"Wah, kamu cantik sekali, Dik. Tidak menyangka hari ini akan disunting Mas Dipta," seru Kiranti, perias pengantin di daerahnya.
Berbalutkan kebaya putih dengan riasan wajah adat pengantin Jawa, Linggar hanya menunggu kedatangan calon mempelainya. Senyuman itu tidak dapat ia tahan, semakin mekar dan membuat aura wajahnya semakin cantik."Beruntung sekali Mas Dipta, Dik, dapat istri secantik kamu. Tidak hanya cantik wajah, tapi hatinya pun juga cantik." Kiranti semakin memuji.Linggar tersenyum. "Mbak Kiranti bisa saja. Padahal aku tidak sempurna seperti itu, Mbak Kiranti terlalu melebihkan.""Tidak, Dik. Kamu memang cantik. Semua orang di sini pasti setuju dengan ucapanku," jawab Kiranti, mempertahankan senyuman simpul.Sayup-sayup terdengar tangisan. Linggar menoleh, pintu kamarnya masih tertutup. Telinganya tidak salah mendengar, suara tangisan itu semakin terdengar jelas. Ia saling beradu tatap dengan Kiranti. Gelengan kepala Kiranti menjadi jawaban akurat darinya.Sedetik kemudian, pintu kamar itu terbuka secara paksa. Juminem, sang ibu, memasang wajah tegang dengan sudut mata memerah. Ia menatap Linggar nanar, bahkan tangannya gemetar."Ada apa, Bu?" Linggar membuka suara lebih awal.Tak sempat menjawab, suara teriakan terdengar lantang di depan pintu kamar. Kemudian menerobos masuk ke dalam. "Dik Enggar!" "Mbak Gendhis, ada apa?" Linggar terkejut.Tatapan Linggar berganti dari Gendhis ke sang ibu, ia menantikan jawaban. Terlebih kakak sepupunya datang dengan air mata yang menganak sungai di pipinya. "Ada apa ini, Mbak? Coba jelaskan dengan Enggar," ucap Linggar menginterupsi.Wanita pemilik nama Gendhis Satyaningtyas membuang napas, kemudian mengusap air matanya. "Aku minta maaf ya, Dik Nggar. Mungkin pengakuan aku akan menyakiti hati kamu dan keluarga kamu, tetapi aku harus melakukannya. Bila aku tidak jujur, maka hatiku sendiri yang akan sakit."Linggar mengajak Gendhis duduk di tepi ranjangnya, mengusap air mata kakak sepupunya. Kemudian menggenggam erat tangan Gendhis. "Ceritalah, Mbak.""Aku tidak bermaksud membuat hari bahagiamu menjadi rusak, Dik. Hanya saja bila aku memendamnya sendirian, beban pikiranku semakin berat. Hatiku juga sakit, Dik." Gendhisi menarik napas dalam-dalam."Sebenarnya aku dan Mas Dipta sudah melakukan hubungan badan, Dik." Gendhis menundukan pandangannya. "Maafkan aku, Dik, memang apa yang aku lakukan ini salah. Aku melakukan itu karena paksaan dari Mas Dipta, Dik. Sungguh aku sangat menyesal telah berbuat demikian."Linggar diam, menunggu lanjutan cerita dari Gendhis. Wajahnya berubah menjadi datar dan dingin. "Kapan perbuatan keji kalian itu dilakukan? Kenapa kamu tega berbuat seperti itu kepadaku, Mbak?"Tarikan napas terdengar begitu berat, Gendhis mengusap air matanya. "Aku minta maaf, Dik. Kami melakukannya satu minggu yang lalu, Mas Dipta memaksa aku awalnya. Dia memohon untuk melepas perjakanya dengan wanita yang dicintainya, begitu ucapannya malam itu. Aku tidak percaya dengan ucapan dia, Dik, mengaku bila tidak sayang dengan kamu.""Malam itu Mas Dipta mengambil kesucianku, Dik. Dia juga tidak ingin hal ini kamu dengar, tetapi bila aku tidak cerita, bagaimana dengan nasibku? Mas Dipta bercerita merasa berat melanjutkan pernikahan kalian, Dik. Hanya saja Mas Dipta tidak mau membuat janji kedua keluarga menjadi rusak," lanjut Gendhis.Wanita itu terlihat begitu puas menatap air mata perlahan menganak sungai di pipi adik sepupunya. Gunungan rasa dendam telah terbayarkan secara lunas."Jangan diam saja, Dik Enggar. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Kamu tahu mahkota kehormatanku telah direnggut oleh Mas Dipta, Dik."Linggar mengembuskan napasnya, kemudian melepaskan genggaman tangan Gendhis. "Kamu pun menyukai Mas Dipta, Mbak?"Gendhis menoleh cepat lalu membantah, "Tidak, Dik. Meski aku pernah menyukai Mas Dipta, tetapi aku sadar tidak bisa memilikinya. Terlebih Mas Dipta akan menikah dengan kamu, lebih baik aku mundur. Masih banyak pria yang bisa aku nikahi."Wajah Gendhis berubah sendu. "Hanya saja dengan kondisiku yang sekarang apa mungkin masih ada pria yang mau menikahi aku?"Derai air mata menjadi pengakhir cerita Gendhis. Kedua bola matanya tetap memancarkan rasa kepuasan yang teramat besar. Rasa sakit hatinya telah terbayarkan pada Linggar. Tak akan ada Linggar si pemilik kehidupan paling berkilau dan sempurna. Wanita itu akhirnya memiliki titik keruntuhan masa kesempurnaannya.Terlebih tepat di hari pernikahannya, Linggar mendapatkan berita yang cukup memukul hati. Calon suaminya telah memperawani seorang perempuan yang notabene adalah kakak sepupunya. Bagai di sambar petir di siang hari."Dik Nggar, jangan hanya diam. Aku tahu aku salah, maafkan aku. Kamu bisa berbuat apa pun kepadaku, Dik."Gendhis menatap Juminem, wanita paruh baya itu membungkam bibirnya dengan derai air mata. "Bulik, jangan diam saja. Aku tahu semua orang begitu kecewa denganku. Maafkan keponakanmu ini.""Mbak Gendhis ingin Mas Dipta?" Suara Linggar serak dan pelan.Ini bukanlah percobaan awal yang dilakukan Gendhis padanya. Wanita itu telah berulang kali mencoba menjatuhkannya dengan berbagai cara, sepertinya Gendhis memang sukar menerima kebahagiaan Linggar. Bahkan menghalalkan segala cara agar apa pun yang menjadi sumber bahagia Linggar menjadi hilang.Linggar sadar bila sifat Gendhis seperti ini memang tercipta dari mereka kecil. Terlebih jarak umurnya tak begitu jauh. Linggar adalah anak paling cerdas, sopan dan baik di keluarga besar mereka. Setiap acara pertemuan keluarga akan selalu diberi pujian dan perhatian lebih oleh anggota keluarga lain. Ibaratnya primadona keluarga.Tentu akan timbul rasa iri di dalam hati Gendhis semakin lama. Dan hal ini terpupuk hingga mereka beranjak dewasa. Gendhis selalu melakukan segala upaya untuk menghalangi Linggar bahagia. Dan hari ini adalah puncak dari upaya yang dilakukan Gendhis, mengagalkan pernikahan Linggar."Tidak. Mas Dipta adalah calon suamimu, Dik, aku tidak ingin merebutnya. Semua ini adalah kesalahanku, aku siap menerima konsekuensinya." Gendhis membuang wajahnya."Aku tidak mau menjadi perusak kebahagiaanmu dengan Mas Dipta, Dik. Tujuanku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya terjadi," lanjut Gendhis dengan air mata kembali menganak sungai.Air mata Linggar telah surut, seolah enggan untuk menangisi hal yang membuat hidupnya menjadi semakin rumit. Ia mengembuskan napasnya kasar, tatapannya tak selembut di awal."Jujur saja, Mbak, pasti memiliki keinginan untuk bersama Mas Dipta. Pasti Mas Dipta telah bercerita banyak dengan kamu," ucap Linggar.Gendhis menggeleng. "Aku tidak ingin merusak hubungan kalian, Dik. Kalian berhak bahagia, ini semua salahku sendiri. Aku yang terlalu gegabah dan membiarkan Mas Dipta menjamah tubuhku."Tidak sampai di sana, kemudian terdengar suara begitu ramai, sesekali menyebut nama Linggar dan Gendhis. Bahkan diiringi suara tangis yang memekakan telinga. Linggar menatap ke arah pintu kamarnya yang masih terbuka.Pradipta berada di ambang pintu, menatap sendu ke arah Linggar. Di belakangnya disusul Sumiati, ibu dari Gendhis, menerobos ikut masuk ke dalam kamar. Prapto dan Juwanto turut mendampingi. Akhirnya mereka menyuruh orang yang bukan keluarga untuk keluar dari kamar Linggar, mereka akan membuat persidangan kecil-kecilan."Bagaimana dengan nasibmu, Nduk Gendhis? Siapa yang akan menerima kamu setelah ini? Siapa yang akan menikahi barang bekas seperti kamu?" Tangis Sumiati mendominasi dengan memeluk erat tubuh anak perempuannya tersebut.Gendhis pun membalas pelukan sang ibu, ia menangis sejadinya di sana. "Sudahlah, Bu, ini adalah garis takdirku. Jangan menghancurkan kebahagiaan Dik Enggar dan Mas Dipta. Mereka hari ini akan menikah, Bu.""Tidak ada yang akan menerima perempuan ternoda sepertimu, Gendhis. Siapa yang akan menikahimu nanti? Kenapa nasib keluarga kami seperti ini." Linggar menarik napas dan membuangnya perlahan. Kemudian ia menatap Pradipta yang tengah berdiri tak jauh di depannya. Wajahnya memerah, seperti ingin menjelaskan sesuatu hal."Aku tidak akan menikah dengan Mas Dipta," ucap Linggar.Seluruh pandangan tertuju padanya. Garis wajahnya begitu tegas, tidak ada rasa gentar dan takut di setiap penekanan ucapannya. Linggar bersungguh-sungguh atas kalimatnya."Nduk, apa maksudmu? Tinggal menunggu penghulu, kamu dan Dipta akan menjadi sah sebagai suami dan istri," ucap Juminem, menghampiri sang putri.Juwanto dan Prapto saling adu pandang. Permasalahan semakin pelik di antara mereka. Wanita mana pun tidak akan sudi menikah dengan pria bekas jajahan wanita lain, sama halnya dengan Linggar."Bagaimana, Pak Prapto?" tanya Juwanto."Enggar, bagaimana keinginan hatimu setelah ini?" "Aku tidak akan menikah dengan pria yang telah meniduri kakak sepupuku sendiri, Pak. Bila Mas Dipta memang lebih cinta dengan Mbak Gendhis, biarkan saja mereka bersatu. Aku bukan wanita rendahan yang merebut kebahagiaan orang lain," jawab Linggar. Suaranya terdengar tegas."Tidak masalah pernikahanku gagal. Aku bersyukur bisa mengetahui kelakuan busuk mereka sekarang, setidaknya aku tak berganti status menjadi janda. Bisa menilai bila Mas Dipta memiliki sifat yang buruk. Denganku saja dia berani bermain di belakang. Bukankah pria yang suka berselingkuh tak akan mungkin bisa meninggalkan tabiatnya?" "Bukankah perebut dan pengkhianat itu layaknya bersatu?" tambah Linggar.Mata Gendhis menyipit. Adik sepupunya tersebut masih saja menyenggol dirinya, padahal sudah jelas ia akan menang atas Pradipta.Dipta menggeleng. "Tidak! Aku tidak mau pernikahanku gagal. Lagi pula aku tidak sengaja meniduri Gendhis malam itu, aku khilaf."Tatapan Linggar tajam. "Khilaf katamu, Mas? Mudah sekali kamu bebicara demikian, hah? Apa kamu tidak berpikir akibat dari perilaku hewanmu itu?"Linggar menggeleng, tidak percaya. "Setelah kamu menodai Mbak Gendhis, lalu kamu ingin cuci tangan begitu saja? Kamu tidak ingin bertanggung jawab, Mas?""Aku hanya cinta dengan kamu, Dik Enggar. Pernikahan ini harus tetap terlaksana," bantah Pradipta."Penikahan ini terlaksana, tetapi mempelai wanita itu adalah Mbak Gendhis. Aku tidak akan menikah dengan pria sepertimu, Mas." Nada suara Linggar meninggi."Sudah, sudah." Juwanto menengahi."Di sini aku meminta maaf, Pak Prapto, atas apa yang telah diperbuat Pradipta. Untuk menebus rasa bersalah aku, Nak Gendhis akan tetap menikah hari ini." Prapto menoleh. "Maksudnya bagaimana, Pak?""Aku tidak ingin membuat keluarga Pak Prapto menanggung malu atas tidak jadi pernikahan antara Pradipta dan Nak Enggar, untuk itu aku akan mengganti Pradipta dengan Pramudita. Dalam kata lain, Nak Enggar akan dinikahi anak pertama aku." Juwanto tersenyum simpul."Maksudnya apa, Pak?" Pradipta membantah. "Tidak bisa seperti itu, Pak."Juwanto melototkan matanya, mengisyaratkan untuk tidak protes. "Keputusan aku telah bulat, Pramudita akan menggantikan posisi Pradipta. Dan sebagai bentuk tanggung jawab Pradipta kepada Nak Gendhis, maka dia akan menikahimu.""Pak, aku tidak bisa!" bantah Pradipta.Wajah Gendis nampak sumringah, ia mengusap air matanya kemudian. Begitu halnya dengan Sumiati yang membenahi pakaiannya dan juga sanggulnya. Yang mereka harapkan akhirnya terkabulkan. Hati mereka bersorak bahagia."Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab." Juwanto menyela.Pramudita hanya diam, ia tidak berkomentar apa pun. Melipat kedua tangannya di depan dada, mengamati Linggar yang telah siap dengan riasannya."Aku siap menikah dengan Linggar," ucap Pramudita.
"Saya terima nikah dan kawinnya Linggar Ayu binti Prapto dengan mas kawin emas seberat sepuluh gram dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, saya bayar tunai." Satu jam yang lalu kalimat sakral tersebut berhasil Pramudita ucapkan dengan fasih. Linggar masih tak percaya statusnya telah berganti menjadi istri orang, terlebih pria itu adalah calon kakak iparnya sendiri. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenal baik seorang Pramudita. Selama menjalin hubungan dengan sang adik, hanya beberapa kali melihat Pramudita di rumah. Tidak ada obrolan intens, bahkan bertegur sapa pun tidak pernah. Pria itu terkesan acuh, angkuh dan dingin. Pradipta selama ini tidak pernah mengenalkan sang kakak kepadanya, malah terlihat beberapa kali hubungan mereka kurang baik. "Enggar," panggil Pramudita. Suaranya berat menginterupsi Linggar agar menatapnya lebih intens. Pandangan mata keduanya saling bertemu. "Ada apa, Mas?" "Kenapa kamu menerima perbuatan Pradipta?" tanya Pramudita, wajahnya kembali menjadi da
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu memang sengaja ingin membuat hubunganku dengan Enggar berantakan?" Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyeringai. "Atau kamu sengaja melakukan semua ini?"Pramudita meliriknya sekilas. "Apa yang kamu ucapkan, Dipta? Apa seperti ini caramu berterima kasih kepadaku? Hah! Aku sudah merelakan statusku untuk menutupi seluruh aib yang telah kamu lakukan.""Kamu yang bertingkah, tetap saja aku yang harus bertanggung jawab." Suara pria tiga puluh dua tahun itu meninggi, urat-urat lehernya terlihat kencang."Bahkan aku sudah mencoba untuk membantah ucapan bapak, Mas. Berusaha untuk pernikahan ini tidak terjadi. Aku tidak rela bila melihat Enggar menikah denganmu, lebih baik dia menikah dengan pria lain saja. Kenapa harus kamu, hah? Seperti tidak ada pria lain saja di bumi ini." Pradipta mengeram dengan wajah memerah, marah.Hubungan antara Pramudita dengan Pradipta tercatat sudah lima tahun terakhir tidak pernah akur. Baik si sulung dan bu
Tak seperti pagi sebelumnya, Linggar merasa asing di tempat baru tersebut. Beranjak dari tempat tidurnya, lantas bersih-bersih dan menuju tempat terbaik untuknya menyalurkan kreativitas, dapur. Tidak banyak bahan makanan yang dipersiapkan Pramudita, namun masih bisa Linggar siasati."Apa yang kamu lakukan?" Semerbak wangi maskulin dengan campuran bau woody dan musky menyeruak ke dalam hidung. Linggar otomatis menoleh, menatap pria yang datang dengan rambut setengah basah itu."Selamat pagi, Mas. Aku hari ini buat sarapan," ucap Linggar, kembali berkutat dengan penggorengan.Pramudita mengangguk, kemudian menarik kursi meja makan. Menatap punggung wanita itu seperti menari, memainkan alat masak. "Mas Pram, ingin kopi panas?""Tentu saja. Gulanya sedikit saja," jawab Pramudita.Wanita dua puluh lima tahun itu memasukan kapsul kopi ke dalam mesin, menantikan rintikan air hitam itu memenuhi cangkirnya. Kemudian membawa dua piring nasi goreng ke hadapan Pramudita."Maaf, Mas, aku hanya ma
Hingga malam menjelang, pria itu tidak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tak terdengar adanya aktivitas dari dalam kamar Pramudita. Linggar risau, entah hal apa yang tengah dilakukan pria tersebut. "Apa yang dilakukan Mas Pram seharian di kamar? Semedi?" Kening Linggar mengerut. Helaan napas Linggar terdengar kasar. "Seharian tidak keluar, apa tidak merasakan lapar? Apa tidak bosan?" Melintasi depan kamar Pramudita, langkah kaki Linggar terhenti. Tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu kamar pintunya. Namun, buru-buru Linggar hentikan. Ia teringat akan pesan sang suami, untuk mengetuk pintu bila ada hal yang penting saja. "Jangan mengganggu," desis Linggar. Kemudian Linggar memilih melanjutkan langkahnya, perut semakin meronta meminta jatah. Untung saja masih ada makanan tersisa di lemari pendingin, Linggar bisa memanasi sebentar di microwave. Pandangan matanya tertuju pada tangga, lengang, tidak ada suara derap langkah. Membuat Linggar membuang napas kembali. Khawatir terja
"Apa yang harus aku lakukan lagi?" Linggar menghela napas panjang, wajahnya tampak kusut. Sudah satu jam wanita dua puluh lima tahun tersebut termenung di taman kecil yang terletak di halaman belakang. Kepalanya terasa bising, saling berebut atensi untuk dipikirkan. Linggar tidak dapat berbuat banyak. Ponselnya kembali bergetar, membuat pandangan Linggar teralihkan. Dahinya mengerut dalam hingga bertumpuk-tumpuk, terlebih menatap nama Pradipta kembali tertera di layar gawai tersebut. "Ada apa lagi?" Linggar berdesak kesal, kemudian meraih gawainya. Rasa penasaran kembali menghantui pikirannya. Pradipta mengirimkan foto seorang pria tengah merangkul pria lain, foto tersebut diambil dari samping. Linggar merasa tidak asing akan pria yang tengah tertawa dengan tangan yang berada di bahu teman prianya. Mata Linggar menyipit, lantas memperbesar foto tersebut hingga terlihat wajah pria itu meski sedikit buram. Jujur sebenarnya Linggar merasa tidak yakin akan tebakannya. Ia masih menyim
"Apa lagi yang ingin aku beli?" Wanita itu menimang kartu kredit yang berada di tangan kirinya. Tiga paper bag berukuran sedang berada di tangan kanannya, masih ada barang yang ia beli. Terlebih suaminya tidak memberatkan untuknya membeli barang apa pun yang diinginkan, meski demikian ia hanya memakai kartu tersebut seperlunya saja. Linggar, merasa butuh me time setelah banyak masalah yang menerpa. Ia tak ingin terus terpaku pada keadaan, perlahan bangkit dan melupakan kenangan pahit itu jauh-jauh. Tidak ada keuntungan yang dapat ia dulang. "Lama tidak merasakan jalan-jalan dan menikmati waktu sendiri. Tidak buruk juga. Pikiran dan hati juga terasa lebih tenang," ucap Linggar. Kartu tersebut kembali ia masukkan ke dalam tas hitam kecil yang menjadi penunjang penampilannya. Memakai gaun di atas lutut berwarna merah muda dengan motif bunga sakura, rambut hitam terurai menjuntai dengan ikal di ujung. Sepatu kets berwarna senada dengan tasnya dan tidak lupa jam tangan melingkar di tan
Tatapan Linggar tertuju pada lampu rumah yang telah menyala keseluruhan. Ia menduga bila suaminya pulang lebih awal ketimbang dirinya. Padahal pria itu pamit akan pulang malam, namun pukul tujuh sudah sampai di rumah. Kok Mas Pram sudah pulang? Katanya tadi akan pulang malam, tapi jam tujuh sudah sampai di rumah. Mas Pram marah tidak ya? Linggar membatin dengan jantung berdetak kencang, was-was bila pria itu akan marah besar. Perlahan tangan Linggar memutar knop pintu, membuka pintu dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hawa dingin langsung menyapu kulitnya, entah perasaannya atau memang seperti itu adanya, suhu ruang tamu mendadak merayap turun. "Kamu dari mana?" Suara berat itu mengejutkan langkah Linggar, jantung terasa berhenti, darahnya mendadak panas. Pelan-pelan lehernya menoleh, menatap pria yang berdiri di dekat jendela dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya tajam dengan rahang mengeras. Linggar tak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata P
"Yang terpenting aku sudah minta izin dengan Mas Pram." Linggar tersenyum kecil, kala kakinya melangkah masuk ke dalam restoran tempat yang sudah dijanjikan oleh temannya. Aku sudah sampai, Enggar. Aku tunggu di meja nomor delapan belas ya, sesuai dengan meja kesukaanmu dahulu. Pesan itu masuk tadi pagi sebelum Linggar berangkat, membuat senyuman terangkat di bibirnya. Bahkan ia menjadi perempuan paling bahagia, hal sekecil itu berhasil diingat oleh orang yang pernah dekat di masa lalu. Restoran Kenangan, menjadi pilihan. Seperti namanya, di sana memiliki segudang kenangan yang terus ingin Linggar putar di dalam memorinya. Tidak sedikit saja keinginan untuk melupakan. Setiap kali datang ke sana, rasanya ia seperti bernostalgia, meski sudah tidak bersama. "Kenapa jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap ke sini? Aku tidak mengerti, mengapa setiap sudut restoran ini memiliki kenangan yang terus melekat di dalam kepalaku?" Wajah Linggar berseri-seri, kebahagiaan tera