Rhea menatap layar laptopnya dengan mata setengah mengantuk. Dosennya sedang menjelaskan tentang analisis pasar global dengan suara monoton yang nyaris seperti lullaby. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tampak sibuk mencatat atau sekadar menatap kosong ke depan, sama bosannya dengan Rhea.
Lima menit lagi, dan akhirnya kelas selesai.
Rhea menuju lounge yang lumayan kosong. Ia suka duduk di pojokan dekat dengan jendela.
Dia menghela napas panjang, ia sudah berusaha bertahan dari sisa kelas yang terasa semakin lama. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan tanpa ketiduran hingga kelas selanjutnya dimulai—dan hampir berhasil—kemudian sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahunya.
"Rheaaa~"
Rhea menoleh dan langsung mendapati wajah Kyle yang menyeringai jahil. Dia melonggarkan topinya dan duduk di kursi kosong di sebelah Rhea dengan santai.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rhea dengan suara datar.
Kyle mengangkat bahu. "Nggak boleh menemui istri sah-ku?"
Rhea memutar bola matanya. "Aku bukan istrimu, dasar sinting."
Kyle mendekat dan berbisik dengan nada dramatis. "Tapi kau sudah menikah. Kau sudah menjadi istri seseorang. Dan aku merasa dikhianati, Rhea."
Rhea mendesah kemudian membalas omongan Kyle dengan suara yang pelan. "Kyle, aku menikah dengan kontrak."
Kyle mendekat lebih jauh sampai hidung mereka hampir bersentuhan. "Tapi apakah suamimu tahu kalau aku lebih dulu mengenalmu? Aku yang selalu ada untukmu sejak SMA? Aku yang—"
Rhea menjejalkan buku catatannya ke wajah Kyle sebelum dia bisa melanjutkan. "Kau terlalu drama."
Kyle tertawa kecil, lalu bersandar di kursinya dengan ekspresi puas. "Setidaknya aku berhasil membuatmu tidak bosan lagi, kan?"
Rhea menghela napas panjang. "Aku tidak bosan. Aku hanya... ya, hidupku memang begini."
Kyle mengangkat sebelah alisnya. "Maksudmu, hidupmu yang membosankan?"
Rhea tidak menyangkal. Dia memang selalu menjalani kehidupan yang lurus-lurus saja. Sejak kecil, dia terbiasa fokus belajar, tidak banyak bersosialisasi kecuali dengan Kyle. Bahkan saat kuliah, rutinitasnya tidak jauh berbeda: kelas, tugas, makan, tidur.
Dan sekarang, dia menikah dengan seorang pria yang dunianya jauh berbeda darinya.
"Aku sekarang tinggal di tempat Miki," kata Rhea, tanpa sadar mengatakannya dengan nada ragu.
Kyle menatapnya dengan minat. "Oh, kalian sudah akrab ternyata? Gimana rasanya tinggal dengan seorang fashionista eksentrik?"
Rhea mengerjap, mengingat pertama kali dia masuk ke apartemen Michael. "Berbeda. SANGAT berbeda. Kau tahu, aku selalu suka tempat yang simpel, kan? Kalau apartemenku dulu cuma ada meja belajar, kasur, dan lemari, apartemen Michael itu..."
Kyle bersandar dengan ekspresi penasaran. "Bagaimana?"
Rhea menghela napas panjang sebelum mulai bercerita.
Apartemen Michael bagi Rhea yang kaku adalah definisi dari ‘berlebihan’.
Begitu dia masuk, dia langsung merasa seolah memasuki galeri seni. Rak-rak dipenuhi dengan koleksi aksesoris unik, mulai dari patung kecil, lilin aromaterapi dengan bentuk abstrak, hingga buku-buku desain yang tampak mahal. Warna-warna netral seperti putih, beige, dan abu-abu mendominasi ruangan, tapi ada sentuhan emas dan perak di beberapa dekorasi yang membuat tempat itu tampak elegan.
Tapi yang paling membuatnya pusing adalah koleksi parfumnya.
Satu lemari penuh. LEMARI.
Rhea masih ingat bagaimana ia berdiri terpaku di depan lemari kaca besar itu, menatap puluhan botol parfum dari berbagai merek mewah yang tersusun rapi di dalamnya. Ada yang berbentuk botol kaca klasik, ada yang unik dengan desain geometris, bahkan ada yang tampak seperti botol ramuan dari negeri dongeng.
Michael, yang saat itu baru keluar dari kamar, memperhatikan ekspresinya dan tertawa kecil. "Kau suka?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Suka? Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa Miki," kata Rhea jujur. "Aku hanya punya satu parfum, dan itu pun karena Kyle memaksaku membelinya."
Michael tersenyum tipis. "Parfum bukan hanya tentang bau. Ini seni. Aroma bisa mencerminkan karakter seseorang, suasana hati, atau bahkan kenangan."
Rhea mengernyit. "Baiklah, aku paham konsepnya, tapi... satu lemari penuh? Apa kau benar-benar menggunakannya semua?"
Michael melangkah mendekat, mengambil satu botol berwarna biru gelap dan membuka tutupnya. Dengan gerakan halus, dia menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangannya dan mengangkatnya ke dekat hidung Rhea.
"Coba ini," katanya.
Rhea awalnya ragu, tapi akhirnya mencondongkan tubuh dan menghirup aroma yang lembut dan segar, seperti angin laut di pagi hari.
Michael tersenyum melihat ekspresinya. "Namanya ‘Blue Horizon’. Aroma citrus, sedikit mint, dan kayu cendana di akhir."
Rhea menatapnya. "Jadi, kau juga seorang perfumer?"
Michael terkekeh. "Bukan. Aku hanya menghargai seni dalam berbagai bentuk."
Rhea menggelengkan kepalanya. Dunia Michael benar-benar dunia yang asing baginya. Fashion, estetika, parfum—semuanya terasa seperti hal yang hanya ada di film-film, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kembali ke dunia nyata, Kyle menatapnya dengan mulut sedikit terbuka setelah mendengar ceritanya.
"Jadi, suamimu itu fashionista sejati, pencinta estetika, dan kolektor parfum?" Kyle menggelengkan kepalanya. "Aku nggak percaya kau tinggal dengan seseorang seperti itu."
"Aku juga nggak percaya," kata Rhea sambil menyandarkan kepalanya ke meja.
Kyle tertawa. "Kau yang suka hidup simpel, sekarang tinggal di tempat yang aesthetic overload. Apakah ini karma karena kau terlalu membosankan?"
Rhea meliriknya malas. "Kalau ini karma, maka aku butuh panduan untuk bertahan hidup di dunia Miki."
Kyle memasang ekspresi berpikir. "Oke, sebagai sahabat terbaikmu, aku akan membantumu. Pertama, kau harus mulai mengenali parfum favoritnya. Kedua, kau harus mulai memahami fashion agar kau nggak terlihat seperti alien di dunia Michael. Ketiga—"
"Berhenti," potong Rhea. "Aku hanya perlu bertahan dua tahun. Aku tidak perlu memahami dunianya Miki."
Kyle menghela napas lalu membisikkan sesuatu ke Rhea. "Rhea. Kau sadar kan, kau sudah menikah? Kau tinggal dengan pria itu? Walau hanya sebagai kontrak."
Rhea terdiam.
Dia tahu itu. Tapi baginya, ini tetap pernikahan yang hanya ada di atas kertas. Tidak lebih.
Atau setidaknya, itulah yang ia yakini saat ini.
Langit sore mulai berubah jingga saat Rhea berjalan melewati lorong sepi di belakang gedung kampus. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih tersisa, sebagian besar tenggelam dalam tugas atau diskusi kelompok.
Hari ini cukup melelahkan. Setelah kelas dan ocehan Kyle yang tak ada habisnya, dia hanya ingin pulang, berbaring di sofa, dan tidur.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat sebuah tangan mencengkeram lengannya.
Sebelum sempat bereaksi, tubuhnya ditarik ke sebuah sudut terpencil di dekat tangga darurat.
"Hei—!"
Dia hampir berteriak, tapi seseorang sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Saat matanya menyesuaikan diri dengan cahaya redup, dia melihat ada empat orang cewek berdiri mengelilinginya. Semua mengenakan outfit yang maksimal padahal hanya untuk ke kampus, tapi dari ekspresi mereka, Rhea bisa langsung menebak kalau ini bukan sekadar obrolan santai.
Salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang dan ekspresi angkuh, melepaskan tangan dari mulut Rhea dan bersedekap. "Rhea, kan?"
Rhea menatap mereka dengan waspada. "Ya. Dan kalian siapa?"
Gadis itu mendengus. "Kami? Kami cuma penasaran. Kenapa kau selalu lengket dengan Kyle?"
Oh. Jadi ini tentang Kyle. Lagi.
Rhea mendesah dalam hati. Dia sudah mendengar gosip bahwa banyak mahasiswi yang menyukai Kyle—itu bukan hal baru. Kyle memang punya daya tarik bad boy yang bisa membuat banyak cewek jatuh hati. Masalahnya, Kyle tidak pernah serius dengan siapa pun.
Gadis lain, berambut pendek dengan poni rata, menyilangkan tangan. "Kami sering melihat kalian berdua di mana-mana. Makan bersama, bercanda, bahkan dia mengikutimu kemana pun. Itu bukan hubungan biasa, kan?"
Rhea mengangkat alisnya. "Dan kalaupun iya? Apa urusan kalian?"
Reaksi itu tampaknya membuat mereka kesal. Gadis pertama, yang tampaknya pemimpin dari kelompok ini, melangkah lebih dekat. "Jangan sok cuek, Rhea. Kami hanya ingin kejelasan. Apa kau pacarnya Kyle?"
Rhea menatap mereka satu per satu sebelum menghela napas. "Tidak."
"Benarkah?" Gadis berponi itu masih terlihat tidak yakin. "Lalu kenapa Kyle selalu bersama denganmu? Padahal jika melihat bagaimana tampilanmu…" ia hanya tersenyum mengejek melihat bagaimana Rhea selalu berpakaian ketika di kampus. Ia mengenakan kemeja biasa, celana kain atau jeans dan sepatu biasa. Tanpa dandanan norak dan kacamata yang selalu ia pakai.
"Karena kami sahabat." Rhea menatap mereka tajam. "Kami sudah berteman sejak SMA. Tidak ada hubungan spesial."
Gadis pertama menyipitkan mata. "Tapi dia tidak dekat dengan cewek lain seperti dia dekat denganmu."
"Itu bukan salahku, kan?" Rhea mulai kehilangan kesabaran. "Lagipula, kalian kenapa sih? Kalau suka Kyle, kenapa tidak mendekatinya langsung? Kenapa malah menginterogasiku seperti ini?"
Keempat gadis itu saling bertukar pandang.
"Kyle bukan tipe yang mudah didekati," salah satu dari mereka akhirnya mengakui. "Dia selalu sibuk dengan dunia sendiri dan... sepertinya cuma kau yang dia perhatikan."
Rhea nyaris tertawa. ‘Kyle memperhatikanku? Kalau itu benar, aku pasti sudah gila karena harus menghadapi kelakuannya setiap hari.’
Tapi dia tahu kalau mengatakan itu hanya akan memperkeruh suasana.
Dia melipat tangan di dada. "Dengar, aku sudah bilang kalau kami hanya sahabat. Kalau kalian suka Kyle, ya kejar saja. Aku tidak akan menghalangi. Lagipula, aku—"
Rhea langsung berhenti berbicara.
Dia hampir mengatakan bahwa dia sudah menikah. Nyaris.
Tapi kalau dia mengatakannya, pasti akan ada pertanyaan lain yang muncul.
"...Aku tidak tertarik dengan Kyle dalam hal romantis," akhirnya dia berkata.
Gadis pertama masih terlihat tidak puas, tapi dia akhirnya mundur selangkah. "Baiklah. Kami akan mempercayaimu untuk sekarang."
"Terserah kalian," balas Rhea dengan malas.
Salah satu dari mereka menghela napas, lalu menarik lengan temannya. "Ayo pergi."
Mereka akhirnya pergi, meninggalkan Rhea sendirian di sudut lorong yang sunyi.
Dia menepuk dahinya, menggelengkan kepala. Sungguh, drama kampus ini tidak ada habisnya.
Saat Rhea keluar dari gedung, dia menemukan Kyle sedang menunggunya di luar.
Dia bersandar di motornya dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam yang membuatnya terlihat semakin seperti karakter di film aksi.
Begitu melihat Rhea, dia menyeringai. "Hei, lama sekali. Kau habis melakukan sesuatu yang mencurigakan?"
Rhea berjalan mendekat dan menatapnya malas. "Kalau mencurigakan itu artinya diinterogasi oleh penggemar-penggemarmu, maka ya."
Kyle mengangkat sebelah alisnya. "Hmm? Maksudmu?"
Rhea menyeberangkan tangan. "Jangan pura-pura, kau sengaja kan menjadikanku tameng. Ada empat cewek yang menyeretku ke sudut kampus hanya untuk bertanya ada hubungan apa antara kita. Ini sudah ke tiga kalinya dalam semester ini aku diperlakukan seperti ini."
Kyle terkekeh. "Serius? Mereka bertanya begitu?"
"Ya," jawab Rhea ketus. "Dan aku terjebak di sana selama hampir lima belas menit menjelaskan bahwa aku bukan pacarmu."
Kyle tertawa. "Kau seharusnya berkata bahwa kita punya hubungan terlarang. Itu pasti membuat mereka panik."
Rhea menepuk keningnya. "Tolong, Kyle. Jangan tambah drama dalam hidupku yang sudah cukup merepotkan ini."
Kyle masih tersenyum, tapi sorot matanya sedikit berubah. "Kalau aku serius mengejarmu, apa kau akan menolakku?"
Rhea menghela napas, menatapnya lekat-lekat. "Kyle... kau hanya bicara begitu karena kau suka bermain-main, bukan?"
Kyle terdiam beberapa detik sebelum tersenyum kecil. "Mungkin."
Rhea tidak menjawab. Dia tahu persis bagaimana Kyle—tidak pernah serius dalam hubungan, selalu bercanda, dan kadang suka menyinggung batas antara persahabatan dan sesuatu yang lebih.
Tapi dia juga tahu, Kyle tidak akan pernah benar-benar jatuh cinta padanya.
"Sudahlah," kata Rhea akhirnya. "Antar aku pulang. Aku lelah."
Kyle tertawa lagi sebelum menyerahkan helm padanya. "Baik, Nona Rhea. Mari kita pergi sebelum suamimu marah."
Rhea mencubit lengannya. "Diam."
Dan dengan itu, mereka pun pergi.
Tanpa menyadari bahwa seseorang—dengan tatapan tajam dari kejauhan—sedang mengamati mereka.
Suasana kantor Bellezza semakin santai menjelang akhir bulan Desember. Dinding mulai dipenuhi dengan ornamen-ornamen berbau musim dingin dan nuansa tahun baru. Pohon Natal berdiri anggun di lobi utama, dihiasi lampu-lampu kecil yang berkedip lembut. Di ruang branding, semangat kerja masih ada, namun percakapan ringan dan tawa pelan mulai sering terdengar di sela-sela deadline yang sedikit longgar.“Fel, kamu mau ke mana pas libur tahun baru nanti?” tanya Laila sambil membuka kotak makan siangnya yang berisi pasta.Felicia menggigit sandwich-nya pelan lalu mengangkat bahu. “Hmm… kayaknya ke Bandung, deh. Sepupu aku ngajakin nginep di villa gitu. Tapi belum fix. Kak Laila sendiri?”“Pengen ke Jogja. Aku sama suami mau semacam honeymoon kecil-kecilan. Kebetulan dia baru dapat cuti.”Rhea yang duduk tidak jauh dari mereka spontan menoleh. “Eh? Memang kita libur ya, Kak?”Laila ter
Waktu seperti air, mengalir cepat tanpa bisa dicegah. Tiba-tiba saja, sudah hampir empat bulan sejak Rhea resmi bekerja di Bellezza Fashion Group. Kantor yang dulu terasa asing, kini mulai terasa seperti rumah kedua. Laptop di meja kerjanya sudah dipenuhi stiker kecil dan post-it warna-warni, hadiah iseng dari Kak Felicia dan Laila. Bahkan, Dimas yang dulu sempat canggung, kini bersikap profesional dan santai seperti seorang kakak senior yang suportif.Hari ini, matahari musim kemarau menyusup malu-malu dari balik tirai jendela kantor. Cahaya keemasan itu memantul lembut di layar laptop Rhea yang tengah menampilkan Insight hasil analisis kampanye Aurora.“Rhea, tolong bantu aku cek performa konten minggu ini, ya,” suara Kak Laila terdengar dari balik sekat meja.“Iya, Kak. Sudah aku rekap. Aku kirim via email sekarang.”“Cepet banget,” komentar Laila sembari melongok ke layar Rhea. “Anak muda ema
Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe
Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe
Kantor Bellezza Fashion Group dipenuhi nuansa hangat. Bukan hanya dari interior yang minimalis elegan dengan aksen kayu dan tanaman indoor, tapi juga dari semangat para pegawai yang masih terbawa euforia suksesnya peluncuran Aurora.Namun, seperti halnya daun gugur yang tak berhenti menari hanya karena satu hembus angin, pekerjaan tim branding juga tak mengenal jeda.“Semangat ya, tim. Kita masih harus bantu tim marketing untuk dorong campaign digital selama dua minggu ke depan,” ucap Kak Laila saat morning briefing di ruang rapat lantai dua.Kopi di tangan Mas Dimas tampak masih mengepul. Kak Felicia duduk dengan tablet di pangkuannya, mencatat poin-poin penting. Rhea duduk di sisi kanan Laila, membuka laptopnya sambil sesekali mencuri pandang ke presentasi yang ditampilkan di layar LCD.“Konten untuk IG dan TikTok brand udah dijadwalin semua, tapi yang organic dan UGC belum terlalu kuat. Kita butuh i
Senin pagi itu, ruang kerja tim branding Bellezza sudah seperti markas perang. Layar besar di ruangan utama menampilkan countdown peluncuran campaign Aurora secara live di situs resmi dan seluruh kanal media sosial. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang, tapi ada juga sorot percaya diri yang tak bisa disembunyikan.Rhea duduk di sebelah Laila, jari-jarinya memainkan pulpen, napasnya dalam-dalam.“Deg-degan ya?” tanya Dimas dari seberang meja.“Aku bahkan belum sarapan,” jawab Rhea, tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar gugup.“Tenang aja,” ujar Felicia sambil menyeruput kopi. “Kita udah kerja mati-matian buat ini. Kalau nggak berhasil... ya tinggal resign bareng.”Rhea dan yang lain tertawa, sedikit meredakan ketegangan.Pak Arman masuk dengan ekspresi santai. Seperti biasa, ia membawa termos teh hijau dan notes kecil yang sudah usang.“Semua sudah siap?” tanyanya.