Hingga malam menjelang, pria itu tidak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tak terdengar adanya aktivitas dari dalam kamar Pramudita. Linggar risau, entah hal apa yang tengah dilakukan pria tersebut.
"Apa yang dilakukan Mas Pram seharian di kamar? Semedi?" Kening Linggar mengerut.Helaan napas Linggar terdengar kasar. "Seharian tidak keluar, apa tidak merasakan lapar? Apa tidak bosan?"Melintasi depan kamar Pramudita, langkah kaki Linggar terhenti. Tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu kamar pintunya. Namun, buru-buru Linggar hentikan. Ia teringat akan pesan sang suami, untuk mengetuk pintu bila ada hal yang penting saja."Jangan mengganggu," desis Linggar. Kemudian Linggar memilih melanjutkan langkahnya, perut semakin meronta meminta jatah.Untung saja masih ada makanan tersisa di lemari pendingin, Linggar bisa memanasi sebentar di microwave. Pandangan matanya tertuju pada tangga, lengang, tidak ada suara derap langkah. Membuat Linggar membuang napas kembali.Khawatir terjadi sesuatu hal yang buruk pada suaminya, tetapi ia tidak memiliki keberanian sekuat itu. Secarik rasa gengsi memenuhi dadanya. Hubungan mereka pun belum terlalu harmonis, bahkan Pramudita secara terang-terangan menolaknya. "Kenapa Mas Pram tidak ingin bersentuhan denganku? Apa mungkin ucapan Mas Dipta itu benar? Tapi, aku melihatnya Mas Pram seperti pria normal pada umumnya, memang pria tulen."Linggar menghentikan gerakan tangannya. Pikirannya tidak tenang, bising saling bersahutan. Ia masih merasa penasaran akan kebenaran yang terjadi. Hal ini menyangkut masa depan rumah tangganya kelak."Atau mungkin... Mas Pram sengaja memberikan surat kontrak pernikahan itu agar bisa mudah lepas ikatan denganku. Dan pernikahan ini hanya sebatas penutup atas penyimpangannya. Sebatas pembuktian kepada orang sekitarnya bila Mas Pram itu normal dan memiliki nafsu dengan wanita."Tidak menutup kemungkinan bila spekulasi tersebut memang benar adanya. Linggar menyadari akan sifat Pramudita yang terbilang penutup, angkuh dan dingin. Hanya saja hal itu tidak membuat seseorang menjadi penyuka sesama jenis."Aku harus membuktikannya langsung." Linggar mengangguk semangat.Menunggu makanannya, ia kembali naik ke lantai atas. Linggar memiliki ide yang cemerlang untuk mengetes tentang kebenaran akan seksualitas dari Pramudita.Hanya butuh lima belas menit untuk Linggar mengganti bajunya. Ia keluar dari kamar, bertepatan dengan Pramudita juga keluar dari persembunyiannya. Pria itu menatap lekat mulai dari rambut hingga ujung kuku Linggar, membuat wanita itu tersipu malu."Kamu mau ke mana, Mas?" Linggar menyibak rambutnya, leher jenjang itu terekspose.Pramudita menelan air ludahnya, kemudian memilih memalingkan pandangannya. Ia berdehem, menetralkan suaranya. "Mas, kamu mau ke mana?" Linggar kembali bertanya."Makan," jawab Pramudita, nada suaranya terdengar gugup.Wanita itu mengangguk. Lalu mendahului langkah Pramudita, lenggak-lenggok di depan pria tersebut. Lingerie tipis berwarna merah menyala di atas lutut, menampilkan belahan dada rendah. Sengaja ia tidak memakai celana dalam ataupun bra. Tentu penglihatan Pramudita masih baik, bisa menatap dengan jelas bagaimana rupa aset berharga milik Linggar."Mas, aku masak hari ini. Kamu makan di rumah saja ya?" Linggar menoleh dengan tersenyum.Berkali-kali Linggar berusaha memamerkan lekuk tubuhnya ke Pramudita. Ia masih penasaran akan pandangan seksualitas pria tersebut. Bila memang menyukai perempuan, tentu tidak akan kuat melihat dan mendapatkan godaan dari Linggar.Pramudita tampak frutasi. Ia mengacak-acak rambutnya dengan helaan napas berat. Hal ini membuat Linggar tersenyum kemenangan.Kamu tidak mungkin bisa menolak godaanku, Mas. Aku yakin kamu itu pria normal yang menyukai perempuan. Pradipta hanya ingin membuat aku jauh dari kamu, Mas. Linggar senang bukan kepalang.Kemudian Linggar sengaja menghentikan langkahnya. Membuat Pramudita tidak sempat mengambil langkah untuk menghindar, tubuh mereka bertubrukan dan terjerembab jauh ke atas lantai. Tubuh Linggar berada di bawah, sedangkan Pramudita berada di atas. Posisi begitu intim.Kedua pasang mata mereka saling adu pandangan. Bibir Linggar tak hentinya menyunggingkan senyuman tipis. Jari telunjuknya dengan nakal menari di atas dada Pramudita. Sengaja membuat nafsu pria tersebut bangkit dan memperlihatkan jati dirinya.Sayangnya rencana Linggar tidak semudah itu. Justru Pramudita buru-buru berdiri dan meninggalkan Linggar tanpa sepatah kata. Pria itu melenggang pergi, membuat harga diri Linggar merasa tersentil.Aku sengaja melakukan ini untuk kamu, Mas. Kenapa bisa kamu malah mengelak? Memangnya aku kurang seksi? Linggar kembali membatin."Mas kamu mau ke mana?"Pramudita menghentikan langkahnya. "Mencari makan.""Aku sudah masak, tidak perlu mencari di luar." Linggar berdiri dan mengejar langkah suaminya.Linggar kembali menyalip langkah Pramudita, menghadang pria tersebut. Tidak ingin dicampakkan. Bahkan Pramudita seperti enggan, tidak tertarik atas hal yang dilakukan oleh sang istri."Makan di rumah saja," ucap Linggar.Tangan Linggar berusaha menyentuh tangan Pramudita, sayangnya pria itu segera menepis. Bahkan wajahnya berubah menjadi datar dengan tatapan menyipit. Nyali Linggar seketika menciut. Ia tidak berani berkutik kala menatap wajah suaminya."Jangan sentuh aku." Pramudita melanjutkan langkahnya, sengaja menyenggol bahu Linggar, hampir oleng."Satu lagi, jangan memakai baju seperti itu. Aku sama sekali tidak tertarik." Bibir Pramudita menyunggingkan senyuman miring."Apa kamu tidak takut masuk angin? Tubuhmu terlalu datar, Enggar, aku tidak memiliki nafsu dengan tubuh kerempengmu." Kemudian pria tersebut melanjutkan langkah, tidak menghiraukan tatapan nanar yang Linggar berikan.Mengenaskan, Linggar merasa hatinya seperti tercabik-cabik. Ucapan Pramudita berhasil membuat harga dirinya jatuh ke jurang cukup dalam. Niat awalnya menjadi hancur berantakan, malah membuat luka baru di hatinya. Linggar menyeka air matanya, lantas melangkah kembali ke dalam kamar."Mungkin ucapan Mas Dipta itu benar. Sekuat apa pun aku menggoda Mas Pram, aku tidak akan bisa membuatnya luluh."Halo, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa share dan berlangganan cerita ini ya.
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian