Bertemu Tiga Orang Menyebalkan
Bab 3"Kenapa repot-repot mengantarnya? Bukannya mengantar berkas perceraian itu dari pihak pengadilan?" Aku menatap Mas Tama. Dia menghubungiku untuk memberikan berkas perceraian. "Aku tak tau alamatmu, Ri. Kamu kan tidak pernah mengenalkan siapa keluargamu padaku." Ah, ya betul juga apa katanya. "Kurasa itu tak penting lagi sekarang," jawabku cepat. Mas Tama tertawa. Aku heran apa yang dia tertawakan. Apa aku terlihat lucu di matanya? "Memangnya kamu punya keluarga, tapi... Dari penampilanmu, Kau sepertinya tinggal ditempat yang layak." Dia memperhatikanku dari atas hingga bawah. Mungkin dia sudah melihat perubahanku. Aku memang memakai pakaian mahal, tas dan sepatu juga. Ini dibelikan mama kemarin untukku."Atau jangan-jangan uang yang Kau rampas dari ibu masih Kau simpan? Mana cepat kembalikan!" Bisa-bisanya dia berpikir aku mengambil uang ibunya. Dasar sinting! Ternyata Mas Tama ini terhasut oleh keluarganya. Baiklah mari kita lihat apa dia percaya ucapanku."Riri?" Suaranya sedikit naik. Karena aku hanya diam saja."Aku nggak pernah mengambil uang ibumu, Mas," sanggahku."Bohong! Ibu sudah cerita semuanya. Kalau selama ini Kamu merampas uangnya saat aku dikantor." Mas Tama ngotot kalau aku sudah mengambil uang ibunya."Ternyata selain polos, Kamu juga bego, Mas." Kupancing sekalian emosinya. Aku meletakkan uang minuman di atas meja lalu meninggalkannya. Dia pun bangkit dan mengikutiku."Riri, Riri! Apa maksudmu? Ternyata setelah bercerai dariku, Kau jadi....""Jadi apa?" potongku cepat."Aaakhh... sudahlah, cepat sini uangnya. Uang bonus itu tidak sedikit Riri. Cepat kembalikan padaku!" ternyata dia masih mengira aku mengambil uang ibunya."Jangan jadi jahat karena sekarang Kamu sudah kuceraikan, Ri. Tolong hargai jerih payahku selama ini. Kamu sudah aku beri 30 juta. Cepat kembalikan uang yang Kamu ambil dari ibu!" Ia terus memaksa. Segitu yakinnya dia kalau aku yang mengambil uang ibunya.Dia pikir aku tak tau uang itu tak mungkin hilang, pasti sudah ludes untuk bayar hutang. Dasar ibu! "Mas Tama, uang tiga puluh juta sudah kubelikan motor Cash, dan motor itu ada pada kalian, Aku tak menikmatinya sedikitpun. Dan uang yang Kau berikan pada ibu. Maaf sedikitpun aku tak pernah menyentuhnya," ucapku tegas dan jelas. Aku melangkahkan kaki menuju parkiran. Tidak ingin bertengkar didepan umum. Bisa jadi viral nanti. Sedangkan aku ini calon pebisnis. Ia mematung setelah mendengar jawabanku. Harusnya dia mencari kenyataan dulu, bukan asal tuduh begini.Salah aku mau menikahinya dulu, Ternyata dia tak sebijak yang kupikir. Bisanya aku tertipu. Aku masuk kedalam mobilku. Ia tampak terkejut melihatku masuk kedalam mobil. Melongo tak percaya. Aku memperhatikannya dari dalam mobil.Mungkin dia syok. Matanya terus saja melihat kearahku tanpa berkedip.Hah, kaget Kamu, Mas? Ini belum seberapa, Mas. Masih ada kejutan lainnya. Batinku. Kumundurkan mobil, lalu keluar dari area parkiran cafe. Tak terasa air mataku menetes lagi. Tak semudah itu memang aku lupa. Tetap saja sakit bila teringat talak yang ia ucapkan padaku. Kulirik amplop coklat di sampingku. Benar-benar akan berakhir pernikahanku.Ckiiiiiiiittttttt!!!!!Astagfirullah, hampir saja aku menabrak mobil yang menyalipku lalu tiba-tiba berhenti.Apa dia tak tau aturan lalu lintas? Ku netralkan napasku yang masih memburu. Setelah normal aku langsung turun. Kulihat Mas Tama berdiri di pintu mobilnya. Oh, jadi dia mengejarku? Aku menghampirinya. "Apa maksudmu, Mas? Apa kau mau membunuhku juga?" Aku menatap nyalang matanya. Seandainya aku punya napas api seperti naga. Sudah kuhembus ia dengan napasku. "Riri, Aku hanya minta uangku," jawabnya enteng tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Kau, sudah seperti pengemis, Mas. Sudah kubilang, aku tak memegang uangmu. Paham?" Rasanya ingin kucabik-cabik pria didepanku ini. "Aku nggak percaya. Lihat itu gaya sama mobilmu, itu pasti uang bonusku yang kusimpankan sama ibu." Masih tetap ngeyel. Aku menyunggingkan senyum padanya. Bukan ingin meremehkan tapi pria satu ini memang kelewatan, hampir membuat celaka. Ngotot lagi minta uangnya dikembalikan. "Mas, Mas. Apa Kamu nggak tau mobil ini harganya berapa? Bonusmu itu cuma 100 juta, sedangkan mobil ini sepuluh kali lipat dari bonusmu." Aku hampir tertawa jadinya. Konyol sekali mantan suamiku ini. Pasti dia heran dari mana aku tau jumlah bonusnya. Sedangkan dia tak pernah memberitahukannya padaku. Dia lebih terbuka masalah keuangan dengan ibu dan adiknya ketimbang denganku istrinya. "Cuma katamu? Lalu ini moobil siapa? Kamu pasti jual dirikan untuk dapat mobil ini?"Ya salam! "Tadi Kau menuduhku mengambil uangmu, sekarang Kau menuduhku jual diri!? Sebenarnya apa arti diriku selama tiga tahun ini, Mas. Aku tak percaya. Mas tak mengenaliku sama sekali." Aku menggelengkan kepala tak percaya. "Justru itu, Aku tertipu, Kau sok polos dan baik didepanku, ternyata..." dia menghentikan kalimatnya. "Apa?" tantangku. Dia membuang muka seraya tersenyum meremehkan. "Sudahlah, Riri. Ku pikir Aku akan menyesal menceraikanmu. Tapi Ternyata Aku beruntung. Benar kata ibuku, Kau itu hanya benalu dirumah kami." PlakkTak tahan lagi aku dengan hinaan darinya. Serendah itu aku dimata mereka, padahal aku bersedia mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari tanpa bantuan siapapun. Adiknya hanya pergi keluar menghamburkan uang dan berlagak seperti orang kaya. "Barani, Kau!?" ia hendak membalasku. Namun tangannya di tahan oleh seseorang. Gilang?Kenapa dia ada disini? ini kan masih jam kerja. Kulihat kearah jalan. Ada mobil papa terparkir agak jauh dari mobilku. "Mmm, Pa-Pak Gilang!?" Mas Tama cukup terkejut, hingga iapun jadi gugup."Iya, kenapa? Saya lihat Kamu berlaku kasar pada wanita. Makanya Saya kesini," jawab Gilang matanya terus menatap Mas Tama."Ma-maaf, Pak! Ini istri saya, Kami punya masalah keluarga. Lagi pula dia yang duluan menampar saya." Masih berusaha membela diri dia."Tak seharusnya Kamu membalasnya. Kalau ada masalah, silahkan selesaikan dengan kepala dingin!" Nasehat Gilang. "Anda! Silahkan pergi dari sini!" Gilang menunjukku. What? Dia berani mengusirku? Awas nanti Kamu Gilang? "Tunggu apa lagi, cepat pergi!""Iya-iya," Aku mengerucutkan bibirku sambil berjalan menuju mobil. Meninggalkan mereka berdua.Kulirik sekilas mobil papa yang kacanya tertutup rapat. Aku lebih baik menghibur diri. Ke mall sepertinya enak, sekalian cari baju kerja.Aku parkir diruang bawah tanah, kemudian naik lift ke atas. Langsung aku menuju outlet pakaian. Kemeja menjadi tujuanku. Sudah lima baju yang ku pilih, sepertinya cukuplah ini. Tinggal mencari bawahan dan sepatu.Setelah dapat semua, Aku mendorong troli ke arah kasir. "Mita?" Aku melihat Mita berdiri di depan kasir bersama pria paruh baya. Lelaki itu memegang pinggangnya seperti pasangan serasi. Mereka juga masih mengantri masih ada dua orang didepannya. Bagaimana kalau kutunjukkan saja diriku. Kira-kira apa reaksinya ya. Ide itu muncul dikepalaku. "Mbak, baju saya yang ini tolong ditukarkan warnanya ya, Saya mau warna hijau tosca saja!" sengaja kupanggil penjaganya.Mita langsung menoleh kebelakang, matanya membulat, namun cepat berbalik. Aku tau dia pasti malu karena aku melihatnya dengan pria tua itu. "Eh, Mit. Belanja juga ya?" tanyaku sok ramah."Kamu kenal, Yang?" Belum lagi Mita menjawab pertanyaan. Pria itu bertanya duluan."Mmmmm, mmmm itu loh. Teman kampus nggak terlalu kenal kok," jawabnya gugup dan berbohong. Sejak kapan aku jadi teman kampusnya? Hah, ternyata pasangan. Di panggil sayang segala. Apa nggak malu kemall begini. Gimana kalau teman kampusnya ada yang melihat.Aku tak memperpanjang lagi beramah tamah. Kini giliran mereka yang membayar. Cukup banyak belanjanya.Pura-pura Aku mengeluarkan ponsel, ku arahkan pada mereka. Untuk mengambil gambarnya."Mari!" ucap pria itu ramah. Mita tak lagi menoleh, ia langsung melengos pergi. Rasanya aku ingin tertawa melihatnya. Ternyata adik iparku adalah sugar baby. Selesai belanja aku pergi Ke salon langgananku dulu. Tiga tahun Aku tak pernah kesini lagi. Apa karyawannya masih mengenaliku ya?Aku masuk kedalam, banyak pengunjungnya. Aku duduk di sofa yang disediakan.Nyantai dululah, sambil lihat-lihat model rambut terbaru. Ku ambil majalah yang terletak di atas meja.Aku mendengar suara yang tak asing. Ya salam! Hari apa sih ini? bertemu sama tiga orang yang sudah menyakitiku. Kulihat ibu berbicara dengan salah satu karyawan. Secepatnya kubuka majalah untuk mentupi wajahku, lalu pura-pura membaca. "Ibu, kalau nggak sanggup nggak usah nyalon, Bu!" ucap karyawan yang bertulang lunak itu. What? Ibu ini, malu-maluin deh."Heh, Bella, Saya ini mampu bayar ya. Hanya saja dompet saya ketinggalan," bentak ibu. Tampak sekali dia malu namun menutupinya dengan berbohong. Menarik ini. Pikirku. "Halah, alasan. Memang ada kok Bu orang miskin yang sok kaya. Ibu itu sudah merugikan Kami, tahu!" Bella tak percaya sama sekali. "Saya kan bayar, hanya minta tempo, karena dompet saya nggak ada." Ibu mertua masih ngotot."Lagian cuma dua juta saja, kecil buat saya," lanjutnya lagi. Ckckck"Ternyata begini kelakuan ibu diluar. Pura-pura nyalon terus bilang dompetnya tinggal." Aku segera berdiri mendekati mereka. Ibu cukup terkejut melihat aku ada disitu. "Mbak kenal orang ini?" tanya karyawan itu padaku seraya menunjuk ibu mertua. Aku mengangguk. "Tidak, saya tidak mengenal dia." Ibu menunjuk aku. Aku hanya tersenyum. "Heh, Kamu jangan ikut campur ya!" Ia menatapku sinis. Pasti malu kepergok samaku."Ada apa ini, Bel?" Tante Erika pemilik salon ini menghampiri kami."Ini, Bu. Ibu ini sudah selesai nyalon tapi nolak untuk bayar," jawab Bella dengan gaya khasnya. Wajah ibu memerah, mungkin malu dan menahan amarah. "Bu-bukan nggak mau bayar, Bu. Saya hanya minta tempo, karena dompet ketinggalan," alasan ibu. Tante Erika mendekat, dia belum melihatku."Maaf, Bu. Disini tak ada kasbon. Silahkan ibu hubungi keluarga ibu untuk antar uangnya, kalau tidak, Ibu tak boleh keluar dari sini!" Jelas Tante Erika. Kulihat ibu menunduk. Kasihan sekali. "Loh, Riri!" Tante Erika menatapku senang. Ia baru menyadari ini ada aku disini. Aku balas tersenyum. "Iya Tante," balas ku. Ia memelukku dan cipika cipiki. "Kemana saja? Sudah ah lama nggak kesini? Oh ya, katanya Kamu sudah menikah, Ri. Siapa pria beruntung itu Ri?" Beginilah Tante Erika kalau bertemu, pasti banyak pertanyaan. Sejenak ia lupa ada ibu dan Bella di dekat kami. Kulihat ibu mertua menatap heran pada kami. Mungkin dia kaget melihatku begitu akrab dengan Tante Erika pemilik salon ini."Duduk dulu, Ri! Nanti kita bicara. Tante sampai lupa menyelesaikan ini." Dia mempersilahkan aku duduk. "Bu, bisa hubungi keluarga atau siapapun untuk menyelesaikan pembayaran," ucap Tante Erika lagi pada ibu."Baik, tunggu saya hubungi anak saya." balas ibu. Mungkin ia sudah malu kupergoki disini.Aku tetap santai menunggu tante Erika menyelesaikan masalahnya. Tak begitu lama, muncullah Mita, tapi dia sendirian. Dia langsung mendatangi ibunya dan membayar biaya salonnya. Setelah itu mereka langsung menuju keluar. "Tunggu, Mit!" Ibu menghentikan langkahnya tepat di dekatku. Pasti mau menghina ini. Batinku. "Lihat, aku bisa membayar uang salonku. Dan, Kamu. Bisa ya gembel masuk kesalon ini?" Ia menatapku sinis seolah lupa dengan kejadian barusan. Dengan pakaian mahal ini, aku disebut gembel? Dasar gila!"Udah, Bu. Ayo kita pergi!" Mita menggamit lengan ibunya. Aku tau pasti dia takut aku akan mengatakan apa yang terlihat tadi di mall. Si ibu enggan beranjak. "Lihatlah Mit, mungkin dia sudah menjadi simpanan tua bangka sekarang." Dia semakin menjadi. Masih suka menghinaku. "Aku atau Mita yang jadi simpanan tua bangka, Bu?" bertanya. Aku tak perlu berdiri meladeninya. dia adalah. "Apa Kau bilang?" dengan mode emosi ia ingin mendekatiku. "Upss, keceplosan. Hehe..." Aku menutup mulutku lalu tertawa. "Ibu, ayo pergi! Kalau Ibu tidak mau, aku tak akan membantu Ibu lagi mulai saat ini!" Ancam Mita memberi peringatan pada ibunya. Mita keluar dari peninggalan yang masih tampak kesal. "Awas, Kau Riri. Aku akan membalasmu!" ancamnya lalu pergi. "Huuu takut!" jawab ku kemudian tertawa. TbcNirmalaBab 4Waktu begitu cepat berlalu, Aku menggeliatkan tubuhku. Hari ini aku harus cepat kekantor, ada rapat mengenai proyek dengan Buana Corp."Semangat! Semangat!" monologku. "Sarapan dulu, Ri! Ini Mama buatin nasi goreng khusus untukmu." Mama menungguku dibawah tangga. Ia memang paling peduli takut anaknya yang imut ini pergi tanpa sarapan. "Riri ingin cepat loh, Ma." Aku melirik arlojiku. Sudah pukul 7.30, waktu kekantor kurang lebih 30 menit, itupun kalau tidak macet."Pokoknya sarapan dulu sebelum berangkat!" katanya tegas."Ih, Mama." Mama tak peduli ia mendorongku kemeja makan."Kamu tinggal makan saja, susah Ri." sambut papa yang juga sedang sarapan."Riri takut telat, Pa. Katanya Rapatnya jam sembilan, nanti disana nyusun ini itu, sudah makan waktu lama," jawab ku. Mama menyendok nasi goreng kedalam piringku. Baru ia duduk dan mengambil bagiannya sendiri.Kok aku kayak jadi anak kecil ya. Di perlakukan manja. Padahal sudah calon janda ini. Tapi aku senang, kasih saya
Sidang PertamaBab 5 Usai makan siang, kami langsung terjun ke tempat pembangunan proyek. Berangkat berempat dengan mobil kantor. Gilang sebagai sopirnya. "Itu tadi pacarmu, Nir?" tanya Risti memecah kesunyian di dalam mobil. Aku pura-pura fokus menscroll Sosmedku. Gilang pun tampak santai sambil menyetir."Calon suami?" jawab Nirmala. Sepertinya dia senang. "Tampan ya, maneger lagi. Beruntung banget, Kamu Nir," puji Risti. Memang Mas Tama seorang maneger disini. Itu karena permintaanku dulu pada papa agar menaikkan sedikit jabatannya. Setelah kami menikah. "Alhamdulillah, Ris. Keluarganya juga baik, sayang sama aku." ucap Nirmala. Dari bicaranya mungkin mereka sudah kenal cukup lama. "Tunggu apa lagi, buruan dihalalin. Ntar diambil orang loh!""Belum bisa, Ris.""Loh, kok?""Mas Tama itu belum resmi cerai dari istrinya." Suara Nirmala mengecil. Tidak tau dia akulah istri pria pujaannya itu."Jadi, Kamu berhubungan sama suami orang? ya ampun Nirmala. Itu sama saja Kamu dengan pel
Pernikahan KeduaNirmala HamilBab 6Berpapasan dengan beberapa karyawan membuat ekspresiku berubah. Pasalnya ada yang melihat tersenyum, namun lebih banyak yang sinis. Ini pasti karena hari pertama aku dekat dengan papa. Mereka mengira aku ini benar selingkuhan bos mereka. Terkadang lucu juga.Berbelok menuju ruang kesehatan. Aku membetulkan bentuk kacamata. Kali ini aku pakai yang bening. Norak juga kalau pakai yang hitam di dalam kantor. Seperti orang yang mau liburan di pantai."Mas, Kamu harus segera nikahi aku!"DegAku tak jadi membuka pintu yang handlenya sudah kupegang. Didalam ternyata sudah ada Mas Tama."Iya, Sayang. Mas pasti akan menikahi, Kamu. Mas, kan sudah janji. Pokoknya secepatnya," balas Mas Tama. Kenapa aku perih mendengarnya? Ada apa sebenarnya ini? Aku mulai menduga hal yang sensitif pasti terjadi. "Pokoknya secepatnya, Mas. Jangan sampai Ayah tau aku hamil." Terdengar suara Nirmala yang memaksa. Apa? Hamil? Benar dugaanku."Stttt, jangan keras - keras, na
Pernikahan Kedua BerantamBab 7Pov RiriRisti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. "Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. "Hahahaha....!" tawa me
Pernikahan KeduaBenarkah Aku yang Mandul? Bab 8Kupakai kaca mata hitam keluar dari mall. Sepertinya mereka mengikuti, biarkan saja. Biar mereka lihat mobil Bantley Continental milikku. "Riri, tunggu!" panggil ibu mertua mengejarku. "Ada apa, Bu? Belum puas menertawakan saya?" Kuhentikan Langkahku. "Sebenarnya, Kamu ini siapa? Bukannya, Kamu ini susah saat sama Tama?" tanyanya. Sepertinya dia penasaran. "Iya memang, saya susah waktu tinggal dirumah ibu, sekarang tidak lagi. Maaf, saya harus pergi!" Cepat aku melangkah meninggalkannya. "Riri, tunggu dulu!" ia menarik tanganku. "Kamu jadi simpanan ya, makanya secepat ini berubah?" tuduhnya. What? Dia bilang aku simpanan? "Bu, jangan asal bicara ya? Saya ini wanita terhormat." Aku tak terima dibilang simpanan. "Halah, jangan munafik deh, Mbak. Jaman sekarang, itu banyak terjadi kok. Lagian nggak mungkin kan secepat itu Mbak Riri kaya raya." Mita ikut-ikutan memojokkanku. "Seperti, Kamu gitu?" Kubalik perkataannya. Plak"Lan
Peenikahan KeduaMenganggap RendahBab 9Pov Riri.Setelah proses mediasi gagal sidang akan di gelar satu kali lagi. Kurasa tak perlu lagi bersembunyi dari Mas Tama. Toh, keputusan untuk cerai pun sudah bulat. "Selamat pagi, Bu!" sapa Risti dan Nirmala bersamaan."Pagi!" jawabku sambil terus berjalan menuju kursi. "Gilang belum datang?" tanyaku. Soalnya hari ini akan ada peninjauan proyek yang dibangun bersama Buana Corp."Belum, Bu," jawab Risti."Bu, apa aku bisa tidak ikut hari ini?" Nirmala bertanya."Kenapa, Nir? Ini proyek penting loh," tanyaku balik. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan dipindahkan kekantor pusat. Tentunya gajipun akan ditambah juga bonus dari proyek akan mereka dapatkan.Kulihat Nirmala gelisah, seperti takut untuk mengutarakan alasannya. Apa ini ada hubungannya dengan kehamilannya? "Begini, Bu. Saya ada acara keluarga nanti malam, saya ingin izin setengah hari saja," ucapnya kemudian."Maaf, Nir. Dengan berat hati saya tolak izin Kamu. Kita sudah hampir
Pernikahan KeduaSyok TamaBab 10Pov Tama"Kamu kenapa diam saja diperintah sama og itu?" tanyaku pada Nirmala. Entah kenapa ia mendadak diam saat berhadapan dengan Riri."Mas, nanti saja kita bahas, aku harus masuk segera," tolak Nirmala. Aku menahan tangannya."Tunggu! Jangan takut sama dia," ucapku. Tiba - tiba aku berpikirApa mungkin Riri sudah mengancam Nirmala atau mengatakan kalau dia bekas istriku."Mas, nanti siang saja kita ngobrol, aku nggak mau gara-gara nggak disiplin waktu aku gagal di pindah kesini. Ini saatnya aku buktikan, Mas." Nirmala menatap mataku memohon agar aku mengizinkannya masuk. Memang dia disini karena ikut membantu proyek, bila hasilnya memuaskan maka ia dan temannya akan di pindah kesini. Akan semakin memudahkan kami untuk bertemu. Tak salah aku membuang Riri, sekarang aku dapat Nirmala, yang selevel dengan keluarga kami."Siang, kita makan bareng ya?" Aku memastikan lagi ucapan Nirmala."Iya, iya, Mas juga kerja sana!" Dia cemberut namun menurutk
Pernikahan KeduaBab 11 PembuktianPov TamaAku sudah rapi dengan pakaian kerjaku, pagi ini akan kutanyakan uang itu pada ibu.Kulihat ibu duduk sendiri di meja makan, pasti Si Mita belum bangun. Baguslah, biar ini jadi urusanku sama ibu saja. "Bu, dimana uang yang ibu ambil itu?" Aku tak ingin mengulur waktu, karena aku sudah merasa was-was kedepannya nanti. Apalagi ini memakan waktu sepuluh tahun, belum tau lagi nasibku gimana. Bisa jadi kapan saja aku dipecat dari kantor."Sudah ibu buat seserahan untuk Nirmala," jawab ibu. Ia tetap melanjutkan sarapannya. Sedangkan aku, sama sekali tak berselera."Untuk Nirmala tidak sampai separuh dari yang yang ibu ambil, sisanya lebih banyak loh, Bu.""Uangnya ibu masukin tabungan ibu, Tam, biar aman." Ibu tersenyum menatapku."Kenapa ambil terlalu banyak, Bu. Bulananya sangat membebaniku, Bu." Jujur saja kukatakan keresahan hatiku."Kamu keberatan?""Ya iyalah, Bu. Ibu kan tau gajiku lima belas juta sebulan, untuk bayar bulanannya saja sud