Share

Bab 4 – Hidup Bersama

Author: Iris Nyx
last update Last Updated: 2025-03-13 11:35:08

Apartemen terasa sunyi ketika Rhea membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia melepas sepatunya, melangkah masuk sambil melirik sekeliling.

Michael belum pulang.

Tidak ada suara langkah kaki yang ringan, tidak ada aroma parfum khas miliknya yang memenuhi udara, dan yang paling penting, tidak ada komentar santai dari pria itu tentang betapa berantakannya kebiasaannya dalam meninggalkan barang di sembarang tempat.

"Jadi, aku sendirian."

Rhea mendesah pelan. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, mengambil bantal dan memeluknya sambil menatap langit-langit. Sejak pernikahan ini dimulai, hari-harinya dipenuhi dengan hal-hal aneh yang tidak pernah ia bayangkan.

Michael, dengan segala keanggunan dan selera fashion-nya yang eksentrik, adalah kebalikan dari dirinya.

Ia lebih suka hidup praktis, sederhana, tidak berlebihan. Michael? Dunia pria itu penuh estetika, penuh barang-barang mahal yang bahkan fungsinya kadang ia tidak mengerti.

Tapi ada satu hal yang mulai ia sadari.

Apartemen Michael terasa… nyaman.

Dan lebih buruk lagi, ia mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu.

Perutnya tiba-tiba berbunyi.

"Ugh… aku lapar."

Rhea bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. Ia membuka kulkas dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa dimasak.

Kosong.

Atau setidaknya, tidak ada bahan yang bisa diolah menjadi sesuatu yang masuk akal untuk dimakan. Ada beberapa botol air mineral berjejer rapi, beberapa kaleng minuman bersoda, dan beberapa bahan makanan yang sepertinya lebih cocok untuk dijadikan pajangan daripada dimasak.

"Miki bahkan tidak menyimpan telur?" Rhea mengernyit. "Yah selama ini kita makan di luar atau membeli makanan dari luar. Aku belum sempat melihat kebutuhan di dapur selain teh atau kopi."

Mau tidak mau, ia memutuskan untuk pergi ke supermarket.

Ia mengambil jaketnya dan berjalan menuju pintu, baru saja akan meraih pegangan pintu saat suara langkah kaki terdengar dari luar.

Seketika, pintu terbuka dengan anggun.

Dan di sana berdiri Michael.

Dengan segala kesempurnaannya.

Rambut panjang hitamnya terurai bebas, sedikit berantakan karena angin malam. Ia mengenakan kaus putih sederhana yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, dipadukan dengan celana panjang hitam yang terlihat santai tapi tetap modis.

Dan seperti biasa, wajahnya tampak menawan tanpa usaha.

"Mau ke mana, Rhea?" tanyanya dengan nada santai, matanya melirik jaket yang sudah disampirkan di bahu Rhea.

Rhea sedikit terkejut, tapi segera menguasai dirinya. "Aku mau ke supermarket. Kulkasmu kosong, dan aku lapar."

Michael tersenyum kecil sebelum masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya.

"Kau lapar?"

"Ya. Aku pikir aku bisa masak sesuatu, tapi… kau tidak punya bahan makanan yang cukup."

Michael melepas sepatunya dengan gerakan yang terlihat seperti kebiasaan anggun yang sudah tertanam sejak lahir. Kemudian ia berjalan ke arah dapur, membuka kulkas, dan mengamati isinya sejenak sebelum kembali menatap Rhea.

"Ah… benar juga. Aku memang jarang masak," katanya sambil meringis.

"Jelas," gumam Rhea. "Jadi, aku tetap harus ke supermarket, kan?"

Michael menatapnya dengan tatapan menilai sebelum akhirnya menggeleng.

"Tidak perlu. Aku akan memesan sesuatu."

Rhea mengerutkan kening. "Aku bisa masak, tahu? Kau tidak harus selalu memesan makanan."

Michael mengangkat bahu dengan ekspresi malas. "Memasak butuh waktu. Aku lapar, kau lapar. Kita pesan saja sesuatu."

Rhea menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Jadi selama ini kau cuma hidup dengan take-out dan restoran?"

Michael menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, menyilangkan tangan di dada. "Tidak selalu. Kadang aku makan di rumah teman. Kadang aku masak, tapi hanya jika aku sedang ingin."

"Dan itu jarang terjadi?"

Michael tersenyum kecil. "Tebakan yang bagus."

Rhea menghela napas panjang. "Ya Tuhan, aku menikahi seseorang yang tidak bisa bertahan tanpa aplikasi pesan makanan."

Michael menekan beberapa tombol di ponselnya. "Kita pesan makanan Jepang, bagaimana?"

Rhea merenung sebentar. Sebenarnya, ia memang lapar. Dan mungkin, memasak memang akan memakan waktu lama.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi lain kali, aku yang akan masak."

Michael mengangkat alis. "Oh? Kau bisa memasak?"

"Aku lebih suka makanan buatan sendiri daripada makanan take-out," jawab Rhea santai.

Michael menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil.

"Menarik."

"Apa yang menarik?"

"Dirimu," katanya ringan, sebelum berjalan pergi ke ruang tamu, meninggalkan Rhea yang terdiam dengan pipi yang mendadak terasa hangat.

Kenapa dia bicara seperti itu?

Kenapa nadanya terdengar… terlalu lembut?

Dan kenapa sekarang Rhea justru lebih fokus pada Michael daripada rasa laparnya?

Setelah perdebatan singkat soal makanan selesai, Rhea memutuskan untuk mandi sementara menunggu pesanan mereka datang.

Ia berjalan menuju kamar dengan langkah santai, tapi dalam hatinya, ia masih merasa aneh dengan kehidupannya sekarang. Hidup bersama seorang pria yang… begitu berlawanan dengannya dalam banyak hal.

Begitu ia masuk ke kamar mandi, matanya langsung tertuju pada wastafel.

"Astaga… aku lupa kalau ini masih seperti ini."

Wastafel itu penuh dengan botol-botol skincare.

Dari yang berukuran kecil, sedang, hingga besar, semuanya tersusun rapi seperti rak di toko kecantikan. Ada toner, serum, essence, pelembap, bahkan beberapa sheet mask yang tersusun dengan estetika tinggi di sudut wastafel.

Rhea menghela napas panjang.

"Oke, parfum satu lemari sudah cukup bikin aku pusing… tapi ini?"

Ia meraih salah satu botol serum yang tampak mahal, membaca tulisan di botol itu.

"Niacinamide 10% + Zinc? Apa ini?"

Lalu ia mengambil botol lain.

"Retinol… Oh, aku tahu ini! Ini yang katanya bikin kulit awet muda. Tapi… kenapa Miki punya banyak sekali?"

Rhea kemudian melirik cermin, menatap wajahnya sendiri.

Ia bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan skincare. Sabun cuci muka, pelembap, dan sunscreen sudah cukup baginya. Sementara di sini… Michael bahkan punya lebih banyak produk daripada yang pernah ia lihat di rak skincare milik teman-temannya.

Ia meletakkan botol itu kembali di tempatnya dan mulai menyalakan shower.

Saat air hangat mengalir membasahi tubuhnya, Rhea tiba-tiba teringat sesuatu.

Ia belum sempat menceritakan soal skincare ini ke Kyle.

"Aku terlalu syok dengan parfum satu lemari sampai lupa soal ini."

Kyle pasti akan tertawa terbahak-bahak kalau tahu Michael bukan hanya maniak parfum, tapi juga pecinta skincare.

"Mungkin aku harus kasih tahu dia besok di kampus."

Setelah mandi, Rhea keluar dengan rambut masih sedikit basah, memakai kaus oversized dan celana panjang.

Begitu ia keluar dari kamar, ia melihat Michael duduk di sofa dengan kaki disilangkan, menatap ponselnya dengan ekspresi santai.

"Sudah selesai?" tanyanya menoleh dengan tersenyum.

Rhea mengerutkan kening. "Yah, aku nggak terlalu biasa berlama-lama di kamar mandi."

Michael akhirnya mengangkat wajahnya, tersenyum tipis. "Rhea sangat simple ya orangnya."

Rhea mendecakkan lidah. "Dibanding hidup Miki, mungkin hidupku di mata orang lain terlihat sangat membosankan.”

Michael mengangkat bahu. "Yang lebih penting kita menikamti hidup kita sendiri. Bukankah begitu?"

Rhea meliriknya dengan ekspresi malas. "Tentu saja."

Michael tertawa ringan, lalu menunjuk meja. "Makanannya sudah datang, nih. Kau lapar, kan?"

Rhea berjalan ke meja makan dan duduk, matanya langsung berbinar melihat berbagai makanan Jepang yang tersusun di atas meja.

"Sushi, tempura, udon, ramen… wah, ini banyak sekali!"

Michael duduk di seberangnya, mengambil sumpit dengan elegan. "Aku tidak tahu apa yang kau suka, jadi aku pesan beberapa pilihan."

Rhea mengangkat alis. "Oh? Miki perhatian juga, ternyata."

Michael menatapnya sejenak sebelum tersenyum. "Aku hanya tidak ingin mendengar keluhanmu kalau aku tidak memberikan makan anak orang dan pesanannya tidak sesuai selera."

Rhea mendengus, tapi ia tidak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya.

Mungkin… hidup bersama Michael tidak akan seburuk yang ia kira.

Setelah selesai makan malam, Michael meletakkan sumpitnya dengan gerakan anggun lalu menghela napas kecil.

"Aku harus ke ruang kerja. Ada project yang harus kuselesaikan malam ini."

Rhea yang masih sibuk mengunyah sushi hanya meliriknya sekilas. "Project apa?"

Michael menatapnya dengan ekspresi tenang, lalu mengangkat bahu. "Baju."

Rhea mengerutkan kening. "Baju?"

Michael tersenyum tipis. "Aku juga seorang fashion designer, ingat?"

"Oh." Rhea mengangguk pelan. Terkadang ia lupa bahwa Michael bukan hanya seorang dosen fashion, tapi juga benar-benar bekerja di industri itu.

Michael berdiri dari kursinya, lalu menatap Rhea sejenak. "Kalau kau mengantuk, tidurlah duluan. Jangan tunggu aku."

Rhea hanya mengangkat bahu. "Oke."

Michael tidak berkata apa-apa lagi dan langsung berjalan menuju ruang kerjanya.

Begitu pintu ruang kerja tertutup, Rhea menghela napas panjang.

"Baiklah. Aku juga punya tugas yang harus kuselesaikan."

Dia menarik laptopnya yang tadi diletakkan di sofa dan mulai mengerjakan tugas.

Awalnya, Rhea hanya berniat mengerjakan tugas selama satu atau dua jam.

Namun, seperti yang sering terjadi, ia terlalu larut dalam pekerjaannya.

Ia mengetik cepat di keyboard, memeriksa referensi, menuliskan analisis, lalu kembali membaca ulang tugasnya.

Sesekali ia menyesap kopi yang sudah mulai dingin, lalu melirik jam di laptopnya.

"Jam sebelas? Astaga, kenapa waktu cepat sekali?"

Dia melirik ke arah ruang kerja Michael.

Pintu masih tertutup.

Berarti Michael masih di dalam.

"Dia juga belum selesai?"

Rhea menghela napas dan kembali fokus pada tugasnya.

"Sedikit lagi, lalu aku tidur."

Tapi sedikit lagi menjadi setengah jam.

Setengah jam menjadi satu jam.

Baru ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 12, Rhea akhirnya menyelesaikan tugasnya.

Ia menutup laptop dengan lega, meregangkan tubuh, lalu menguap panjang.

"Akhirnya selesai."

Dia kembali melirik ke ruang kerja Michael.

Masih tertutup.

Rhea sedikit ragu. Haruskah ia mengetuk dan menanyakan apakah Michael sudah selesai?

Tapi kemudian ia ingat.

"Dia bilang jangan menunggunya."

Lagipula, ia benar-benar sudah mengantuk.

Dengan langkah malas, Rhea berjalan ke kamar.

Ia mengganti bajunya dengan piyama, lalu langsung naik ke tempat tidur.

Saat ia menarik selimut hingga ke dada, ia kembali memikirkan sesuatu.

"Kenapa aku penasaran apakah dia sudah selesai atau belum?"

Ia mendengus dan membenamkan wajahnya ke bantal.

"Bukan urusanku."

Dengan pikiran itu, ia memejamkan mata dan perlahan-lahan tenggelam dalam tidur.

Namun, sebelum benar-benar terlelap, ia masih bisa mendengar suara samar dari ruang kerja Michael.

Suara langkah kaki.

Bunyi kursi yang digeser.

Dan suara Michael yang berbicara pelan, entah dengan siapa.

Kemudian, semuanya gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 65 – Rindu yang Tak Terucap

    Suasana kantor Bellezza semakin santai menjelang akhir bulan Desember. Dinding mulai dipenuhi dengan ornamen-ornamen berbau musim dingin dan nuansa tahun baru. Pohon Natal berdiri anggun di lobi utama, dihiasi lampu-lampu kecil yang berkedip lembut. Di ruang branding, semangat kerja masih ada, namun percakapan ringan dan tawa pelan mulai sering terdengar di sela-sela deadline yang sedikit longgar.“Fel, kamu mau ke mana pas libur tahun baru nanti?” tanya Laila sambil membuka kotak makan siangnya yang berisi pasta.Felicia menggigit sandwich-nya pelan lalu mengangkat bahu. “Hmm… kayaknya ke Bandung, deh. Sepupu aku ngajakin nginep di villa gitu. Tapi belum fix. Kak Laila sendiri?”“Pengen ke Jogja. Aku sama suami mau semacam honeymoon kecil-kecilan. Kebetulan dia baru dapat cuti.”Rhea yang duduk tidak jauh dari mereka spontan menoleh. “Eh? Memang kita libur ya, Kak?”Laila ter

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 64 – Rindu yang Tak Terucap

    Waktu seperti air, mengalir cepat tanpa bisa dicegah. Tiba-tiba saja, sudah hampir empat bulan sejak Rhea resmi bekerja di Bellezza Fashion Group. Kantor yang dulu terasa asing, kini mulai terasa seperti rumah kedua. Laptop di meja kerjanya sudah dipenuhi stiker kecil dan post-it warna-warni, hadiah iseng dari Kak Felicia dan Laila. Bahkan, Dimas yang dulu sempat canggung, kini bersikap profesional dan santai seperti seorang kakak senior yang suportif.Hari ini, matahari musim kemarau menyusup malu-malu dari balik tirai jendela kantor. Cahaya keemasan itu memantul lembut di layar laptop Rhea yang tengah menampilkan Insight hasil analisis kampanye Aurora.“Rhea, tolong bantu aku cek performa konten minggu ini, ya,” suara Kak Laila terdengar dari balik sekat meja.“Iya, Kak. Sudah aku rekap. Aku kirim via email sekarang.”“Cepet banget,” komentar Laila sembari melongok ke layar Rhea. “Anak muda ema

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 63 – Jeda yang Menenangkan

    Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 62 – Suara dari Para Pencinta Aurora

    Langit pagi kota masih diselimuti kabut tipis saat Rhea tiba di kantor Bellezza. Embusan udara beraroma hujan semalam membuat suasana terasa segar. Di meja kerjanya yang tertata rapi, sebuah sticky note berwarna ungu muda tertempel di layar laptop.“Check email dari Bu Santi. Hari ini kita mulai survei online. Let’s go, strategist!” – Kak LailaRhea tersenyum kecil, meletakkan tasnya, dan langsung menyalakan laptop. Email dari Bu Santi, Head of Marketing, telah masuk pukul tujuh pagi tadi. Isinya: konfirmasi bahwa paket Aurora – Fall Collection telah resmi dikirim ke para konsumen yang melakukan pre-order tahap pertama.“Wah, berarti mulai hari ini, review-review pelanggan akan mulai muncul,” gumam Rhea.Tak lama, Felicia dan Laila masuk ke ruang tim branding sambil membawa dua cangkir kopi.“Kami bawa kopi penyemangat!” ujar Felicia ceria.Rhe

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 61 – Musim Berganti, Ilmu Bertambah

    Kantor Bellezza Fashion Group dipenuhi nuansa hangat. Bukan hanya dari interior yang minimalis elegan dengan aksen kayu dan tanaman indoor, tapi juga dari semangat para pegawai yang masih terbawa euforia suksesnya peluncuran Aurora.Namun, seperti halnya daun gugur yang tak berhenti menari hanya karena satu hembus angin, pekerjaan tim branding juga tak mengenal jeda.“Semangat ya, tim. Kita masih harus bantu tim marketing untuk dorong campaign digital selama dua minggu ke depan,” ucap Kak Laila saat morning briefing di ruang rapat lantai dua.Kopi di tangan Mas Dimas tampak masih mengepul. Kak Felicia duduk dengan tablet di pangkuannya, mencatat poin-poin penting. Rhea duduk di sisi kanan Laila, membuka laptopnya sambil sesekali mencuri pandang ke presentasi yang ditampilkan di layar LCD.“Konten untuk IG dan TikTok brand udah dijadwalin semua, tapi yang organic dan UGC belum terlalu kuat. Kita butuh i

  • Pernikahan Kontrak dengan Dosen Feminim   Bab 60 – Cahaya yang Kita Nyalakan

    Senin pagi itu, ruang kerja tim branding Bellezza sudah seperti markas perang. Layar besar di ruangan utama menampilkan countdown peluncuran campaign Aurora secara live di situs resmi dan seluruh kanal media sosial. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang, tapi ada juga sorot percaya diri yang tak bisa disembunyikan.Rhea duduk di sebelah Laila, jari-jarinya memainkan pulpen, napasnya dalam-dalam.“Deg-degan ya?” tanya Dimas dari seberang meja.“Aku bahkan belum sarapan,” jawab Rhea, tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar gugup.“Tenang aja,” ujar Felicia sambil menyeruput kopi. “Kita udah kerja mati-matian buat ini. Kalau nggak berhasil... ya tinggal resign bareng.”Rhea dan yang lain tertawa, sedikit meredakan ketegangan.Pak Arman masuk dengan ekspresi santai. Seperti biasa, ia membawa termos teh hijau dan notes kecil yang sudah usang.“Semua sudah siap?” tanyanya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status