Tatapan mata Anjani menyipit tajam melihat pemandangan Sean dan Yuna yang sedang duduk bersebelahan diatas sofa. Tubuh kedua sepasang kekasih itu di tutupi satu selimut yang sama, dan dari belakang sini Anjani bisa melihat jelas bercak kemerahan yang ada di belakang mereka masing-masing.
Anjani benci pemandangan ini. Rasa perih menyerang dadanya, seperti ada benda tajam yang menggores di sana. Air matanya sudah terbendung di pelupuk mata, tapi Anjani berusaha menahan air matanya itu untuk tidak jatuh. Anjani kira, selama satu bulan ini ia menjaga jarak dengan Sean, rasa cintanya pada lelaki brengsek itu akan hilang. Ternyata tidak.
Mata Anjani terpejam ketika dua insan di depan sana menyatukan bibirnya, bibir Anjani bergetar menahan isak. Anjani benar - benar sudah tidak kuat lagi dan rasanya ingin lari dari sana, tapi tidak bisa, kakinya seolah terpaku di lantai.
Suara decakan itu semakin nyaring di telinga Anjani, mem
"Jan, lagi ada masalah ya?"Anjani langsung mengangkat wajahnya, ia lupa kalau sambungan video call nya dengan Langit belum terputus.Dengan cepat Anjani mengontrol raut wajah dan merapihkan rambutnya, kemudian meraih kembali ponselnya yang tergelak diatas ranjang. Menempatkan kamera depannya di depan wajahnya. Membuat Langit kembali melihat wajah menggemaskan cewek yang akhir-akhir ini menjadi alasannya tersenyum."Enggak kok, Lang." jawab Anjani sembari memasang cengiran andalannya.Disebrang sana, Langit otomatis ikut tersenyum, "Serius?" tanya Langit memastikan.Anjani mengangguk berusaha menyakinkan Langit. Namun, semulus apapun cara Anjani memasang wajah palsunya agar terlihat baik-baik saja, Langit tetap dapat menemukan gurat kegelisahan dari wajah manis itu."Hmm, jan, gue tutup video callnya ya? Lanjut besok lagi." kata Langit berniat menutup sambungan video call
Anjani tidak dapat menelan nasinya dengan benar karena di hadapannya kini ada Sean yang juga sedang menikmati sarapannya. Anjani merasa ini awal pagi yang buruk untuk menjalani hari karena menikmati sarapan dengan sang suami. Anjani masih menyimpan dendam kesumat kepada Sean."Berangkat bareng Langit?" setelah sekian lama mereka memilih menikmati sarapan dalam diam, Sean akhirnya membuka suara. Bertanya dengan nada segannya.Anjani mengangguk, "Hmm," dia berdehem sebagai jawaban."Kamu pacaran sama Langit?" tak segan-segan Sean bertanya dengan lancang perihal hubungan istrinya dengan lelaki bernama Langit.Anjani mengangkat wajahnya, menatap Sean dengan datar, "Kok om kepo sih?" Anjani balik bertanya dengan nada sengit.Sean melempar sendok dan garpu makannya, mendada
Anjani: Lang, aku gak bisa pergi sama kamu hari ini, sorry ya LangLangit: its okay, jan.Langit mendesah kecewa setelah membaca pesan yang Anjani kirimkan untuknya. Padahal apartement nya sudah selesai di rapikan, niatnya Langit ingin mengajak Anjani menonton film bersama di apartement nya, Langit juga berniat ingin menyatakan cintanya setelah selesai menonton film bersama nanti. Tapi seperti nya Langit harus menunda niatnya yang satu itu.Terlukis senyum tipis dibibir Langit kala cowok itu memandang ruang tengah apartement nya yang sudah di dekor seromantis mungkin, ada seikat bunga yang Langit sembuyikan di samping sofa. Sayang sekali, rencana Langit harus tertunda. Langit menggelengkan kepalanya, tak menyangka kalau dirinya seniat ini untuk mendapatkan hati Anjani, Langit bahkan sampai lupa kapan terakhir kali dirinya di buat kerepotan karena jatuh cinta.Setelah menjalin masa-masa pendekatan dengan An
Anjani menarik napas, kemudian menghembuskan nya. Cewek itu berdecak, menatap jengkel badan jangkung Sean yang tengah berjalan di depannya. Sudah hampir setengah jam mereka mengitari mall, bulak-balik masuk kedalam toko baju, perhiasan, tas, tapi belum juga menemukan kado yang cocok untuk Lucia."Kamu jangan diam aja, kasih saran--" ucapan Sean terputus ketika ia menoleh kesamping namun tidak menemukan sosok Anjani yang menjadi lawan bicaranya. Spontan Sean berbalik badan, bola matanya memutar jengah ketika mendapati Anjani yang berdiri membeku di belakangnya dengan wajah tertekuk sebal."Kenapa?" tanya Sean sembari berjalan menuju Anjani.Anjani menunduk lesuh, "Capek." keluh nya. Sebenarnya bukan itu alasan Anjani menghentikan langkahnya, tapi karena ia bete sedari tadi terus berjalan di belakang Sean, sebab langkah kakinya tidak cukup cepat untuk berjalan beriringan dengan Sean."Om jalannya cepet bange
Bola mata Sean tidak bisa lepas memandang layar ponselnya, sesekali bibir tipis pria itu berdecak kesal lantaran pesan yang ia kirim ke Anjani tak kunjung mendapat balasan. Sean menoleh kearah jam dinding mewah yang tertempel di dinding, jarum pendek sudah menunjuk ke angka sebelas, tapi istrinya belum juga pulang."Sean, kamu belum tidur?" Lucia yang berniat mengambil air di dapur langsung mengarahkan kakinya saat mendapati Sean yang tampak gelisah di sofa ruang tengah."Anjani belum pulang, Mah." jawab Sean datar.Setelah mengantar Yuna pulang dari mall, Sean langsung menginjak pedal gas mobilnya kerumah orang tuanya karena besok adalah acara ulang tahun Lucia, tepat jam 12 malam pergantian hari nanti Sean juga berniat ingin memberi suprise kepada Lucia bersama Ayahnya. Tapi Sean merasa kurang lengkap jika Anjani tidak ikut memberi kejutan untuk sang Mamah bersamanya."Lho, Anjani kan nginap di rumah tem
"Maaf ya Lang, aku ngerepotin kamu." ujar Anjani menatap sendu Langit yang sedang menyetir. Sementara Anjani dan Jane duduk di kursi penumpang di belakang. Anjani berhasil membujuk Jane untuk duduk manis di kursi penumpang dan mempercayakan Langit untuk mengantarnya sampai depan rumah dengan selamat.Mendengar perkataan Anjani, ekor mata Langit melirik ke cewek itu melalui kaca, "Santai, kayak sama siapa aja lo." jawabnya."Memang lo siapanya Anjani, lang? Pacar?" Jane yang sudah tertidur tiba-tiba saja kembali membuka matanya dan menyeletuk asal."Pengennya sih gitu," balas Langit seraya melirik Anjani dengan tatapan menggodanya. Ucapan Langit berhasil membuat Anjani menunduk menyembunyikan pipinya yang bersemu. Cewek itu tersipu."Sialan lo!" maki Jane sambil menendang badan kursi pengemudi, praktis membuat Langit terkejut dan meringis."Kok lo malah marah?!" protes Langit tak terima.
"Kamu kok gitu sih, Lang?" tanya Anjani seraya menatap Langit tak percaya dengan sorot teduhnya.Kening Langit mengernyit, tak paham dengan perkataan Anjani barusan, "Gitu gimana?" jawabnya balik bertanya.Anjani bersedekap dada, memalingkan wajahnya enggan menatap insan tampan yang berdiri tegak di depannya."Kenapa kamu ngajak aku nginap di apartemen kamu? Memangnya kamu kira aku cewek apaan?" ujar Anjani sewot. Wajahnya berubah jutek, tapi tetap terlihat menggemaskan di mata Langit.Langit tertawa kecil, rasanya tangan Langit ingin sekali menguyel-uyel pipi Anjani yang sedikit menggembung itu."Ngomong apa sih, maksud gue bukan gitu kali, Jan. Apartemen gua kosong, lo bisa nginap di sana kalau lo mau.""Terus kita berduaan gitu?" ucapan Anjani masih terdengar ketus."Kalau lo gak nyaman gue di sana, gue bisa pulang ke rumah bokap. Lagian gue juga masih
Langit membuka kelopak matanya yang masih berat, cowok itu menguap dan merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Langit mengucek matanya, kesadaran Langit masih belum terkumpul penuh."Morning, Lang." seru Anjani yang keluar dari dalam kamar. Di lihat dari handuk yang melilit di kepala Anjani, sepertinya cewek itu habis mandi.Seketika Langit terkejut hingga matanya melebar. Ia kembali mengucek kedua matanya, kemudian memandang Anjani lamat-lamat seolah tidak percaya kalau sosok di depannya beneran Anjani dan bukan siluman yang sedang menjelma."Kamu kenapa, deh?" tanya Anjani sambil melangkah menghampiri Langit yang masih terduduk di atas sofa."Lupa ya kalau aku nginap di sini semalam?" ujar Anjani membuat Langit menemukan potongan puzzle ingatan yang hilang. Langit menepuk jidat, ia tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri.Anjani mengambil selimut yang tergeletak diatas lantai, kemudia