Share

Nirmala

Nirmala

Bab  4

Waktu begitu cepat berlalu, Aku menggeliatkan tubuhku. Hari ini aku harus cepat kekantor, ada rapat mengenai proyek dengan Buana Corp.

"Semangat! Semangat!" monologku. 

"Sarapan dulu, Ri! Ini Mama buatin nasi goreng khusus untukmu." Mama menungguku dibawah tangga. Ia memang paling peduli takut anaknya yang imut ini pergi tanpa sarapan. 

"Riri ingin cepat loh, Ma." Aku melirik arlojiku. Sudah pukul 7.30, waktu kekantor kurang lebih 30 menit, itupun kalau tidak macet.

"Pokoknya sarapan dulu sebelum berangkat!" katanya tegas.

"Ih, Mama." Mama tak peduli ia mendorongku kemeja makan.

"Kamu tinggal makan saja, susah Ri." sambut papa yang juga sedang sarapan.

"Riri takut telat, Pa. Katanya Rapatnya jam sembilan, nanti disana nyusun ini itu, sudah makan waktu lama," jawab ku. Mama menyendok nasi goreng kedalam piringku. Baru ia duduk dan mengambil bagiannya sendiri.

Kok aku kayak jadi anak kecil ya. Di perlakukan manja. Padahal sudah calon janda ini. Tapi aku senang, kasih sayang mereka tak berkurang padaku.

Aku berangkat bersama papa, tak lupa kaca mata dan maskerku. Papa mendahuluiku.

Kupakai masker dan kacamataku sebelum keluar dari mobil. 

"Sepertinya bukan selingkuhan, dia bekerja disini juga," bisik salah satu wanita di dalam lift. Aku berbeda lift dengan papa. Masih jelas kudengar, mungkin mereka memang sengaja agar aku mendengarnya. 

"Gayanya pake ditutupi masker dan kaca mata. Sayang ya, sepertinya masih muda tapi mau jadi selingkuhan tua bangka," balas yang satunya. Aku mengepalkan tangan. Geram pastinya. Minta di sumpal ni mulut karyawan. Seenaknya bilang orang selingkuhan papa. 

"Biasalah tuntutan hidup mungkin, atau ya, nggak tahan susah, pingin banyak uang jadi menghalalkan segala cara," celoteh teman yang lain. Seolah mereka manusia suci tanpa cela. Mereka ada tiga orang. Aku melihat kearah mereka. 

"Kalian disini untuk kerja, bukan menilai orang yang nggak kalian kenal. Paham!" Aku menunjuk ketiga orang itu.

"Huuuuu! Gayanya sok bossy shay!" teriak mereka. Ingin aku membalasnya mengatakan bahwa aku anak pemilik perusahaan ini. Tiba-tiba pintu lift terbuka.

Mereka langsung keluar duluan. Aku tinggal sendirian. Awas saja kalian nanti!

"Gilang! Tunggu!"

Aku melihat Gilang yang berjalan menuju ruangan papa. 

"Eh, ada Bu Riri. Bapak udah datang?" tanyanya ramah. Berbeda dengan semalam saat ia menyuruhku pergi.

"Iya, papa sudah datang. Gilang, nggak sopan semalam Kamu ngusir saya?" protesku. 

Ia nyengir saja.

"Dibilangin malah nyengir," gerutuku. Kalau saja bukan sekretaris papa, sudah kupecat Kamu Gilang.

"Maaf, Bu Riri! Itu perintah Bapak. Kalau bukan karena disuruh bapak. Saya nggak akan berani bicara begitu sama Ibu," jawabnya. Sepertinya dia jujur. Yang kutahu selama ini dia sangat menghormatiku. 

Lelah juga rasanya tubuhku hari ini. Membuat konsep kerjasama, sampai menyesuaikan anggaran dana, cukup menguras otak.

Tok! Tok! Tok! 

"Masuk!" 

Ceklek

"Selamat siang, Bu. Ini Saya bawa berkas untuk di tanda tangani." 

Astaga! Itu suara Mas Tama. Gawat, gimana ini?

"Halo, Bu!" mungkin ia heran melihatku yang tetap pokus kearah jendela kaca ruanganku. 

"Ekhm, Kamu taruh saja di atas meja saya, setelah itu silahkan keluar!" Waduh, semoga saja dia tak mengenaliku. 

Sengaja kubedakan sedikit suaraku, agar ia tak curiga. 

"Baik, Bu. Ini berkas nya. Permisi!" ia berbalik menuju pintu. Aku bernafas lega. Hampir saja. Aku memutar kursi menatap kearah pintu yang sudah tertutup. 

Hari ini aku pulang lebih awal. Mama menelpon ingin mengajak belanja. Kami bertemu di mall. Mama sudah menungguku. 

Baru saja memasuki mall, mataku langsung tertuju pada ibu dan Mita. 

Hmmm, mereka lagi-mereka lagi. Banyak duit juga ya, tiap hari ngemall. Batinku. 

"Eh, eh, ada benalu disini!" 

Ya ampun, sepertinya ibu sengaja mengeraskan suaranya agar didengar orang. Dasar norak! 

Aku memalingkan wajah, malas menanggapi. Namun sepertinya mereka semakin menghalangi jalanku. 

"Jangan-jangan benar, kalau Kamu simpanan om-om. Tiap hari ke mall, uang dari mana coba? Atau hanya untuk gaya-gayaan ya? Pengen terlihat kaya. Kasihan!" 

Ya Salam!

Enak sekali dia memfitnahku. "Maaf, Bu! Saya mau ngapain kesini itu bukan urusan ibu, jadi tolong minggir jangan menghalangi jalanku!" Kutatap tajam mereka berdua. 

"Yaelah, Mbak. Disapa bagus-bagus malah marah," ucap Mita. 

"What? Bagus katamu? Oh Kamu sudah lupa ya sama yang kemarin, Aku punya videonya loh ini." Haha, kapok Kau Mita. Dia pikir aku sudah lupa sama kejadian kemarin. 

Seketika wajah Mita berubah, mungkin dia takut aku membongkarnya didepan ibu. 

"Video apa, Mit? Dimana Kamu ketemu benalu ini?" Bagus, sepertinya ibu terpancing. 

Aku tersenyum menaikkan kedua alisku, sembari menatap Mita. Dia kira Aku tak berani Membongkar aibnya. 

"Bu! Mita baru ingat, ada tugas dari kampus, kita pulang sekarang ya?" Alasan saja si Mita. 

"Loh, Mit, kita kan belum dapat bajunya. Bentar lagilah, Ibu butuh baju itu. Besok mau di pakai soalnya." Ibu mertua tampak keberatan. 

"Tapi, Bu. Ini itu penting. Mita nggak mau Kak Tama kecewa sudah membiayai kuliah Mita. Tapi Mita nggak mengerjakan tugas dengan baik." Pandainya ia mencari alasan. Bilang saja kau takut Mita. 

Ibu tampak menimbang, "Yaudah, ayo! Tapi, besok kesini lagi ya?" syarat ibu. 

"Iya, iya. Ayo, Bu!" Mita menarik tangan ibunya cepat, hingga membuat ibu susah mengimbangi langkahnya. 

"Heh, Riri. Awas Kamu ya?"

Masih sempat dia mengancamku. Dasar mertua! Dia pikir aku takut padanya. Lagaknya seperti orang kaya saja. 

Kasihan Mas Tama, lelah bekerja uangnya habis percuma. Hanya jadi sapi perah saja.

Cukup banyak kami belanja. Mulai dari baju hingga kebutuhan dapur. Ibu membeli baju berwarna lilac. Besok mereka mengadakan arisan dresscodenya adalah warna lilac.

Pantaslah ibu tadi ngotot mau beli baju. Ternyata untuk arisan. Kok bisa ya dia masuk arisan mama? Setauku, mereka beranggotakan istri pengusaha semua. 

"Makan dulu, Ri!" ajak mama. 

"Ah, iya Ma. Tau aja Riri lagi laper," jawabku cepat. 

"Apa orang lapar itu suka ngelamun ya?" 

"Ih, siapa juga yang melamun." sanggahku. 

Kami duduk di restauran yang ada di mall ini juga. Tinggal menunggu pesanan datang. 

"Ri, lihat itu Tama sama cewek!" ucap mama yang mengagetkanku. Aku lantas mengikuti arah mata mama. 

Deg

Benar, Mas Tama sedang makan disini. Mereka tertawa tampak bahagia, mungkin sama masih menunggu pesanan juga. 

Kenapa masih sakit ya? Padahal kami sudah proses bercerai. Melihat polah mereka, sepertinya mereka bukan baru kenal. Apa jangan-jangan ini wanita yang bernama Nirmala? Aku menebak-nebak.

"Cemburu?"

Aku langsung menoleh pada mama. "Nggak lah, Ma. Buat apa cemburu," jawabku. 

"Jangan bohong, Mama ngerti perasaanmu, wajarlah kalau masih cemburu, kalian baru saja pisah, dia sudah ada gebetan." Benar juga yang dibilang mama. 

"Apa masalah uang itu hanya alasan saja ya, Ma. Bisa jadi karena ada wanita ini. Makanya Mas Tama menalakku?" Rasanya wajar aku berpikir begini.

"Bisa jadi. Sudahlah, nggak usah dilihatin, biarkan saja. Yuk makan!"

Kami makan sambil ngobrol, sepertinya Mas Tama tak melihatku. Karena jarak kami tak terlalu dekat. Kulihat mereka sudah selesai makan. Mas Tama berdiri di ikuti wanita itu. Ia menggandeng tangan Mas Tama. Seperti pasangan saja. 

Jadi ini alasanmu, Mas! 

"Ri, besok ada dua karyawan baru, mereka dari kantor cabang yang di jalan melati. Mereka papa minta untuk menjadi team mu menangani proyek bersama Buana Corp." ucap papa. Kami tengah bersantai setelah makan malam.

"Papa atur saja. Riri sih, terserah papa. Tapi, boleh nggak, pinjam Gilang untuk mendampingi Riri?" Ku utarakan maksudku. Bukan apa-apa. Gilang lebih berpengalaman dariku. Ia bisa menuntunku untuk lebih memahami pekerjaan ini.

"Besok papa ngomong ke Gilang. Btw, kapan sidang ceraimu Ri?" 

"Hari kamis, Pa. Riri bisa izinkan jam sepuluh pagi?" Aku harus tetap izin. Bagaimanapun statusku tetap karyawan di kantor papa. 

"Bisa, tapi setelah itu balik lagi ya! Proyek ini harus segera selesai Ri. Agar sesuai dengan keuntungan yang di dapat." Papa, kalau masalah pekerjaan memang sangat disiplin, pantas ia menjadi pengusaha sukses.

Dan akulah harapannya untuk melanjutkannya. Karena Kak Akmal sudah memegang perusahaan Mbak Nadia. Orang tuanya mewariskan pada Mbak Nadia.

"Riri, nggak usah ditutupilah wajahmu, biarkan saja Tama melihatmu," usul mama. 

"Belum saatnya, Ma," jawab ku. 

Aku memang belum siap, bagaimana nanti kalau Mas Tama tau aku anak bosnya. Bisa-bisa dia berubah pikiran tak jadi menceraikanku. Apalagi kalau ibunya tahu. Pasti dia rela memohon agar aku kembali pada anaknya. 

"Selamat pagi, Bu!" sapa dua karyawan wanita. Mungkin  mereka yang di perintahkan papa untuk menjadi teamku. 

"Pagi!" jawab ku seraya menoleh pada mereka. 

Tunggu! Sepertinya ini cewek yang makan sama Mas Tama semalam? Aku memperhatikannya lebih dalam. 

"Perkenalkan, Bu. Saya Risti dari kantor cabang!" 

"Saya Nirmala juga dari kantor cabang. Kami siap membantu ibu untuk mengerjakan proyek ini!" mereka memperkenalkan diri. 

Nggak salah lagi. Ini cewek yang semalam. 

"Saya Riri. Silahkan duduk, biar kita bahas lebih lanjut. Selama proyek ini berjalan kalian akan ditempatkan di kantor ini. Untuk memudahkan kita. Kalian akan seruangan dengan saya. Saya harap kalian bisa di andalkan!" 

"Terimakasih, Bu. Kami bersyukur terpilih menjadi team ibu dan berkesempatan bekerja di kantor pusat ini.

," jawab Risti. 

Aku menghubungi ob untuk membawa meja dan kursi keruanganku. Ruanganku cukup besar hingga bisa menambah meja lagi. 

Kuperhatikan Nirmala yang sedang sibuk dengan laptopnya. Cantik! 

Pantas Mas Tama jatuh hati. Dia juga terlihat anggun dan mungkin karena anak pak camat juga. Tapi, gimana kalau Mas Tama tahu aku anak papa. Apa mungkin ia akan mengejarku lagi?

Duh, apa yang kau pikirkan, Riri. Jangan berharap lagi pada Mas Tama! Peringat pikiranku. 

Tok! Tok! 

"Masuk!" 

Ceklek

Gilang tampak terkejut, mungkin melihat tiga meja didalam.

"Ada apa Pak Gilang?" Aku yang bertanya duluan. Kulihat ia masih memperhatikan Risti dan Nirmala. 

"Pak Danu menyuruh saya untuk memantau kerja kalian. Apa ini teamnya?" tanyanya melirik mereka lagi. 

"Iya, Pak!" jawab mereka kompak. 

"Ok, kalau begitu. Kita terjun langsung kelapangan, selepas jam istirahat siang. Kalian berdua, perkenalkan saya Gilang, pemantau kalian!" Gilang memperkenalkan diri. Risti dan Nirmala berdiri. 

"Saya Risti, Pak!" 

"Saya Nirmala!" 

Gilang mengecek satu per satu pekerjaan mereka, mengajari bila ada yang tak sesuai. Kulihat mereka sepertinya cukup pintar. Gilangpun dengan mudah mengajarinya. 

Jam istirahat tiba. Waktunya makan dan sholat bagi karyawan muslim.

"Kalian makan dimana?" tanyaku, melihat mereka bangkit.

"Di kantin saja, Bu. Ibu tidak makan?" tanya balik Nirmala.

"Oh, saya disini saja." jawabku. Padahal aku ingin ikut ke kantin. Melihat reaksi Mas Tama dan Nirmala. Tapi keburu ingat, nggak mungkin aku makan pakai masker dan kaca mata.

"Ri, ambil rantangmu di ruangan papa!" suara papa di telpon. Pasti bekal kiriman mama. Aku keluar, rasanya tak perlu pakai masker. Para karyawan pasti semua pada makan siang. 

Aku berjalan menuju lift, ruangan papa berada satu tingkat di atasku. Saat hendak memasuki lift, terlihat Nirmala di ujung dengan pria. Aku penasaran tak jadi masuk lift. Aku berjalan. Mereka terus berjalan hingga dibelokan.

"Mas, senang deh, kita bisa sekantor. Bakal ketemu tiap hari." Terdengar suara Nirmala dengan sedikit manja. Ku intip sedikit. Mereka berpegangan tangan. Mesra sekali! 

"Mas juga, nanti pulang bareng ya? Ibu kangen, Kamu katanya." dari pembicaraannya mereka ini sudah kenal lama sepertinya. 

"Mau, Mas, aku juga kangen. Mas kapan dong, Kamu lamar aku?" Manja sekali Nirmala ini.

Hah? Cerai saja belum, Nirmala sudah minta di lamar. 

"Sabar dong, sayang. Uangku belum kembali. Aku tak tau dimana mantan istriku itu tinggal. Setelah dia mengembalikan uangku, pasti aku langsung melamarmu." 

Menjijikkan.

Uang apa? Dasar bego. Apa dia tak tau atau pura-pura tak tau kalau uangnya dihabiskan ibunya.

"Jangan-jangan uangnya sudah habis, Mas." 

"Tidak mungkin, Sayang. Mas tahu mantan istri Mas itu, orangnya hemat. Selama ini Mas kasih dua juta dia nggak protes. Dia minta uang ibu itu pasti disimpannya," jawab Mas Tama. 

"Semoga ya, Mas! Udah nggak sabar soalnya." 

Ya ampun Nirmala, murah sekali, dirimu!

"Udah yuk, kita makan sekarang, keburu waktu istirahat habis," ajak Mas Tama. 

Aku cepat berjalan menuju lift sebelum mereka melihatku.

Bodohnya aku, selama ini sudah di khianati. 

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status