Tak seperti pagi sebelumnya, Linggar merasa asing di tempat baru tersebut. Beranjak dari tempat tidurnya, lantas bersih-bersih dan menuju tempat terbaik untuknya menyalurkan kreativitas, dapur. Tidak banyak bahan makanan yang dipersiapkan Pramudita, namun masih bisa Linggar siasati.
"Apa yang kamu lakukan?" Semerbak wangi maskulin dengan campuran bau woody dan musky menyeruak ke dalam hidung. Linggar otomatis menoleh, menatap pria yang datang dengan rambut setengah basah itu."Selamat pagi, Mas. Aku hari ini buat sarapan," ucap Linggar, kembali berkutat dengan penggorengan.Pramudita mengangguk, kemudian menarik kursi meja makan. Menatap punggung wanita itu seperti menari, memainkan alat masak. "Mas Pram, ingin kopi panas?""Tentu saja. Gulanya sedikit saja," jawab Pramudita.Wanita dua puluh lima tahun itu memasukan kapsul kopi ke dalam mesin, menantikan rintikan air hitam itu memenuhi cangkirnya. Kemudian membawa dua piring nasi goreng ke hadapan Pramudita."Maaf, Mas, aku hanya masak seperti ini saja. Tidak ada bahan makanan di sini," ucap Linggar."Tidak masalah. Nanti beli bahan makanan yang kamu inginkan." Pramudita menatap lapar masakan Linggar, tercium wangi.Disusul dua cangkir kopi sebagai temannya. Mereka kemudian sarapan dengan hikmat, tak ada pembicaraan setelahnya. Hingga sarapan tersisa setengah, baik Linggar atau Pramudita tidak ada yang membuka suara. Linggar berdehem, kemudian menyeruput kopinya. "Mas, kamu sepertinya tidak suka dengan Mas Dipta, Mas. Memangnya kalian punya masalah ya?"Pramudita mengangguk. "Banyak masalah."Linggar memperbaiki duduknya, menghadap Pramudita lebih lekat. Tatapannya mengisyaratkan penjelasan lebih. Wanita itu terlampau penasaran di balik cerita tentang adik dan kakak tersebut. Selama ini Pradipta tak pernah cerita apa pun tentang Pramudita."Tentang apa, Mas?""Aku tidak ingin bercerita," jawab Pramudita singkat. Ia mengangkat cangkirnya, kemudian menyesap kopi perlahan."Mas Pram, aku ingin mendengarnya. Lagi pula di rumah ini hanya ada aku dan kamu, tidak ada orang lain. Paling juga setan, nggak mungkin akan bocor." Linggar memberikan tatapan memohon ke hadapan Pramudita. Tak sengaja tangan Linggar menyentuh lengan Pramudita, membuat pria itu menggeram tak suka. Tatapannya berubah dingin nan menusuk. "Lepaskan!""Iya, maaf. Cerita dong, Mas."Mungkin sekitar lima belas jam yang lalu Pramudita resmi memboyong Linggar ke rumah barunya. Rumah tersebut adalah investasi lama yang telah dipersiapkan matang oleh Pramudita bila telah menikah. Akhirnya kini ia telah membuang status lajangnya. Seluruh perlengkapan telah dicicil beberapa tahun lalu oleh Pramudita dengan harapan setelah menikah hanya tinggal menempati. Akhirnya Linggar menikmati hal itu semua. Ia merasa pemikiran Pramudita lebih dewasa dan tertata ketimbang adiknya, Pradipta.Pramudita menghela napas panjang. "Pradipta pernah merebut pacarku.""Dia bilang kamu gagal nikah, Mas. Memangnya benar?"Pramudita menggeleng. "Tidak. Aku belum hanya memiliki rencana untuk serius, lalu menabung dan kredit rumah ini. Entah dengan siapa aku menikah, nanti rumah ini akan aku tempati dengan istriku.""Sayangnya saat itu pacarku malah menyukai adikku sendiri. Mereka sempat pacaran setelah kami putus. Aku tidak tahu masalahnya apa, mereka putus beberapa bulan kemudian. Setelah itu, dia pacaran denganmu."Linggar mengerutkan dahinya, kembali mengingat pertama kali dirinya mengenal Pradipta. Pria yang tak sengaja menabraknya di mal kala itu. Sebagai permintaan maaf, Pradipta mengajak Linggar makan bersama. Sejak itu komunikasi di antara mereka berjalan lancar, hingga menghasilkan bibit cinta."Seingatku dulu, dia pernah cerita tak pernah pacaran sebelum pacaran denganku."Pria itu berdecak. "Kamu percaya?"Linggar mengangguk. "Aku selalu apa yang dia katakan, Mas.""Dasar bodoh! Kamu tahu tidak, Enggar, adik iparmu itu rajanya menipu dan merayu. Pantas saja kamu terlena olehnya," ejek Pramudita."Jadi, kamu menikahi aku karena ingin balas dendam?" Mata Linggar menyipit.Tanpa jawaban, Pramudita beranjak dari duduknya. "Aku telah selesai sarapan."Kemudian ia berjalan ke arah kamarnya berada di lantai atas. Pria itu mengantongi tangan kirinya sedangkan tangan kanan membawa cangkir sisa kopinya, tak ada kata perpisahan untuk sang istri. Linggar menghela napas setelah punggung pria itu tak terlihat. "Baru akrab sebentar, malah pergi lagi. Aku harus tambah giat untuk mengejar Mas Pramudita. Penasaran sekali dengan dia.""Aku yakin lambat laun Mas Pram bisa menerima aku di sini sebagai istrinya," lanjut Linggar dengan nada penuh keyakinan.Tatapannya tertuju pada piring Pramudita yang telah bersih, tidak ada satu pun bulir nasi yang tersisa. Pria itu makan dengan cepat. Membuat senyuman timbul di bibir Linggar."Ternyata Mas Pram menyukai masakanku." Ponsel Linggar bergetar. Ia melihat satu nama yang masih membuat hatinya panas, Pradipta, sang adik ipar. Entah hal apa lagi yang ingin dibahas oleh pria tersebut, hingga berani mengirimkan pesan untuk dirinya."Kenapa kamu masih mengganggu hidupku, Mas? Bagaimana bila Mbak Gendhis tahu hal ini? Pasti aku yang akan disalahkan olehnya. Aku yang akan dianggap berusaha merebut suami orang lain," keluh Linggar.Bagaimana, Dik Enggar? Apa Mas Pram mau menyentuhmu? Hahaha, kamu harus tau fakta bila kakakku itu tidak suka perempuan. Linggar tak menghiraukan. Ia buru-buru keluar dari room chat Pradipta. Kepikiran dengan dirinya yang tak sengaja menyentuh lengan Pramudita berakhir membuat pria itu marah."Masa iya Mas Pram tidak suka perempuan?"Kembali pesan masuk ke dalam ponselnya. Linggar merasa penasaran dengan isi pesan tersebut.Kalau kamu tidak percaya, goda saja dirinya. Aku yakin dia tidak punya gairah dengan seorang perempuan. Mas Pram hanya menyukai sesama jenis. Menikah denganmu hanya menutupi ketidaknormalan itu.
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian