Ikrar Talak
Bab 1 "Kutalak Kamu Riri Danu Subrata, mulai saat ini kita bukan lagi suami istri!"DegBenarkah yang kudengar ini?Suami yang selalu kudukung, deminya aku meninggalkan keluargaku. Dengan mudahnya mengucapkan talak?
Syok? Tentu saja. Air mataku berlomba turun kebawah, bak air terjun. Hatiku jangan ditanya lagi. Sakit."Mas!" ucapku lirih. Kutatap mata kekasih halalku, eh, bukan lagi, Dia sudah bukan suamiku lagi, yang sudah membersamaiku tiga tahun ini. Apa salahku? Bagai dipukul palu godam sakitnya hatiku, ibarat kaca pecah, sudahlah pecah remuk pula. Meski berharap ini cuma mimpi, namun rasanya tak mungkin ini mimpi. Ini nyata. "Kemasi barang-barangmu, angkat kaki dari sini!" hardiknya kasar. Namun enggan menatapku, hanya tangannya yang menunjuk kearah pintu. Aku terpaku ditempat. Rasanya kakiku melemah, tak ada tenaga untuk melangkah. Padahal aku sangat mencintainya. Deminya aku meninggalkan kemewahan. Deminya aku bertahan meski caci maki sumpah serapah selalu dilontarkan ibu dan adiknya. "Dasar benalu!""Tiga tahun aku memperjuangkan rumah tangga kita, tapi apa yang Kamu buat dibelakangku, hah!""Kurang baik apa keluargaku padamu, tapi apa balasanmu? Benar kata ibu. Ternyata selama ini kau merampas uang jatah ibu. Keterlaluan Kamu Riri! Istri tak tau diri!" Suaranya meninggi. Aku terkejut bukan main. Tak tau diri katanya.Wajahnya mengeras, tumpahkan lagi, Mas. Biar aku tahu apa alasanmu menalakku? Batinku.Aku belum bersuara sama sekali, biarlah ia semakin kesal dengan diamnya aku. Aku tidak merasa buat kesalahan. Aku keluar pun tadi sudah izin sama dia. Aku memang pulang membawa motor baru. Apa karena motor itu?Motor itu kubeli untuk memudahkan berjualan online. Toh aku juga tak ingin membebaninya. Karena Mas Tama juga harus bertanggung jawab terhadap adik dan IbunyaIa beranjak lalu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Aku terduduk bersandar dilemari. Kuremas bajuku, mencoba menguatkan hati yang tengah pilu. Padahal aku bukanlah tipe istri yang banyak menuntut, selama ini selalu kusesuaikan gayaku dengan gaji pemberiannya.Jatahku hanya dua juta untuk sebulan sedangkan untuk ibunya dia selalu memberi 10 juta. Entah untuk apa uang itu, setiap bulan selalu habis, bahkan tak jarang akhir bulan ia sudah hutang sana sini.Aku memanfaatkan ponsel untuk berjualan online, meski tak begitu banyak pelanggan tapi cukuplah untuk menambah kebocoran uang belanja. Meski serumah dengan ibunya, akulah yang selalu belanja untuk kebutuhan dapur. Sangat tidak adil memang. Beruntungnya mobil Mas Tama tidak kredit lagi.Dua hari yang lalu ia baru saja menerima bonus tahunan. Entah mengapa ia memberikannya untukku. Ku pikir itu memang untukku makanya aku nekat membeli sepeda motor baru. Kuseka lagi air mata yang enggan berhenti. Terdengar diluar suara ibu dan Mita adik Mas Tama."Begitulah kalau punya istri orang miskin Tam, ada uang langsung beli ini itu. Tak bisa menabung. Dasar udik!" terdengar suara ibu yang mengataiku. Udik? Kupindai tubuhku. Ya aku memang sedikit udik. Itu karena aku mengikuti keuangan yang diberikan Mas Tama.Ceklek"Masih belum siap? Apa perlu kami bantu?" suara Mita terdengar menjijikan ditelingaku. Ku paksa untuk berdiri mengambil dan koperku. "Kasihan ya, Bu. Sudah miskin, sekarang gelandangan. Oh sayang, cantik-cantik kok gelandangan!" Mita terus mencibirku. Kuhentikan kegiatanku, ku tarik napas dalam lalu kulihat wajahnya yang tersenyum mengejek ke arahku."Apa belum puas kalian menyakiti aku?" kutatap tajam matanya."Aduh, Ibu. Mita takut, lihat itu matanya menyeramkan sekali!" Ia malah meledekku. Ibu yang seharusnya mengajarkan baik pada anaknya pun ikut mengejekku."Mana mungkin kami puas, gembel! Manusia tak jelas sepertimu memang pantas di sakiti. Tak sudi punya ipar kampungan sepertimu!" Sombong sekali dia. Baiklah, Aku akan pergi dari sini dan membalas perlakuan mereka.Koper ku isi dengan baju seadanya saja, lalu kuseret keluar sembari menunggu taksi."Taksi!" panggilku. Taksi menepi aku menatap kembali kerumah yang pernah kutempati itu sebelum naik kedalam taksi."Kemana, Mbak?" tanya sopir ramah. "Perumahan Kencana Indah, Pak." jawabku. Sopir mengangguk.Aku kembali menangis, tak mudah untukku melupakan ini, dan lagi apa yang membuat Mas Tama tega menceraikan aku. Selama ini hubungan kami tidak ada masalah. Sejahat apapun adik dan Ibunya, aku tak pernah mengadu, semua kusimpan dalam hati. Aku tau ia sangat menyayangi ibunya, aku harus bisa menjaga perasaannya. Sampai aku didepan gerbang rumah nomor 10. Sebelum menekan bel, tampak Pak Jaja keluar dari pos satpam, mungkin ia sudah melihatku."Nyonya Riri!" ucapnya. Aku mengangguk ramah. Setelahnya Pak Jaja mengambil alih koperku. Aku segera masuk tak sabar ingin menumpahkan sedihku ini."Riri! Tumben, sudah kesini? Biasanya dua minggu sekali." Mama menghampiriku. Aku langsung memeluknya sambil menangis. Mama sepertinya heran, namun memilih membalas pelukanku. Setelah puas menangis, Mama menarikku duduk di sofa. Ia menghapus sisa air mataku."Sudah tenang?" Aku mengangguk."Ceritalah, Mama siap mendengarkan!" ucapnya lembut. Aku mulai menceritakan apa yang kualami dirumah mertua. "Sudah mama duga. Kamu tau? Itulah alasan kami tak begitu setuju, karena Tama ini sangat condong pada ibunya," ujar Mama. Aku cukup terkejut. Selama ini aku pikir mereka tak setuju karena Mas Tama dari keluarga sederhana."Mama, bukankah baik kalau pria menyayangi ibunya? Sama seperti Kak Akmal, dia sangat menyayangi Mama." Aku mengagumi kakakku karena kasih sayangnya pada Mama sangat luar biasa, bahkan ketika ia sudah menikahpun dan Kak Nadia juga tampak bahagia tak pernah merasa cemburu pada Mama. Hingga aku melihat Mas Tama yang begitu menyayangi ibunya, membuatku tersentuh. Aku pun bersedia menjadi kekasihnya dan dilamar menjadi istrinya. Karena orang tua yang tidak setuju. Aku menutupi jati diriku. Saat itu hanya Kak Akmal waliku, karena papa menolak menikahkanku dan menyerahkannya pada Kak Akmal.Pernah aku ingin membuka jati ditriku yang sebenarnya, tapi keserakah akan uang, membuatku mengurungkannya hingga tiga tahun usia pernikahan kami.Namun kali ini, akan kutunjukkan siapa diriku sebenarnya. Yang selalu mereka hina dan rendahkan."Kakakmu berbeda, Nak. Mama tidak mencampuri rumah tangga mereka. Dan Mama tak pernah membicarakan Nadia dibelakang. Lain dengan Ibu mertuamu, ia selalu ikut campur, dan gayanya sudah melebihi uangnya," jawab ibu panjang. Aku mengernyitkan dahi. Kok Mama bisa tahu gaya hidup mertuaku? Bukannya selama ini aku tak pernah cerita pada mama?"Kamu pikir dari mana uangnya kalau bukan dari suamimu. Gaji Tama itu cuma 15 juta. Itu saja tak sanggup mencukupi gaya ibunya," lanjut mama lagi. Aku semakin heran saja. Mungkinkah mama menyelidikinya?"Mama tau dari mana? perasaan Riri nggak pernah cerita deh." Aku menatap serius Mama.Mama menghela nafas kasar. "Ibu mertuamu itu ikut geng arisannya mama." "Apa?"Kaget aku, sontak mama menutup telinganya. "Arisan mama itukan mehong, sekali ketemunya saja musti punya puluhan jeti." Aku tau persis pergaulan mama dulu sebelum aku menikah, aku pernah ikut dengan mama. "Jangan-jangan dia kenal mama?" Tiba-tiba aku jadi takut kalau ibu tau aku anak mama.Mama tertawa. "Ya nggaklah, mana mungkin dia tau. Mama itu selalu waspada. Waktu mereka main kesini. Sengaja mama copotin itu fhoto-fhoto yang ada kamunya." Ah! Syukurlah! Aku belum siap saja untuk mengungkap diriku sekarang. Biarkan saja nanti perlahan.Aku beristirahat sejenak. Tiga tahun tak kunikmati fasilitas ini. Kini saatnya aku kembali seperti dulu.Memanjakan diri, tidak mengerjakan lagi pekerjaan rumah, seperti yang kulakukan tiga tahun belakangan ini dirumah mertua. Hatiku kembalu berdenyut kala mengingatnya."Tunggu pembalasku!"Ikut Ke Perusahaan Bab 2Sudah tiga hari aku berada dirumah mama. Selama itu pula aku tak pernah keluar rumah. Biarlah kunikmati dulu keadaanku ini. Sebelum aku terjun lagi kedunia luar. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin kembali bergabung di perusahaan papa.Selama tiga hari pula Mas Tama tak ada berusaha menghubungi. Kebencian seperti apa yang ditanamkan adik dan ibunya? Cintanya selama ini ternyata tak cukup untuk mengalahkan hasutan keluarganya. "Gimana perasaanmu, Nak?" Papa menghampiriku yang sedang duduk di teras menghadap taman mama.Aku menoleh pada papa. Ia duduk disebelah. "Riri sudah lebih baik, Pa. Tapi, masih sering teringat," jawabku jujur. Tak kupungkiri, kenangan tiga tahun itu sering menghinggapiku."Itu wajar, Sayang! Belajarlah memaafkan agar setiap kenangan itu muncul tak ada lagi rasa sakit dihati. Justru keikhlasan dan penerimaan atas apa yang sudah terjadi." Nasehat papa. Aku memeluknya dari samping. Inilah yang aku salut pada orangtuaku a. Tak pernah sek
Bertemu Tiga Orang MenyebalkanBab 3"Kenapa repot-repot mengantarnya? Bukannya mengantar berkas perceraian itu dari pihak pengadilan?" Aku menatap Mas Tama. Dia menghubungiku untuk memberikan berkas perceraian. "Aku tak tau alamatmu, Ri. Kamu kan tidak pernah mengenalkan siapa keluargamu padaku." Ah, ya betul juga apa katanya. "Kurasa itu tak penting lagi sekarang," jawabku cepat. Mas Tama tertawa. Aku heran apa yang dia tertawakan. Apa aku terlihat lucu di matanya? "Memangnya kamu punya keluarga, tapi... Dari penampilanmu, Kau sepertinya tinggal ditempat yang layak." Dia memperhatikanku dari atas hingga bawah. Mungkin dia sudah melihat perubahanku. Aku memang memakai pakaian mahal, tas dan sepatu juga. Ini dibelikan mama kemarin untukku."Atau jangan-jangan uang yang Kau rampas dari ibu masih Kau simpan? Mana cepat kembalikan!" Bisa-bisanya dia berpikir aku mengambil uang ibunya. Dasar sinting! Ternyata Mas Tama ini terhasut oleh keluarganya. Baiklah mari kita lihat apa dia pe
NirmalaBab 4Waktu begitu cepat berlalu, Aku menggeliatkan tubuhku. Hari ini aku harus cepat kekantor, ada rapat mengenai proyek dengan Buana Corp."Semangat! Semangat!" monologku. "Sarapan dulu, Ri! Ini Mama buatin nasi goreng khusus untukmu." Mama menungguku dibawah tangga. Ia memang paling peduli takut anaknya yang imut ini pergi tanpa sarapan. "Riri ingin cepat loh, Ma." Aku melirik arlojiku. Sudah pukul 7.30, waktu kekantor kurang lebih 30 menit, itupun kalau tidak macet."Pokoknya sarapan dulu sebelum berangkat!" katanya tegas."Ih, Mama." Mama tak peduli ia mendorongku kemeja makan."Kamu tinggal makan saja, susah Ri." sambut papa yang juga sedang sarapan."Riri takut telat, Pa. Katanya Rapatnya jam sembilan, nanti disana nyusun ini itu, sudah makan waktu lama," jawab ku. Mama menyendok nasi goreng kedalam piringku. Baru ia duduk dan mengambil bagiannya sendiri.Kok aku kayak jadi anak kecil ya. Di perlakukan manja. Padahal sudah calon janda ini. Tapi aku senang, kasih saya
Sidang PertamaBab 5 Usai makan siang, kami langsung terjun ke tempat pembangunan proyek. Berangkat berempat dengan mobil kantor. Gilang sebagai sopirnya. "Itu tadi pacarmu, Nir?" tanya Risti memecah kesunyian di dalam mobil. Aku pura-pura fokus menscroll Sosmedku. Gilang pun tampak santai sambil menyetir."Calon suami?" jawab Nirmala. Sepertinya dia senang. "Tampan ya, maneger lagi. Beruntung banget, Kamu Nir," puji Risti. Memang Mas Tama seorang maneger disini. Itu karena permintaanku dulu pada papa agar menaikkan sedikit jabatannya. Setelah kami menikah. "Alhamdulillah, Ris. Keluarganya juga baik, sayang sama aku." ucap Nirmala. Dari bicaranya mungkin mereka sudah kenal cukup lama. "Tunggu apa lagi, buruan dihalalin. Ntar diambil orang loh!""Belum bisa, Ris.""Loh, kok?""Mas Tama itu belum resmi cerai dari istrinya." Suara Nirmala mengecil. Tidak tau dia akulah istri pria pujaannya itu."Jadi, Kamu berhubungan sama suami orang? ya ampun Nirmala. Itu sama saja Kamu dengan pel
Pernikahan KeduaNirmala HamilBab 6Berpapasan dengan beberapa karyawan membuat ekspresiku berubah. Pasalnya ada yang melihat tersenyum, namun lebih banyak yang sinis. Ini pasti karena hari pertama aku dekat dengan papa. Mereka mengira aku ini benar selingkuhan bos mereka. Terkadang lucu juga.Berbelok menuju ruang kesehatan. Aku membetulkan bentuk kacamata. Kali ini aku pakai yang bening. Norak juga kalau pakai yang hitam di dalam kantor. Seperti orang yang mau liburan di pantai."Mas, Kamu harus segera nikahi aku!"DegAku tak jadi membuka pintu yang handlenya sudah kupegang. Didalam ternyata sudah ada Mas Tama."Iya, Sayang. Mas pasti akan menikahi, Kamu. Mas, kan sudah janji. Pokoknya secepatnya," balas Mas Tama. Kenapa aku perih mendengarnya? Ada apa sebenarnya ini? Aku mulai menduga hal yang sensitif pasti terjadi. "Pokoknya secepatnya, Mas. Jangan sampai Ayah tau aku hamil." Terdengar suara Nirmala yang memaksa. Apa? Hamil? Benar dugaanku."Stttt, jangan keras - keras, na
Pernikahan Kedua BerantamBab 7Pov RiriRisti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. "Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. "Hahahaha....!" tawa me
Pernikahan KeduaBenarkah Aku yang Mandul? Bab 8Kupakai kaca mata hitam keluar dari mall. Sepertinya mereka mengikuti, biarkan saja. Biar mereka lihat mobil Bantley Continental milikku. "Riri, tunggu!" panggil ibu mertua mengejarku. "Ada apa, Bu? Belum puas menertawakan saya?" Kuhentikan Langkahku. "Sebenarnya, Kamu ini siapa? Bukannya, Kamu ini susah saat sama Tama?" tanyanya. Sepertinya dia penasaran. "Iya memang, saya susah waktu tinggal dirumah ibu, sekarang tidak lagi. Maaf, saya harus pergi!" Cepat aku melangkah meninggalkannya. "Riri, tunggu dulu!" ia menarik tanganku. "Kamu jadi simpanan ya, makanya secepat ini berubah?" tuduhnya. What? Dia bilang aku simpanan? "Bu, jangan asal bicara ya? Saya ini wanita terhormat." Aku tak terima dibilang simpanan. "Halah, jangan munafik deh, Mbak. Jaman sekarang, itu banyak terjadi kok. Lagian nggak mungkin kan secepat itu Mbak Riri kaya raya." Mita ikut-ikutan memojokkanku. "Seperti, Kamu gitu?" Kubalik perkataannya. Plak"Lan
Peenikahan KeduaMenganggap RendahBab 9Pov Riri.Setelah proses mediasi gagal sidang akan di gelar satu kali lagi. Kurasa tak perlu lagi bersembunyi dari Mas Tama. Toh, keputusan untuk cerai pun sudah bulat. "Selamat pagi, Bu!" sapa Risti dan Nirmala bersamaan."Pagi!" jawabku sambil terus berjalan menuju kursi. "Gilang belum datang?" tanyaku. Soalnya hari ini akan ada peninjauan proyek yang dibangun bersama Buana Corp."Belum, Bu," jawab Risti."Bu, apa aku bisa tidak ikut hari ini?" Nirmala bertanya."Kenapa, Nir? Ini proyek penting loh," tanyaku balik. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan dipindahkan kekantor pusat. Tentunya gajipun akan ditambah juga bonus dari proyek akan mereka dapatkan.Kulihat Nirmala gelisah, seperti takut untuk mengutarakan alasannya. Apa ini ada hubungannya dengan kehamilannya? "Begini, Bu. Saya ada acara keluarga nanti malam, saya ingin izin setengah hari saja," ucapnya kemudian."Maaf, Nir. Dengan berat hati saya tolak izin Kamu. Kita sudah hampir