Share

Bab 4. Antar Pulang

Hilya membawa Arbian dan Asrina berjalan-jalan hingga ke depan tempat perjamuan saat tiba-tiba seorang wanita paruh baya mengahapiri Hilya.

"Hilya, kemana saja kamu? Mama sudah mencarimu sejak tadi. Ayo ikut Mama," kata wanita itu menarik tangan Hilya.

Hilya melirik Arbian dan Asrina meminta maaf. "Tuan Arbian maaf saya harus pergi dulu. Asrina kamu bisa menemani Tuan Arbian sebentar, ya." Hilya tersenyum meminta maaf dan mengikuti mamanya.

Tinggal berdua, Asrina tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Itu, Tuan Arbian, apa Anda haus? Bagaimana kalau saya mengambilkan Anda minuman?" tanya Asrina kikuk.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu mempertimbangkan kontrak waktu itu?" tanya Arbian menatap gadis yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk.

Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan mata yang bingung dan seperti akan menangis kapan saja. Apakah dia akan menangis seperti saat pertama kali mereka bertemu?

Gadis ini sepertinya sangat mudah menangis.

Asrina menatap mata Arbian yang tidak terlihat sedang bercanda. Dia benar-benar ingin menjadikannya istri kontraknya. Asrina mengepalkan tangannya memegang dress nya dan menggigit bibirnya mengingat masalah yang dihadapi oleh papanya membuat Asrina bingung.

Dia ingin membantu papa mengatasi masalah perusahaan. Jika perusahaan mendapatkan suntikan dana, maka perusahaan tidak akan bangkrut.

Tapi, haruskah dia melakukan ini?

"Aku .... Kamu benar-benar akan memberiku uang jika aku setuju?" tanya Asrina gugup.

"Iya. Datanglah ke perusahaanku besok pagi jika kamu mau. Berapapun yang kamu inginkan bicarakan denganku besok." Arbian setuju tidak peduli berapapun uang yang dia inginkan.

Duduk di sudut perjamuan Asrina menikmati kue kecil yang diambilnya dari pelayan tadi. Setelah menghabiskan kue dia merasa sedikit haus, dia pun berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja minuman.

Asrina meraih segelas jus jeruk, baru saja akan mengangkat gelas itu, seseorang tiba-tiba mendorongnya, membuat jus di dalam gelas tumpah ke dress nya.

"Ah!" terdengar seruan panik dari orang yang menabraknya yang kini sudah tersungkur di samping kaki Asrina.

Asrina melebarkan matanya dan membuka mulutnya terkejut hampir saja terjatuh. Untungnya dia bisa menstabulkan diri, jika tidak dia akan terjatuh dengan malu sama seperti wanita yang telah menabraknya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Asrina melihat wanita yang masih duduk di lantai dengan kepala tertunduk.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," kata wanita itu cepat sambil berusaha berdiri saat seseorang tiba-tiba menariknya ke atas dan memeluknya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya pria yang memeluk wanita itu.

Asrina terkejut melihat mantan tunangannya Evan memeluk wanita lain. Memperhatikan wanita di pelukan Evan membuat Asrina merasa akrab.

Bukankah wanita itu yang ditemuinya sedang berciuman dengan Evan di kantor waktu itu?

Ini pertama kalinya Asrina melihat Evan memperlihatkan wajah khawatir dan cemas seperti itu. Saat mereka masih bersama Evan tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Evan selalu terlihat tidak sabar saat bersama dengannya.

Evan melirik Asrina yang berdiri di sampingnya dan segera menanyainya dengan marah. "Apa yang kamu lakukan padanya?"

"Hah?" Asrina mengernyit bingung. Apa maksud Evan? Apa dia berpikir dialah yang mencelakai sekretaris itu?

"Sudah aku katakan pertunangan kita telah berakhir. Jangan pernah berpikir aku akan menyukaimu lagi. Dan cara mu ini benar-benar keterlaluan. Kamu tidak seharusnya melukai Bella seperti ini!" teriak Evan kesal.

"Nona Asrina tidak mendorongku. Jangan menyalahkan Nona Asrina," ucap Bella berusaha melepaskan diri dari pelukan Evan.

"Kamu masih membelanya? Aku tahu wanita itu, dia selalu melakukan sesuatu seenaknya. Ayo pergi," kata Evan menarik Bella menjauh dari Asrina.

Dada Asrina sakit mendengar cemohan Evan. Seperti itukah dia selama ini dimatanya? Apakah dia wanita yang akan mencelakai orang lain?

Tanpa terasa titik air mulai terjatuh di pipi merah muda Asrina. Pria yang selama 3 tahun disukainya menuduhnya di depan wanita lain.

Sebuah sapu tangan putih tiba-tiba terulur di depan Asrina. Asrina melirik sapu tangan putih itu ke sepanjang tangan pemilik sapu tangan. Dia tertegun melihat Arbianlah yang memeberikan sapu tangan padanya.

"Kamu sangat suka menangis. Apa air matamu terbuat dari keran air?" Arbian teringat saat pertama kali mereka bertemu Asrina juga sedang menangis. Dia baru berhenti menangis saat tertidur.

Asrina mengerucutkan bibirnya mengambil sapu tangan dari Arbian dan mengusap air matanya.

"Mataku bukan keran air. Kelenjar air mataku memang berkembang seperti ini. Bukan salahku kalau aku menangis. Apa urusanmu?" bantah Asrina diam-diam kesal pria ini mengatainya keran air.

"Oh, kalau begitu aku akan menyiapkan kolam di rumah ku khsusus buat menampung air matamu," canda Arbian. Entah kenapa dia tidak suka melihat air mata wanita ini tumpah seperti itu.

Jika karyawan Arbian melihat bos mereka saat ini, mereka pasti akan syok. Bos mereka yang pemarah dan muram bisa mengucapkan lelucon untuk menghibur wanita cantik. Matahari pasti terbenam di timur tadi.

"Kamu—" Asrina mengangkat tangannya dan menunjuk Arbian dengan kesal. Bisa-bisanya pria ini bercanda seperti itu.

"Ayo pergi. Aku akan mengantarmu pulang," sela Arbian.

"Tapi, perjamuan nya belum selesai."

"Aku sudah memberitahu tuan rumah tadi. Kita bisa pergi tanpa menunggu perjamuan selesai," jelas Arbian mengangkat kakinya meninggalkan aula perjamuan.

Asrina segera berlari kecil mengikuti Arbian.

Saat berjalan keluar Arbian melirik dress Asrina yang basah, dia pun melepaskan jasnya dan memakaikannya pada Asrina tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Asrina tertegun melirik jas yang menyelimutinya dan melirik Arbian yang sudah berjalan ke depan dengan bingung. Asrina menarik jas itu agar tidak jatuh, dia bisa mencium aroma mint samar seperti yang dimiliki Arbian. Asrina tersenyum kecil merasa hangat dan segera menyusul Arbian yang sudah hampir sampai di mobil yang terparkir tidak jauh di depan.

ꕤꕤꕤ

Duduk di kursi penumpang belakang Arbian menyebutkan alamat rumah Asrina pada Pak Dodi. "Pak Dodi, kita ke Jalan Batu di pinggiran selatan kota."

"Baik, Tuan," angguk Pak Dodi.

Asrina yang baru saja masuk ke dalam mobil menatap Arbian dengan curiga. "Bagaimana kamu tahu alamat rumahku? Apa kamu menyelidikuku?"

Bersandar di sandaran kursi Arbian memejamkan mata tanpa niat menjawab.

Melihat Arbian memejamkan mata membuat Asrina kesal. Apa tujuan pria ini menyelidikinya?

Pak Dodi menyalakan mobil dan melaju menuju alamat yang disebutkan Arbian. Di dalam mobil sangat hening, Asrina yang tidak mendapat tanggapan hanya bisa diam.

Pria itu sepertinya sedang beristirahat, dia tidak ingin mengganggunya dan juga tidak tahu apa yang harus dikatakan dengan pria itu.

Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan lorong rumah Asrina.

Asrina baru saja akan membuka pintu mobil melihat jas yang terpasang di tubuhnya. Dia pun melepaskan jas itu dan ingin mengembalikannya pada Arbian.

Asrina melihat Arbian sudah membuka matanya dan menatapnya.

"Terima kasih telah meminjamkan ini dan mengantarku kembali," ucap Asrina memberikan jas pada Arbian.

Arbian menerima jas itu dan melihat Asrina keluar dari mobil. "Ayo kembali," ucap Arbian.

Memegang jas ditangannya Arbian bisa mencium aroma anggrek milik gadis itu yang masih tersisa.

ꕤꕤꕤꕤꕤ

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status