Share

Bab 2 Perjanjian Gila

"Saya terima nikah dan kawinnya Linggar Ayu binti Prapto dengan mas kawin emas seberat sepuluh gram dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, saya bayar tunai." 

Satu jam yang lalu kalimat sakral tersebut berhasil Pramudita ucapkan dengan fasih. Linggar masih tak percaya statusnya telah berganti menjadi istri orang, terlebih pria itu adalah calon kakak iparnya sendiri. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenal baik seorang Pramudita. Selama menjalin hubungan dengan sang adik, hanya beberapa kali melihat Pramudita di rumah.

Tidak ada obrolan intens, bahkan bertegur sapa pun tidak pernah. Pria itu terkesan acuh, angkuh dan dingin. Pradipta selama ini tidak pernah mengenalkan sang kakak kepadanya, malah terlihat beberapa kali hubungan mereka kurang baik. 

"Enggar," panggil Pramudita.

Suaranya berat menginterupsi Linggar agar menatapnya lebih intens. Pandangan mata keduanya saling bertemu.

"Ada apa, Mas?"

"Kenapa kamu menerima perbuatan Pradipta?" tanya Pramudita, wajahnya kembali menjadi datar.

Linggar mengerutkan dahinya. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mas? Tidak mungkin aku tetap bertahan dengan dia, padahal sudah jelas dia tidak bisa setia dengan aku. Lebih baik melepaskan dan membiarkan dia memilih bahagianya sendiri."

"Aku tidak mungkin hanya diam dan dengan bodoh menerima Mas Dipta begitu saja, Mas."

Pramudita menegakkan tubuhnya, berdehem sekilas. "Lalu, mengapa kamu mau menerima pernikahan denganku?"

"Kenapa Mas Pramudita menawarkan diri? Aku tidak meminta untuk dinikahi oleh siapa pun, Mas. Bahkan tidak keberatan bila acara pernikahan aku, menjadi hari pernikahan kakak sepupu aku sendiri." Linggar tersenyum miris.

Pria tiga puluh dua tahun itu bersedekap dada. "Aku tidak ingin membuat keluargaku dan keluargamu menanggung malu, lebih baik aku yang menggantikannya. Lagi pula aku tak memiliki kekasih, tidak ada salahnya untuk aku menikahimu. Masalah cinta, itu nomor sekian."

Seolah harapan baik membumbung tinggi dalam dekapan Linggar, sorot mata pria itu penuh keyakinan. Sejenak Linggar terlena kala mata cokelat lembut itu meneduhkan pandangannya. 

"Maksudnya, Mas?"

Pramudita berjalan ke arah tasnya. Ia membuka dan mengeluarkan sebuah map berwarna merah ke hadapan Linggar. 

"Ini apa, Mas?"

Mereka berada di kamar Linggar, pamitan ingin istirahat sebentar. Tanpa diduga pria itu memberikan sebuah lembar kertas berisi susunan kalimat yang belum sempat dibaca. Linggar melihat ada materai sepuluh ribu yang tertempel di sana. Jantungnya terpacu dengan pikiran berjalan ke mana-mana.

"Kamu baca," titah Pramudita. "Aku yakin kamu mengerti dengan apa yang aku maksudkan."

Kening Linggar semakin mengerut, bertumpuk-tumpuk. "Perjanjian pernikahan?"

Pandangan mata Linggar berpindah, ia meminta penjelasan lebih lanjut dari Pramudita. Otaknya sulit mencerna apa yang ia dapatkan, terlebih baru saja mendapatkan pukulan keras dari Gendhis, membuatnya sukar berpikir jernih. 

"Iya, Enggar. Aku ingin pernikahan antara aku dan kamu adalah hitam di atas putih."

"Maksudnya, Mas?" tanya Linggar kembali. 

Pramudita berdecak. Ia duduk di samping Linggar, menunjuk tempat tanda tangan yang telah dipersiapkan untuk wanita itu. 

"Maksudnya pernikahan kita ini pernikahan apa, Mas? Kamu anggap nikah kontrak sama aku?"

"Kenapa? Bukankah kita menikah tanpa cinta? Tidak ada salahnya ada perjanjian pernikahan."

Kepala Linggar menggeleng perlahan. "Kamu yang awalnya mengajak aku menikah, Mas. Seolah kamu memberikan penawaran ke aku. Kenapa akhirnya malah seperti ini, maksudnya apa?"

"Namanya cinta bisa datang kapan saja, Mas." Linggar melanjutkan membaca perjanjian pernikahan yang terlah ditanda tangani oleh Pramudita, tersisa dirinya. 

Poin pertama, pernikahan antara Pramudita dan Linggar hanya bertahan sampai usia pernikahan menginjak umur satu tahun. Setelah itu, mengurus sidang perceraian. 

Poin kedua, baik Pramudita atau Linggar tidak ada yang boleh ikut campur urusan masing-masing. Hidup satu atap, tetapi mengurusi urusan sendiri. 

Poin ketiga, saat bertemu keluarga harus bersikap harmonis dan bahagia. Di luar itu saling acuh dan tidak peduli. 

Poin keempat, tidak akan bersatu dalam satu ranjang. Pramudita tidak akan menyentuh Linggar hingga pernikahan selesai.

Poin kelima, seluruh nafkah dan kebutuhan Lingggar akan dipenuhi oleh Pramudita.

"Kenapa kamu sanggup menggantikan Pradipta bila akhirnya seperti ini, Mas? Ternyata kamu sama saja dengan adikmu. Harusnya aku dari awal tidak berhubungan lagi dengan kamu atau adikmu," keluh Linggar menghela napas kasar.

"Tanda tangani perjanjian itu," titah Pramudita dengan wajah serius. 

Wanita dua puluh lima tahun itu menggeleng, ia menjawab, "Aku ingin pernikahan ini bertahan, meski kita tidak saling mencintai. Prinsipku hanya menikah satu kali dalam seumur hidupku, Mas."

"Tidak peduli dengan hal itu. Aku ingin kamu menyetujui perjanjian itu. Setelah pernikahan berakhir, kamu bebas ingin menikah dengan pria lain atau mungkin balikan dengan Dipta."

Linggar mendesah kecewa. Tangannya ragu untuk memberikan tanda tangan di atas materai tersebut. Pikirannya blank, belum ada keputusan yang dapat dia ambil. 

"Tunggu apa lagi? Cepat tanda tangani." Pramudita melotot tajam, membuat nyali Linggar menjadi ciut.

Antara ragu dan takut, tangan Linggar akhirnya menari di atas materai tersebut. Artinya ia menyetujui apa yang telah dituliskan Pramudita untuk pernikahan mereka. Mau tak mau ia harus menurut, semakin berjalan kenyataan pahit justru semakin menampar begitu hebat.

"Ayo temui seluruh anggota keluarga. Sekarang pasang wajah bahagiamu," ucap Pramudita sambil mencengkeram pergelangan tangan Linggar kuat. "Jangan terlihat terpaksa seperti itu."

Kaki Linggar akhirnya mengikuti langkah Pramudita. Mereka menuju ruang tamu yang telah disiapkan untuk berkumpul seluruh sanak saudara, baik keluarga Linggar dan juga keluarga Pramudita.

"Pengantin baru akhirnya keluar kamar. Ayo sini makan bersama. Kalian 'kan juga belum makan," ucap Diah, tante Pramudita.

Linggar memilih duduk di samping Juminem, diikuti Pramudita di sampingnya. Pria itu tak memasang senyuman, wajahnya masih datar dan dingin. 

"Kamu mau makan pakai lauk apa, Mas?" Linggar bersiap memegang piring di tangan kanannya, ia menepati janjinya untuk bersikap baik dan lembut pada Pramudita saat di depan keluarga besar.

"Terserah kamu saja," jawab Pramudita singkat.

Tak tahu selera Pramudita, Linggar hanya mengambil makanan terdekatnya saja. Pilihannya jatuh pada ayam rica-rica, sambel goreng kentang dan kerupuk. Pria itu tak banyak protes, malah makannya lahap sekali.

Linggar mengambil menu yang sama, tidak ingin menjangkau yang lain terlebih harus melewati Pradipta dan Gendhis. Tatapan kakak sepupunya itu masih saja mengintimidasi. Bahkan tidak melepaskan Pradipta dari sisinya, takut bila suaminya akan menemui Linggar. 

Pradipta dan Gendhis pun telah sah sebagai pasangan suami dan istri hari ini, selang setengah jam dari ijab kabul Pramudita dan LInggar, mereka menyusul. Tampah sorot bahagia terpancar dari Gendhis sekeluarga, mereka pun turut makan bersama di rumah Linggar.

Mata mau keluar, Mbak. Aku juga nggak mungkin mau ambil suamimu. Orang tukang selingkuh seperti itu tidak pantas ditangisi, lebih baik aku mengurusi hidupku dengan suami sendiri. Batin Linggar dengan melayangkan tatapan sinisnya ke Gendhis.

"Kamu mau nambah apa, Mas?"

"Tidak ada, aku sudah kenyang."

Linggar hanya mengangguk perlahan. Meski hatinya masih terasa sakit, sebisa mungkin berperilaku baik di depan anggota keluarga yang lain. Ia juga tak mau kalah romantisnya dari Gendhis.

"Dari kecil kalian hidup bersama, akhirnya menikah pun bersama." Sumiati tersenyum.

Linggar dan sekeluarga menoleh. Entah bagaimana pikiran dari istri kakak ayah Linggar tersebut. Tidak tahu malu. Bahkan sejak melihat keberadaannya, Linggar seperti kehilangan nafsu makan. Acara sakral yang ia idamkan malah gagal karena ulah mereka.

Ada sorot kekecewaan yang mendalam di kedua bola mata Linggar. Pernikahan yang dia impikan nyatanya harus dikubur dalam-dalam. Ia harus bahagia dan menerima sebatas ijab kabul di masjid tanpa resepsi seperti yang ada dibayangannya selama ini.

Pramudita menyenggol lengan Linggar, kemudian memberikan tatapan teduh dengan gelengan kepala. Sebagai isyarat untuk tidak menanggapi ucapan dari ibu Gendhis.

Selesai acara makan, tak sengaja Gendhis beradu siku dengan Linggar. "Aduh, maaf ya, Kakak."

Tiba-tiba tubuhnya condong ke arah Linggar, ia berbisik, "Bagaimana rasanya menikah dengan pria yang tak kamu harapkan, Dik? Bahagia sekali, bukan?" Aku tidak tahu harus ikut bahagia atau sedih atas pernikahanmu. Asal kamu tahu, Dik, hari ini menjadi hari bahagia sepanjang hidupku. Terima kasih telah melepas Mas Dipta untukku, Dik."

Rahang Linggar mengeras, tangannya mengepal. Mati-matian ia tahan air matanya, tak ingin terlihat lemah di hadapan kakak sepupunya tersebut.

"Tidak perlu risau, Mbak. Aku cukup bahagia dengan keputusanku sendiri. Setidaknya aku tidak pernah merebuat laki-laki orang lain yang bukan milikku. Meski kami tidak mengenal akrab, tapi aku yakin bila hubungan kami baik-baik saja. Cinta dapat kami pupuk sambil berjalan bersama," jawab Linggar santai.

"Kamu masih belum terima Pradipta menikah denganku, Dik?" Suara Gendhis kali ini sedikit meninggi, seolah memancing perhatian orang di sekitarnya. 

"Siapa bilang? Linggar sudah bahagia dengan pernikahan kami." Pramudita menyahuti, ia menarik lembut tangan Linggar.  

Gendhis menahan amarahnya kembali, tidak menyangka bila Pramudita akan datang membela. Bahkan dengan mudah meninggalkannya di sana. Pasangan itu membuat hatinya cukup jengkel.

"Jangan dengarkan ucapannya." Linggar diam, mengikuti langkah kaki suaminya.

Hingga kaki Linggar terhenti, dua meter di depan kamarnya. Membuat Pramudita pun menoleh. "Ada apa lagi?"

"Mau ke mana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status