"Lempar pistolnya!" teriak wanita yang bersama Lean. Dia hampir kewalahan menghadapi Bastian dan pembantunya. Lean segera melempar dan wanita itu menangkap dengan sigap."Awas Bik!" teriak Bastian sambil menyenggol bahu wanita yang selama ini telah menjaga layaknya seorang anak. Wanita itu terpental dan jatuh dengan mengaduh kesakitan. Bastian pun ikut jatuh walaupun demikian mereka selama dari tembusan pelor yang berbunyi di udara."Bibi tidak apa-apa?" Bastian membantu Bik Lin bangun sedangkan Arandita masih berusaha mengejar dan merebut Annin dari tanga Lean. "Berikan bayi itu untukku, untuk apa kau mau menculiknya?!" Arandita memukul-mukul lengan Lean dan sekali-kali menendang betisnya. Namun, Lean masih gagah berdiri dan selalu sigap menangkis setiap pukulan dari Arandita."Kau tidak akan mampu melawanku gadis lemah." Lean mencibir Arandita dengan senyuman kecut. Wanita itu langsung berjongkok meraih batu dan hendak dilempar ke arah Lean. Namun, belum sempat batu itu lepas dari t
Madam Kline menyunggingkan seulas senyuman sambil menatap Lean yang juga balas tersenyum. Sebentar lagi riwayat Bastian akan tamat tanpa perlu bersusah-payah lagi dan mengotori tangan mereka."Tapi aku pikir kalianlah yang pantas pergi dari dunia ini karena kalian lebih jahat dari paman Pramoedya!" Leo berbalik dan kini menodongkan pistol ke arah adik dan ibu kandungnya. Bastian membekap mulut dengan mata membelalak kaget. Dia pikir Leo benar-benar akan menghabisi dirinya dan lebih memihak pada keluarga sendiri. Tenyata dugaannya salah dan terbalik."Lalu apa maksudmu mengatakan dia lebih jahat dari papa?" Pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut Bastian. Leo hanya menjawab dengan senyum sinis, ekspresinya tak tertebak. Bastian bergidik ngeri, Leo tidak seperti yang ia kenal dimana begitu supel dan humoris. Kini tatapan pria itu terlihat menakutkan."Apa maksudmu? Sudah tahu papanya dia yang memisahkan kita, kenapa kamu malah menuduh kami yang jahat?" Lean sama sekali tidak paham d
Otot-otot Bastian kembali menegang. Dengan secepat kilat ia mengambil alih pistol di tangan Leo lalu mengejar Madam Kline yang ternyata mobilnya terhenti karena menabrak kayu besar. Madam Kline merintih dan membuka mobil. Tubuhnya jatuh ke bawah tepat di samping kendaraan itu."Lean!" Dia berteriak, tetapi suara yang keluar terdengar lirih karena terpekik."Mom!" Lean segera berlari lalu memapah sang mommy dan memasukkan kembali ke dalam mobil lalu menutup pintu depan cepat. Ia langsung tancap gas tatkala bunyi pistol terdengar di belakang mereka."Lean Mommy tidak kuat Lean," lirih Madam Kline. Suaranya hampir tak terdengar. Sungguh panas di dadanya seperti semburan lahar panas."Bertahanlah Mom, Leo kau kejam!" Lean memukul setir dan mengencangkan gas."Dor! Dor! Dor!""Sudah Bas, mereka sudah pergi," ujar Leo sambil menenangkan Bastian."Sial!" Bastian menendang ban mobilnya. Gara-gara kempes ia tidak bisa mengejar Madam Kline dan juga Lean."Bagaimana aku bisa tenang Leo sementara
"Ibu!" Arandita berlari ke arah rumah Bastian melihat Devina dan Furqan berdiri di luar pintu. Wanita itu langsung merentangkan tangan hendak memeluk kedua orang tuanya."Sayang! Jangan lari-larian!" teriak Bastian, khawatir. Arandita selalu saja ceroboh padahal dirinya baru saja keguguran."Hei akhirnya kamu pulang juga," ujar Devina sambil membalas pelukan Arandita. Putrinya langsung beralih memeluk sang ayah."Ibu kapan tiba?" tanya Bastian sambil mengulurkan tangan hendak menyalami kedua mertuanya."Baru saja, kami baru saja meletakkan pakaian dan ingin menyusul kalian ke rumah sakit. Eh ternyata sudah pulang." Furqan yang menjawab. Lalu tatapannya beralih pada putri tunggalnya. "Apa keadaanmu sekarang baik-baik saja, Nak?" Furqan menatap tubuh Arandita dari atas sampai bawah dimana putrinya begitu terlihat kurus. Bastian langsung menunduk melihat mertua Laki-lakinya memindai wajah dan seluruh tubuh Arandita."Nak Bastian apakah selama ini kamu memperlakukan anak kami dengan baik?
"Bob!" Pak Furqan berlari keluar rumah dan mengejar Bobby."Iya Paman?" Bobby menghentikan langkah dan menoleh."Tunggu sebentar!"Kali ini Bobby mengangguk dan menunggu hingga Pak Furqan sampai di sisinya. "Ada apa Paman? Maafkan atas segala kesalahan saya pada putri Paman dan maafkan juga karena saya hubungan Paman hampir renggang dengan Mas Bastian. Jujur saya memberitahukan tentang hubungan Arandita dan abang sebelumnya karena peduli pada Arandita. Tidak ada maksud ingin membuat Paman berselisih ataupun berniat untuk menghancurkan pernikahan mereka.""Saya paham arah pikiran kamu, terima kasih telah peduli pada putri kami dan maafkan kami telah percaya pada fitnah yang pernah Agresia layangkan padamu. Seandainya saat itu kami tidak percaya pasti sekarang kamulah yang menjadi menantu Paman.""Perkara jodoh hanya Tuhan yang tahu Paman. Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Dulu saya pernah ngotot ingin tetap Arandita kembali pada saya, tapi kenyataannya Arandita sudah jatuh terlal
"Iya Yah, kami paham, iya kan Sayang?" Bastian tersenyum ke arah sang istri dan Arandita menjawab dengan anggukan."Aku pamit mandi dulu ya, nggak nyaman ini." Bastian menggerakkan baju atasan."Iya Mas sana!"Bastian mengangguk lalu menunduk kepada ayah dan ibu mertuanya. Setelah itu barulah pria itu menarik handuk dan masuk ke kamar mandi."Ibu dan ayah keluar dulu ya," pamit Devina lalu menarik tangan sang suami agar keluar dari kamar anak dan menantunya. Sungguh ia takut Bastian tidak nyaman di kamarnya sendiri karena ada orang tua Arandita mengingat pria itu sedang mandi."Iya Bu, tapi jangan pulang dulu ya, Aran masih kangen.""Oke, kamu istirahat dulu, ayah sama ibu mau jalan-jalan di luar." Arandita mengangguk dan hanya diam menatap punggung kedua orang tuanya yang berlalu dari kamar."Eh besan mau kemana?" tanya nenek menyambut kedua orang tua Arandita dengan senyuman ramah."Jalan-jalan di luar Nyonya," sahut Devina."Oh boleh-boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, nanti kita maka
"Kamu menemui Agresia?" tanya Bastian sambil melirik ke arah sepasang kekasih yang berjalan menjauh. "Ya begitu deh Mas, jadi malas aku gara-gara jawaban dia yang menjengkelkan," sahut Arandita lalu menggandeng tangan Bastian dan membawanya menuju rumah orang tuanya."Memang kamu ngomong apa sama dia?" Bastian mengerutkan kening melihat raut wajah istrinya yang nampak emosi."Aku bilang Annin bersamaku barangkali dia kangen dan ingin melihat putri kandungnya. Eh jawabannya dia bilang kalau aku hanya mau fitnah dirinya di depan pacarnya dan dia sudah menganggap Annin anak haram dan sudah mati. Kurang aja sekali nggak sih?"Kedua orang tua Arandita hanya menggeleng mendengar penjelasan putrinya sedangkan Bastian tersenyum miris."Biarkan saja, nanti kalau dia sudah bosan dengan dunianya dia akan menyesal dan pada saat itu mungkin saja Annin tidak akan mau mengakuinya." Melihat penampilan Agresia yang sangat terbuka dan tidak seperti biasanya Bastian dapat menebak kalau wanita itu menj
Sepanjang perjalanan Bastian hanya diam saja membuat hati Arandita semakin cemas."Mas, kita akan kemana?" Tak tahan dengan keterdiaman mereka akhirnya Arandita buka suara. "Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Bastian tanpa menatap sang istri hingga Arandita mendesah kasar."Kenapa Mas Bastian kembali main rahasia-rahasiaan begini? Apakah Mas tidak tahu kalau jantung Arandita pun tidak sehat karena ini semua?"Bastian terkekeh mendengar ucapan sang istri. Arandita langsung tersenyum dan bernafas lega karena ternyata suaminya tidak marah."Kenapa bisa tidak sehat?""Karena jedug-jedug nggak karuan melihat ekspresi Mas Bastian, sudah gitu nggak ngomong lagi.""Aku lagi konsentrasi nyetir, tahu sendiri kan, keadaan jalanan seperti apa? Ditambah belakangan juga ramai. Aku harus memastikan istriku aman. Kenapa jedag-jedug, bukannya kita sudah terbiasa senam jantung berdua setiap hari?""Cuma takut Mas Bastian marah.""Atas?""Foto-foto Bobby di kamarku."Bastian menatap ke arah Arandita