Brak!
"Ya, Tuhan!" seru Aaron, saat ia menyadari jika dirinya sudah menabrak mobil di depannya.Fokus Aaron benar-benar terpecah. Ya, hari-hari Aaron selalu dihantui rasa bersalah kepada Bella. Bahkan rentetan peristiwa itu selalu datang dalam ingatan kala ia sendiri. Seperti saat ini. Padahal, peristiwa itu sudah lebih dari satu tahun berlalu. Pun segala sumpah yang dilontarkan oleh Bella seakan-akan menjadi kenyataan. Hidup Aaron penuh dengan kesialan.Aaron menghela napas panjang dan segera melepas sabuk pengaman, saat seorang wanita mengetuk pintu mobilnya.Aaron pun ke luar."Ganti rugi!" pekik wanita itu.Aaron mengeluarkan dompet, lalu memberikan kartu nama. "Bawa ke bengkel. Lalu, berikan tagihannya nanti ke kantor!"Aaron melihat wanita itu tersenyum lebar ketika melihat kartu nama itu."Baiklah, tampan! Dengan senang hati!" Wanita itu pun pergi setelah mengusap pipi Aaron.Aaron tersenyum sinis , lalu menghubungi Damian --asistennya.Tidak berselang lama, Damian datang."Urus semuanya!" titah Aaron."Baik, Tuan." Damian pun mengatakan jika Kevin sudah menunggunya sedari pagi.Aaron meminta kunci mobil kepada Damian, lalu meninggalkan TKP.*Mobil sudah memasuki kawasan Star Addison Property (SAP) Company. SAP merupakan salah satu perusahaan terbesar dan memiliki track record baik yang bergerak dalam bidang properti. Pun sebagai pemilik, pengembang, dan pengelola real estat terkemuka yang terdiversifikasi di segmen real estat ritel, komersial, dan perumahan.Sudah menjadi kebiasaan Aaron sebelum masuk, ia akan memandang kagum gedung besar yang dibangun oleh Addison empat puluh tahun yang lalu. Aaron yang merupakan anak tunggal harus menanggung tanggung jawab besar di pundaknya. Oleh karena itu, sampai usianya kini Aaron tidak tertarik untuk menikah.Aaron bergegas masuk. Ia tak sabar bertemu dengan sahabatnya yang sudah sekian lama tak bersua.Aaron berjalan tegap menuju ruangannya. Seperti biasa, hanya anggukkan kepala'lah yang akan ia persembahkan kepada para staf yang menyapa. Itulah Aaron. Setelah kematian Addison --ayahnya, lima tahun yang lalu membuat sikapnya menjadi dingin."Sorry, lama nunggu!" ucap Aaron saat tiba di ruangannya.Pria bernama Kevin hanya tersenyum, lalu berdiri menyambut kedatangan sang sahabat."Apa kabar?" tanya keduanya sembari berpelukan."Baik," jawab Kevin singkat, lalu duduk kembali di sofa, "lu sendiri gimana?"Aaron mengembuskan napas kasar, lalu turut duduk kemudian. "Harusnya, sih, baik!"Kevin mengernyitkan dahi. "Wah, sepertinya ada sesuatu yang serius. Apa itu?""Kau tau? Baru saja aku menabrak mobil dari belakang."Kevin menelaah Aaron dari ujung kepala hingga kaki. "Sepertinya tidak ada yang lecet. Jadi, apanya yang tidak baik? Mobil? Ya, wajar! Namanya juga nabrak. Yang penting lu tanggung jawab sama pemilik mobil yang sudah lu tabrak itu. Lagian, gue rasa seorang Aaron tidak mungkin jadi terpuruk hanya karena perihal ganti rugi. Scara, lu kaya raya, Bro!"Aaron mendengkus. "Ck! Bukan hal itu.""Lalu?" Kevin terlihat penasaran.Aaron menarik napasnya dalam dan mengembuskan perlahan. Sembari menunduk ia menjawab, "Satu tahun belakangan ini, hidupku selalu dirundung kesialan."Ya, jelas dalam ingatan Aaron ada saja kejadian yang membuatnya geram. Mulai dari dompet hilang, dokumen-dokumen penting terkena tumpahan kopi, digigit anjing, terkena kotoran burung. Dan yang paling membuat Aaron sakit hati dan malu adalah selalu kalah dalam tender. Seumur hidup dalam dunia berbisnis, ini adalah tahun terburuk bagi Aaron dan merasa menjadi orang paling bodoh.Aaron mendongak. Ia menatap Kevin lekat. "Kau bisa dipercaya, kan?""Hei, Bro, udah berapa lama kita berteman, hah? Kenapa lu masih raguin gue?"Aaron menceritakan apa yang sudah ia perbuat kepada Bella. Pun apa yang sudah Bella katakan kepadanya."Ya, Tuhan, Bro ... parah lu! Gue yakin, kesialan lu memang gara-gara lu berdosa sama tu cewek. Perbuatan lu dibayar kontan sama sumpahnya. Lu gak mikir? Gimana masa depannya? gimana keluarganya? Dan satu hal yang paling penting.""Apa?""Gimana kalo dia hamil?!"Deg!Aaron terdiam. Ucapan Kevin mampu membuatnya berpikir."Ah, itu tidak mungkin. Kalau dia hamil, dia pasti datang menemuiku," ujar Aaron.Kevin menepuk kening. "Lu itu kaya, tampan, tapi sayangnya bego!"Aaron melotot. "Sialan!""Bro, cewek kalo udah benci, ya, benci. Apalagi dia udah sakit hati dan tidak dihargai. Jangankan buat ngeliat muka elu, denger nama lu aja bisa bikin dia sebel! Cewek akan memilih menelan pahitnya sendiri dibanding bertemu lagi sama cowok brengsek modelan elu!"Aaron mengangkat kedua pundaknya."Tapi, menurut gue, si Bella itu cewek yang selama ini elu cari, deh!""Ck! Tid--""Dengerin gue!" tukas Kevin, memotong ucapan Aaron. "Menurut gue dia cewek baik-baik, gak gila harta. Terbukti, dia gak nuntut apa pun sama lu. Tidak mungkin dia gak tau siapa elu, kan?"Lagi, Kevin berbicara. "Saran gue, cari tu cewek. Lu minta maaf dan kalo bisa lu nikahin dia. Lu mau seumur hidup lu sial terus? Dan bukankah sebelum sakit Tante Mitha mau banget punya mantu? Siapa tau aja Tante Mitha sembuh. Iya, kan?"Aaron dibuat bungkam. Ya, benar. Wanita yang Aaron cari adalah wanita yang tak memandang hartanya. Ia mencari wanita yang bisa tulus mencintai dirinya juga Mitha. Mitha dengan keadaan yang sekarang, yakni dengan keadaan mental yang terganggu. Ya, Mitha mengalami gangguan jiwa setelah ditinggal Addison.Aaron membenarkan pula jika dirinya tak mungkin hidup dalam kesialan dan dihantui rasa bersalah kepada Bella terus-menerus. Akan tetapi, di mana wanita itu? Setelah Bella memilih pergi justru Aaron merasa senang, tak peduli bagaimana nasib Bella setelah itu."Kenapa bisa sampai salah orang?" tanya Kevin memecah lamunan Aaron.Aaron mengusap wajahnya kasar. "Ada seseorang yang sengaja memberi informasi salah tentang keberadaan Robert juga keluarganya."Aaron bercerita. Bahwasanya saat itu ia sedang dalam perjalanan bisnis dan mendapat kabar bahwa Robert berada di kota Birmingham, kota kelahiran Aaron. Tidak ingin membuang kesempatan, Aaron yang sedang berada di Swiss bergegas ke kota itu. Tak hanya kediaman Robert yang Aaron kantongi, tetapi juga tentang putri semata wayang Robert. Aaron melancarkan misinya, yakni menculik putri Robert terlebih dahulu. Sang informan memberitahu ciri fisik putri Robert dan ternyata semua mengarah kepada sosok Bella. Berparas cantik, bertubuh tinggi, kulit putih, bermata hazel, dan berambut pendek juga pirang. Ditambah lagi, kala itu Bella ke luar dari rumah Robert."Setelah kesucian Bella aku renggut, Damian baru memberitahu jika dia bukan putri Robert. Pun dengan rumah yang kami datangi bukanlah rumah Robert.""Rumah Bella?" tanya Kevin antusias.Aaron menggeleng. "Bukan. Bella di sana ternyata hanya mengantar roti.""Ya, Tuhan ... kasihan sekali si Bella. Apa motif Robert? Gue jadi makin bingung. Berarti dia sengaja jebak elu, gitu?"Aaron mengangguk pelan. "Ternyata hari itu perusahaan kami sama-sama mengikuti tender di sana. Dia memutar otaknya bagaimana caranya agar aku tidak memenangkan tender itu.""Tunggu! Gue makin gak mengerti. Dengan demikian, si Robert tau dong jika elu udah tau bahwa dialah pembunuh Om Addison dan elu sedang mencari keberadaannya? Begitu?""Tepatnya begitu!""Tapi ... dari siapa?"Aaron beranjak. "Entah!"Ponsel Aaron berdering pertanda satu panggilan masuk. Lekas Aaron merogoh benda itu dalam saku jasnya dan menerima panggilan tersebut."Apa?! Baiklah, sekarang juga aku ke sana!" ucap Aaron, lalu memutuskan sambungan."Ada apa?" tanya Kevin."Apartemen yang baru dibangun di kota Valencia roboh," jawab Aaron yang terdengar pilu.Aaron memijat keningnya. Bagaimana bisa itu terjadi? Bukan kali pertama SAP Company membangun apartemen dekat pantai. Aaron sudah memastikan sendiri jika semua bahan dan material adalah kualitas terbaik. Begitu pula dengan para pekerjanya."Sumpah? Semua karena sumpah wanita itu?" batin Aaron bermonolog.Kevin menepuk pundak Aaron. "Wah, sumpah si Bella benar-benar nyeremin, ya? Iiiihhh ...." Kevin bergidik ngeri, lalu pergi."Sialan!" umpat Aaron mengiringi langkah Kevin yang meninggalkan ruangannya.Batin Aaron berkecamuk. Haruskah ia mencari Bella? Dan apakah Bella akan memaafkannya?Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis