"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu memang sengaja ingin membuat hubunganku dengan Enggar berantakan?" Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyeringai. "Atau kamu sengaja melakukan semua ini?"
Pramudita meliriknya sekilas. "Apa yang kamu ucapkan, Dipta? Apa seperti ini caramu berterima kasih kepadaku? Hah! Aku sudah merelakan statusku untuk menutupi seluruh aib yang telah kamu lakukan.""Kamu yang bertingkah, tetap saja aku yang harus bertanggung jawab." Suara pria tiga puluh dua tahun itu meninggi, urat-urat lehernya terlihat kencang."Bahkan aku sudah mencoba untuk membantah ucapan bapak, Mas. Berusaha untuk pernikahan ini tidak terjadi. Aku tidak rela bila melihat Enggar menikah denganmu, lebih baik dia menikah dengan pria lain saja. Kenapa harus kamu, hah? Seperti tidak ada pria lain saja di bumi ini." Pradipta mengeram dengan wajah memerah, marah.Hubungan antara Pramudita dengan Pradipta tercatat sudah lima tahun terakhir tidak pernah akur. Baik si sulung dan bungsu tak ada yang mengalah. Terlebih ditambah kasus pernikahan saat ini akan semakin memperburuk hubungan keduanya."Aku rasa pendengaranmu masih baik, Dipta. Bapak kamu sendiri yang menginginkan pernikahan ini tetap terlaksana, sedangkan Enggar enggan untuk menikah denganmu. Maka solusi terbaik adalah aku yang menggantikannya." "Lagi pula siapa yang berbuat kesalahan di sini? Mengapa kamu malah memilih tidur bersama perempuan lain, padahal jelas-jelas status kamu itu tunangan Enggar? Kenapa kamu seolah lupa bila tanggal pernikahanmu hanya tinggal menghitung hari?" Pramudita menyeringai.Pramudita melipat kedua tangannya di dada. "Dan satu lagi, siapa yang menolak perempuan secantik Linggar? Aku rasa kamu pun sependapat denganku, Pradipta. Mataku tidak buta."Semakin berapi-api hati Pradipta dibuatnya, wajahnya tambah memerah. "Aku akan membuat hubunganmu dengan Linggar tak bertahan lama, Mas. Lihat saja nanti, kamu dan Linggar akan berakhir di meja hijau.""Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan kalian terjadi, begitu halnya dengan pernikahanku bersama Gendhis. Tidak pernah aku harapkan hari ini terjadi begitu buruk," lanjut Pradipta.Gerakan tangan Pramudita terhenti. Tanpa mengalihkan pandangan ia menjawab, "Benarkah? Apa yang akan kamu lakukan, Dipta? Meski aku tak pernah mencintai Linggar, tetapi tak akan aku biarkan dia pergi dari sisiku.""Lihat saja nanti, Brother!" Tanpa berpamitan Pradipta segera melangkahkan kedua kakinya keluar, meninggalkan sang kakak duduk di ruang tamu. Hatinya terasa panas, bara api layaknya berkobar-kobar. Tak selera untuknya kembali ke dalam rumah, terlebih akan bertemu dengan Gendhis.Berbeda dengan Pradipta, Pramudita membakar satu putung rokok. Pandangan jatuh pada teralis di depannya. Terbayang wajah perempuan yang telah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu. "Apa yang telah aku pikirkan?" Helaan napas berembus, bersamaan asap mengepul."Apa keputusanku begitu gegabah?" Dahinya mengerut dalam."Aku rasa tidak," bantahnya dengan cepat.Persaingan antara adik dan kakak itu tercium semakin kuat semenjak beberapa tahun terakhir ini. Setelah pacarnya pernah direbut oleh Pradipta, tak ada lagi kata kalah ataupun mengalah dalam kamus hidupnya. Bendera perang semakin berkibar."Persetan dengan cinta. Yang aku inginkan saat ini melihat Dipta merasakan sakit hatiku dulu. Bagaimana perasaannya saat melihat aku menikahi pacarnya? Aku telah menjadikan hari ini adalah hari patah hati terburuk untukmu, Dipta."Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. "Linggar adalah perempuan yang tidak terlalu macam-macam. Aku rasa akan mudah hidup bersamanya nanti.""Mas," panggil Linggar, keluar dari kamarnya dengan dua koper di tangan."Semua sudah?" Linggar menjawab dengan anggukan kepala. Pramudita membuang rokoknya yang tersisa setengah, kemudian mengambil alih kedua koper tersebut. Sebelum pergi, mereka terlebih dahulu berpamitan. Rombongan keluarga besar telah pulang satu jam yang lalu, hanya tersisa keluarga inti saja. "Kalian mau ke mana?" Gendhis menyipitkan pandangannya."Ke rumah kami," jawab Pramudita. "Aku akan membawa istriku pulang ke rumah yang sesungguhnya. Sudah seharusnya setelah menikah tidak menumpang rumah orang tua atau di rumah mertua. Aku ingin hidup mandiri dengan istriku, meski rumah masih sederhana."Wajah Gendhis dan Pradipta tampak memerah padam, kesal akan jawaban menohok dari si sulung. Linggar tersenyum tipis, lega dan bahagia melihat Gendhis akhirnya skak mat."Memangnya kamu bahagia dan cinta dengan Enggar, Mas?" Pradipta menatap pengantin baru bergantian.Pramudita memandang wajah Linggar. "Memang ada larangan untuk jatuh cinta dengan bidadari? Mana mungkin aku tidak terpincut dengan wanita secantik Linggar?"Tangan pria itu terangkat mengusap lembut puncak kepala Linggar. Sedikit merapatkan tubuhnya dengan istrinya seolah memberikan rasa nyaman. Sedangkan Linggar memalingkan wajahnya, merasa jengah dengan ucapan manis yang keluar dari bibir suaminya. Berbeda sekali saat berdua dengannya yang dingin dan ketus. "Kalian pun sama menikah secara tidak sengaja dan mendadak. Jangan terlalu menghakimi aku dan Linggar. Terlebih dahulu lihat kondisi kalian sebelum menilai kami," ucap Pramudita.Juminem mengusap air matanya, lalu melerai pelukannya. "Kalian hati-hati ya. Kalau ada apa-apa langsung kabari kami, Nak."Sang menantu mencium punggung tangan Juminem dengan hangat dan lembut. "Ibu titip Enggar ya, Nak Pram. Tolong jaga anak kami. Maafkan telah melibatkan kamu dalam masalah ini. Semoga hatimu selalu diluaskan.""Baik, Bu. Saya akan menjaga istri saya. Meski kami tidak ssaling mengenal satu sama lain, tapi saya berjanji untuk menjaga Linggar dengan baik." Pramudita tersenyumJuwanto pun menepuk bahu putra sulungnya. Ia sengaja menunggu putranya berkemas sebelum dirinya pulang ke rumah. Memastikan bila apa yang diputuskan tidak salah dan membuat kemungkinan indah di kemudian hari."Bapak yakin kamu mampu, Nak. Jaga istrimu ya!"Linggar mencium punggung tangan Juwanto. "Kami pamit ya, Pak.""Jaga diri kalian ya, Nduk. Kalau Pramudita berbuat sesuatu langsung lapor saja dengan bapak," ucap Juwoanto.Kali ini Prapto maju, memeluk tubuh putri semata wayangnya. Air matanya berlinang. "Maafkan kami ya, Nak. Semoga ini menjadi jalan yang terbaik untuk kamu dan Nak Pram ke depannya. Sering-sering untuk jenguk bapak dan ibu, Nak.""Pasti, Pak. Jangan khawatir," balas Linggar.Akhirnya Pramudita mengajak Linggar segera bergegas, mobil mereka telah sampai. Linggar duduk di samping sang suami di bangku belakang. Mereka melempar pandangan ke luar jendela. Suasana berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi dingin dan canggung.Sesekali Pramudita mencuri pandang, ia melirik sekilas ke arah sang istri. Bingung dengan obrolan apa yang harus ia buka setelah ini. Sejak awal mereka tidak saling mengenal, sebatas tahu bila Linggar adalah pacar dari adiknya.Hingga mobil tersebut berhenti di sebuah rumah dengan dinding berwarna abu-abu muda. Linggar mengedarkan pandangannya, kemudian menoleh. Pandangannya bertemu dengan Pramudita yang menatapnya."Ini rumah kita," ucapnya singkat. Kemudian Pramudita turun terlebih dahulu, disusul Linggar. Pria itu menurunkan barang milik Linggar, lalu memberikan uang transportasi ke supir taksi tersebut."Ini rumah kamu sendiri, Mas?" Pramudita mengangguk.Wajah Linggar terkesima. "Oh iya? Kamu sudah punya rencana menikah dengan seseorang ya, Mas?"Pramudita diam, memilih membuka pintu. Ia tidak tertarik dengan obrolan yang diciptakan oleh sang istri."Masuk cepat! Kamu ingin aku kunci di luar?" ancam Pramudita.Linggar menggeleng, mengambil langkah seribu segera mengikuti Pramudita."Di rumah ini ada dua kamar. Aku berada di kamar utama, sedangkan kamu berada di kamar samping." Pramudita menarik kedua koper.Mereka berhenti tepat di depan pintu berwarna hitam polos, lalu Pramudita mengulurkan kunci. "Ini kunci kamarmu."Linggar mengembuskan napas panjang, menerimanya dan mengangguk perlahan. "Terima kasih.""Bila kamu membutuhkan sesuatu hal, kamu bisa datang ke kamarku. Selagi bisa kamu urus sendiri, jangan menggangguku."Pramudita merogoh sakunya, mengambil kartu kredit dan menyerahkan ke hadapan istri kontraknya. "Pakai kartu ini untuk membeli seluruh kebutuhan dan keinginanmu. Selama menjadi istriku, aku menjamin hidupmu. Uangmu simpan saja.""Terima kasih, Mas.""Lakukan hal sesuka hatimu di rumah ini. Buat dirimu nyaman," pungkas Pramudita sebelum meninggalkan Linggar."Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian