공유

Bab 3 Bakti Dengan Suami

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu memang sengaja ingin membuat hubunganku dengan Enggar berantakan?" Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyeringai. "Atau kamu sengaja melakukan semua ini?"

Pramudita meliriknya sekilas. "Apa yang kamu ucapkan, Dipta? Apa seperti ini caramu berterima kasih kepadaku? Hah! Aku sudah merelakan statusku untuk menutupi seluruh aib yang telah kamu lakukan."

"Kamu yang bertingkah, tetap saja aku yang harus bertanggung jawab." Suara pria tiga puluh dua tahun itu meninggi, urat-urat lehernya terlihat kencang.

"Bahkan aku sudah mencoba untuk membantah ucapan bapak, Mas. Berusaha untuk pernikahan ini tidak terjadi. Aku tidak rela bila melihat Enggar menikah denganmu, lebih baik dia menikah dengan pria lain saja. Kenapa harus kamu, hah? Seperti tidak ada pria lain saja di bumi ini." Pradipta mengeram dengan wajah memerah, marah.

Hubungan antara Pramudita dengan Pradipta tercatat sudah lima tahun terakhir tidak pernah akur. Baik si sulung dan bungsu tak ada yang mengalah. Terlebih ditambah kasus pernikahan saat ini akan semakin memperburuk hubungan keduanya.

"Aku rasa pendengaranmu masih baik, Dipta. Bapak kamu sendiri yang menginginkan pernikahan ini tetap terlaksana, sedangkan Enggar enggan untuk menikah denganmu. Maka solusi terbaik adalah aku yang menggantikannya." 

"Lagi pula siapa yang berbuat kesalahan di sini? Mengapa kamu malah memilih tidur bersama perempuan lain, padahal jelas-jelas status kamu itu tunangan Enggar? Kenapa kamu seolah lupa bila tanggal pernikahanmu hanya tinggal menghitung hari?" Pramudita menyeringai.

Pramudita melipat kedua tangannya di dada. "Dan satu lagi, siapa yang menolak perempuan secantik Linggar? Aku rasa kamu pun sependapat denganku, Pradipta. Mataku tidak buta."

Semakin berapi-api hati Pradipta dibuatnya, wajahnya tambah memerah. "Aku akan membuat hubunganmu dengan Linggar tak bertahan lama, Mas. Lihat saja nanti, kamu dan Linggar akan berakhir di meja hijau."

"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan kalian terjadi, begitu halnya dengan pernikahanku bersama Gendhis. Tidak pernah aku harapkan hari ini terjadi begitu buruk," lanjut Pradipta.

Gerakan tangan Pramudita terhenti. Tanpa mengalihkan pandangan ia menjawab, "Benarkah? Apa yang akan kamu lakukan, Dipta? Meski aku tak pernah mencintai Linggar, tetapi tak akan aku biarkan dia pergi dari sisiku."

"Lihat saja nanti, Brother!" 

Tanpa berpamitan Pradipta segera melangkahkan kedua kakinya keluar, meninggalkan sang kakak duduk di ruang tamu. Hatinya terasa panas, bara api layaknya berkobar-kobar. Tak selera untuknya kembali ke dalam rumah, terlebih akan bertemu dengan Gendhis.

Berbeda dengan Pradipta, Pramudita membakar satu putung rokok. Pandangan jatuh pada teralis di depannya. Terbayang wajah perempuan yang telah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu. 

"Apa yang telah aku pikirkan?" Helaan napas berembus, bersamaan asap mengepul.

"Apa keputusanku begitu gegabah?" Dahinya mengerut dalam.

"Aku rasa tidak," bantahnya dengan cepat.

Persaingan antara adik dan kakak itu tercium semakin kuat semenjak beberapa tahun terakhir ini. Setelah pacarnya pernah direbut oleh Pradipta, tak ada lagi kata kalah ataupun mengalah dalam kamus hidupnya. Bendera perang semakin berkibar.

"Persetan dengan cinta. Yang aku inginkan saat ini melihat Dipta merasakan sakit hatiku dulu. Bagaimana perasaannya saat melihat aku menikahi pacarnya? Aku telah menjadikan hari ini adalah hari patah hati terburuk untukmu, Dipta."

Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. "Linggar adalah perempuan yang tidak terlalu macam-macam. Aku rasa akan mudah hidup bersamanya nanti."

"Mas," panggil Linggar, keluar dari kamarnya dengan dua koper di tangan.

"Semua sudah?" Linggar menjawab dengan anggukan kepala. 

Pramudita membuang rokoknya yang tersisa setengah, kemudian mengambil alih kedua koper tersebut. Sebelum pergi, mereka terlebih dahulu berpamitan. Rombongan keluarga besar telah pulang satu jam yang lalu, hanya tersisa keluarga inti saja. 

"Kalian mau ke mana?" Gendhis menyipitkan pandangannya.

"Ke rumah kami," jawab Pramudita. "Aku akan membawa istriku pulang ke rumah yang sesungguhnya. Sudah seharusnya setelah menikah tidak menumpang rumah orang tua atau di rumah mertua. Aku ingin hidup mandiri dengan istriku, meski rumah masih sederhana."

Wajah Gendhis dan Pradipta tampak memerah padam, kesal akan jawaban menohok dari si sulung. Linggar tersenyum tipis, lega dan bahagia melihat Gendhis akhirnya skak mat.

"Memangnya kamu bahagia dan cinta dengan Enggar, Mas?" Pradipta menatap pengantin baru bergantian.

Pramudita memandang wajah Linggar. "Memang ada larangan untuk jatuh cinta dengan bidadari? Mana mungkin aku tidak terpincut dengan wanita secantik Linggar?"

Tangan pria itu terangkat mengusap lembut puncak kepala Linggar. Sedikit merapatkan tubuhnya dengan istrinya seolah memberikan rasa nyaman. Sedangkan Linggar memalingkan wajahnya, merasa jengah dengan ucapan manis yang keluar dari bibir suaminya. Berbeda sekali saat berdua dengannya yang dingin dan ketus. 

"Kalian pun sama menikah secara tidak sengaja dan mendadak. Jangan terlalu menghakimi aku dan Linggar. Terlebih dahulu lihat kondisi kalian sebelum menilai kami," ucap Pramudita.

Juminem mengusap air matanya, lalu melerai pelukannya. "Kalian hati-hati ya. Kalau ada apa-apa langsung kabari kami, Nak."

Sang menantu mencium punggung tangan Juminem dengan hangat dan lembut. "Ibu titip Enggar ya, Nak Pram. Tolong jaga anak kami. Maafkan telah melibatkan kamu dalam masalah ini. Semoga hatimu selalu diluaskan."

"Baik, Bu. Saya akan menjaga istri saya. Meski kami tidak ssaling mengenal satu sama lain, tapi saya berjanji untuk menjaga Linggar dengan baik." Pramudita tersenyum

Juwanto pun menepuk bahu putra sulungnya. Ia sengaja menunggu putranya berkemas sebelum dirinya pulang ke rumah. Memastikan bila apa yang diputuskan tidak salah dan membuat kemungkinan indah di kemudian hari.

"Bapak yakin kamu mampu, Nak. Jaga istrimu ya!"

Linggar mencium punggung tangan Juwanto. "Kami pamit ya, Pak."

"Jaga diri kalian ya, Nduk. Kalau Pramudita berbuat sesuatu langsung lapor saja dengan bapak," ucap Juwoanto.

Kali ini Prapto maju, memeluk tubuh putri semata wayangnya. Air matanya berlinang. "Maafkan kami ya, Nak. Semoga ini menjadi jalan yang terbaik untuk kamu dan Nak Pram ke depannya. Sering-sering untuk jenguk bapak dan ibu, Nak."

"Pasti, Pak. Jangan khawatir," balas Linggar.

Akhirnya Pramudita mengajak Linggar segera bergegas, mobil mereka telah sampai. Linggar duduk di samping sang suami di bangku belakang. Mereka melempar pandangan ke luar jendela. Suasana berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi dingin dan canggung.

Sesekali Pramudita mencuri pandang, ia melirik sekilas ke arah sang istri. Bingung dengan obrolan apa yang harus ia buka setelah ini. Sejak awal mereka tidak saling mengenal, sebatas tahu bila Linggar adalah pacar dari adiknya.

Hingga mobil tersebut berhenti di sebuah rumah dengan dinding berwarna abu-abu muda. Linggar mengedarkan pandangannya, kemudian menoleh. Pandangannya bertemu dengan Pramudita yang menatapnya.

"Ini rumah kita," ucapnya singkat. Kemudian Pramudita turun terlebih dahulu, disusul Linggar. 

Pria itu menurunkan barang milik Linggar, lalu memberikan uang transportasi ke supir taksi tersebut.

"Ini rumah kamu sendiri, Mas?" Pramudita mengangguk.

Wajah Linggar terkesima. "Oh iya? Kamu sudah punya rencana menikah dengan seseorang ya, Mas?"

Pramudita diam, memilih membuka pintu. Ia tidak tertarik dengan obrolan yang diciptakan oleh sang istri.

"Masuk cepat! Kamu ingin aku kunci di luar?" ancam Pramudita.

Linggar menggeleng, mengambil langkah seribu segera mengikuti Pramudita.

"Di rumah ini ada dua kamar. Aku berada di kamar utama, sedangkan kamu berada di kamar samping." Pramudita menarik kedua koper.

Mereka berhenti tepat di depan pintu berwarna hitam polos, lalu Pramudita mengulurkan kunci. "Ini kunci kamarmu."

Linggar mengembuskan napas panjang, menerimanya dan mengangguk perlahan. "Terima kasih."

"Bila kamu membutuhkan sesuatu hal, kamu bisa datang ke kamarku. Selagi bisa kamu urus sendiri, jangan menggangguku."

Pramudita merogoh sakunya, mengambil kartu kredit dan menyerahkan ke hadapan istri kontraknya. "Pakai kartu ini untuk membeli seluruh kebutuhan dan keinginanmu. Selama menjadi istriku, aku menjamin hidupmu. Uangmu simpan saja."

"Terima kasih, Mas."

"Lakukan hal sesuka hatimu di rumah ini. Buat dirimu nyaman," pungkas Pramudita sebelum meninggalkan Linggar.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status