Pagi harinya, Ayudhia terbangun oleh seberkas cahaya yang menyelinap dari celah gorden tebal. Ia menoleh, melihat sisi ranjang di sebelahnya kosong dan dingin.
Tadi malam adalah malam pertama mereka. Tentu saja Ayudhia tetap merasa canggung, dia satu kamar dengan pria asing. Meskipun pria itu adalah suaminya sendiri. Arlo tetap menyuruh Ayudhia untuk tidur di ranjangnya, tetapi karena tidak terbiasa, Ayudhia menaruh bantal di tengah-tengah mereka. Entah apa yang ada di dalam pikiran Arlo saat melihat Ayudhia memberi batasan di antara mereka. Ekspresi Arlo saat itu hanya datar tanpa berbicara apa pun. Setelah itu, Ayudhia tetap tidur. Jadi, ketika tadi Ayudhia terbangun dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, Ayudhia berpikir mungkin Arlo tidak tidur di sampingnya tadi malam. Ayudhia baru menghembuskan napasnya lega ketika pintu kamar mandi terbuka. Dari sana Arlo melangkah keluar, hanya mengenakan jubah mandi hitam yang sedikit terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh. Butiran air menetes dari ujung rambutnya. Ayudhia terpaku. Napasnya tercekat sesaat, matanya tak berkedip. Arlo mengerutkan dahi, menyadari tatapan Ayudhia. Senyum samar kembali terangkat di wajahnya. Arlo melangkah mendekati ranjang, dia menjentikkan jarinya di depan Ayudhia. Ayudhia tersadar, pipinya memanas. Dia buru-buru mengalihkan pandangan. "Cepat bersiap. Kita berangkat bersama ke perusahaan," perintah Arlo, suaranya datar, sebelum melangkah menuju ruang gantinya. Saat berjalan menuju kamar mandi, pergelangan kaki Ayudhia yang terkilir kemarin terasa nyeri. Dia berhenti sejenak, wajahnya mengeras, sebelum melanjutkan langkahnya dengan punggung yang lebih tegak dari sebelumnya. *** Lobby A.R Atelier menjulang tinggi, didominasi marmer hitam dan aksen emas yang memancarkan aura dingin dan berkuasa. Begitu Ayudhia turun dari mobil yang sama dengan Arlo, langkah kaki para karyawan di sekitarnya melambat. Kepala-kepala menoleh pelan-pelan ke arah mereka. Bisikan-bisikan juga mulai terdengar. Mike, asisten pribadi Arlo, menyambut mereka. Arlo menyerahkan sebuah stopmap pada Ayudhia. "Melaporlah ke HRD." Dia kemudian berjalan masuk bersama Mike, meninggalkan Ayudhia di tengah lobi, di bawah tatapan puluhan pasang mata. Ayudhia menarik napas dalam-dalam, menegakkan dagunya, dan melangkah. Proses di HRD berjalan secepat kilat. Kartu identitas dengan lanyard biru sudah tercetak atas namanya. "Selamat bergabung,” kata kepala HRD sambil menyerahkan ID-card pada Ayudhia. “Kamu bisa pergi ke Divisi Perencanaan di lantai 15." Ayudhia menatap ID-card di tangannya. Secepat ini dia mendapatkan ID-card, sepertinya Arlo memang sudah menyiapkannya. “Terima kasih,” ucap Ayudhia lalu pergi meninggalkan ruang HRD. Saat pintu lift terbuka di lantai 15, suasana yang tadinya ramai mendadak menjadi lebih hening. Semua aktivitas seolah melambat saat dia melangkah masuk. Tatapan-tatapan aneh kembali mengarah padanya. Dia bisa menangkap beberapa kata: "... Ardhana ....." dan "... mata-mata ...." Wajar mereka berasumsi seperti itu. Ayudhia masih tetap dikenal sebagai putri keluarga Ardhana, dan hari ini tiba-tiba dia bekerja sebagai karyawan baru di perusahaan saingan keluarganya. Siapa yang tidak berpikir kalau dirinya adalah mata-mata? Namun, Ayudhia memilih mengabaikan itu semua. Ayudhia tetap berjalan lurus. Mereka tidak tahu apa yang telah Ayudhia alami, jadi rasanya sia-sia jika meladeni mereka. Yang terpenting adalah Ayudhia fokus pada tujuannya: menjatuhkan keluarga Ardhana dan memenuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama Arlo. "Kamu staf baru?" Sebuah suara ramah membuatnya menoleh. Seorang wanita berkacamata tebal tersenyum sambil mengulurkan tangan di depannya. "Aku Della." "Ayudhia," balasnya, merasakan sedikit ketegangan di bahunya mengendur saat menjabat tangan Della. Setelah perkenalan singkat itu, Della menuntun Ayudhia menuju meja kosong, sambil tetap ditemani beberapa tatapan sinis ke arah mereka. “Sudah, jangan dipedulikan ekspresi mereka. Memang begitu kalau ada karyawan baru. Biasa persaingan kerja.” Ayudhia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Baru saja dia akan duduk di meja kosong sebelah Della, Mike kembali muncul di ambang pintu divisi. "Semua anggota tim perencanaan untuk kontes tahunan ke ruang rapat. Sekarang," Mike berkata dengan suara tegas. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Ayudhia. "Termasuk Anda, Ayudhia." Keheningan yang lebih dalam menyelimuti ruangan. Semua mata kini terpaku pada Ayudhia dengan tatapan tak percaya. Della menatapnya dengan mulut sedikit terbuka, ada rasa kagum yang tulus di hatinya. “Kemampuanmu pasti luar biasa sampai-sampai baru masuk perusahan langsung diajak rapat pembentukan tim.” Ayudhia sendiri hanya bisa berdiri membeku sesaat dan tersenyum kikuk sebagai balasan ucapan Della, sebelum mengambil buku catatannya dan berjalan mengikuti rombongan lain dengan jantung berdebar. Ruang rapat itu terasa lebih dingin. Meja kayu panjang yang mengkilap memantulkan cahaya lampu yang menusuk mata. Dan Arlo sudah duduk di kursi utama, menunggu dengan tenang seperti seorang kaisar di singgasananya. Di seberang meja dari tempat Ayudhia berdiri, seorang wanita berpenampilan elegan menatapnya dengan tatapan tajam dan menilai. Ayudhia mengerutkan kening, dia tidak mengenal wanita itu, tetapi mengapa tatapannya terasa familier? Ayudhia kembali mengabaikan itu. Dia memilih duduk di kursi paling ujung. Jauh dari kursi Arlo. Setelah Mike membuka rapat dan memperkenalkan Ayudhia sebagai anggota tim baru, Arlo langsung mengambil alih. "Saya akan menunjuk langsung kepala tim untuk proyek ini." Pandangannya menyapu seisi ruangan, sebelum berhenti dan menunjuk tepat ke arah Ayudhia. Waktu seolah berhenti. Ayudhia bisa merasakan gelombang permusuhan yang datang dari setiap sudut meja. "Dengan segala hormat, Pak Arlo." Wanita elegan tadi, Disya, angkat bicara, suaranya halus namun menusuk. "Saya keberatan." Arlo menatap Disya, wajahnya tanpa ekspresi. "Jelaskan," katanya, suaranya rendah dan dingin. "Kenapa harus dia?" Disya menatap Ayudhia. "Seorang staf yang baru masuk hari ini. Kompetensinya belum teruji. Loyalitasnya diragukan. Yang kita tahu ... dia adalah putri dari perusahaan saingan utama kita. Menyerahkan proyek terbesar Atelier padanya, bukankah ini sebuah pertaruhan yang berbahaya?" Ayudhia mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya menancap di telapak tangannya. Dia memaksa dirinya untuk tetap menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. Arlo tersenyum tipis. Senyuman yang tidak mencapai matanya, membuat semua orang di ruangan itu menunduk. "Jadi," Arlo memulai, suaranya turun satu oktaf, menjadi bisikan yang berbahaya. "Kamu tidak hanya meragukan kemampuannya, tapi juga meragukan kemampuanku dalam menilai seseorang untuk memimpin proyek terpenting perusahaan ini. Begitu, Manager Disya?" Wajah Disya memucat. "Bu-bukan begitu, Pak. Saya hanya ...." "Keputusanku final," potong Arlo, suaranya kembali datar dan tak terbantahkan. "Ayudhia adalah kepala tim. Dan kalian semua akan mengikuti arahannya. Ada yang masih keberatan?" Tidak ada yang berani bersuara. Disya menunduk. Namun, saat dia mengangkat wajahnya, Ayudhia bisa melihat kilat kebencian di matanya. Rapat itu berakhir ketika Arlo pergi meninggalkan ruang rapat diikuti Mike di belakangnya. Semua peserta rapat juga meninggalkan ruang rapat. Saat Disya keluar, dia sengaja berjalan melewati Ayudhia, bahunya menyenggol bahu Ayudhia dengan keras. Tetapi, dia kemudian bergegas pergi ke toilet dan mengeluarkan ponselnya di sana. "Halo? Ini aku. Apa kamu tahu kalau Ayudhia masuk ke Atelier?”Di toilet eksekutif, Disya berbicara dengan suara rendah ke teleponnya. "Halo? Ini aku. Apa kamu tahu kalau Ayudhia masuk ke Atelier?”“Apa? Ayudhia Ardhana? Masuk Atelier? Kamu pasti bercanda, Disya?” Suara di seberang sana terdengar terkejut.“Aku serius. Dia bahkan langsung ditunjuk Pak Arlo sebagai kepala tim untuk proyek kontes desain tahunan,” Disya melaporkan, nada suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan. “Sial! Ada apa sebenarnya?”Disya menggerutu, masih tidak terima dengan keputusan yang atasannya buat.Tidak ada sahutan dari seberang.Hingga Disya kembali melanjutkan, “Aku rasa Ayudhia ada hubungan dengan Pak Arlo. Karena Pak Arlo melindunginya. Apa kamu tahu soal itu?” Disya frustasi. “Aku sudah mencoba menentangnya di rapat tadi, tapi dia langsung membungkamku.”Untuk beberapa saat, Disya hanya diam, mendengarkan lawan bicaranya berbicara, memberinya perintah. Masih tetap mendengarkan, satu sudut bibir Disya terangkat, tatapan licik terpancar di matanya.Setelah men
Pagi harinya, Ayudhia terbangun oleh seberkas cahaya yang menyelinap dari celah gorden tebal. Ia menoleh, melihat sisi ranjang di sebelahnya kosong dan dingin.Tadi malam adalah malam pertama mereka. Tentu saja Ayudhia tetap merasa canggung, dia satu kamar dengan pria asing. Meskipun pria itu adalah suaminya sendiri.Arlo tetap menyuruh Ayudhia untuk tidur di ranjangnya, tetapi karena tidak terbiasa, Ayudhia menaruh bantal di tengah-tengah mereka.Entah apa yang ada di dalam pikiran Arlo saat melihat Ayudhia memberi batasan di antara mereka. Ekspresi Arlo saat itu hanya datar tanpa berbicara apa pun.Setelah itu, Ayudhia tetap tidur.Jadi, ketika tadi Ayudhia terbangun dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, Ayudhia berpikir mungkin Arlo tidak tidur di sampingnya tadi malam.Ayudhia baru menghembuskan napasnya lega ketika pintu kamar mandi terbuka. Dari sana Arlo melangkah keluar, hanya mengenakan jubah mandi hitam yang sedikit terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh. Buti
Pagi harinya, sebuah panggilan kembali membawa Ayudhia ke ruangan Arlo. Pemandangan yang sama seperti semalam menyambutnya, Arlo duduk di kursi kebesarannya, punggungnya tegap, auranya dingin dan tak tersentuh, didukung dengan balutan jas hitam mahal yang pas di tubuhnya."Duduklah," kata Arlo singkat. Lalu dia bangkit, melangkah keluar dari balik meja kerjanya yang masif, kemudian duduk di sofa, menunjuk sofa di hadapannya pada Ayudhia. Persis seperti semalam.Ayudhia melangkah dengan kaku. Rasa canggung masih menyelimuti perasaannya, ditambah dengan kesadaran bahwa hari ini ... mereka akan menikah.Baru saja Ayudhia duduk, sebuah tangan terulur ke arahnya. Di antara dua jari yang panjang dan ramping, terselip selembar plester kecil.Ayudhia mengangkat wajahnya. Napasnya tercekat sepersekian detik saat matanya bertemu dengan netra hitam pekat milik Arlo. Sedalam obsidian, setajam elang."Gunakan ini untuk menutup luka di ujung bibirmu."Sebuah kehangatan yang tak terduga menyelinap k
Mata tajam Arlo menatap Ayudhia serius, membuat jantung Ayudhia berdetak cepat.Arlo mendengus kecil. “Melakukan sesuatu untukmu?” Satu sudut bibir Arlo terangkat tipis, tetapi sorot matanya berkilat. “Kamu pikir kamu bisa memerintahku?”“Tidak, saya tidak bisa memerintah Anda,” balas Ayudhia dengan cepat, “saya hanya ingin menawarkan kerjasama. Saya bisa membuatkan desain-desain yang Anda butuhkan, tetapi saya ingin Anda mengabulkan permintaan saya.”Kening Arlo berkerut halus. Dia menyandarkan punggung di sandaran sofa, satu kakinya disilangkan, lalu satu tangannya diletakkan di atas lengan sofa.“Permintaanmu itu setimpal dengan desain milikmu?”Ayudhia kembali meneguk ludah kasar. Aura pria di depannya begitu kuat, membuat tubuh Ayudhia menegang setiap kali mendengar suara dalam pria itu.Ayudhia tak langsung menjawab. Dia mengambil salah satu sketsanya dari dalam stopmap, lalu mengulurkannya pada Arlo.“Anda bisa mempertimbangkannya dulu,” kata Ayudhia.Arlo mengambil kertas yang
Malam itu, hujan turun deras.Setelah Dimas mengeluarkan kalimat itu, Ayudhia tidak membalas apa pun. Dia hanya tersenyum pada ketiga orang di sana. Orang-orang yang selama 26 tahun ini Ayudhia hormati dan sayangi.Samuel mengusirnya, tetapi tidak ada tanda-tanda Dimas dan Sonia akan membela Ayudhia dan memintanya untuk tetap tinggal di sini. Mereka hanya diam, seolah ucapan Samuel memang benar adanya.Namun, perlakuan mereka jauh lebih dingin daripada pengusiran Samuel.Sejak Fiona datang, mereka membiarkanya tetap tinggal, tetapi tidak lagi memperlakukannya seperti anak.Awalnya Ayudhia tetap bertahan, dia menggambar, bekerja keras untuk perusahaan Dimas hanya semata mencari alasan agar tetap bisa dianggap. Karena di dunia ini hanya mereka yang Ayudhia punya. Tetapi, pada akhirnya itu semua tidak cukup.Ayudhia bukan darah daging keluarga Ardhana. Bukan siapa-siapa.Jika mereka menginginkan Ayudhia pergi, maka Ayudhia akan pergi meninggalkan mereka, mengambil barang-barangnya yang
“Jangan bakar itu! Itu milikku, Fiona!”Teriakan Ayudhia pecah di halaman belakang rumah keluarga Ardhana. Dia berlari, lututnya tergores tanah saat terjatuh untuk menyelamatkan kertas-kertas sketsanya yang terbakar. Tetapi, api sudah lebih dulu menelannya. Ujung-ujung lembaran itu berubah abu dalam hitungan detik.Di hadapannya, Fiona berdiri anggun dengan wajah datar dan senyum kecil di sudut bibir. “Maaf, aku pikir itu cuma kertas bekas. Tapi, kamu bisa gambar ulang, ‘kan? Kalau kamu memang benar yang buat.”Suara Fiona terdengar ringan, seolah dia sedang bercanda. Tetapi, Ayudhia tahu betul bahwa gadis di hadapannya ini tahu persis apa yang dia lakukan.Lima tahun lalu, Fiona tiba-tiba datang ke rumah ini. Gadis itu berdiri di depan gerbang besar dengan wajah yang mirip Sonia, dan membawa bukti serta hasil tes DNA yang menunjukkan bahwa dia adalah putri kandung keluarga Ardhana yang selama ini hilang sejak masih bayi.Awalnya semua terkejut. Bahkan tidak percaya. Namun, setelah s