Kota Valencia.
Aaron dan Damian sudah tiba di lokasi. Kedatangannya disambut oleh para wartawan yang sudah menunggu kedatangannya. Bahkan rentetan pertanyaan sudah Aaron dapatkan ketika ia baru saja turun dari mobil."Bagaimana ini bisa terjadi?""Apa Anda yakin semua bahan yang digunakan berkualitas bagus?""SAP Company menorehkan sejarah yang kelam, dong, ya, tahun ini?""Apa perusahaan akan menanggung semua biaya korban sampai sembuh?"Aaron mencoba untuk tenang, lalu menjawab, "Tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi. Untuk masalah ini biar nanti pihak berwajib yang menyelidiki. Dan untuk para korban, tentu saja perusahaan akan bertanggungjawab sampai mereka sehat seperti se--""Mana penanggungjawab atas kejadian ini?! Dua jam ayahku terlantar di rumah sakit! Ayahku harus segera menjalani operasi, tapi pihak kalian tidak ada satupun di sana! Kami perlu biaya!"Suara seorang perempuan terdengar nyaring membuat perhatian Aaron dan para wartawan tercuri. Semua mendengar jelas apa yang ia katakan. Semua menoleh ke arah suara, tak terkecuali Aaron.Aaron membuka kacamatanya. Seketika tatapan Aaron dan wanita itu bertemu."Kau?!" ucap Aaron, dengan mata terbelalak karena kaget. Wanita itu Bella. Aaron yakin itu.Aaron melihat wanita itu membulatkan matanya. Mulutnya menganga dan perlahan mundur, lalu mengambil langkah seribu membuat Aaron turut mengejar."Tunggu!" cegah Aaron.Sadar akan dirinya sedang diwawancara, Aaron berhenti dan berbalik. Aaron berteriak. "Damian?! Ambil alih!" Aaron kembali mengejar."Haiish! Ke mana wanita itu pergi!" gumamnya dengan napas terengah-engah dan mata menyisir sekitar. Aaron kehilangan jejak.*Ya, benar! Wanita itu adalah Bella. Di ujung jalan sana, ia sedang duduk bersandar pada tembok. Setelah berlari tadi, wanita berdarah Indonesia-Spanyol itu meringis karena merasakan sakit pada perut bagian bawahnya."Sssshhh ... sakit sekali!" keluhnya, sembari mengusap keringat yang mengucur di kening.Bella mencoba berdiri. Berhasil, walaupun tubuhnya tidak tegak sempurna. Baru saja satu langkah, tiba-tiba saja ...."Mau ke mana kau, hah?!" Aaron menemukannya dan mencengkram lengan Bella, sangat erat.Bella menoleh. "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!" kilah Bella sembari menepis tangan Aaron."Oh, ya? Kau yakin itu?!"Aaron mendorong tubuh Bella hingga tersudut pada dinding. Bella dalam kungkungannya bahkan jarak mereka sangat dekat, hingga keduanya bisa merasakan embusan napas satu sama lain. Aaron melihat tatapan tajam Bella yang penuh kebencian terhadapnya. Ya, mata itu masih sama. Perlahan Aaron menyapu rambut yang menutupi pipi Bella. Bekas luka itu masih ada, walau terlihat samar.Bella mendorong tubuh Aaron. "Pergi! Dan jangan berani menyentuhku atau aku akan teriak maling!" Bella melangkah pergi.Namun, Aaron menarik lengannya cepat sampai-sampai tubuh mereka beradu. Jemari Aaron mencengkram dagu Bella, lalu berkata, "Cabut sumpahmu dulu baru aku akan melepasmu!"Bella tersenyum sinis."Aku lelah hidup dalam kesialan!" lanjut Aaron.Bella menepis lengan Aaron, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kau tau hukum karma? Itu balasan atas perbuatanmu sendiri, Tuan! Nikmatilah!"Bella melanjutkan tawanya sembari melangkah mundur. Namun, tiba-tiba saja ...Bruk!Bella limbung, ambruk sembari memegangi perutnya."Aaaaa ... sakiit!" teriak Bella.Aaron yang sebenarnya merasa kesal tidak tega melihatnya. Dengan sigap ia mengangkat tubuh Bella."Turunkan aku!" pinta Bella."Diam saja! Aku akan membantumu!"Aaron berjalan cepat menuju jalan raya dan memberhentikan sebuah mobil."Antar aku ke rumah sakit terdekat!"Aaron bergegas naik saat pemilik mobil itu mempersilakan masuk.Aaron hanya mampu menyaksikan Bella yang meringis kesakitan tanpa tahu harus berbuat apa. Pun ada pemandangan aneh menurutnya. Dimana bagian dada Bella seketika basah. Itu jelas terlihat karena Bella mengenakan T-shirt. Air apa itu? Aaron bertanya-tanya dalam hati. Jika diperhatikan pula, tubuh Bella bertambah sintal.**Tiba di rumah sakit, Aaron membawa Bella ke ruang IGD."Tolong, Dok, sepertinya wanita ini merasakan sakit di bagian perut!" kata Aaron panik.Dokter itu malah tersenyum membuat Aaron merasa heran."Apa yang sudah Nona Bella lakukan?" tanya dokter.Aaron mengangkat kedua pundaknya. "Tidak tahu, Dok. Tadi dia hanya berlari, cukup kencang. Samp--""Nona ini bandel! Dia sudah menjalani operasi sesar enam bulan yang lalu. Harusnya tidak merasakan sakit lagi. Tapi, baru satu minggu selesai operasi, dia malah bekerja kuli panggul dan kerja keras lainnya. Sudah lahiran itu harusnya istirahat!"Dokter itu terus saja berbicara, tetapi Aaron bergelut dengan pikirannya sendiri."Melahirkan? Enam bulan yang lalu? Apa benar kata Kevin kalau Bella hamil? Bella melahirkan anakku?!"Bella yang menyadari jika ia berada di rumah sakit mana pun beringsut turun dari ranjang pesakitan. Ia tak peduli dengan sakitnya. Rupanya tanpa sengaja Aaron membawa Bella ke IGD rumah sakit dimana Julio --ayah Bella dirawat."Ayah, bagaimana dengan ayahku, Dok?" tanya Bella cemas, dan mampu membuat Aaron terperanjat."Nona istirahat dulu saja. Minum dulu obatnya. Kalau untuk Tuan Julio, saya sudah katakan, kan, kalau beliau harus segera dioperasi?!" ujar sang dokter.Bella berjalan tertatih diikuti oleh Aaron menuju bilik sebelah.Tampak seorang pria paruh baya tengah terbaring lemah dengan ragam alat medis di tubuhnya.Sakit. Seketika hati Aaron merasakan sakit melihat itu. Ya, melihat kondisi Julio mengingatkannya kepada Addison."Cepat lakukan operasi!" seru Aaron.Tim medis yang mendengar seruan Aaron bergegas mengambil tindakan."Lakukan yang terbaik!" ucap Aaron kepada seorang dokter."Iya, Tuan. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."Aaron menoleh ke arah Bella. "Ayok, kita urus administrasinya?!"Bella hanya bisa pasrah mengikuti langkah Aaron ke luar. Jika saja bisa menawar, Bella ingin orang lain saja yang menanggung semua biayanya.Bella sudah mengisi data juga menandatangani beberapa lembar dokumen. Saatnya menunggu di ruang tunggu operasi.Bella duduk termangu melihat lampu ruang operasi berwarna merah. Lantunan do'a ia panjatkan dalam hati berharap proses operasi berjalan lancar dan Julio bisa pulih seperti sediakala."Aku sudah membantumu juga ayahmu. Oleh karena itu, cepat cabut sumpahmu!" ujar Aaron tiba-tiba sembari duduk di kursi depan Bella.Bella menoleh sekilas, lalu berpangku tangan. "Cih! Menolong karena ada maunya! Dasar orang kaya! Lagipula, aku tidak memintamu untuk membawaku ke rumah sakit. Tadi, aku sudah bilang turunkan, kan?! Dan untuk ayahku, itu memang tanggung jawabmu sebagai pemilik apartemen itu! Bukan begitu?""Sekarang pergilah dari hadapanku!" lanjut Bella."Sampai kapan kau membenciku?" tanya Aaron. Terdengar konyol, tetapi Aaron harus memastikannya."Selama aku bernapas!" jawab Bella ketus.Aaron mengusap wajahnya kasar. Bagaimana ini? Bella tidak memaafkannya. Jadi, apakah selamanya Aaron akan dirundung kesialan?Aaron tetap bergeming. Ia tidak peduli walaupun Bella bersikap acuh.Terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai yang kian mendekat.Aaron menoleh ke arah suara, memerhatikan. Di depan sana, tepat di hadapan Bella berdiri seorang wanita paruh baya dan laki-laki bertubuh tegap menggunakan masker dan topi sembari menggendong seorang bayi. "Bella, bagaimana ayahmu?" Terdengar kalimat itu di telinga Aaron. "Ayah masih menjalani operasi, Bu," jawab Bella. Aaron menyaksikan wanita paruh baya itu duduk di samping Bella dan bertanya perihal biaya operasi. Bella menunjuk Aaron, membuat yang ditunjuk beralih menatap wanita paruh baya itu. "Semua ditanggung olehnya, Bu," lanjut Bella. Wanita paruh baya bernama Belinda Agatha yang tak lain adalah ibu Bella tersenyum kepada Aaron. Aaron pun membalasnya. "Terima kasih. Entah bagaimana caranya kami membalasnya," ucap Belinda. "Sama-sama, Nyonya!" balas Aaron. "Ibu tidak usah berterimakasih kepadanya. Karena ini memang tanggungjawabnya
Hari mulai malam, tetapi Bella belum juga menerima kabar tentang Julio. Sembari menimang Alessandro, perhatian Bella terbagi pada ponsel. Tok Tok Tok!Mendengar pintu diketuk, Bella bergegas membukanya. "Kau?!" Bella terbelalak karena yang datang bukan John atau Belinda, melainkan Aaron. Bella melongo karena Aaron nyelonong masuk. "Mau apa kau ke mari?!" tanya Bella dengan sorot mata tajam. Aaron tak memedulikan pertanyaan Bella. Ia membuka jasnya, lalu menyimpannya di kursi dan menggulung kemejanya sebatas siku. "Sini, Sayang, sama Papa," ucap Aaron sembari mengulurkan tangan ke arah Alessandro. Mata Bella membulat sempurna, kaget. "Kata si-siapa ini anakmu! Kau salah!" ujar Bella sembari menjauhkan Alessandro dari Aaron. Aaron tersenyum. "Alessandro Addison. Itu namanya, kan? Sama seperti namaku. Aaron Addison.""Cih! Memangnya hanya kau saja yang bernama Addison? Tidak!"Aaron duduk di sofa dengan santainya. "Kalau kita lakukan tes DNA, gimana?"Deg! Bella bergeming. Jantu
Aaron kembali ke rumah sakit. Damian melapor jika operasi Julio berhasil dan sedang menunggu pria paruh baya itu siuman."Tuan, boleh kita bicara sebentar?" tanya John. Aaron mengangguk. "Katakan saja!"John mengajak Aaron duduk di kursi pojok. "Sebelumnya aku minta maaf, Tuan. Sedari siang Anda bicara sebetulnya ada satu yang mengganjal pikiran ini. Apalagi, Anda sampai meminta alamat rumah kami.""To the point saja!" kata Aaron cepat. John menghela napas. "Apa Anda yang sudah memperkosa kakakku?""Iya, betul!" jawab Aaron mantap. John menatap tajam ke arah Aaron. Yang ditatap hanya bisa berkata, "Semua ada alasannya!""Apa pun itu aku tidak menerimanya. Anda sudah keterlaluan! Selama ini kakakku menderita fisik, juga batin!"John berdiri. "Jangan mentang-mentang Anda orang kaya jadi bisa berbuat seenaknya!"John hendak melangkah, tetapi Aaron segera mencekal lengannya. "Tunggu! Aku mohon dengarkan dulu!""Saat ini aku benar-benar butuh bantuanmu," lanjut Aaron. Walaupun kesal,
Hari berganti pagi. Pagi-pagi sekali Aaron bersemangat untuk pergi ke kediaman Bella. Ya, rupanya Aaron berhasil mendapatkan hati Belinda semalam. Aaron meyakinkan Belinda, bahwasanya ia akan menyayangi Bella serta Alessandro dengan sepenuh hati. Ia akan membayar semua kesalahannya. Pun Aaron meyakinkan jika Bella akan mendapatkan tempat terbaik di keluarganya. Jelas saja Aaron berkata demikian, karena Belinda takut jika kelurga besar Aaron tidak menerima Bella. Tidak hanya itu, hati Belinda tersentuh saat Aaron menceritakan kondisi Mitha. Aaron merasa yakin jika Mitha akan sembuh jika saja ada Bella dan Alessandro.Laptop sudah dalam genggaman. Aaron pun naik ke dalam mobil. "Damian? Bagaimana dengan bengkel?"Damian yang berada di belakang kemudi pun mengangkat ibu jari tangan kirinya. "Beres, Tuan. Lokasinya dekat ke arah pantai.""Bagus! Urus kepemilikannya segera. Tapi, bukan namaku. Melainkan John Hanan.""Siap laksanakan, Tuan!"Aaron melihat ke luar jendela. Entah mengapa ja
Aaron akhirnya menghubungi Damian agar mengirimnya makanan siap saji untuk sarapan. Lima belas menit berselang pesanan datang. Aaron mengetuk pintu kamar Bella mengajaknya untuk sarapan. Akan tetapi, Bella tak kunjung membukakan pintu. Perut Aaron yang sudah keroncongan memilih untuk sarapan terlebih dahulu. Sarapan selesai. Setelah membereskan bekas makannya, Aaron menyimpan bagian Bella di meja makan, lalu duduk kembali menghadap laptop. Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Aaron. Ia melihat ke arah kamar. Tidak ada tanda-tanda Bella ke luar. Aaron bergegas membereskan pekerjaannya agar segera pulang. Dengan demikian Bella akan ke luar kamar untuk makan. "Haaahh, akhirnya selesai!" ucap Aaron seraya menutup laptop. Aaron beranjak. Ia menghampiri kamar Bella. Tok tok tok! Diketuknya pintu kamar Bella. "Bella, aku akan pulang. Jadi, tolong makanlah! Kasian Ale kalau kau tidak makan. Kau juga jangan sampai sakit!" ucap Aaron setengah berteriak. "Aku pamit, ya? Cium
Di Kota Valencia. Setelah kepergian Aaron, Bella sarapan. Mau tidak mau, Bella memakan menu yang sudah Aaron siapkan. Sayang kalau dibuang, pikirnya. Masakan yang tadi belum selesai pun ia lanjutkan dan akan dibawanya ke rumah sakit. Urusan perut dan dapur sudah selesai. Saatnya bersiap ke rumah sakit. "Tampan sekali anak Mama. Kita ke rumah sakit, ya? Kita liat kakek," ucap Bella sembari membuka pintu. "Ya, Tuhan! Siapa kalian?!" Bella terhenyak saat melihat beberapa orang berbaju hitam serta seorang perempuan berbaju layaknya seorang perawat berdiri berjajar di depan pintu. "Maaf, kalau kami sudah membuat Nona kaget," ucap Damian. "Saya baru saja mau mengetuk pintu," lanjut Damian. Damian memperkenalkan diri serta lainnya. Damian mengatakan jika ada satu orang Baby Sitter, satu orang sopir dan tiga orang pengawal yang siap menjaga Bella. Bella melongo. "Ya, Tuhan! Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan mereka!""Tapi, ini perintah Tuan Aaron, Nona," kata Damian. "Bilang sama tu
Di kota Birmingham.Hari merangkak malam. Angin dingin berembus yang kencang menyapa wajah Aaron yang tengah meneguk secangkir teh panas di balik jendela yang ia buka lebar. Sesekali Aaron melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Pun sesekali menoleh ke arah pintu. Ya, rupanya Aaron sedang menunggu kedatangan Kevin di kantor. "Sorry, gue telat!" ucap Kevin. Aaron menoleh, lalu tersenyum sarkas. "Tidak masalah!""Kalau begitu, langsung saja. Kabar apa yang bakal gue dengar kali ini?!" Kevin duduk bersandar dengan kedua tangan yang ia rentangkan pada sandaran sofa. Aaron menghampiri. "Ada dua kabar gembira yang harus kau dengar."Kevin mengibaskan tangannya. "Ellaaah, sejak kapan lu bertele-tele? Langsung saja!"Aaron turut duduk. "Apa yang kau ucapkan tempo hari ternyata benar. Bella hamil dan sekarang usia putraku sudah enam bulan."Kevin menepuk tangannya. "Nah, kan! Hahahaa .... Lalu, nikah, dong?" Kev
Pagi menjelang. Pagi-pagi sekali Aaron sudah berpakaian rapi dan menyuapi Mitha. Setelah memberinya obat, Aaron bersiap pergi ke kantor. "Mbok? Kalau Mami kambuh, tolong panggilkan dokter Diaz saja. Kemungkinan hari ini aku pulang malam," pesan Aaron kepada Marni. "Baik, Den.""Kalau begitu aku pamit, ya, Mbok?!""Iya, Den, hati-hati."Aaron tersenyum, kemudian melenggang pergi. Aaron sudah duduk di belakang kemudi. Gegas Aaron merogoh ponsel dalam saku dan mengirim pesan kepada nomor Emilia yang tertera di belakang kuitansi. Hampir saja ia lupa. Setelah pesan terkirim, Aaron menancap gas. *Tiba di parkiran SAP Company, Aaron bergegas turun. Banyaknya dokumen yang harus di cek dan ditandatangani membuat Aaron harus datang pagi-pagi. "Ke ruanganku!" Aaron memanggil Damian melalui telepon kantor. Tidak berselang lama, Damian datang. "Kalau ada wanita bernama