Hari masih sangat pagi, bahkan matahari masih belum sepenuhnya menampakkan dirinya. Namun, karena terbiasa bangun lebih awal. Rhea bisa bangun pagi tanpa mendengar suara alarm.
Semuanya masih terasa seperti mimpi yang absurd.
Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ia tidak berada di apartemennya, melainkan di kamar hotel mewah tempat ia dan Michael menginap setelah pernikahan mereka kemarin.
Ketika membuka mata, sungguh matanya langsung di suguhi pemandangan sangat indah. Bagaimana tidak, ia melihat wajah tampan dengan bulu mata lentik. Seorang malaikat yang tidur di sebelahnya. Rhea tersentak lalu ingat siapa sosok malaikat yang sedang tidur itu.
Suaminya.
Rhea menghela napas. Entah kenapa, ia merasa lega. Meski pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, tetap saja ada sesuatu yang terasa… aneh.
Michael menggunakan baju tidur berwarna putih, rambut hitam panjangnya terlihat terurai dengan lembut. Hingga membuat Rhea tidak sadar sudah membelai beberapa helai rambut Michael.
“Pagi, Rhea.”
Suara Michael membuat Rhea kaget lalu refleks melepaskan tangannya dari rambut halus milik Michael.
“Pagi, Miki.”
Michael masih mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa sepat. Sambil menguap, Michael bergumam pelan “Masih pagi, Rhea. Tidurlah lagi.”
Tapi Rhea sepertinya tidak mendengar perkataan dari Michael. Ia keburu berjalan ke kamar mandi. Sedangkan Michael yang masih mengantuk kembali memejamkan mata.
Sekitar sepuluh menit Rhea di kamar mandi. Setelah ia keluar, ia melihat Michael yang ternyata balik tidur lagi.
“Tidurnya pun menawan.” Gumamnya pelan tanpa ekspresi apa-apa.
Rhea kemudian membuat secangkir kopi dan duduk santai di sofa kamar hotel tersebut. Ia dengan tenang membaca jurnal penelitian yang ditugaskan oleh dosen ekonominya.
Aroma kopi yang menyeruak membuat Michael yang awalnya tidur seketika terbangun. Ia melihat di seberang tempat tidurnya terlihat Rhea yang dengan serius melihat layar smartphonenya. Michael jadi penasaran apa yang membuat Rhea sampai seserius itu.
Kemudian Michael turun dari tempat tidur dan menghampiri Rhea yang sedang duduk. Michael mengintip apa yang di lihat Rhea dengan menengok sedikit kepalanya ke arah layar smartphone. Ternyata Rhea sedang membaca sebuah jurnal. Layarnya penuh dengan tulisan yang kecil-kecil hingga membuat Michael pusing.
“Rhea.” Panggil Michael pelan.
Rhea tersentak pelan. Ia terlalu fokus dengan apa yang di bacanya. “Miki sudah bangun? Mau kopi?”
“Boleh,” kata Michael sambil berjalan ke kamar mandi.
Rhea berdiri dan berjalan ke meja kecil di ruangan hotel mereka. Ia memanaskan air di kettle dan sambil menunggu, ia menuangkan bubuk kopi tanpa gula ke cangkir yang masih bersih. Tidak lama, kettle sudah mengeluarkan banyak uap tanda air sudah mendidih. Rhea menuangkan kopi dan mengaduknya dengan pelan dan ia meletakkan kopi tersebut di meja di depan sofanya.
Michael keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia terlihat habis cuci muka dan sikat gigi namun belum mandi.
Harus ia akui, Michael benar-benar tampan. Bahkan di pagi hari dengan rambut acak-acakan, pria itu terlihat seperti model di majalah fashion.
“Ini milikku?” kata Michael sambil menunjuk cangkir kopi di samping cangkir kopi milik Rhea yang sudah hampir habis.
“Ah, iya itu milik Miki,” kata Rhea sambil melirik sedikit lalu melanjutkan kembali membaca jurnalnya.
Michael meniup pelan cangkir kopinya yang masih terlihat sangat panas. Setelah agak dingin, ia langsung menyesap sedikit kopi yang di buatkan oleh istrinya tersebut. Namun raut mukanya berubah. “Rhea… Rhea… Rhea…”
Michael memanggil-manggil Rhea dengan pelan namun berulang.
“Ya?” Rhea menghentikan kegiatannya.
“Kopinya pahit,” kata Michael sambil tersenyum.
“Lho kopi kan memang pahit. Eh… Jangan-jangan Miki nggak biasa dengan kopi pahit ya?” Rhea buru-buru berdiri dan mengambil beberapa bungkus gula kemasan kemudian menuangkannya ke kopi milik Michael. “Maaf, aku nggak tau Miki nggak biasa minum kopi pahit.”
Rhea mengaduk kopi milik Michael dengan sendok yang sudah di buat mengaduk kopinya lalu ia cicipi. Manis. Lalu ia meletakkan sendoknya di tatakan gelas.
Rhea tentu saja melakukan tindakan itu tanpa berpikir apapun, namun menurut Michael tindakan yang di lakukan Rhea termasuk tindakan menggoda. Namun ia tidak mengatakannya.
“Iya, aku nggak biasa minum kopi pahit. Rhea biasa ya?”
Michael meminum kopinya dengan lebih leluasa sekarang karena sudah agak dingin dan rasanya manis.
“Hmm… kalau lagi banyak tugas tentu saja harus minum kopi.” Rhea menghabiskan sisa kopi di cangkirnya yang sudah dingin terkena AC.
Michael berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya. “Kau mau sarapan di restoran atau di kamar?” tanyanya santai.
Rhea berpikir sejenak. Restoran hotel ini pasti mewah dan ramai. Ia bukan tipe orang yang suka diperhatikan banyak orang, apalagi dengan statusnya sebagai ‘istri’ Michael sekarang.
“Kamar saja,” jawabnya akhirnya.
Michael mengangguk, lalu menekan beberapa tombol di ponselnya. “Baiklah, aku akan pesan.”
Sambil menunggu, Rhea duduk di sofa dan menarik napas dalam. Ia masih berusaha mencerna situasi ini. Pernikahan kontrak ini baru berjalan sehari, tapi rasanya sudah begitu aneh.
Michael terlihat begitu santai, seolah ini hanya bagian dari rutinitasnya. Ia tidak terlihat risih atau terganggu dengan keberadaan Rhea.
“Apa Miki biasa menginap di hotel seperti ini?” tanya Rhea tiba-tiba.
Michael menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada ponselnya. “Sering. Aku sering bepergian untuk urusan kerja, jadi sudah terbiasa.”
Rhea mendengus pelan. “Miki benar-benar terdengar seperti pria kaya yang sibuk.”
Michael tertawa kecil. “Memang begitu.”
Tidak lama kemudian, pelayan hotel mengetuk pintu, mengantarkan sarapan mereka. Michael membukakan pintu, menerima troli berisi berbagai makanan yang terlihat mahal.
Rhea menatap hidangan itu dengan sedikit tidak percaya. Croissant, omelet dengan topping keju, salad segar, buah-buahan, serta segelas jus jeruk.
Michael duduk di kursinya dengan elegan dan mengambil cangkir kopi. “Makanlah. Kau butuh energi untuk menjalani hari.”
Rhea menghela napas sebelum mengambil garpu dan mulai menyantap sarapannya.
Saat mereka makan dalam keheningan, Rhea menyadari sesuatu. Michael makan dengan gerakan yang anggun, sangat bertolak belakang dengan dirinya yang tidak terlalu peduli dengan etiket meja makan.
Ia mengerutkan kening. “Kenapa Miki makan seperti itu?”
Michael menatapnya dengan bingung. “Seperti apa?”
“Seperti—” Rhea mengangkat bahu. “Seperti seorang bangsawan dalam film.”
Michael tertawa. “Kebiasaan. Aku terbiasa menghadiri acara formal, jadi tanpa sadar terbawa.”
Rhea hanya menggumam pelan dan kembali makan.
Lalu, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Miki ada kelas esok?” tanyanya.
Michael mengangguk. “Ada. Siang hari.”
Rhea mengerutkan kening. “Syukurlah.”
Michael tersenyum tipis. “Kau tampak senang.”
“Tentu saja,” Rhea mendengus. “Kita akan pura-pura tidak mengenal di kampus. Apalagi gedung fakultas kita berbeda. Akan aneh jika kita tiba-tiba saling mengenal.”
Michael tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Kau khawatir akan menjadi pusat perhatian?”
Rhea memutar matanya. “Aku hanya tidak suka drama.”
Michael masih tersenyum, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Setelah sarapan selesai, Rhea menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. Hidangan mewah yang baru saja ia santap masih terasa di lidahnya, tapi ada sesuatu yang lebih berat mengendap di benaknya—kesadaran bahwa hidupnya baru saja berubah drastis.
Michael meneguk kopi terakhirnya sebelum bangkit dari kursi. "Sudah siap untuk check-out?" tanyanya santai.
Rhea mengangguk pelan. "Ya, tapi sebelum itu, bisa nanti antar saya ke apartemen? Masih ada beberapa barang yang belum sempat di kemas."
Michael melirik arlojinya sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi aku ada sedikit urusan. Aku akan mengantarmu ke apartemen dulu, setelah itu aku harus pergi sebentar. Nanti sore aku jemput kau lagi."
Rhea tidak terkejut, jadi ia tidak ingin terlalu ambil pusing. "Oke. Tidak masalah."
Mereka pun mandi, berkemas, mengambil barang-barang masing-masing, dan bersiap untuk check-out. Perjalanan ke apartemen Rhea berlangsung dalam keheningan yang aneh, hanya ditemani suara lalu lintas di luar mobil.
Saat mereka tiba, Michael menepikan mobil di depan gedung apartemen. Rhea melepas sabuk pengamannya dan menoleh ke Michael.
Michael tersenyum tipis. " Nanti sore aku jemput."
Rhea mengangguk pelan. "Baiklah, hati-hati."
Michael tidak menjawab, hanya melirik sekilas sebelum mobilnya melaju pergi.
Rhea menghela napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam gedung apartemennya. Begitu pintu terbuka, aroma khas tempat tinggalnya menyambutnya. Apartemennya tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman untuk dirinya sendiri.
Baru saja ia hendak melepas sepatunya, ponselnya bergetar.
Kyle.
Rhea tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Halo?"
"Hei, nona pengantin baru. Sudah siap berkemas?" Suara Kyle terdengar ceria di ujung telepon.
Rhea memutar matanya. "Jangan mulai. Aku butuh bantuan, jadi kalau kau mau jadi teman baik, cepatlah ke sini."
Kyle tertawa. "Baik, baik. Aku akan ke sana dalam sepuluh menit."
Seperti yang dijanjikan, tak lama kemudian Kyle sudah muncul di depan pintunya. Pria itu mengenakan jaket hitam dan celana jeans robek, seperti biasa tampil kasual dan santai.
"Jadi, mana yang perlu dikemas?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke dalam kamar.
Rhea menunjuk ke tumpukan kardus yang belum tersusun rapi. "Semuanya."
Kyle mendecak. "Kau memang suka menunda-nunda pekerjaan."
"Diam dan bantu aku," Rhea mendelik.
Mereka pun mulai bekerja. Kyle membantu melipat pakaian Rhea ke dalam koper, sementara Rhea memilah-milah barang-barang kecil yang masih berserakan.
Saat mereka sedang sibuk, Kyle tiba-tiba bertanya, "Jadi, bagaimana rasanya menikah dengan Michael Gunawan?"
Rhea menghela napas dan mengangkat bahu. "Sejujurnya? Masih terasa aneh. Tapi tidak ada hal yang spesial."
Kyle mengangkat alis. "Kau yakin dia bukan penyuka sesama? Maksudku, dia terlalu... sempurna. Terlalu modis."
Rhea terdiam sejenak, mengingat momen-momen bersama Michael sejauh ini. Tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu tertarik pada pria lain, tapi juga tidak ada tanda-tanda bahwa ia benar-benar tertarik pada Rhea.
"Aku tidak tahu," gumamnya akhirnya. "Tapi aku tidak begitu perduli. Lagi pula itu hidupnya, aku tidak mau terlalu ikut campur."
Kyle menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Rhea ragu sejenak sebelum berkata, "Pernikahan ini hanya di atas kertas, jadi aku tidak mau terlalu mengusik kehidupan pribadinya."
Kyle menatapnya penuh arti. "Maksudmu kau tidak perduli dia akan berkencan dengan siapa pun itu?"
Rhea tidak langsung menjawab. Ia hanya melanjutkan pekerjaannya, tapi tidak bisa berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja, asal tidak mengusik privasiku aku nggak masalah.”
Kyle tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti."
Mereka terus berkemas sampai sore. Matahari mulai meredup saat ponsel Rhea kembali bergetar. Kali ini, nama Michael yang muncul di layar.
Michael: Aku di bawah. Kau sudah selesai berkemas?
Rhea segera mengetik balasan.
Rhea: Ya, sebentar lagi. Naik saja kalau mau.
Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu.
"Sepertinya suamimu sudah datang," Kyle menggoda sambil berjalan menuju pintu.
Rhea menghela napas. "Tolong, jangan buat situasi jadi aneh."
Kyle hanya terkekeh sebelum membuka pintu.
Michael berdiri di sana, masih dalam setelan modisnya, tampak rapi namun nyentrik seperti biasa. Namun, saat matanya menangkap sosok Kyle yang berdiri di dalam kamar Rhea, ekspresinya berubah—hanya sekilas, tapi cukup terlihat.
Senyum di wajahnya sedikit meredup.
Tatapan Michael mengamati keadaan kamar yang masih berantakan, sebelum kembali fokus pada Kyle yang berdiri di dekat koper Rhea.
"Kau sudah selesai berkemas?" tanya Michael, suaranya tetap lembut, tapi ada nada berbeda di dalamnya.
Rhea, yang menyadari perubahan raut wajah Michael, buru-buru mengangguk. "Ya, hampir selesai."
Kyle, yang juga menyadari atmosfer yang mendadak berubah, menyeringai kecil. "Saya membantu Rhea berkemas. Anda tidak keberatan, kan, Pak Suami?"
Michael menatap Kyle sebentar sebelum mengangkat sudut bibirnya tipis. "Tentu tidak," jawabnya dengan tersenyum.
Tapi dari cara matanya menatap Kyle, Rhea tahu ada sesuatu di balik kata-kata itu.
Kyle tampaknya menikmati situasi ini, karena ia malah berjalan mendekati Rhea dan melempar lengan di bahunya dengan santai. "Anda tahu, Pak Michael? Saya sudah berteman lama dengan Rhea. Saya bahkan sering menginap di sini kalau dia butuh teman ngobrol."
Michael tidak langsung merespons.
Sebaliknya, ia hanya menatap Kyle dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Rhea segera menyikut Kyle pelan agar berhenti menggoda Michael. "Sudah, ayo kita bawa barang-barangnya ke mobil."
Kyle terkekeh sebelum melepaskan lengannya dari bahu Rhea. "Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda."
Michael tetap diam, tapi tatapannya tidak lepas dari Kyle saat pria itu berjalan mengambil salah satu koper Rhea.
Saat akhirnya mereka turun ke parkiran, Kyle membantu memasukkan koper ke bagasi mobil Michael. Setelah semua selesai, ia menoleh ke Rhea.
"Kalau begitu, saya pamit dulu," katanya sambil tersenyum. "Jangan lupa kabari aku kalau kau butuh sesuatu, Rhea."
Rhea mengangguk. "Terima kasih, Kyle."
Kyle melirik Michael sejenak sebelum berbalik pergi.
Saat hanya tinggal mereka berdua, Rhea menoleh ke Michael. "Miki tidak keberatan, kan, kalau Kyle membantu?"
Michael tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil untuk Rhea dengan ekspresi tetap datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku tidak keberatan," katanya akhirnya, sebelum menutup pintu dengan sedikit lebih kuat dari biasanya.
Rhea menatapnya dari dalam mobil, merasa bahwa ada sesuatu yang berubah.
Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Tapi ia tidak memikirkan lebih jauh.
Suasana kantor Bellezza semakin santai menjelang akhir bulan Desember. Dinding mulai dipenuhi dengan ornamen-ornamen berbau musim dingin dan nuansa tahun baru. Pohon Natal berdiri anggun di lobi utama, dihiasi lampu-lampu kecil yang berkedip lembut. Di ruang branding, semangat kerja masih ada, namun percakapan ringan dan tawa pelan mulai sering terdengar di sela-sela deadline yang sedikit longgar.“Fel, kamu mau ke mana pas libur tahun baru nanti?” tanya Laila sambil membuka kotak makan siangnya yang berisi pasta.Felicia menggigit sandwich-nya pelan lalu mengangkat bahu. “Hmm… kayaknya ke Bandung, deh. Sepupu aku ngajakin nginep di villa gitu. Tapi belum fix. Kak Laila sendiri?”“Pengen ke Jogja. Aku sama suami mau semacam honeymoon kecil-kecilan. Kebetulan dia baru dapat cuti.”Rhea yang duduk tidak jauh dari mereka spontan menoleh. “Eh? Memang kita libur ya, Kak?”Laila ter
Waktu seperti air, mengalir cepat tanpa bisa dicegah. Tiba-tiba saja, sudah hampir empat bulan sejak Rhea resmi bekerja di Bellezza Fashion Group. Kantor yang dulu terasa asing, kini mulai terasa seperti rumah kedua. Laptop di meja kerjanya sudah dipenuhi stiker kecil dan post-it warna-warni, hadiah iseng dari Kak Felicia dan Laila. Bahkan, Dimas yang dulu sempat canggung, kini bersikap profesional dan santai seperti seorang kakak senior yang suportif.Hari ini, matahari musim kemarau menyusup malu-malu dari balik tirai jendela kantor. Cahaya keemasan itu memantul lembut di layar laptop Rhea yang tengah menampilkan Insight hasil analisis kampanye Aurora.“Rhea, tolong bantu aku cek performa konten minggu ini, ya,” suara Kak Laila terdengar dari balik sekat meja.“Iya, Kak. Sudah aku rekap. Aku kirim via email sekarang.”“Cepet banget,” komentar Laila sembari melongok ke layar Rhea. “Anak muda ema
Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe
Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe
Kantor Bellezza Fashion Group dipenuhi nuansa hangat. Bukan hanya dari interior yang minimalis elegan dengan aksen kayu dan tanaman indoor, tapi juga dari semangat para pegawai yang masih terbawa euforia suksesnya peluncuran Aurora.Namun, seperti halnya daun gugur yang tak berhenti menari hanya karena satu hembus angin, pekerjaan tim branding juga tak mengenal jeda.“Semangat ya, tim. Kita masih harus bantu tim marketing untuk dorong campaign digital selama dua minggu ke depan,” ucap Kak Laila saat morning briefing di ruang rapat lantai dua.Kopi di tangan Mas Dimas tampak masih mengepul. Kak Felicia duduk dengan tablet di pangkuannya, mencatat poin-poin penting. Rhea duduk di sisi kanan Laila, membuka laptopnya sambil sesekali mencuri pandang ke presentasi yang ditampilkan di layar LCD.“Konten untuk IG dan TikTok brand udah dijadwalin semua, tapi yang organic dan UGC belum terlalu kuat. Kita butuh i
Senin pagi itu, ruang kerja tim branding Bellezza sudah seperti markas perang. Layar besar di ruangan utama menampilkan countdown peluncuran campaign Aurora secara live di situs resmi dan seluruh kanal media sosial. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang, tapi ada juga sorot percaya diri yang tak bisa disembunyikan.Rhea duduk di sebelah Laila, jari-jarinya memainkan pulpen, napasnya dalam-dalam.“Deg-degan ya?” tanya Dimas dari seberang meja.“Aku bahkan belum sarapan,” jawab Rhea, tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar gugup.“Tenang aja,” ujar Felicia sambil menyeruput kopi. “Kita udah kerja mati-matian buat ini. Kalau nggak berhasil... ya tinggal resign bareng.”Rhea dan yang lain tertawa, sedikit meredakan ketegangan.Pak Arman masuk dengan ekspresi santai. Seperti biasa, ia membawa termos teh hijau dan notes kecil yang sudah usang.“Semua sudah siap?” tanyanya.