Dua bulan kemudian ….
Dua garis merah. Yuna membelalakkan mata. Tangannya refleks menutup bibirnya dengan syok. Seluruh kekuatannya seakan hilang dan Yuna jatuh terduduk di atas toilet duduk di kamar mandinya. Sudah lebih dari dua bulan Yuna telat datang bulan. Awalnya, gadis itu berpikir mungkin karena stress setelah ditinggal Sean. Namun pagi ini, Yuna iseng mengeceknya dan tahu-tahu mendapat hasil yang mengejutkan. “Tidak mungkin!” gumam wanita itu dengan panik. Ia membasuh peluh di pelipisnya, kemudian cepat-cepat membuka kemasan alat tes kehamilan lainnya. Entah kebetulan atau apa, saat di apotek, Yuna memiliki firasat harus membeli dua. Cepat-cepat gadis itu kembali mengeceknya. Wajah Yuna menjadi pucat saat mendapatkan hasil dua garis merah yang sama. Tamatlah riwayatnya. Dok dok dok “Yuna! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ibu mau ke kamar mandi!” Terdengar suara sang ibu dari luar. Wajah Yuna bertambah pucat. Ibunya pasti akan menghabisi Yuna di tempat jika mengetahui hal ini. “Yuna? Kamu baik-baik saja?!” Suara sang ibu terdengar lagi. Tanpa pikir panjang, Yuna cepat-cepat membereskan alat itu dan kemasannya yang tercecer. Bruak Tiba-tiba pintu terbuka. Pintu kamar mandi di rumah Yuna memang tidak memiliki kunci sehingga siapa pun bisa memasukinya. Secepat itu pula Yuna menyembunyikan alat itu di belakang punggungnya. “I—ibu ….” Dia menyapa dengan gugup. Keringatnya terlihat hampir seukuran biji jagung. Sang ibu meniliknya dengan penasaran. “Kau diam saja sejak tadi, Ibu kira kamu pingsan di dalam!” ucapnya dengan nada tinggi. Bukan galak. Dewi, ibu Yuna, memang memiliki perangai yang kokoh. Itu semua ia dapatkan karena tuntutan menjadi ibu tunggal setelah suaminya meninggal. Yuna terkekeh canggung untuk mengurai kejanggalan di antara mereka. “Aku akan keluar. Ibu pakai saja kamar mandinya,” tutur wanita itu. “Tunggu, apa yang kau sembunyikan?” Dewi tiba-tiba bertanya. “Ti—tidak ada apa-apa,” jawab Yuna, semakin menyudutkan dirinya pada dinding kamar mandi. Sialnya, Yuna yang selalu bersikap jujur itu tak pernah berhasil menyembunyikan kebohongannya. Sang ibu mulai berjalan mendekat. “Jangan berbohong. Apa yang kau sembunyikan di belakang punggungmu? Sini, Ibu lihat!” Dengan satu tarikan, Dewi berhasil menangkap tangan Yuna. Wanita itu mengambil alih alat tes kehamilan dalam genggaman Yuna dan mengamatinya. “Garis dua?” Ia mengernyit. “Apa?! Kakak hamil?!” Senna, adik perempuan Yuna, tahu-tahu muncul dengan wajah histeris. “Ti—tidak!” Yuna membantah.“Apa maksudmu tidak?! Ini muncul dua garis!” Dewi langsung naik pitam. Dia melihat alat yang lain dan turut merebutnya. Jantungnya seakan berhenti saat menemukan hasil yang sama. “Anak kurang ajar!” umpat Dewi. Mulai memberikan pukulan pada bahu Yuna. “Apa yang kau lakukan di luar sana? Bagaimana bisa kau jadi hamil seperti ini?!” omel Dewi seraya memukuli bahu dan tangan Yuna. Ia mengambil gayung dan lanjut memukuli tubuh putrinya dengan benda itu. “Apakah masalah hidup kita kurang banyak hingga kau melakukan hal ini, Yuna?!” sergahnya. “Ibu! Berhenti! Jangan sakiti Kakak! Kakak sedang hamil!” Senna mengingatkan dengan berseru. Mendengar itu, Dewi berhenti seketika. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening. Wanita itu terduduk lemas di atas toilet. “Seharusnya kau membunuhku saja, Yuna. Lebih baik kamu membunuhku. Mengapa kamu hamil sebelum menikah?!” Dewi berkata dengan nada putus asa. Wajahnya menjadi pucat. Bertahun-tahun, ia telah menjadi ibu tunggal yang membanting tulang demi menghidupi anak-anaknya. Dewi pun menjadi keras demi mendidik dua anak perempuan yang riskan. Kini, apa yang ia takutkan justru menjadi kenyataan. Melihat kondisi sang ibu, Yuna segera berlutut dengan raut wajah bersalah.“Maafkan aku, Ibu. Aku benar-benar minta maaf,” ucapnya. Dewi memejamkan mata seolah berusaha keras menahan amarah yang meledak-ledak. Ia mengembuskan napas panjang. “Lupakan saja,” ucapnya dengan lemas, “Bawa pria itu ke hadapanku.” Yuna mengedipkan matanya cepat. “A—apa?” “Apakah kau tidak mendengarku? Bawa pria yang sudah menghamilimu ke hadapanku!” Dewi mengulang dengan nada tegas. Yuna terdiam dengan tatapan kosong. Tak mungkin dia memenuhi permintaan ibunya. Yuna bahkan tidak tahu di mana keberadaan pria itu. Dengan cepat Yuna memutar otaknya. “Aku … aku tidak mengenalnya,” jawab Yuna. Ia tahu itu adalah tindakan nekat. Namun, wanita itu tak memiliki pilihan lain. Mendengarnya, seluruh aliran darah Dewi seakan terpusat ke kepalanya. Membuat kepalanya pening. Wanita paruh baya itu memejamkan mata dengan berat.“Benar-benar gadis naif. Bagaimana bisa kamu menyerahkan harta berhargamu pada pria yang tidak kau kenali?!” cecar Dewi, tak habis pikir dengan kelakuan putrinya. “Kakak pasti berbohong.” Senna ikut bersuara. “Pria itu adalah Sean, bukan? Dia pacar kakak, 'kan?” “Sean?” Dewi berkedip satu kali. Ia teringat bahwa Yuna memang pernah membawa seorang pria bersamanya. Tanpa ragu, Dewi beranjak berdiri. “Aku akan mendatangi pria berengsek itu!” sergahnya. Yuna membelalakkan mata dengan wajah pucat. Secepat kilat ia menahan tangan sang ibu dan menggeleng berulang kali. “Tidak, Ibu! Bukan dia orangnya!” Yuna cepat-cepat membantah. Suasana akan tambah runyam jika Sean mengetahui hal ini.“Lalu, siapa? Katakan siapa orangnya!” Dewi berkata dengan tegas. “Orangnya …. Ayah dari anak ini … sudah meninggal!” jawab Yuna.Hening. Suasana menjadi sunyi seketika. Detik berikutnya, Dewi kembali terduduk lemas di sisi sang putri. Sejak dahulu, Dewi selalu iba dengan Yuna yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Karena keterbatasan keluarga mereka, putrinya itu tak bisa bersenang-senang seperti wanita seusianya. Hidup Yuna sudah sangat malang. Kini, musibah kembali mendatanginya. “Tidak mungkin.” Senna bersuara lagi. “Kakak bilang kakak tidak mengenalnya, bagaimana Kakak tahu dia sudah meninggal?” Senna berkomentar dengan kritis. Gadis remaja itu mulai memicingkan mata. “Jangan bilang, Kakak mencoba melindunginya?”Jika bisa, Yuna ingin menyumpal mulut adik perempuannya itu. Namun, terlambat. Dewi sudah kembali menatap galak ke arahnya. “Apakah itu benar? Benar-benar gadis bodoh ini!” Dewi kembali memukulnya. “Bawa pria itu ke hadapanku secepatnya. Jika tidak, aku sendiri yang akan datang dan memberinya pelajaran!” ******Pilihan Yuna hanya ada dua: keluar rumah dengan alasan mencari ayah dari bayinya, atau tetap di rumah dan dibunuh oleh ibunya. Jelas Yuna lebih takut pada pilihan yang kedua. Karena itu, dia mulai berjalan tak tentu arah. Mencari pria yang bahkan tak ia kenali.Tin tin tin Bunyi klakson mobil menyentak Yuna dari lamunan. Ia menoleh dan tahu-tahu sebuah mobil melaju ke arahnya. Pada detik yang sama, seseorang mencekal tangan Yuna dan menariknya ke samping. “Kau hampir saja tertabrak, Nona!” sergah pria itu.Yuna berkedip cepat. Tampak syok. Mobil itu melesat cepat. Terlambat sedetik saja, Yuna pasti sudah tergeletak bersimbah darah di jalan raya. “Ma—maaf,” ucap Yuna dengan tangan gemetar. Pria yang menyelamatkannya menatap Yuna dengan cemas. “K—kau mimisan,” katanya. ******“Kamu yakin tak ingin pergi ke rumah sakit?” Pria bernama Delvin itu bertanya. Sekarang, keduanya tengah duduk di salah satu taman. Setelah tahu Yuna mimisan, Delvin langsung memberikan sapu tangannya dan mengajak Yuna untuk beristirahat. Gadis itu menggeleng. Tatapannya terlihat kosong dan dia mengembuskan napas panjang. “Minum ini.” Delvin menyodorkan sebuah minuman berkarbonasi yang dapat menenangkan wanita itu. Yuna menggeleng. “Aku tidak bisa meminumnya. Aku sedang hamil.” Jika Delvin tengah menenggak minuman, sudah pasti pria itu tersedak mendengarnya. “Benarkah?” tanyanya, tak percaya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Yuna terlihat seperti wanita normal. “Aku juga tidak percaya.” Yuna mengembuskan napas panjang. “Aku hamil, dan tidak tahu bagaimana harus memberitahu ayah dari bayi ini,” ucapnya. Biasanya, Yuna tidak mudah menjadi terbuka pada seseorang. Sekarang, banyak pikiran memenuhi otaknya hingga rasanya hampir pecah. Ia merasa harus meluapkannya dan Delvin sebagai orang asing adalah sasaran yang tepat. Mendengar itu, Delvin menatapnya dengan iba. Tak heran jika Yuna melamun dan hampir tertabrak. “Apakah kau sudah memberitahu ayahnya?” Delvin bertanya. Ia ingin meninggalkan Yuna begitu saja. Namun, wanita yang baru ia selamatkan mengingatkan Delvin pada adiknya yang menempuh pendidikan di luar negeri. Tanpa sadar simpati pria itu sudah terbangun. “Seharusnya, itulah yang aku lakukan,” ucap Yuna, “Tapi, aku tak bisa melakukannya. Dia sudah menyukai wanita lain.” Itu adalah pertimbangan besar Yuna. Setelah ia berpisah dengan pria misterius itu, tak sengaja ia melihatnya tengah makan malam bersama seorang wanita. Ia yakin dia adalah tunangan yang sempat disebutkan oleh sekretarisnya. Jika Yuna tahu-tahu datang dan memberitahu bahwa dia hamil, Yuna mungkin akan menghancurkan kehidupannya. Dan, hati nurani Yuna lebih memilih ia menanggung ini seorang diri daripada harus mengganggu hidup orang lain.Delvin mendengkus pendek. Entah mengapa, ia jadi ikut memikirkan masalah itu dengan serius. “Walaupun begitu, kau tetap harus memberitahunya,” ucap Delvin. “Setidaknya, dia harus tahu jika janin dalam kandunganmu adalah anaknya.” Sekali lagi, Yuna mengusap hidungnya dengan sapu tangan Delvin. “Kau benar,” tuturnya, “Aku harus pergi sekarang.” Dia beranjak bangkit. Yuna mengangguk pamit, kemudian berjalan pergi. Delvin masih duduk di sana dan memperhatikannya dengan penuh perhatian. Ini adalah kali pertama mereka bertemu, tetapi dia sudah berhasil menarik perhatian Delvin. Pria berengsek mana yang tega membohongi wanita sepolos dia? Begitu berjalan keluar taman, Yuna mengeluarkan kartu nama dari sakunya. Yuna tak percaya jika ia benar-benar akan membutuhkan benda ini. Gadis itu melirik ponsel dan kartu nama itu bergantian. Terlihat ragu. Tanpa berpikir lebih jauh, Yuna memencet layar ponselnya.Memanggil.“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u