Home / Rumah Tangga / Pernikahan Kedua / Bertemu Tiga Orang Menyebalkan

Share

Bertemu Tiga Orang Menyebalkan

Author: Azitung
last update Last Updated: 2022-09-18 15:08:47

Bertemu Tiga Orang Menyebalkan

Bab  3

"Kenapa repot-repot mengantarnya? Bukannya mengantar berkas perceraian itu dari pihak pengadilan?" Aku menatap Mas Tama. Dia menghubungiku untuk memberikan berkas perceraian. 

"Aku tak tau alamatmu, Ri. Kamu kan tidak pernah mengenalkan siapa keluargamu padaku." Ah, ya betul juga apa katanya. 

"Kurasa itu tak penting lagi sekarang," jawabku cepat. 

Mas Tama tertawa. Aku heran apa yang dia tertawakan. Apa aku terlihat lucu di matanya? 

"Memangnya kamu punya keluarga, tapi... Dari penampilanmu, Kau sepertinya tinggal ditempat yang layak." Dia memperhatikanku dari atas hingga bawah. Mungkin dia sudah melihat perubahanku. Aku memang memakai pakaian mahal, tas dan sepatu juga. Ini dibelikan mama kemarin untukku.

"Atau jangan-jangan uang yang Kau rampas dari ibu masih Kau simpan? Mana cepat kembalikan!" Bisa-bisanya dia berpikir aku mengambil uang ibunya. Dasar sinting! 

Ternyata Mas Tama ini terhasut oleh keluarganya. Baiklah mari kita lihat apa dia percaya ucapanku.

"Riri?" Suaranya sedikit naik. Karena aku hanya diam saja.

"Aku nggak pernah mengambil uang ibumu, Mas," sanggahku.

"Bohong! Ibu sudah cerita semuanya. Kalau selama ini Kamu merampas uangnya saat aku dikantor." Mas Tama ngotot kalau aku sudah mengambil uang ibunya.

"Ternyata selain polos, Kamu juga bego, Mas." Kupancing sekalian emosinya. Aku meletakkan uang minuman di atas meja lalu meninggalkannya. Dia pun bangkit dan mengikutiku.

"Riri, Riri! Apa maksudmu? Ternyata setelah bercerai dariku, Kau jadi...."

"Jadi apa?" potongku cepat.

"Aaakhh... sudahlah, cepat sini uangnya. Uang bonus itu tidak sedikit Riri. Cepat kembalikan padaku!" ternyata dia masih mengira aku mengambil uang ibunya.

"Jangan jadi jahat karena sekarang Kamu sudah kuceraikan, Ri. Tolong hargai jerih payahku selama ini. Kamu sudah aku beri 30 juta. Cepat kembalikan uang yang Kamu ambil dari ibu!" Ia terus memaksa. Segitu yakinnya dia kalau aku yang mengambil uang ibunya.

Dia pikir aku tak tau uang itu tak mungkin hilang, pasti sudah ludes untuk bayar hutang. Dasar ibu! 

"Mas Tama, uang tiga puluh juta sudah kubelikan motor Cash, dan motor itu ada pada kalian, Aku tak menikmatinya sedikitpun. Dan uang yang Kau berikan pada ibu. Maaf sedikitpun aku tak pernah menyentuhnya," ucapku tegas dan jelas. Aku melangkahkan kaki menuju parkiran. Tidak ingin bertengkar didepan umum. Bisa jadi viral nanti. Sedangkan aku ini calon pebisnis. 

Ia mematung setelah mendengar jawabanku. Harusnya dia mencari kenyataan dulu, bukan asal tuduh begini.

Salah aku mau menikahinya dulu, Ternyata dia tak sebijak yang kupikir. Bisanya aku tertipu. 

Aku masuk kedalam mobilku. Ia tampak terkejut melihatku masuk kedalam mobil. Melongo tak percaya. Aku memperhatikannya dari dalam mobil.

Mungkin dia syok. Matanya terus saja melihat kearahku tanpa berkedip.

Hah, kaget Kamu, Mas? Ini belum seberapa, Mas. Masih ada kejutan lainnya. Batinku. 

Kumundurkan mobil, lalu keluar dari area parkiran cafe. Tak terasa air mataku menetes lagi. Tak semudah itu memang aku lupa. Tetap saja sakit bila teringat talak yang ia ucapkan padaku. 

Kulirik amplop coklat di sampingku. Benar-benar akan berakhir pernikahanku.

Ckiiiiiiiittttttt!!!!!

Astagfirullah, hampir saja aku menabrak mobil yang menyalipku lalu tiba-tiba berhenti.

Apa dia tak tau aturan lalu lintas? Ku netralkan napasku yang masih memburu. Setelah normal aku langsung turun. Kulihat Mas Tama berdiri di pintu mobilnya. 

Oh, jadi dia mengejarku? Aku menghampirinya. "Apa maksudmu, Mas? Apa kau mau membunuhku juga?" Aku menatap nyalang matanya. Seandainya aku punya napas api seperti naga. Sudah kuhembus ia dengan napasku. 

"Riri, Aku hanya minta uangku," jawabnya enteng tanpa merasa bersalah sedikitpun. 

"Kau, sudah seperti pengemis, Mas. Sudah kubilang, aku tak memegang uangmu. Paham?" Rasanya ingin kucabik-cabik pria didepanku ini. 

"Aku nggak percaya. Lihat itu gaya sama mobilmu, itu pasti uang bonusku yang kusimpankan sama ibu." Masih tetap ngeyel. 

Aku menyunggingkan senyum padanya. Bukan ingin meremehkan tapi pria satu ini memang kelewatan, hampir membuat celaka. Ngotot lagi minta uangnya dikembalikan. 

"Mas, Mas. Apa Kamu nggak tau mobil ini harganya berapa? Bonusmu itu cuma 100 juta, sedangkan mobil ini sepuluh kali lipat dari bonusmu." Aku hampir tertawa jadinya. Konyol sekali mantan suamiku ini. 

Pasti dia heran dari mana aku tau jumlah bonusnya. Sedangkan dia tak pernah memberitahukannya padaku. Dia lebih terbuka masalah keuangan dengan ibu dan adiknya ketimbang denganku istrinya. 

"Cuma katamu? Lalu ini moobil siapa? Kamu pasti jual dirikan untuk dapat mobil ini?"

Ya salam! 

"Tadi Kau menuduhku mengambil uangmu, sekarang Kau menuduhku jual diri!? Sebenarnya apa arti diriku selama tiga tahun ini, Mas. Aku tak percaya. Mas tak mengenaliku sama sekali." Aku menggelengkan kepala tak percaya. 

"Justru itu, Aku tertipu, Kau sok polos dan baik didepanku, ternyata..." dia menghentikan kalimatnya. 

"Apa?" tantangku. Dia membuang muka seraya tersenyum meremehkan. 

"Sudahlah, Riri. Ku pikir Aku akan menyesal menceraikanmu. Tapi Ternyata Aku beruntung. Benar kata ibuku, Kau itu hanya benalu dirumah kami." 

Plakk

Tak tahan lagi aku dengan hinaan darinya. Serendah itu aku dimata mereka, padahal aku bersedia mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari tanpa bantuan siapapun. Adiknya hanya pergi keluar menghamburkan uang dan berlagak seperti orang kaya. 

"Barani, Kau!?" ia hendak membalasku. Namun tangannya di tahan oleh seseorang. 

Gilang?

Kenapa dia ada disini? ini kan masih jam kerja. Kulihat kearah jalan. Ada mobil papa terparkir agak jauh dari mobilku. 

"Mmm, Pa-Pak Gilang!?" Mas Tama cukup terkejut, hingga iapun jadi gugup.

"Iya, kenapa? Saya lihat Kamu berlaku kasar pada wanita. Makanya Saya kesini," jawab Gilang matanya terus menatap Mas Tama.

"Ma-maaf, Pak! Ini istri saya, Kami punya masalah keluarga. Lagi pula dia yang duluan menampar saya." Masih berusaha membela diri dia.

"Tak seharusnya Kamu membalasnya. Kalau ada masalah, silahkan selesaikan dengan kepala dingin!" Nasehat Gilang. 

"Anda! Silahkan pergi dari sini!" Gilang menunjukku. 

What? Dia berani mengusirku? Awas nanti Kamu Gilang? 

"Tunggu apa lagi, cepat pergi!"

"Iya-iya," Aku mengerucutkan bibirku sambil berjalan menuju mobil. Meninggalkan mereka berdua.

Kulirik sekilas mobil papa yang kacanya tertutup rapat. Aku lebih baik menghibur diri. Ke mall sepertinya enak, sekalian cari baju kerja.

Aku parkir diruang bawah tanah, kemudian naik lift ke atas. Langsung aku menuju outlet pakaian. Kemeja menjadi tujuanku. Sudah lima baju yang ku pilih, sepertinya cukuplah ini. Tinggal mencari bawahan dan sepatu.

Setelah dapat semua, Aku mendorong troli ke arah kasir. 

"Mita?" 

Aku melihat Mita berdiri di depan kasir bersama pria paruh baya. Lelaki itu memegang pinggangnya seperti pasangan serasi. Mereka juga masih mengantri masih ada dua orang didepannya. 

Bagaimana kalau kutunjukkan saja diriku. Kira-kira apa reaksinya ya. Ide itu muncul dikepalaku. 

"Mbak, baju saya yang ini tolong ditukarkan warnanya ya, Saya mau warna hijau tosca saja!" sengaja kupanggil penjaganya.

Mita langsung menoleh kebelakang, matanya membulat, namun cepat berbalik. Aku tau dia pasti malu karena aku melihatnya dengan pria tua itu. 

 "Eh, Mit. Belanja juga ya?" tanyaku sok ramah.

"Kamu kenal, Yang?" Belum lagi Mita menjawab pertanyaan. Pria itu bertanya duluan.

"Mmmmm,  mmmm itu loh. Teman kampus nggak terlalu kenal kok," jawabnya gugup dan berbohong. Sejak kapan aku jadi teman kampusnya? 

Hah, ternyata pasangan. Di panggil sayang segala. Apa nggak malu kemall begini. Gimana kalau teman kampusnya ada yang melihat.

Aku tak memperpanjang lagi beramah tamah. Kini giliran mereka yang membayar. Cukup banyak belanjanya.

Pura-pura Aku mengeluarkan ponsel, ku arahkan pada mereka. Untuk mengambil gambarnya.

"Mari!" ucap pria itu ramah. Mita tak lagi menoleh, ia langsung melengos pergi. Rasanya aku ingin tertawa melihatnya. Ternyata adik iparku adalah sugar baby. 

Selesai belanja aku pergi Ke salon langgananku dulu. Tiga tahun Aku tak pernah kesini lagi. Apa karyawannya masih mengenaliku ya?

Aku masuk kedalam, banyak pengunjungnya. Aku duduk di sofa yang disediakan.

Nyantai dululah, sambil lihat-lihat model rambut terbaru. Ku ambil majalah yang terletak di atas meja.

Aku mendengar suara yang tak asing. 

Ya salam! 

Hari apa sih ini? bertemu sama tiga orang yang sudah menyakitiku. Kulihat ibu berbicara dengan salah satu karyawan. Secepatnya kubuka majalah untuk mentupi wajahku, lalu pura-pura membaca. 

"Ibu, kalau nggak sanggup nggak usah nyalon, Bu!" ucap karyawan yang bertulang lunak itu. 

What? Ibu ini, malu-maluin deh.

"Heh, Bella, Saya ini mampu bayar ya. Hanya saja dompet saya ketinggalan," bentak ibu. Tampak sekali dia malu namun menutupinya dengan berbohong. 

Menarik ini. Pikirku. 

"Halah, alasan. Memang ada kok Bu orang miskin yang sok kaya. Ibu itu sudah merugikan Kami, tahu!" Bella tak percaya sama sekali. 

"Saya kan bayar, hanya minta tempo, karena dompet saya nggak ada." Ibu mertua masih ngotot.

"Lagian cuma dua juta saja, kecil buat saya," lanjutnya lagi. 

Ckckck

"Ternyata begini kelakuan ibu diluar. Pura-pura nyalon terus bilang dompetnya tinggal." Aku segera berdiri mendekati mereka. Ibu cukup terkejut melihat aku ada disitu. 

"Mbak kenal orang ini?" tanya karyawan itu padaku seraya menunjuk ibu mertua. Aku mengangguk. 

"Tidak, saya tidak mengenal dia." Ibu menunjuk aku. Aku hanya tersenyum. "Heh, Kamu jangan ikut campur ya!" Ia menatapku sinis. Pasti malu kepergok samaku.

"Ada apa ini, Bel?" Tante Erika pemilik salon ini menghampiri kami.

"Ini, Bu. Ibu ini sudah selesai nyalon tapi nolak untuk bayar," jawab Bella dengan gaya khasnya. 

Wajah ibu memerah, mungkin malu dan menahan amarah. "Bu-bukan nggak mau bayar, Bu. Saya hanya minta tempo, karena dompet ketinggalan," alasan ibu. 

Tante Erika mendekat, dia belum melihatku.

"Maaf, Bu. Disini tak ada kasbon. Silahkan ibu hubungi keluarga ibu untuk antar uangnya, kalau tidak, Ibu tak boleh keluar dari sini!" Jelas Tante Erika. Kulihat ibu menunduk. Kasihan sekali. 

"Loh, Riri!" Tante Erika menatapku senang. Ia baru menyadari ini ada aku disini. 

Aku balas tersenyum. "Iya Tante," balas ku. 

Ia memelukku dan cipika cipiki. "Kemana saja? Sudah ah lama nggak kesini? Oh ya, katanya Kamu sudah menikah, Ri. Siapa pria beruntung itu Ri?" Beginilah Tante Erika kalau bertemu, pasti banyak pertanyaan. 

Sejenak ia lupa ada ibu dan Bella di dekat kami. Kulihat ibu mertua menatap heran pada kami. Mungkin dia kaget melihatku begitu akrab dengan Tante Erika pemilik salon ini.

"Duduk dulu, Ri! Nanti kita bicara. Tante sampai lupa menyelesaikan ini." Dia mempersilahkan aku duduk. 

"Bu, bisa hubungi keluarga atau siapapun untuk menyelesaikan pembayaran," ucap Tante Erika lagi pada ibu.

"Baik, tunggu saya hubungi anak saya." balas ibu. Mungkin ia sudah malu kupergoki disini.

Aku tetap santai menunggu tante Erika menyelesaikan masalahnya. 

Tak begitu lama, muncullah Mita, tapi dia sendirian. Dia langsung mendatangi ibunya dan membayar biaya salonnya. Setelah itu mereka langsung menuju keluar. 

"Tunggu, Mit!" Ibu menghentikan langkahnya tepat di dekatku. Pasti mau menghina ini. Batinku. 

"Lihat, aku bisa membayar uang salonku. Dan, Kamu. Bisa ya gembel masuk kesalon ini?" Ia menatapku sinis seolah lupa dengan kejadian barusan. 

Dengan pakaian mahal ini, aku disebut gembel? Dasar gila!

"Udah, Bu. Ayo kita pergi!" Mita menggamit lengan ibunya. Aku tau pasti dia takut aku akan mengatakan apa yang terlihat tadi di mall. 

Si ibu enggan beranjak. "Lihatlah Mit, mungkin dia sudah menjadi simpanan tua bangka sekarang." Dia semakin menjadi. Masih suka menghinaku. 

"Aku atau Mita yang jadi simpanan tua bangka, Bu?" bertanya. Aku tak perlu berdiri meladeninya. 

dia adalah. "Apa Kau bilang?" dengan mode emosi ia ingin mendekatiku. 

"Upss, keceplosan. Hehe..." Aku menutup mulutku lalu tertawa. 

"Ibu, ayo pergi! Kalau Ibu tidak mau, aku tak akan membantu Ibu lagi mulai saat ini!" Ancam Mita memberi peringatan pada ibunya. Mita keluar dari peninggalan yang masih tampak kesal. 

"Awas, Kau Riri. Aku akan membalasmu!" ancamnya lalu pergi. 

"Huuu takut!" jawab ku kemudian tertawa. 

Tbc

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kedua    Semangat Demi Adelia

    Pernikahan Kedua (Ending) Semangat Demi AdeliaBab 150Kondisi Adelia benar-benar drop kali ini. Bahkan bobotnya turun drastis, hal itu sangat membuat kedua oran tuanya sedih, terlebih sang mama."Dok, apakah proses kelahiran anak ketigaku bisa di percepat?" Risti mendatangi dokter kandungan langganannya."Bisa saja, Bu. Tapi tentunya harus cesar. Apa ini terkait dengan kesehatan Adelia?" tanya Dokter Tiara.Risti yang bewajah sedih itu mengangguk disertai buliran bening yang turut meluncur di kedua pipinya. Dia mengusap dengan ujung jarinya."Baiklah, akan saya pastikan kapan waktu yang pas," kata Dokter Tiara. Dia, sangat memahami kondisi pasiennya ini sekarang. Tentu tidak mudah untuknya menghadapi ini. "Di usia kehamilan tiga puluh delapan minggu kita akan lakukan operasinya, saya tinggal mempersiapkan harinya saja," lanjut Dokter Tiara. "Baik, Dok. Saya permisi!" Risti pun pergi kembali keruangan dimana putrinya di rawat. "Aku sudah memutuskannya. Dua minggu lagi aku akan me

  • Pernikahan Kedua    Masa Lalu Yang Datang

    Pernikahan Kedua Masa Lalu Yang DatangBab 149"Oh ayolah, ini sudah hampir jam masukmu, Sayang!" Risti sedang memegang seragam sekolah Liu yang akan di pakaikan, namun Liu selalu menghindarinya. Entah sudah keberapa kali bujukan ini keluar dari bibir ibu dari dua anak itu."No, mama! Liu mau pindah sekolah saja." Dia menolak dengan tegas. Dia ternyata tidak main-main dengan ucapannya semalam."Kenapa harus pindah?" Risti bertanya lagi apa alasan putranya itu sebenarnya."Miss Sarah genit, dia mau merebut papa dari mama," katanya tegas.Risti yang sedang berdiri memegang baju sekolah Liu itu pun dibuat tak percaya oleh jawaban anaknya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu.Liu berdiri di atas sofa menghindari sang mama yang sedang memaksanya memakai baju sekolah. Liu kini hanya memakai cd dan kaos tak berlengan saja.Risti mendesah. Anaknya ini memang susah untuk membujuknya. "Lalu apa yang akan Kau lakukan dirumah seharian ini?" Risti bertanya untuk memancingnya lagi."Aku akan

  • Pernikahan Kedua    Jangan Sentuh Papaku

    Pernikahan Kedua Jangan Sentuh Papaku! Bab 148Setelah dari rumah sakit keluarga itu langsung menuju mall, untuk menunaikan janji mereka.Adelia dan Liu boleh memilih apa saja untuk mereka dan bermain apa saja. Mereka begitu riang, terutama Liu yang sangat aktiv. Tony harus extra mengawasinya sedangkan Adelia hanya bermain yang ringan saja karena tidak boleh terlalu lelah."Hai Liu tampan!" O ow, semua menoleh ke asal suara sapaan itu terdengar."Oh, Hai Miss Sarah!" balasnya datar. Dia memang suka dibilang tampan, tapi Liu tidak menunjukkannya, dia bersikap seolah sudah dewasa."Kebetulan sekali kita bertemu disini. Oh iya, apa ini Daddymu?" Miss Sarah tak dapat untuk bertanya kala melihat Tony. Dia memang tahu, hanya basa basi saja karena terpesona dengan Tony yang terlihat matang. Meski sudah berusia empat puluham Tony memang terbilang masih macho, kekuatan uang menambah pesonanya."Bukan, dia papaku." Liu menjawab dengan dingin. Miss Sarah tertawa, dia terlalu gemes dengan a

  • Pernikahan Kedua    Mama Takut Papa Akan Lari

    Pernikahan Kedua Mama Takut Papa Akan LariBab 147Tidak terasa waktu terus bergulir. Risti telah melewati trimester pertamanya dan trimester kedua pun akan segera berakhir. Kini kehamilannya sudah berusia enam bulan. Adelia belum pernah lagi di rawat di rumah sakit. Hanya mengkonsumsi obat di rumah secara rutin dan kontrol rutin kepada dokternya yang datang khusus kerumah.Meski banyak drama setiap kali ingin meminum obatnya. Bayangan rumah sakit selalu menjadi momok menakutkan untuknya dan itu menjadi andalan mereka, Adelia akan takut bila dikatakan akan dibawa ke rumah sakit lalu akan meminum obatnya. Hari ini mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus ingin mengetahui jenis kelamin bayi ketiga mereka.Tony sudah tidak sabar ingin segera mengetahuinya. "Kira-kira apa ya Yang?" tanyanya seraya mempersiapkan diri. Dia baru saja selesai mandi dan tubuhnya hanya dibalut handuk saja. Risti duduk di depan meja rias, untuk mempercantik penampilannya. "Apapun itu, aku tidak terlalu p

  • Pernikahan Kedua    Terlalu Posesif

    Pernikahan Kedua Terlalu PosesifBab 146Tidak mudah memang membuat kedua bocah itu mengerti. Segala apapun yang ditawarkan sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengena dihati mereka.Di tawarkan ice cream, mainan serta ke taman hiburan, keduanya kompak menggeleng sambil mengerucutkan bibir.Sang papa sampai mengusap wajahnya berulang kali melihat kedua bocahnya yang tidak bisa menerima bahwa mereka akan punya adik.Risti tidak terlalu ambil pusing dia masih bisa tersenyum dan mengusap lengan suaminya. "Udah nggak usah di pikirin, Yang. Biasa itu terjadi, nanti pelan-pelan kita kasih penjelasan pasti ngerti." kata Risti menenangkan suaminya. "Kamu lihat itu bibir maju semua, heran aku, anak siapa sih mereka? Perasaan aku nggak gitu deh Yang," gerutu Tony."Haha, emang Kamu ingat Yang, Kamu pikir aku gitu? Aku ini anak yang baik budi loh waktu kecil, bahkan sampai dewasa?" tanya Risti tak percaya.Tony menggedikkan kedua bahunya.Kini mereka telah sampai dirumah. Kedua anakn

  • Pernikahan Kedua    Astaga Sayang, Bagaimana Ini?

    Pernikahan Kedua Astaga Sayang! Bagaimana Ini? Bab 145Tidak ada cara yang bisa membujuk Liu malam itu. Risti menemaninya di kamar bermain sebentar dan membacakan dongeng sebelum Liu tertidur.Risti bangkit dari tempat tidur setelah merasa Liu sudah terlelap. Dia segera beranjak keluar. Harus melihat kondisi putrinya. "Yah, Ras! Aku pergi dulu, kalau Liu bangun sebisa mungkin bujuk dia ya!" ucap Laras. Dia akan menyetir sendiri malam ini karena suaminya sudah pergi sejak tadi."Hati-hati Ris!" pesan ayahnya sebelum Risti berangkat. Liu benar-benar hanya ingin mamanya, bahkan dengan Tony pun dia tidak mau. Dia seperti anak yang takut di tinggalkan oleh sang mama. Tidak butuh waktu yang lama, Risti telah sampai dirumah sakit, dia langsung menuju kamar rawat Adelia. Disitu sudah ada suaminya yang sedang menatap putrinya dalam diam.Dia langsung menghampiri putrinya. "Bagaimana keadaannya, Sayang?" tanyanya sambil menatap wajah lelap Adelia. "Dia gelisah terus, mau tak mau dokter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status