Share

Bab 5 – Pagi yang Baru

Author: Iris Nyx
last update Huling Na-update: 2025-03-14 02:00:14

Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai kamar, membanjiri ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.

Rhea menggeliat kecil di tempat tidur, matanya masih sedikit berat karena tidur larut semalam. Namun, begitu kesadarannya mulai pulih, ia menyadari sesuatu yang tidak biasa.

Michael tertidur di sampingnya.

Rhea menoleh perlahan, dan benar saja. Michael terbaring miring menghadapnya, napasnya teratur dan dalam, jelas-jelas sedang terlelap.

Baju yang dikenakannya masih sama seperti semalam—kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di atas, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya.

"Jadi dia langsung tidur di sini setelah selesai bekerja?"

Rhea menatapnya beberapa detik. Biasanya, Michael selalu terlihat rapi, seperti model yang baru saja keluar dari pemotretan majalah fashion. Tapi pagi ini, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, beberapa helainya jatuh ke wajahnya.

Ada lingkaran samar di bawah matanya, tanda bahwa ia pasti kelelahan.

Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Michael terlihat... manusiawi.

"Kenapa aku malah mikirin ini?"

Rhea buru-buru menepis pikirannya. Ia perlahan turun dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara.

Michael masih tertidur nyenyak.

"Biarin aja. Dia pasti butuh istirahat."

Rhea berjalan ke kamar mandi, mengambil sikat gigi, dan menatap bayangannya di cermin.

Matanya masih sedikit mengantuk, tapi tidak ada waktu untuk malas-malasan.

Ia harus ke kampus pagi ini, ada kelas yang harus dihadiri.

Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, ia keluar dari kamar mandi dan mulai bersiap-siap.

Seperti biasa, Rhea memilih pakaian yang sederhana dan praktis—kemeja putih dan celana panjang hitam.

Ia merapikan rambutnya dengan cepat, lalu melirik sekilas ke tempat tidur.

Michael masih belum bangun.

Rhea menatap jam. Masih cukup waktu untuk sarapan sebelum berangkat.

Dengan langkah ringan, ia berjalan keluar kamar, menuju dapur.

Rhea membuka lemari dapur dan menemukan roti serta selai cokelat.

"Oke, ini cukup."

Ia mengambil dua lembar roti, mengoleskan selai di atasnya, lalu menggigitnya perlahan.

Sambil mengunyah, matanya melirik ke arah pintu kamar.

"Haruskah aku membangunkannya?"

Tapi kemudian ia menggelengkan kepala sendiri.

"Biar saja. Dia pasti butuh istirahat."

Lagi pula, Michael bukan anak kecil. Jika dia harus bangun pagi, pasti dia sudah memasang alarm sendiri.

Rhea menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu mencuci tangannya dan mengambil tasnya.

Ketika ia akan pergi, ia sempat kembali ke kamar dan mengintip sebentar.

Michael masih tidur dalam posisi yang sama.

Dengan napas pelan, Rhea mengambil sticky note dari dalam tasnya, menuliskan sesuatu, lalu menempelkannya di meja samping tempat tidur.

"Aku pergi ke kampus dulu. Jangan lupa sarapan."

Setelah itu, ia berjalan keluar apartemen, siap menjalani hari barunya.

Rhea menarik napas panjang saat melangkah masuk ke perpustakaan kampus. Suasana tenang yang menyelimuti ruangan itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk belajar.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ia sadar waktunya semakin sempit. Skripsi akan segera dimulai, dan ia harus benar-benar fokus agar semuanya berjalan lancar.

Ia memilih tempat duduk di sudut ruangan, jauh dari keramaian, lalu membuka laptopnya.

"Oke, mari kita mulai."

Rhea mulai membaca beberapa jurnal sebagai referensi, mencatat poin-poin penting di buku catatannya.

Namun, baru beberapa menit berlalu, seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan santai.

Kyle.

"Tahu nggak, kau ini membosankan sekali," kata Kyle sambil melipat tangan di atas meja.

Rhea mendesah pelan, matanya tetap terpaku pada layar laptop. "Aku sibuk, Kyle."

"Tapi kau bahkan nggak punya waktu buat bersosialisasi. Ayolah, setidaknya makan siang di luar sekali-kali."

"Aku bisa makan di kantin."

Kyle mengerang frustasi. "Astaga, aku yakin kalau aku nggak ganggu, kau bakal betah duduk di sini sampai perpustakaan tutup."

"Memangnya kenapa kalau aku betah?" Rhea menatap Kyle datar.

Kyle mendekatkan wajahnya, membuat Rhea sedikit mundur. "Kau ini masih muda, Rhea. Hidupmu harus seimbang, bukan cuma tentang skripsi dan buku-buku tebal itu."

"Aku tahu."

"Kalau tahu, ayo keluar sebentar."

Rhea menghela napas. "Kyle, aku serius. Aku harus menyelesaikan beberapa bacaan sebelum minggu depan."

Kyle menatapnya lama, lalu akhirnya menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi aku tetap akan memastikan kau tidak menjelma jadi kutu buku total."

Ia berdiri, mengacak rambut Rhea sekilas sebelum pergi.

Rhea hanya bisa menggelengkan kepala sambil kembali fokus ke tugasnya.

Di lounge kampus, Rhea duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Ia masih melanjutkan membaca jurnal untuk skripsinya. Di sebelahnya, Kyle duduk dengan nyaman, memainkan ponselnya sambil sesekali menghela napas panjang.

“Hah... aku nggak ngerti lagi, Rhea.”

Rhea tetap menatap layar laptopnya tanpa mengangkat kepala. “Nggak ngerti apa?”

Kyle menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan menghadap Rhea. “Aku kenalan sama seseorang di aplikasi chat.”

Rhea tetap mengetik. “Oke.”

“Tapi aku bingung. Orang ini serius nggak sih sama aku?”

Rhea akhirnya melirik Kyle sekilas sebelum kembali fokus pada tulisannya. “Terus kenapa?”

“Ya aku penasaran! Dia tuh asik diajak ngobrol, nyambung, dan keliatan baik banget. Tapi aku nggak tahu dia serius atau cuma iseng.”

Rhea mendesah. “Tanya aja langsung.”

Kyle mengernyit. “Mana bisa gitu doang! Nggak mungkin aku tiba-tiba bilang ‘Eh, kamu serius nggak sama aku?’ Itu konyol.”

Rhea tetap mengetik. “Ya udah, lanjut aja kenalan dulu. Kalau dia cuma iseng, lama-lama pasti ketahuan.”

Kyle menatapnya penuh kekecewaan. “Kau ini nggak seru banget. Seenggaknya kasih aku reaksi yang lebih dramatis, dong.”

Rhea akhirnya menutup laptopnya dan menatap Kyle datar. “Kyle, aku lagi fokus menyiapkan skripsi. Kau malah curhat soal orang yang bahkan belum kau temui langsung.”

Kyle memasang ekspresi dramatis. “Tapi ini penting, Rhea! Bisa aja dia jodohku!”

Rhea hanya menghela napas. “Kau bahkan belum tahu dia serius atau nggak.”

Kyle mendengus. “Kau terlalu logis. Kenapa sih nggak bisa sedikit kepo? Coba tanya gitu, orangnya cewek atau cowok?”

Rhea mengangkat bahu. “Aku nggak peduli.”

Kyle mengerang frustrasi dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Rhea. “Astaga, aku curhat ke orang yang salah. Kau benar-benar nggak bisa diajak diskusi soal percintaan.”

Rhea mendorong kepala Kyle pelan. “Aku cuma nggak tertarik dengan drama hubungan orang lain.”

Kyle mendesah panjang. “Yasudahlah. Aku akan menghadapi ini sendiri.”

“Kau bisa.”

Kyle melotot. “Jangan jawab datar gitu!”

Rhea tertawa kecil dan kembali membuka laptopnya. “Serius, Kyle. Kalau dia benar-benar tertarik sama kamu, dia pasti bakal kasih tanda-tanda yang jelas. Kalau dia mulai menghindar atau cuma main-main, ya berarti bukan orang yang tepat.”

Kyle menghela napas dan menatap layar ponselnya. “Ya… mungkin kau benar. Aku tunggu aja perkembangannya.”

“Bagus.”

Kyle terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berkata, “Tapi kalau dia ghosting, aku bakal nangis di sini.”

Rhea menutup matanya sebentar. “Silakan. Tapi aku akan pura-pura nggak kenal.”

Kyle tertawa. “Dasar, kau ini.”

Meskipun ocehan Kyle sering kali melelahkan, setidaknya keberadaannya membuat sekitar terasa sedikit lebih hidup.

Setelah berjam-jam berkutat dengan tugas di perpustakaan, Rhea akhirnya merapikan barang-barangnya. Kyle sudah lebih dulu pergi karena ada urusan lain, jadi ia sendirian saat berjalan keluar dari gedung kampus. Saat ia mengeluarkan ponselnya untuk mengecek waktu, layar ponselnya menyala, menampilkan sebuah chat dari Michael.

 Miki: Sayang, kau sudah selesai kuliah?

Rhea mendesah kecil, jari-jarinya dengan cepat mengetik balasan. Ia tidak perduli Michael memanggilnya apa. Lagi pula ia pernah mendengar mahasiswi jurusan fashion sering di panggil sayang oleh Michael. Mahasiswi itu sendiri yang ngomong saat di kantin kampus.

 Rhea: Baru keluar dari perpustakaan. Kenapa?

 Miki: Kau lapar? Mau makan sesuatu? Atau kita berbelanja dulu? Aku ingin membeli beberapa barang.

 Rhea: Belanja apa?

 Miki: Hm… beberapa dekorasi, lilin aromaterapi, dan mungkin satu atau dua tanaman kecil.

Rhea berhenti berjalan sejenak. Ia sudah menduga. Sejak awal tinggal bersama Michael, ia sadar bahwa pria itu memiliki obsesi berlebihan terhadap estetika. Apartemen Michael hampir seperti showroom dekorasi. Satu sisi tampak menenangkan dan indah, tapi di sisi lain, terlalu sempurna sampai terasa seperti rumah pameran yang tak berpenghuni.

 Rhea: Kita beli bahan makanan juga sekalian.

 Miki: Tentu, sayang. Aku menunggumu di lobi kampus.

Mata Rhea melebar.

 Rhea: Tidak perlu! Tunggu di parkiran saja.

 Miki: Oh? Kenapa?

 Rhea: Karena kau terlalu mencolok.

Di bayangannya, Michael yang datang ke lobi kampus dengan pakaian modis, rambut panjang hitam berkilau yang tergerai atau diikat rendah, serta senyum manisnya yang nyaris selalu palsu—itu pasti akan menarik perhatian semua orang. Rhea tidak ingin menjadi pusat gosip.

 Miki: Babe, aku kan memang mencolok ke mana pun aku pergi. Apa boleh buat? 😌

 Rhea: Miki, serius.

 Miki: Baiklah, baiklah. Aku menunggu di parkiran. 😘

Rhea mendesah lega. Ia segera melangkah keluar dari kampus menuju area parkir, di mana ia melihat mobil Michael sudah terparkir rapi. Begitu ia mendekat, kaca jendela sisi pengemudi diturunkan, memperlihatkan Michael yang tersenyum lembut ke arahnya.

Michael mengenakan kemeja satin putih longgar dengan beberapa kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya. Rambut panjangnya tergerai rapi, berkilau seperti baru selesai ditata.

“Naiklah, honey,” katanya dengan suara lembut.

Rhea membuka pintu dan masuk ke mobil. “Tolong jangan panggil aku begitu di luar.”

Michael tertawa pelan. “Kau malu?”

“Tentu saja. Lagipula aku tidak ingin mendengar gosip aneh.”

Michael hanya tersenyum dan mulai menjalankan mobil. “Kalau begitu, ayo kita belanja.”

Rhea hanya bisa pasrah. Sepertinya, perjalanan belanja kali ini akan lebih lama dari yang ia bayangkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 65 – Rindu yang Tak Terucap

    Suasana kantor Bellezza semakin santai menjelang akhir bulan Desember. Dinding mulai dipenuhi dengan ornamen-ornamen berbau musim dingin dan nuansa tahun baru. Pohon Natal berdiri anggun di lobi utama, dihiasi lampu-lampu kecil yang berkedip lembut. Di ruang branding, semangat kerja masih ada, namun percakapan ringan dan tawa pelan mulai sering terdengar di sela-sela deadline yang sedikit longgar.“Fel, kamu mau ke mana pas libur tahun baru nanti?” tanya Laila sambil membuka kotak makan siangnya yang berisi pasta.Felicia menggigit sandwich-nya pelan lalu mengangkat bahu. “Hmm… kayaknya ke Bandung, deh. Sepupu aku ngajakin nginep di villa gitu. Tapi belum fix. Kak Laila sendiri?”“Pengen ke Jogja. Aku sama suami mau semacam honeymoon kecil-kecilan. Kebetulan dia baru dapat cuti.”Rhea yang duduk tidak jauh dari mereka spontan menoleh. “Eh? Memang kita libur ya, Kak?”Laila ter

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 64 – Rindu yang Tak Terucap

    Waktu seperti air, mengalir cepat tanpa bisa dicegah. Tiba-tiba saja, sudah hampir empat bulan sejak Rhea resmi bekerja di Bellezza Fashion Group. Kantor yang dulu terasa asing, kini mulai terasa seperti rumah kedua. Laptop di meja kerjanya sudah dipenuhi stiker kecil dan post-it warna-warni, hadiah iseng dari Kak Felicia dan Laila. Bahkan, Dimas yang dulu sempat canggung, kini bersikap profesional dan santai seperti seorang kakak senior yang suportif.Hari ini, matahari musim kemarau menyusup malu-malu dari balik tirai jendela kantor. Cahaya keemasan itu memantul lembut di layar laptop Rhea yang tengah menampilkan Insight hasil analisis kampanye Aurora.“Rhea, tolong bantu aku cek performa konten minggu ini, ya,” suara Kak Laila terdengar dari balik sekat meja.“Iya, Kak. Sudah aku rekap. Aku kirim via email sekarang.”“Cepet banget,” komentar Laila sembari melongok ke layar Rhea. “Anak muda ema

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 63 – Jeda yang Menenangkan

    Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 62 – Suara dari Para Pencinta Aurora

    Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 61 – Musim Berganti, Ilmu Bertambah

    Kantor Bellezza Fashion Group dipenuhi nuansa hangat. Bukan hanya dari interior yang minimalis elegan dengan aksen kayu dan tanaman indoor, tapi juga dari semangat para pegawai yang masih terbawa euforia suksesnya peluncuran Aurora.Namun, seperti halnya daun gugur yang tak berhenti menari hanya karena satu hembus angin, pekerjaan tim branding juga tak mengenal jeda.“Semangat ya, tim. Kita masih harus bantu tim marketing untuk dorong campaign digital selama dua minggu ke depan,” ucap Kak Laila saat morning briefing di ruang rapat lantai dua.Kopi di tangan Mas Dimas tampak masih mengepul. Kak Felicia duduk dengan tablet di pangkuannya, mencatat poin-poin penting. Rhea duduk di sisi kanan Laila, membuka laptopnya sambil sesekali mencuri pandang ke presentasi yang ditampilkan di layar LCD.“Konten untuk IG dan TikTok brand udah dijadwalin semua, tapi yang organic dan UGC belum terlalu kuat. Kita butuh i

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 60 – Cahaya yang Kita Nyalakan

    Senin pagi itu, ruang kerja tim branding Bellezza sudah seperti markas perang. Layar besar di ruangan utama menampilkan countdown peluncuran campaign Aurora secara live di situs resmi dan seluruh kanal media sosial. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang, tapi ada juga sorot percaya diri yang tak bisa disembunyikan.Rhea duduk di sebelah Laila, jari-jarinya memainkan pulpen, napasnya dalam-dalam.“Deg-degan ya?” tanya Dimas dari seberang meja.“Aku bahkan belum sarapan,” jawab Rhea, tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar gugup.“Tenang aja,” ujar Felicia sambil menyeruput kopi. “Kita udah kerja mati-matian buat ini. Kalau nggak berhasil... ya tinggal resign bareng.”Rhea dan yang lain tertawa, sedikit meredakan ketegangan.Pak Arman masuk dengan ekspresi santai. Seperti biasa, ia membawa termos teh hijau dan notes kecil yang sudah usang.“Semua sudah siap?” tanyanya.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status