Share

Ikut Ke Perusahaan

Ikut Ke Perusahaan 

Bab  2

Sudah tiga hari aku berada dirumah mama. Selama itu pula aku tak pernah keluar rumah. Biarlah kunikmati dulu keadaanku ini. Sebelum aku terjun lagi kedunia luar. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin kembali bergabung di perusahaan papa.

Selama tiga hari pula Mas Tama tak ada berusaha menghubungi. Kebencian seperti apa yang ditanamkan adik dan ibunya? 

Cintanya selama ini ternyata tak cukup untuk mengalahkan hasutan keluarganya. 

"Gimana perasaanmu, Nak?" Papa menghampiriku yang sedang duduk di teras menghadap taman mama.

Aku menoleh pada papa. Ia duduk disebelah. 

"Riri sudah lebih baik, Pa. Tapi, masih sering teringat," jawabku jujur. Tak kupungkiri, kenangan tiga tahun itu sering menghinggapiku.

"Itu wajar, Sayang! Belajarlah memaafkan agar setiap kenangan itu muncul tak ada lagi rasa sakit dihati. Justru keikhlasan dan penerimaan atas apa yang sudah terjadi." Nasehat papa. Aku memeluknya dari samping. Inilah yang aku salut pada orangtuaku a. Tak pernah sekalipun mengajak pada kebencian. Justru selalu menguatkan dan menasihati untuk dewasa dan memaafkan. 

Beruntungnya aku memiliki orang tua yang punya pemikiran seperti mereka. Sekilas kurutuki diriku yang tak mendengar nasehat mereka dulu. Sampai-sampai aku nekat menjauh dari mereka demi menikah dengan Mas Tama.

Teringat aku setahun usia pernikahan kami, aku ingin mengatakan yang sejujurnya pada keluarga Mas Tama, siapa aku, dan dari Keluarga mana, dan berniat membawa Mas Tama kerumah papa.

Melihat sikap ibunya yang kerap membenciku, membuatku mengurungkan niatku untuk mengatakannya. 

Aku mulai merasakan sifat yang kurang baik. Keserakahan akan harta juga kebencian terhadapku.

Tak jarang ia mengumpat, Mencari-cari kesalahanku. Lalu membandingkan aku dengan gadis lain putri Bapak Camat katanya.

Semua itu tak pernah kugubris, ataupun merasa cemburu. Karena aku yakin Mas Tama setia padaku. 

Bahkan pernah sekali mereka membawa gadis kerumah itu, aku melayaninya sebagai tamu. Aku tak merasa takut sedikitpun, ataupun cemburu. Membuat mereka kesal setengah mati.

Telah seminggu berlalu. Papa mengajakku ke perusahaan. Katanya aku harus mulai belajar jadi pemimpin disana. Sejak Kak Akmal menikah, memang aku lah yang jadi harapan papa satu-satunya. Kak Akmal sudah jadi pemimpin diperusahaan Mbak Nadia. Karena kakak iparku itu adalah putri tunggal.

Ku usap Make Up diwajahku. Lipstik berwarna nude menjadi Pilihanku. Dengan memakai kemeja putih polos di padukan dengan celana bahan hitam. Ah, aku seperti masih gadis saja. 

Aku ikut bersama papa. Beliau melarangku pergi dengan mobil sendiri, karena sudah tiga tahun aku tak pernah menyetir. 

"Waduh, gimana ini, Pa. Riri lupa bawa masker, Riri belum siap ketemu sama Mas Tama." Aku baru ingat kalau di situ mantan suamiku bekerja.

"Nih!" Papa menyodorkan sekotak masker padaku. Langsung kuterima kotak itu.

"Makasih, Papa!" ucapku sambil tersenyum.

"Kalau cuma masker saja, Kamu masih mudah dikenali. Pakai juga kaca mata ini!" 

Sebuah kaca mata hitam di berikan papa padaku.

"Nggak usah, Pa. Dikira orang nanti aku sakit mata lagi pakai hitam." Aneh saja kalau aku kekantor dengan kacamata hitam.

"Papa nggak bisa jamin kalau Kamu nggak dikenali oleh Tama." Benar juga kata papa. Ku ambil kaca mata itu lalu segera kupakai.

Aku berjalan dibelakang papa, membawa beberapa map yang di tanda tangani papa dirumah.

Para karyawan pun mulai memasuki ruangan masing-masing. Sebagian mulai menaiki lift keruangan atas. Mereka melirik kearahku dan papa. Bergantian seperti juri yang menilai peserta. Aku cuek saja, saat lift berhenti di lantai ruangan papa. Aku menggandeng tangan papa keluar.

Tampak olehku tiga orang karyawan membulatkan matanya. 

"Papa kenapa pakai lift untuk karyawan, sih?" Aku mendudukan diri di sofa ruangan papa. Segera ku lepas masker dan kacamata. Sungguh ini membuatku sedikit pengap.

"Lift sedang diperbaiki," jawab papa. Ia duduk dikursinya, mulai membuka beberapa map yang tadi kubawa.

"Selamat pagi, Pak!"

Sekretaris papa baru saja datang. Gilang namanya, kalau tidak salah sudah delapan tahun dia bekerja pada papa.

Pendiam dan sangat sopan, itulah kenapa papa mempertahankannya. Selain itu dia sangat bertanggung jawab. 

"Pagi!" jawab papa.

Ia melirik kearahku, dan sedikit terkejut. Mungkin dia pikir papa sendirian. 

"Pagi Bu Riri!" ucapnya sedikit membungkukkan badan.

"Pagi!" Aku menoleh sesaat.

"Gilang, proyek kerja sama dengan Buana Corp, apa Kamu bawa berkasnya?" tanya papa. Aku hanya ikut mendengarkan.

"Bawa, Pak. Ini dia berkas nya!" Gilang menyodorkan map berwarna coklat pada papa. Papa langsung menerima dan membukanya.

"Gilang, Kamu atur pertemuan dengan mereka, dan tolong ini, bagian penanganan ini, Kamu ganti namanya. Tulis disitu nama Riri Danu Subrata!" perintah papa dan langsung diangguki oleh Gilang.

"Apa?" Aku langsung berdiri menghampiri meja papa. "Pa, kenapa Riri? Riri kan baru sehari disini?" protesku.

Yang benar saja, aku sudah disuruh menangani proyek, padahal aku kesini hanya untuk menghilangkan kejenuhan saja. Belum waktunya ikut mengerjakan proyek. 

"Kenapa? Ya karena papa percaya sama kemampuan, Kamu," jawab papa santai. 

"Itu bukan proyek kecil, Pa. Tadi Riri sempat lihat anggarannya." Aku masih berusaha menolak. Di mobil tadi aku sempat melihat, jumlah dananya saja mencapai triliunan.

"Ayolah, Ri. Biar Kamu tertantang dan nggak melamun terus. Papa yakin Kamu sanggup."

"Emangnya Papa siap untuk rugi?" pancingku. Biasanya kalau cerita rugi. Papa pasti sedikit takut. Lalu tak jadi menyerahkan proyek ini padaku. 

"Riri, Riri! Mana mungkin Kamu tega membuat papa kamu bangkrut?" Idih, Papa malah semakin menantang ini. Aku menghela napas kasar. Kalau sudah begitu jawaban papa. Aku tak bisa menolak. 

"Ya nggak lah, Pa."

"Nah itu, Papa tau Kamu pantang menyerah, buktinya sama Tama saja kamu nekat, tega meninggalkan Papa dan mamamu." Papa ini sembarangan bicara padahal masih ada Gilang di situ. Entah kenapa aku jadi malu. 

"Santai saja, Bu. Anggap saya nggak dengar." Seolah tahu apa isi pikiranku, enteng sekali Gilang bicara. Aku beranjak lagi ke sofa. 

"Pagi ini, Papa ada rapat. Kamu tunggu disini atau ikut?" tawar Papa sambil berdiri. Aku berpikir sejenak lalu menggeleng. 

"Ya sudah, Kamu pelajari itu berkasnya! Selesai rapat nanti bisa tanyakan yang belum Kamu paham."

"Ok, Pa." 

Papa keluar diikuti oleh Gilang. Mana mungkin aku ikut keruang rapat. Aku belum mau bertemu sama Mas Tama. Yang kutau jabatannya sudah manager disini, sudah dipastikan dia akan hadir. 

Ngantuk juga pagi-pagi sudah baca berkas begini.

Hoamm! 

Lebih baik tidur sebelum papa kembali. Pikirku.

"Astaga Riri, disuruh baca berkas, malah tidur," ucap Papa. Hingga membuatku terbangun.

Aku bangkit dan merapikan rambutku, lalu tersenyum pada Papa. "Ngantuk, Pa."

"Sekarang, Kamu bersiap. Buana Corp ingin bertemu di perusahaan mereka!" Perintah papa. Membuatku cukup terkejut. 

"Apa?"

"Cepat sana! Gilang sudah menunggu dibawah," peeintah papa cepat sepertinya tak bisa dibantah.

Aku berdecak, berdiri menyambar tasku di atas meja. Lalu melangkah dengan malas

"Masker, dan kacamata." 

Oh iya, hampir saja. Aku berbalik lagi mengambilnya. "Thanks papa!" ucapku seraya mengangkat kaca mata keatas. Lalu beranjak menuju pintu.

"Riri!" panggil papa.

"Apa lagi, Pa?" Aku memasang wajah merengut. Tadi suruh cepat sekarang di panggil lagi. 

"Ini!" Papa mengangkat berkas Buana Corp.

Hehehe. Aku nyengir. Lalu mengambilnya dari tangan Papa.

"Move on Riri!" Masih jelas kudengar suara papa saat aku sudah keluar dari ruangannya. Didalam lift aku memakai maskerku. Pintu lift terbuka.

Mas Tama! Aku belum sempat pakai kacamata. Ia masuk dengan temannya, aku memalingkan wajahku cepat, jangan sampai dia menyadari aku ada di dekatnya. 

"Sepertinya simpanan si bos." Terdengar suara temannya bicara.

What? apa mereka membicarakanku? Karena hanya aku wanita didalam lift ini. 

"Ssshtttt, jangan berisik, nanti dia dengar, kita bisa dipecat," jawab Mas Tama. Ingin rasanya aku membuka maskerku dan mengatakan siapa diriku, namun aku harus tahan.

"Biarkan saja, orang seperti ini tidak tahu diri, tak kenal usia. Orang tuapun diembat," lanjut temannya lagi.

Tak bisa dibiarkan ini, semakin menjadi-jadi. Awas saja kalian?

Pintu lift terbuka, aku langsung keluar duluan sambil memakai kacamata. Kulihat mobil perusahaan sudah terparkir di lobby. Aku langsung masuk membanting pintu. Sampai Gilang pun kaget mendengarnya hingga menghapus dadanya. 

"Jalan, Lang!" Aku kesal mendengar omongan mereka tadi. Bisa-bisanya mereka berpikir begitu. 

Pertemuan berjalan dengan lancar, kami setuju untuk kerja sama karena sudah melihat cara kinerja mereka. 

Mataku menyipit melihat Mita keluar dari ruangan yang bertuliskan manager. Ngapain Mita kesini?

Mita menoleh, aku langsung menutup wajahku dengan berkas. Untung dia tak melihatku. Aku tadi lupa memakai masker dan kacamata. 

"Wanita nggak jelas, sesuka hatinya saja masuk keperusahaan ini," gerutu sang resepsionis.

Jiwa kepoku meronta ingin tau apa kerjaan si Mita kesini.

"Maaf, Mbak. Yang itu tadi kerja dibagian mana ya?" tanyaku langsung. Mereka berdua diam dan melihatku. 

"Maaf, Mbak. Soalnya saya ini temannya, tapi dia tidak melihat saya tadi." Aku terpaksa berbohong.

"Dia bukan kerja, Mbak. Dia itu pacarnya manager," jawab satunya. Temannya langsung menyenggol lengannya seolah protes. 

Ops! Seketika dia menutup mulutnya, baru sadar dia sudah keceplosan. 

"Apa sebebas itu bawa pacar kesini?" tanyaku lebih dalam. Ini penting untukku, untuk menjatuhkannya suatu saat nanti. 

"Ya bisalah, Mbak. Namanya juga pak managerkan adik pak dirut," jawab mereka seperti tak suka dengan Mita. 

Ooo, Apa? Tiba-tiba aku terbayang sesuatu. Pak dirutnya saja sudah setua itu, pastilah adiknya tak beda jauh usianya.

Cepat-cepat aku permisi sebelum Mita melihatku. 

"Aku punya kartu merahmu, Mita!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status