Di malam hari yang dingin, lampu gantung bergaya barok menerangi ruang perjamuan malam keluarga Johari. Meja panjang berbahan kayu walnut dan terbalut marmer kini mulai terisi dengan menu-menu mewah, seperti Oysters Rockefeller, Caviar, Rack Of Lamb, dan Sampanye sebagai penutupnya. Namun, sebelum hidangan itu disantap, seorang pria berwibawa memusatkan perhatian semua orang kepadanya.
“Perhatian semuanya! Malam ini kita kedatangan tamu spesial, kenalkan ini Jeriko Nicholas biasa dipanggil Jerry,” ucap Johan, pria berwibawa itu. Dengan gelagat yang sangat tenang dan cool, pria asing itu berdiri lalu membungkuk memberikan rasa hormat, seolah-olah bangsawan kerajaan yang tengah memperkenalkan diri dengan sangat elegan namun tetap sopan. “Jadi Jerry ini anak dari Om Leon, rekan bisnis ayah. Dan tujuan Jerry ada disini ingin ayah perkenalkan dengan putri tunggal Johari, yaitu Danilea Johari,” sambung Johan. Mendengar pengumuman itu, raut wajah anggota lain menjadi terkejut, seolah-olah mereka baru mendengarnya kali ini. Terutama Lea, saat namanya disebut, ia langsung menoleh ke arah Johan dengan tatapan mata yang sangat tajam. “What! Tapi untuk kepentingan apa aku harus mengenal Jerry?” Lea memandang ayahnya dengan sorot mata tak percaya. Johan menarik napas dalam, lalu berbicara dengan tenang, “Tolong dengarkan Ayah dulu. Jangan menyela, Ayah belum selesai bicara.” “Lea, sekarang usiamu sudah 25 tahun, kan? Sudah saatnya Ayah memberikan tanggung jawab kepadamu untuk mengurus salah satu anak perusahaan Morning Group. Dalam proyek baru ini, kita akan menjalin aliansi bisnis dengan Olympus Group yang kini diwariskan kepada Jerry. Karena itu, Ayah dan Om Leon sepakat menjodohkan kamu dan Jerry sebagai pewaris aliansi kedua grup ini,” jelas Johan dengan nada mantap. “Tapi… ” Ucapan Lea terpotong. Dengan anggun, Nyonya Johari mengedipkan mata ke arah Lea, seolah memberi isyarat tanpa suara. Wanita berkulit putih dan berambut panjang itu segera menangkap maksud ibunya. Lea pun terdiam sejenak, berusaha meredakan pikirannya yang mulai berkecamuk. “Jerry, ayo silahkan dicicipi hidangannya, tante sendiri yang memilih hidangan ini loh.” Dengan sedikit tersenyum Nyonya Johari menawarkan hidangannya. “Thank you atas hidangan anda Nyonya Johari, ini terlihat sangat perfect. I liked it!” Pria tampan itu memberikan reaksinya usai menyantap sesuap caviar dari piringnya. Dibuka oleh santapan pertama Jerry, semua anggota ikut menyantap hidangan masing-masing. Terkecuali Lea, yang sedari tadi hanya memotong-potong Rack of Lamb di piringnya. Lea hanya menundukkan kepalanya sambil sesekali melamun, seperti entah pergi kemana pikirannya saat itu. “Jerry ini hebat loh! Tahun lalu lulus S2 di Harvard University, lihat sekarang dia bisa merintis bisnis agency internasional di Paris,” ucap Johan sumringah sambil memotong Rack of Lamb di piringnya. “Dan hebatnya lagi, baru tadi sore dia kasih kabar ke ayah sampai di Jakarta, tapi lihat, bisa-bisanya dia sudah makan caviar disini. Hahaha…” Sambung Johan, tertawa membicarakan keantusiasan Jerry. “Ah! Bisa saja tuan ini. Ini hanya hal kecil saja kok.” Kemudian Jerry meneguk sampanyenya. “Lihat Lea, ini dia pria sejati yang pas untuk kamu. Tampan, jenius, sukses dan yang paling penting siap siaga dua puluh empat jam untuk kamu. Benarkan Jerry? Hahaha..” Johan semakin sumringah dan terus memuji Jerry. “Hahaha.. Wow hebat sekali pria di sampingku ini, bahkan aku tidak tahu seekor singa bisa terbahak-bahak.” Sindir Lea lirih. “Uhuk!” Jerry tersedak mendengar gumam lirih Lea. “Are you fine, Jerry?” Nyonya Johari mengulurkan sepotong tisu kepada Jerry. “I'm Fine. It’s okay,” ucap Jerry. “Ooiya. Sepertinya Jerry dan William ini seusia loh, tahun lalu William juga menyelesaikan S2-Nya di Jerman,” ucap Nyonya Johari mengalihkan suasana. “Hahaha.. Jerry ini lulusan Bisnis Internasional di Harvard University dan sekarang bisnisnya berkembang pesat di skala internasional. Mana mungkin dibandingkan dengan William. Yang benar saja,” ucap Johan mengagungkan Jerry. “Ahh.. Mungkin, next time kita bisa satu project, William?” Jerry berusaha mengalihkan suasana. “Huft.” William menghela nafas. “Sorry Jerry but I'm a graduate in Psikologi at the Ruhr University Bochum. Tapi kalau suatu hari nanti kamu ada keperluan denganku bisa langsung menghubungiku, ini silahkan.” William mengulurkan kartu namanya ke arah Jerry. “It’s okay.” Jerry menyimpan kartu itu di sakunya. Di tengah obrolan malam itu, Lea hanya terdiam sambil sesekali menatap layar ponselnya. Dari gestur tubuhnya ia terlihat sedikit gelisah, seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Samar-samar terdengar suara ketukan-ketukan kecil dari hak tinggi berwarna merah yang membalut kaki mulusnya. Tanpa ia sadari suara samar itu terdengar oleh Jerry yang sedari tadi memperhatikan gestur Lea. “Ooiya Lea, kamu sendiri tertarik menjalin aliansi bisnis denganku kan?” Tiba-tiba Jerry memecah lamunan Lea. “Oh, Sure.” Lea menjawab singkat. “Kalau sekarang kesibukan Lea apa? Atau hobby mungkin?” ucap Jerry sedikit canggung. “Maaf tuan Jerry. Sayang sekali, tapi di dunia ini ada juga orang yang tidak suka mengutarakan privasinya. Dan terkadang juga, beberapa hal bisa diketahui tanpa harus mengungkapkannya,” jelas Lea. “Ahh yaa. Misterius dan cukup menarik.” Jerry tersenyum tipis kemudian meneguk sampanye. “Kalau untuk perjodohan ini bagaimana, apa kamu tertarik?” Jerry terus mengintrogasi Lea. “Dan maaf lagi tuan Jerry, apa pendapatmu tentang aku yang baru saja mengetahui hal ini sekarang?” ucap Lea sedikit kesal. “Dan satu lagi tuan, untuk keputusanku yang satu ini tidak akan mengubah hal apapun. Jadi tolong tenanglah tuan Jeriko Nicholas!” Sambung Lea dengan sedikit tekanan, seakan dirinya tidak ingin ada pertanyaan lanjutan. Lea semakin merasa tidak nyaman dengan keberadaan Jerry di sampingnya. Suasana menjadi canggung, seolah keheningan di antara mereka saling menekan. Sesekali ia melirik ke arah jam tangan, yang kini menunjukkan pukul 21.30 WIB. Waktu yang terus bergulir menandakan malam semakin larut, dan ia mulai gelisah ingin segera mengakhiri pertemuan itu. “Ehem. Terima kasih, Tuan dan Nyonya Johari. Makan malam ini sungguh berkesan. Karena malam sudah larut, sebaiknya saya pamit pulang,” ucap Jerry dengan sopan. “Tenang saja Jerry, tante sudah menyiapkan kamar tidur khusus untuk kamu. Jadi, tante harap tidak ada yang mengecewakan malam ini,” ucap Nyonya Johari. Belum sempat Jerry memutuskan untuk tinggal, seseorang masuk ke dalam Neon. “Hallo! Selamat malam tuan Johan Johari yang terhormat!” Seorang pria berambut gondrong dibalut pakaian casual dengan lantang menyapa Johan. Mendengar suara yang familiar baginya, Lea menoleh ke belakang. “Aabbii!!” Seru Lea lirih. “Mau apa kamu menginjakkan kaki di rumah saya!” Johan berdiri dan berteriak ke arah pria asing itu. “Maaf tuan Johan, anda mengenal pria ini?” Jerry terkejut oleh kehadiran pria asing di hadapannya.Malam turun perlahan di atas langit Jakarta. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menembus kaca jendela kantor yang mulai gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan lorong yang kini sepi dan dingin.Lea berdiri di depan meja kerjanya, menatap map dan laptop yang sudah tertutup. Tangannya masih terasa berat bukan karena pekerjaan, tapi karena satu benda kecil di dalam tasnya: kunci apartemen dari Jerry.Ia mengeluarkannya perlahan. Gantungan logam dengan logo “Arandra Suites” berkilau di bawah cahaya redup.Kunci yang ia tolak tapi entah bagaimana, kini ada di tangannya.Mungkin Jerry meletakkannya diam-diam di dalam tas sebelum ia sempat menolak lagi.Lea memejamkan mata. Sebagian dirinya ingin mengembalikan kunci itu besok pagi. Tapi bagian lain bagian yang letih, yang ingin rehat sejenak dari luka dan keputusan besar berbisik pelan : “Mungkin kamu butuh tempat untuk bernafas.”Ia menarik nafas panjang dan mena
Lea berdiri tegak di depan Abi, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya bergetar, tapi suaranya ia paksa tetap tenang.“Abi, pulanglah.”Abi terhenti, matanya memohon penuh harap. “Lea, jangan begini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlambat, tap…”Lea mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku sudah bilang. Keputusanku bulat. Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan untuk mengubahnya.”Abi menelan ludah, wajahnya semakin kusut. “Kamu benar-benar sudah tidak ada ruang sedikitpun untukku?”Lea menarik napas panjang, menahan gemuruh dalam dadanya. “Yang tersisa hanya luka, Abi. Dan aku tidak mau terus hidup di dalamnya. Aku harus melanjutkan hidupku dan sekarang aku masih ada meeting penting. Tolong, jangan buat ini lebih sulit.”Hening panjang menyelimuti ruangan. Abi menunduk, bahunya bergetar.Tiba-tiba pintu ruang meeting kecil itu terbuka. Jerry muncul dengan jas biru tuanya, tatapannya bergeser cepat
Lea menatap layar ponselnya yang masih menyala. Nama Abi muncul di notifikasi pesan, diikuti tanda panggilan tak terjawab dari Jerry. Dadanya terasa ditarik ke dua arah yang berlawanan masa lalu yang baru saja ia tinggalkan, dan masa depan yang entah bisa ia percaya atau tidak.Ia menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah di meja.“Tidak sekarang.”“Tidak di jam kerja.”Namun pikirannya tetap berputar. Apa yang ingin Abi katakan? Apakah ia sudah menerima surat panggilan? Atau justru Abi mencoba menggagalkan tekadnya? Sementara itu, Jerry pria yang belakangan begitu dekat dengannya mengulurkan tangan di saat Lea berada di titik paling rapuh. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin ragu.Ketukan pintu kembali terdengar.“Bu, Pak Jerry sudah datang untuk meeting jam dua,” suara Sella dari luar.Lea menutup matanya sebentar, lalu menegakkan tubuh. “Baik. Persilakan masuk.”Pintu terbuka, Je
Abi masih terduduk di ruang tamu, wajahnya pucat dengan foto-foto yang berserakan di meja. Udara malam itu terasa begitu berat, seolah seluruh dunia menekan pundaknya.Sementara itu, Lea berjalan keluar dari apartemen dengan langkah gemetar tapi pasti. Keputusan yang ia ucapkan barusan bukan lagi sekadar ancaman—itu adalah akhir yang nyata.***Pagi harinya, matahari baru saja naik ketika Lea melangkah keluar dari mobilnya, berdiri di depan gedung Pengadilan Agama. Wajahnya tampak tegas meski kantung mata memperlihatkan bahwa ia tak tidur semalaman.Di dalam tasnya, ia membawa dokumen-dokumen penting: buku nikah, salinan KTP, dan berkas-berkas lain yang semalam ia siapkan dengan tangan bergetar. Setiap lembar kertas itu adalah bukti tekadnya untuk mengakhiri pernikahan yang selama ini hanya menyisakan luka.Sella sempat menelepon sejak pagi, menanyakan keadaan, tapi Lea memilih untuk tidak menjawab. Kata-kata Jerry kembali terngiang:
Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga