Sidang Pertama
Bab 5 Usai makan siang, kami langsung terjun ke tempat pembangunan proyek. Berangkat berempat dengan mobil kantor. Gilang sebagai sopirnya. "Itu tadi pacarmu, Nir?" tanya Risti memecah kesunyian di dalam mobil. Aku pura-pura fokus menscroll Sosmedku. Gilang pun tampak santai sambil menyetir."Calon suami?" jawab Nirmala. Sepertinya dia senang. "Tampan ya, maneger lagi. Beruntung banget, Kamu Nir," puji Risti. Memang Mas Tama seorang maneger disini. Itu karena permintaanku dulu pada papa agar menaikkan sedikit jabatannya. Setelah kami menikah. "Alhamdulillah, Ris. Keluarganya juga baik, sayang sama aku." ucap Nirmala. Dari bicaranya mungkin mereka sudah kenal cukup lama. "Tunggu apa lagi, buruan dihalalin. Ntar diambil orang loh!""Belum bisa, Ris.""Loh, kok?""Mas Tama itu belum resmi cerai dari istrinya." Suara Nirmala mengecil. Tidak tau dia akulah istri pria pujaannya itu."Jadi, Kamu berhubungan sama suami orang? ya ampun Nirmala. Itu sama saja Kamu dengan pelakor." Risti ceplas ceplos saja kalau ngomong.Aku diam menyimak apa yang mereka bicarakan. Sedangkan Gilang pun tetap fokus ke jalanan. Tak ingin ikut Obrolan mereka. "Enak saja, Kamu bilang Aku pelakor." Nirmala tak terima dengan ucapan Risti barusan. "Mas Tama itu kan sudah mau cerai. Istrinya itu yang nggak baik. Tidak sayang sama ibu dan adiknya. Padahal mereka itu baik banget Ris. Lagian sudah tiga tahun istrinya belum hamil juga. Ibunya Mas Tama itu pingin banget punya cucu." Nirmala tampaknya terus membela Mas Tama. Sepertinya Aku ini selalu di jelek-jelekin oleh keluarga Mas Tama.Kasihan Kamu Nirmala! "Tetap saja, Nir. Sebaiknya tunggu cerai baru Kamu menjalin hubungan sama dia." Risti tetap tidak membenarkan perbuatan Nirmala. "Masalahnya Aku nggak bisa jauh dari Mas Tama, Ris." Sudah dalam ternyata cinta Nirmala untuk Mas Tama. Beruntung sekali, Kamu Mas! "Nirmala, jangan sampai suatu saat Kamu nyesal. Lebih baik sakit karena jauh sama suami orang. Lagian kalau memang berjodoh, kalian pasti bersama. Sudah banyak contohnya. Si pelakor menganggap istri sah yang nggak baik, nyatanya si suamilah yang kurang ajar. Selidikilah dulu sebelum terlalu jauh Nir." Bijaknya Risti. Ia terang-terangan menasihati Nirmala. Nirmala hanya diam, hingga perjalanan kami sampai. Kami sudah di tunggu Arsitek dan team dari Buana Corp. Kami langsung diberi helm seperti milik pekerja dan mulai mengecek pembangunan apakah sudah sesuai dengan anggaran.Cukup lelah, kami berkeliling. Nirmala dan Risti berjalan duluan di depan kami."Bu Riri!" panggil Gilang. Aku menoleh. Kami berjalan jauh di belakang. "Apa maksud mereka itu Tama suami ibu?" tanyanya langsung.Ternyata Gilang ini diam-diam nguping juga. Hehe. Kepo! "Siapa lagi emang meneger di Subrata Group?" tanyaku balik. "Hahaha..." Kok malah tertawa si Gilang. Apa dia meledekku? "Kenapa? Kamu mengejek saya?" Aku menghentikan Langkahku. Gilang pun ikut berhenti. "Bukan Ibu, tapi Nirmala. Dia ngomong begitu apa nggak tahu kalau ibu itu calon mantan istri calon suaminya?"Aku menggedikkan bahu. "Udah yuk, buruan biar cepat sampai kantor," ajak ku, tak ingin membahas itu lagi. "Kangen sama Mas Tama ya?""Ihh malah ngeledek. Untuk apa kangen sama dia?" sangkalku. Lagian si Gilang kok sedikit resek ya sekarang. Biasanya datar saja. Aku meninggalkan Gilang. Nirmala dan Risti sudah menunggu di dekat mobil kami.Kembali kekantor aku kembali pakai masker dan kacamata."Bu Riri, kenapa di pakai, padahal cantik loh!" ucap Nirmala. Ia memperhatikanku saat ini. "Iya loh, Bu," tambah Risti. "Saya alergi aroma kantor," jawab ku sekenanya. Mereka bingung namun akhirnya ber oh sama-sama. Mereka mengikutiku yang sudah melangkah menuju kedalam. "Satu jam lagi sebelum pulang. Kalian siapkan pekerjaan tadi biar tak ada lembur hari ini!" Aku mengarahkan mereka. Ada sedikit perubahan tadi saat dilokasi. "Siap, Bu!"Nirmala dan Risti kembali bekerja. Mereka cukup cekatan dan bertanggung jawab, sepertinya sudah cocok kerja di kantor pusat. [Ri, Papa duluan ya? Nanti Kamu di antar sama Gilang] pesan dari papa. [Ok, Pa.]Lelah memang, tapi aku menikmatinya, setidaknya aku tak terlarut dengan kegagalan rumah tanggaku.Selesai tepat waktu. Aku memakai lagi masker dan kacamata. Kami keluar beriringan. Nirmala dan Risti berjalan di depanku.Begitu keluar dari lift, tampak Mas Tama sudah menunggu dibawah. Menunggu pujaan hatinya. Secepat itu dia berpaling, atau mungkin sebelum berpisah pun ia sudah menduakan aku. "Mas, jadi pulang bareng?" Nirmala tampak berbinar melihat calon suaminya menunggu. "Jadi dong, Sayang!" Mas Tama mencolek dagu Nirmala.Iyuuhh! Memuakkan sekali. Kupalingkan wajah kesamping. Tak ingin melihat keronantisan mereka. Eghmm Eghmm.. Sengaja aku berdehem, agar mereka menyadari masih ada orang disini, yang seolah lupa ada aku dan Risti disini."Eh, ada Bu Bos. Maaf ya!" Nirmala tampak malu menatap aku dan Risti. "Kamu sih, main sosor aja. Ingat Nir! Belum halal," ucap Risti sewot. Lalu menatap Mas Tama seperti menilai. Risti memang tampak berani dan tegas. Cocok ini jika kujadikan sekretaris. "Oh ya Mas, kenalin ini Risti teman satu teamku dari kantor cabang. Dan ini, Bu...." "Bu Bos!" cepat kupotong sebelum Nirmala menyebut namaku.Nirmala memperkenalkan kami.Mas Tama menyalam kami bergantian. Dengan senyumnya yang menawan seperti dulu saat ia mendekatiku. Tapi sayang, lelaki ini tak tegas tak bisa berbuat adil antara istri dan keluarganya yang lebih parahnya lagi ternyata ia selingkuh.
"Kami duluanya!" pamit Nirmala. Aku dan Risti mengangguk. "Naik apa Ris?""Pesen ojek deh, kayaknya Bu. Kalau taksi kemahalan ongkosnya." Risti memang apa adanya. "Bareng aja yuk!" ajakku. "Nggak usah lah, Bu. Saya nggak enak numpang sama Bu Bos," jawab Risti sungkan."Nggak papa, itung-itung irit ongkos. Yuk buruan! Itu mobilnya udah nunggu." Aku memaksanya ikut. Risti mengangguk mungkin tak enak juga untuk menolak. Kami masuk kemobil. Aku diturunkan duluan oleh Gilang. Karena rumah kami yang tak terlalu jauh. Tinggal ia dan Risti. Ternyata rumah mereka searah hanya beda gang saja.Tiba hari persidangan, aku sengaja tak masuk kantor paginya. Karena tak ada pekerjaan yang mendesak. Aku hadir didampingi oleh kuasa hukum yang dipilihkan papa untuk menangani kasusku ini.
Mas Tama datang bersama ibu dan Mita. Mereka berhenti tepat dihadapanku. "Ternyata Kamu datang. Heh!" Tampak ia menatapku remeh. "Awas saja kalau Kamu mempersulit prosesnya?" Masih sempat-sempatnya ia mengancamku.Aku menatapnya sambil berkata. "Tenang saja, Bu. Aku pastikan perceraian ini cepat selesa," jawab ku santai.Melihat dia seolah hilang sedikit harapan kembali. Karena pasti sulit untuk bahagia karena ibunya yang selalu ikut campur urusan keluarga anaknya. "Baguslah, kalau, Kamu tahu diri. Rasanya sudah tidak sabar punya menantu baru. Yang pastinya dari keluarga jelas, kaya. Bukan tak jelas seperti..." jawabnya dan sekaligus menyindir. Entah apa yang ada dipikirkannya, selalu saja berkata ketus padaku.Aku duluan melangkah kedalam menyusul Pak Arif pengacaraku.Dengan berbagai rentetan pertanyaan, akhirnya sidang selesai, dan akan di lanjutkan dua minggu kemudian. Hakim menyarankan kami untk meditasi dulu sebelum lanjut ketahap berikutnya. "Riri, apa kabar?" Masih sempat Mas Tama bertanya. Ia mengejarku keluar. Kuhentikan langkahku. Menatapnya kemudian menjawab. "Seperti yang terlihat, Aku baik," jawabku datar. "Bisakah, Aku minta uangku kembali! Pliss Ri. Aku sangat butuh uang itu!" Mas Tama mengatupkan dua tangannya di dada. Aku tersenyum menanggapi."Ri, tolong jangan jadikan perpisahan ini ajang permusuhan!" What? Permusuhan katanya? Aku diam menunggu kalimat selanjutnya. "Aku tau, Kau sakit hati pastinya. Tapi Aku tak punya pilihan Ri. Kau tidak menyukai ibu dan Mita. Sedangkan mereka sangat menyayangimu. Jadi Pliss Ri. Balikin duit Aku!" Menatap penuh mohon. "Ternyata, Kamu masih halu ya Mas." kutatap ia, ada sedikit iba dihati namun sikapnya yang terus minta uang ini lama-lama membuatku muak. "Apa maksudmu, Ri?" Tampak ia belum paham maksudku. "Kuberitahu ya, Mas. Aku tidak pernah mengambil uang yang ada di tangan ibu walau seperak pun. Jadi tolong berhenti memintanya padaku. Nanti Kau malu sendiri, Mas." "Kenapa jadi berbalik ke ibu. Jangan berbelit-belit Ri. Ibu sudah cerita semua tentangmu selama ini. Kembalikan saja, sebelum aku minta secara paksa." Dia mulai mengancamku rupanya. "Mau secara paksa atau kekerasan pun, uang itu tak pernah aku ambil dari ibumu," ucapku tegas. Entah bagaimana membuatnya percaya. Otaknya seperti sudah dicuci oleh Ibunya. Kasihan. "Lalu, dari mana Kamu tau jumlah bonusku, padahal Aku tak pernah memberitahukannya padamu," Masih belum percaya juga dia.Alamak! Papakan yang memberitahukan berapa bonus Mas Tama waktu itu."Mmm, itu, Aku hanya menebak saja," jawabku asal. Tak mungkin aku jujur sekarang. Aku masih betah menyembunyikan jati diriku. "Ada apa Tam, pasti perempuan nggak jelas ini pengen rujuk denganmu!" Tiba-tiba ibunya datang dari belakang. Menebak kalau aku ini pengen rujuk. "Aku meminta uangku, Bu. Riri harus mengembikannya sekarang," jawab Mas Tama cepat. "Uang? Uang yang mana Tam, memangnya dia curi uang, Kamu?" Ibu mengerutkan keningnya menatapku dan Mas Tama bergantian."Uang bonus yang kuberikan pada Ibu. Bukannya Ibu bilang dirampas sama Dia." Mas Tama menunjukku."Oh, I-itu, mmm, kita pulang yuk! Ibu baru ingat ada arisan nanti sore." Ibu mengalihkan pembicaraan. Sedanh Mita sudah duluan masuk ke dalam mobil Mas Tama."Awas ya Ri. Aku akan terus menagihnya!" Masih sempat ia bicara sebelum mengikuti langkah ibunya. Aku geleng-geleng kepala. Mas-Mas suatu saat Kamu akan tahu seperti apa aslinya ibu dan adikmu. Kasihan! Saatnya kembali kekantor. Sebelumnya aku mampir kerumah untuk berganti baju."Enak ya jadi selingkuhan, Bos. Mau datang jam Berapa pun bebas!" O ow, ada yang menyindir ternyata. Kuhentikan langkah menatap dua wanita yang berdiri tak jauh dariku. "Apa mengurus hidup orang termasuk pekerjaan disini?" Sengaja kubuka kacamataku menatap tajam keduanya. "Kenapa tidak, di kantor ini tak ada yang namanya pelakor. Perusahaan ini punya nama baik. Jadi sebaiknya berhentilah dari sini!" jawab karyawan yang bernama Maya. Kenapa dia seolah lebih tahu banyak tentang perusahaan ini."Aku suka sikap kalian yang tak menyukai pelakor. Tapi perlu kalian tahu! Aku bukan pelakor diperusahaan ini." Aku meninggalkan mereka, dan segera memasuki lift."Siang Bu Riri!" sapa Risti sambil berdiri."Siang, sudah siap tugas hari ini?" tanyaku langsung. "Sudah, Bu. Nirmala yang mengerjakannya, sekarang dia sedang ketoilet. Ini ada berkas lagi dari Pak Gilang!" Risti menyodorkan map padaku. Aku segera mengambilnya. "Bilang apa dia?" tanyaku sambil membuka berkas itu. "Baca sebelum tanda tangan!" "Oh. Silahkan Kamu lanjutkan lagi!" "Baik, Bu!" Risti kembali fokus pada laptopnya, Aku mulai memeriksa berkas dari Gilang. Selesai! Tanda tangan sudah. Aku baru menyadari Nirmala ternyata belum kembali, padahal sudah hampir setengah jam aku disini."Ris, Nirmala belum balik?" Risti Goyang. "Sudah kutelpon Bu tapi, nggak di angkat.Aku jadi berpikir lain. Nggak sewajarnya ini. "Kamu susul sana Ris. Nanti dia kenapa-kenapa pula di bawah. Lagian kenapa toilet bawah. Disini kan ada toilet juga." Risti segera menyusul Nirmala. Ku buka aplikasi biru milikku. "Calon Kakak Ipar"Unggahan Mita bersamaan dengan foto dirinya dan Nirmala juga Mas Tama berada dalam satu mobil.Ternyata mereka suah kompak sekali."Bu!" Risti baru saja masuk keruanganku. "Ada apa Ris?" penasaran penasaran. "Nirmala pingsan di toilet, sekarang ada di ruang kesehatan," ucap Risti cepat. "Loh, kok bisa?" "Kata ob tadi Nirmala lama nggak keluar terus dari mereka dobrak pintunya ternyata dia pingsan." Risti menjelaskan kronologinya. "Ya udah, Ris, Kamu tunggu disini ya! kalau Pak Gilang datang. Berikan berkas ini. Saya mau melihat Nirmala dulu!" Risti mengangguk. Aku segera bangkit memakai topeng dan kacamata lalu turun ke bawah. Kenapa Nirmala pingsan? TbcPernikahan KeduaNirmala HamilBab 6Berpapasan dengan beberapa karyawan membuat ekspresiku berubah. Pasalnya ada yang melihat tersenyum, namun lebih banyak yang sinis. Ini pasti karena hari pertama aku dekat dengan papa. Mereka mengira aku ini benar selingkuhan bos mereka. Terkadang lucu juga.Berbelok menuju ruang kesehatan. Aku membetulkan bentuk kacamata. Kali ini aku pakai yang bening. Norak juga kalau pakai yang hitam di dalam kantor. Seperti orang yang mau liburan di pantai."Mas, Kamu harus segera nikahi aku!"DegAku tak jadi membuka pintu yang handlenya sudah kupegang. Didalam ternyata sudah ada Mas Tama."Iya, Sayang. Mas pasti akan menikahi, Kamu. Mas, kan sudah janji. Pokoknya secepatnya," balas Mas Tama. Kenapa aku perih mendengarnya? Ada apa sebenarnya ini? Aku mulai menduga hal yang sensitif pasti terjadi. "Pokoknya secepatnya, Mas. Jangan sampai Ayah tau aku hamil." Terdengar suara Nirmala yang memaksa. Apa? Hamil? Benar dugaanku."Stttt, jangan keras - keras, na
Pernikahan Kedua BerantamBab 7Pov RiriRisti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. "Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. "Hahahaha....!" tawa me
Pernikahan KeduaBenarkah Aku yang Mandul? Bab 8Kupakai kaca mata hitam keluar dari mall. Sepertinya mereka mengikuti, biarkan saja. Biar mereka lihat mobil Bantley Continental milikku. "Riri, tunggu!" panggil ibu mertua mengejarku. "Ada apa, Bu? Belum puas menertawakan saya?" Kuhentikan Langkahku. "Sebenarnya, Kamu ini siapa? Bukannya, Kamu ini susah saat sama Tama?" tanyanya. Sepertinya dia penasaran. "Iya memang, saya susah waktu tinggal dirumah ibu, sekarang tidak lagi. Maaf, saya harus pergi!" Cepat aku melangkah meninggalkannya. "Riri, tunggu dulu!" ia menarik tanganku. "Kamu jadi simpanan ya, makanya secepat ini berubah?" tuduhnya. What? Dia bilang aku simpanan? "Bu, jangan asal bicara ya? Saya ini wanita terhormat." Aku tak terima dibilang simpanan. "Halah, jangan munafik deh, Mbak. Jaman sekarang, itu banyak terjadi kok. Lagian nggak mungkin kan secepat itu Mbak Riri kaya raya." Mita ikut-ikutan memojokkanku. "Seperti, Kamu gitu?" Kubalik perkataannya. Plak"Lan
Peenikahan KeduaMenganggap RendahBab 9Pov Riri.Setelah proses mediasi gagal sidang akan di gelar satu kali lagi. Kurasa tak perlu lagi bersembunyi dari Mas Tama. Toh, keputusan untuk cerai pun sudah bulat. "Selamat pagi, Bu!" sapa Risti dan Nirmala bersamaan."Pagi!" jawabku sambil terus berjalan menuju kursi. "Gilang belum datang?" tanyaku. Soalnya hari ini akan ada peninjauan proyek yang dibangun bersama Buana Corp."Belum, Bu," jawab Risti."Bu, apa aku bisa tidak ikut hari ini?" Nirmala bertanya."Kenapa, Nir? Ini proyek penting loh," tanyaku balik. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan dipindahkan kekantor pusat. Tentunya gajipun akan ditambah juga bonus dari proyek akan mereka dapatkan.Kulihat Nirmala gelisah, seperti takut untuk mengutarakan alasannya. Apa ini ada hubungannya dengan kehamilannya? "Begini, Bu. Saya ada acara keluarga nanti malam, saya ingin izin setengah hari saja," ucapnya kemudian."Maaf, Nir. Dengan berat hati saya tolak izin Kamu. Kita sudah hampir
Pernikahan KeduaSyok TamaBab 10Pov Tama"Kamu kenapa diam saja diperintah sama og itu?" tanyaku pada Nirmala. Entah kenapa ia mendadak diam saat berhadapan dengan Riri."Mas, nanti saja kita bahas, aku harus masuk segera," tolak Nirmala. Aku menahan tangannya."Tunggu! Jangan takut sama dia," ucapku. Tiba - tiba aku berpikirApa mungkin Riri sudah mengancam Nirmala atau mengatakan kalau dia bekas istriku."Mas, nanti siang saja kita ngobrol, aku nggak mau gara-gara nggak disiplin waktu aku gagal di pindah kesini. Ini saatnya aku buktikan, Mas." Nirmala menatap mataku memohon agar aku mengizinkannya masuk. Memang dia disini karena ikut membantu proyek, bila hasilnya memuaskan maka ia dan temannya akan di pindah kesini. Akan semakin memudahkan kami untuk bertemu. Tak salah aku membuang Riri, sekarang aku dapat Nirmala, yang selevel dengan keluarga kami."Siang, kita makan bareng ya?" Aku memastikan lagi ucapan Nirmala."Iya, iya, Mas juga kerja sana!" Dia cemberut namun menurutk
Pernikahan KeduaBab 11 PembuktianPov TamaAku sudah rapi dengan pakaian kerjaku, pagi ini akan kutanyakan uang itu pada ibu.Kulihat ibu duduk sendiri di meja makan, pasti Si Mita belum bangun. Baguslah, biar ini jadi urusanku sama ibu saja. "Bu, dimana uang yang ibu ambil itu?" Aku tak ingin mengulur waktu, karena aku sudah merasa was-was kedepannya nanti. Apalagi ini memakan waktu sepuluh tahun, belum tau lagi nasibku gimana. Bisa jadi kapan saja aku dipecat dari kantor."Sudah ibu buat seserahan untuk Nirmala," jawab ibu. Ia tetap melanjutkan sarapannya. Sedangkan aku, sama sekali tak berselera."Untuk Nirmala tidak sampai separuh dari yang yang ibu ambil, sisanya lebih banyak loh, Bu.""Uangnya ibu masukin tabungan ibu, Tam, biar aman." Ibu tersenyum menatapku."Kenapa ambil terlalu banyak, Bu. Bulananya sangat membebaniku, Bu." Jujur saja kukatakan keresahan hatiku."Kamu keberatan?""Ya iyalah, Bu. Ibu kan tau gajiku lima belas juta sebulan, untuk bayar bulanannya saja sud
Pernikahan KeduaSetelah Tahu StatuskuBab 12 Pov Riri"Mas Tama!" Sapaku, ia baru saja muncul di pintu ruanganku, ada apa dia kesini? Dia masih mematung urung untuk masuk, memperhatikanku lekat. "Silahkan masuk, ada perlu apa?" tanyaku untuk mengalihkan tatapannya. Tatapan yang dulu mungkin kusukai, tapi tidak untuk sekarang. Ini di kantor, aku harus profesional dong, lagi pula mungkin ada masalah kantor yang ingin dia sampaikan atau masalah terkait dengan Nirmala. "Mas Tama!" tegurku lagi. Sungguh akupun tidak nyaman ditatap terus dari tadi."Emmm e e i iya...." jawabnya gugup. Dia kemudian melangkah mendekat ke mejaku. "Ada perlu apa?" ku ulang lagi pertanyaan yang sama. "Riri, jadi benar Kau anak Pak Danu Subrata?" tanyanya kemudian tanpa duduk. Oh, jadi ini tujuannya. Pasti ia sudah dengar omongan orang dikantor ini. Untuk apa lagi kututupi statusku sebagai putri pemilik perusahaan ini. "Riri, jawab pertanyaanku!" ia tampak tak sabaran, sedikit kesal mungkin menunggu
Pernikahan Kedua Kedatangan TamaBab 13Aku bersikap cuek, kami tetap asyik menikmati hidangan yang disuguhkan pelayan.Dia duduk tepat disamping Nirmala. Nirmala tampak mengambilkan nasi pada Mas Tama, namun tunangannya itu tetap curi-curi pandang padaku."Seneng deh, Mas, bisa kumpul bareng team aku begini, apa lagi ada Mas Tama," ucap Nirmala. Ia kembali makan setelah mengambilkan untuk Mas Tama."Btw, katanya kalian udah lamaran, jadi kapan nih resepsinya?" Risti menyenggol lengan Nirmala."Belum diputuskan kapan hari baiknya." Nirmala yang ingin menjawab tadi dipotong oleh Mas Tama."Kenapa dengan hari baik, bukannya semua hari itu baik. Jangan lama-lama loh, nanti Nirmala di embat orang," celetuk Risti.Selesai makan kuputuskan untuk pulang. Kali ini Nirmala bersama Mas Tama. Kami mengantar Risti duluan. "Kamu nggak cemburu?" Gilang melirikku setelah bertanya."Nggak, cuma kadang aneh saja,""Aneh?" Gilang mengerutkan keningnya."Hem,, perasaan baru saja kami pisah, tapi udah