. Ia merasa tak salah dalam memilih pasangan hidupnya. "Kalau gitu kita langsung jalan?" ajak Aryo dan Laras mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua pun pergi ke suatu tempat dengan mobil mewah yang Aryo kemudikan. Ternyata mereka mengunjungi sebuah butik yang ternama dan tentunya amat mahal. Aryo lebih dulu turun dari mobil lalu ia membukakan pintu untuk Laras. Laras yang selalu diperlakukan seperti itu yaitu bak seorang putri oleh Aryo tersipu malu. Baru pertama kali ia merasa begitu dihargai oleh pria. "Makasih, Pak." Aryo hanya mengangguk saja. Ia dan Laras memasuki butik dan k
"Ma..." "Tentu aja kamu punya semuanya yang Mama mau, kamu cantik dan juga anggun, Laras." Aryo tersenyum lega mendengarnya begitu pula dengan Laras. Laras menghela napas lega. Rita tersenyum. "Sini, Laras. Ayo peluk Mama!" pintanya ramah. Laras menoleh ke arah Aryo meminta persetujuannya dan pria itu mengangguk. Maka ia pun memeluk Rita, ia lega ternyata calon ibu mertuanya itu tak semenakutkan yang ia pikirkan. Ternyata justru sebaliknya Rita adalah wanita yang baik hati. Rita lalu mengajak mereka ke ruang makan untuk makan malam bersama. Ia meminta Laras untuk duduk dekat dengannya, ia juga mengatakan kehadiran Laras sudah lama ia nantikan. "Kamu tau, Laras. Mama tuh udah lama banget loh nyuruh Aryo untuk menikah tapi dia malah mengelak terus, alesannya sibuk kerja. Itu cuma alesan," kata Rita. Laras tertawa kecil. "Gitu ya, Ma?" "Iya. Dan sekarang udah ada kamu di hidupnya Aryo jadi Mama tuh lega banget." Rita tersenyum. Laras melempar senyuman ke arah Aryo yang juga me
Apakah ancaman tersebut membuat Laras takut? Tentu saja tidak karena ia sudah kebal. Mengapa begitu? Ya tentu saja saat menikah dengan Radit ia sudah sering merasakan sakit baik fisik maupun hatinya. Karena itulah ia terlatih untuk tidak takut. Namun siapakah orang kurang kerjaan yang mengirimkan pesan pada Laras? Apakah Radit? "Kayaknya nggak mungkin deh kalau Radit, dia kan lagi di dalem penjara," gumam Laras membantah pikirannya tersebut. Tapi jika bukan Radit lalu siapa orangnya? "Ah udah ah nggak usah aku pikirin, nanti aku bilang aja sama Mas Aryo," kata Laras. "Ups!" ia reflek menutup mulutnya karena malu telah menyebut Aryo dengan sebutan Mas. Sebutan yang belum pernah ia ucapkan pada pria itu. Laras tersenyum sendiri dan mendadak ia salah tingkah. Apakah ia sudah mulai jatuh cinta pada pria yang mengajaknya menikah secara tiba-tiba itu? Yang jelas Aryo pria yang baik yang pernah Laras temui, namun secara pribadi ia belum terlalu mengenalnya. Bagaimana jika sikap pria itu
Aryo yang mendengar teriakan istrinya dari dalam kamar mandi langsung membuka pintu kamar mandi. Untunglah pintunya tidak dikunci dari dalam. Di dalam sana terlihat Laras yang hanya memakai handuk mandi sedang berjongkok ketakutan dan tubuhnya gemetar takut. "Sayang kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Aryo ingin memastikan keadaan sang istri. Laras lantas berdiri lalu ia memeluk Aryo, Aryo tampak semakin khawatir ketika Laras menangis di pelukannya. "Aku takut banget, Mas. Tadi aku ngeliat ada kecoa di situ," rengek Laras sambil mengeratkan pelukannya. Ia memang takut pada hewan yang satu itu. "Kecoa? Di mana, Sayang?" tanya Aryo. Ia sebenarnya juga bingung karena yang ia tahu tidak pernah ada kecoa di dalam rumahnya apalagi di kamar mandinya itu. Jelas saja, secara logika mana ada sih rumah megah bak istana tapi ada hewan seperti itu. "Itu tadi di sana, Mas. Aku tadi liat aku nggak bohong, aku takut banget sama hewan itu." "Ya udah kalau gitu kamu aku anterin ke kamar
Linda menoleh ke arah Aryo, Laras juga kaget mendengar teriakan sang suami sedangkan Rita hanya biasa saja. "Kurang ajar ya kamu Aryo! Beraninya kamu bentak saya!" Linda melotot ke arah Aryo. "Tuh liat Rita, begitu ya hasil didikan kamu? Nggak punya sopan santun seperti itu." "Aduh udah deh, Kak Linda. Kakak tuh pagi-pagi malah udah bikin keributan aja," balas Rita sekenanya. Linda menoleh ke arah Rita lalu ia mendelik tajam membuat lawannya itu segan. "Ya udah deh, Kak. Iya saya yang salah deh saya minta maaf," ucap Rita setengah hati berkata seperti itu. Aryo menghela napas, ia pun segera pergi dari ruang makan. Laras terkejut tapi ia mengikutinya di belakangnya. "Mas Aryo kenapa malah pergi sih?" tegur Laras pelan. Mereka berdua pun berjalan kembali ke kamar mereka. "Aku males di sana." Laras merasa bingung dengan semua masalah yang terjadi di rumah ini, apa lagi ia masih baru tinggal di sana. Tapi yang dapat ia cerna memang para anggota keluarganya terlihat tidak saling