Share

5. Kastil "The Wife"

"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.

Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?"

"Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,"

"Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"

Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa.

"Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga.

"The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,

"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat.

"Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.

Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.

Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.

Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun melompat, dan bergelayutan sepanjang lebih dari satu kilometer. Aku menjerit kegirangan ketika melihat pemandangan dibawah kami.

Danau berkelip-kelip dibawah kakiku, diiringi riak ikan yang berenang didalamnya. Aku membayangkan betapa menyenangkannya bisa mancing dengan santai disana.

Kami sampai di sebuah dek dari salah satu menara kastil. Seorang penjaga wanita menyambut kami. Dia juga membantuku melepas sabuk.

Aku melihat kebawah dan yang aku lihat hanyalah jurang yang dalam dan berbatu besar. Bisa dibayangkan jika terjatuh kebawah sana.

"Kenapa tidak lewat jalur darat saja kek?" tanyaku heran saat kami menyusuri koridor kastil yang pengap.

"Karena memang tidak ada jalur darat," jawab kakek enteng.

"Apakah jurang yang aku lihat hanya salah satunya?"

"Kau benar,"

"Wow, jelas sekali tidak ada jalan keluar dari sini,"

"Kau takjub? Atau takut?"

"Keduanya," jawabku mengakui.

Menilik bagaimana cara kami bisa masuk kesini. Tentu saja organisasi ini sangat serius. Apakah penyiksaannya begitu kejam hingga mereka sangat takut kami akan kabur?

Kita akan lihat nanti.

"Perkenalkan, cucuku Hannah," kata kakek pada seorang wanita paruh baya dengan wajah seperti kodok.

Aku menahan tawa, karena hidungnya mirip bentuk tubuh kodok bangkong yang besar. Matanya kecil dengan alis tipis yang aneh. Ditambah bibirnya yang melengkung dengan satu garis keatas.

"Apa kau takut aku menyiksa cucumu hingga harus mengantarkannya secara langsung padaku?" tanya wanita itu tersinggung. Dia tidak sedang bercanda.

Kakek hanya tertawa kecil, "aku yakin dia akan nyasar ke danau jika tidak aku temani, sofia,"

"Ke danau?"

" Dia suka berenang dan memancing, bertualang adalah kegiatan liburannya sejak kecil. Tentu dia akan lebih memilih itu dari pada lompat ke kastil tua ini," timpal kakek merasa geli.

"Ayo, ikut bersamaku," kata Sofia kaku, seolah sedang menahan sesuatu yang meronta-ronta dalam dirinya.

"Dia kenapa kek?" tanyaku berbisik

"Dia mengalami sindrom susah tertawa," jawab kakek yang juga berbisik.

Air ludah menyembur dari mulutku. Kami bergosip dibelakang Sofia yang berjalan begitu cepat.

Kastil "The wife" Ini mirip kastil pada umumnya. Kecuali pintu-pintu besarnya sudah diganti dengan pintu baja yang berat dan tebal.

Aku yakin butuh waktu berhari-hari untuk melubanginya bahkan dengan bor listrik sekalipun.

Sofia berhenti di satu pintu yang lebih kecil dari yang kami lewati sebelumnya. Membukanya dengan kedua tangan seolah pintu itu terbuka karena sidik jarinya. Aku yakin tidak salah menebak.

Aku terkejut dan ingin berbalik pergi. Karena pemandangan didalam sana benar-benar membuatku ingin menutup mata.

Puluhan pria sedang berdiri berbaris rapi tanpa mengenakan busana. Kau tau? Telanjang!.

Aku menunduk karena malu. Sampai Sofia berdehem. Saat melihatnya, dia sedang melotot padaku.

"Tegakkan kepalamu dan pilih salah seorang dari mereka," kata Sofia lantang.

Aku terpaksa melihat mereka semua, meskipun pandangan ku tertuju pada wajah mereka dan berusaha tidak melirik kebawahnya.

"Memilih?" tanyaku bingung.

"Kau tau sebutan " The wife"? Sofia malah balik bertanya. Aku menggeleng.

" The Wife artinya seorang istri. Dan untuk menjadi istri, kau membutuhkan suami. Sekarang pilihlah suami yang akan menjalani pelatihan bersamamu," ujar Sofia menjelaskan dengan sabar.

Aku menganga menatapnya tak percaya. Meskipun aku harus memilih seorang suami, bukan berarti mereka harus bertelanjang bulat bukan? Tempat ini sungguh aneh.

"Pilihlah sayang, sebelum dia yang memilihkannya untukmu," kata kakek menyemangati.

Aku menelan air liurku dengan susah payah. Saraf-sarafku tegang dan tengkukku merinding. Sepertinya, ada hal penting dari senjata rahasia pria sehingga harus di pertontonkan seperti itu.

Dengan mengumpulkan keberanian dan membuang rasa malu, aku memperhatikan mereka satu persatu. Kakiku entah mengapa malah bergerak maju seakan ingin menyeleksi mereka dengan seksama.

"Boleh aku mendekat?" tanyaku takut pada Sofia.

"Tentu, kau bahkan boleh memegangnya satu persatu jika penasaran," jawab Sofia enteng.

Perlahan, aku mendekat ke barisan pria paling depan. Memeriksa sisi menarik dari wajah dan tubuh mereka. Dan yang terakhir, aku begitu seksama membedakan senjata mereka yang beragam.

"Boleh aku tau apa fungsi ini dalam tugas kami nantinya?" tanyaku menunjuk benda itu.

Kakek tergelak tak dapat menahan gelinya. Bahkan Sofia mukanya merah padam. Dia benar-benar menahan sesuatu yang meronta dalam dirinya. Hingga akhirnya dia pun tertawa.

"Dia sepolos Anna, Greg," kata Sofia disela tawanya.

"Aku tau, dia cucuku Sofia. Dan dia telah membuatmu tertawa," jawab kakek semakin tertawa keras.

"Wah..wah..wah.. Ada gelaran komedi disini?"

Seorang pria masuk dengan sikap angkuh. Kakek dan Sofia melihat kearahnya dan langsung diam. Aku tau pria itu.

Dia yang terus memandangiku dengan mata elangnya kemarin. Melihat dari pakaiannya, dia bukan orang sembarangan disini.

"Alexey," kata kakek dengan penuh hormat.

Alexey hanya mengangguk sekali. Matanya lalu tertuju padaku dengan sorot tajam. Aku juga memandangnya seakan membencinya. Entah kenapa dia memiliki aura menyebalkan.

Sofia maju, menghalangi pandanganku pada Alexey. Matanya memberikan isyarat padaku untuk mengikutinya. Aku pun menuruti perintah Sofia.

Aku berjalan dengan gusar bersama Sofia, sementara kakek mengikuti dibelakang kami. Suasana menjadi hening dan dingin.

Kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang mirip kantor. Aku yakin ini ruangan khusus Alexey. Karena wajahnya terpampang begitu besar bagai potret seorang raja.

"Duduk," kata Alexey dengan nada kaku.

Aku duduk disebelah Sofia yang duduk dengan tegap. Sementara kakek bersikap lebih santai, lalu menuangkan teh yang sudah tersaji diatas meja.

"Jadi, kau sudah memutuskan?" tanya Alexey langsung padaku.

Aku cukup terkejut dan jadi salah tingkah. Meskipun sorot matanya tajam dan nada bicaranya sangat formal, tapi Alexey luar biasa tampan dan dewasa.

"Belum," jawabku seadanya. Mataku tak dapat terlepas dari jerat tatapan Alexey.

"Bagus kalau begitu," kata Alexey mulai duduk dengan rileks.

Kakek yang mendengar itu lantas sedikit menyemburkan tehnya. Dia saling bertatapan dengan Sofia.

"Apa mungkin...?" Sofia menggantung pertanyaannya.

Alexey mengangguk tegas. Jarinya yang panjang menyusuri dagunya yang berjanggut tipis.

"Aku punya tugas khusus, dan Dia sangat cocok untuk itu," Jawab Alexey santai.

Kakek menelan air ludahnya dengan berat, matanya menyiratkan keterkejutan.

"Tapi Hannah bahkan belum mendapatkan pelatihan, Alexey," sergah kakek keberatan.

"Justru karena Hannah masih baru, dia sangat cocok untuk mendampingiku. Kau tau kebanyakan dari " The wife" Sudah melakukan tugas lebih dari tiga kali. Dan itu sangat rentan dikenali orang lain,"

Sofia memegang tanganku untuk menyemangati. Aku merasa ini akan lebih berat daripada mengikuti pelatihan di kastil. Mengingat bagaimana Sofia dan kakek bereaksi.

Aku menegakkan posisi dudukku. Menjadi percaya diri dan yakin adalah motto yang ibu ajarkan padaku. Jika tidak mau mencoba, kita tidak akan pernah berkembang.

"Bagaimana Hannah?" tanya Kakek padaku.

Alexey bangkit lalu mengambil sesuatu di laci mejanya. Dia meletakkan sebuah amplop besar diatas meja dan menyodorkannya padaku.

"Untuk hal ini, kita harus terikat dalam perjanjian. Dan kau harus tau peraturannya," kata Alexey seraya mendorong berkas itu padaku.

Kali ini, aku jadi ciut. Kepercayaan diriku langsung sirna saat melihat halaman pertama perjanjian itu. Mataku semakin melotot tatkala membaca satu persatu isi perjanjian itu.

Berkas itu bisa dibilang sebuah kontrak. Dan yang lebih membuatku syok karena;

"Kita harus menikah secara hukum?" tanyaku begitu terkejut hingga harus mengucapkannya dengan lantang.

Alexey menautkan kedua tangannya didepan wajah dengan senyuman sinis. Aku merasa ingin lantai menelanku bulat-bulat.

Haruskah aku menerima perjanjian ini? Tapi menurut analisaku, Alexey bukanlah pria sembarangan. Dan hal itu memberikan keuntungan lebih untukku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status