"Aku minta maaf," ucap Sisil masih dengan kepala tertunduk. Ia menderita malu yang luar biasa besar, apalagi jika harus mengakui dan membahas kebodohannya tadi malam.
Tentu saja Janu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak mengerti mengapa Sisil meminta maaf kepadanya karena ia memang tidak membaca pesan dari gadis itu sama sekali. Dan Smith sudah menghapus semuanya sebelum Janu menyentuh ponselnya pagi ini.
"Minta maaf? Untuk apa Sisil?"
Kedua pipi Sisil menjadi semakin merah. Ia tidak menyangka jika Janu akan mengatakan hal itu. Apa itu artinya Janu sama sekali tidak menganggap pesan yang ia kirimkan tadi malam itu sebagai hal yang penting? Sehingga sudah melupakannya begitu saja.
Sebetulnya jika Janu memang lupa akan hal itu, tentu sangat bagus karena Sisil akan terselamatkan dari rasa malu. Tapi entah mengapa, Sisil justru merasakan nyeri di sudut hatinya ketika tahu bahwa Janu sama sekali tidak menganggap pesan darinya itu cukup penting untuk
Smith menelan ludah. Tidak mungkin ia menjawab kalau penyebab kelalaiannya adalah wajah Janu. Smith tidak mungkin mengatakan kalau wajah suaminya itu kelewatan tampannya sampai membuat Smith lupa kalau ia sedang menyetir di jalan umum."Apa perlu aku membeli jalan ini supaya bisa terus menyetir sambil menikmati wajahnya? Idiot! Berhenti menjadi orang dungu. Kau masih bisa memandangnya nanti malam saat dia sudah tidur," celoteh Smith dalam batin.Smith merasa heran pada dirinya sendiri. Entah bagaimana semakin hari wajah Janu terlihat semakin tampan. Ia tidak tahu apakah itu efek dari matanya yang mulai rusak, atau hatinya yang mulai terpikat."Smith? Kau melamun ya?" tegur Janu lantaran Smith tidak kunjung menjawab pertanyaannya."Siapa yang melamun? Aku hanya sedang berpikir!" bantah Smith menolak kebenaran.Janu menggeleng. Ia merasa sejak bangun tidur tadi, istrinya sudah bertingkah aneh. Semestinya perempuan itu mengoceh tanpa henti seperti bia
"Sisil menanyakan kabar Bibi Ipah. Dan mendoakan agar Bibi Ipah baik-baik saja. Juga meminta kita untuk berhati-hati," jawab Smith seperti sedang mengikuti pelajaran mengarang."Hanya itu?" tanya Janu tidak percaya."Memangnya kau ingin dia mengirim pesan apa? Kau ingin dia bilang cinta padamu?" sambar Smith dengan nada tinggi lagi. Sesungguhnya hatinya merasa cekit-cekit saat membaca pesan Sisil yang mengatakan sangat mencintai Janu."Bukan begitu, kan tadi ada banyak pesan yang masuk. Dia cuma ngomong begitu saja?" protes Janu lagi."Ya intinya cuma itu. Sudah, berhenti bertanya dan biarkan aku membalas pesan Sisil!"Bibi Ipah tersenyum. Ia senang melihat Nona Smith berselisih dengan suaminya. Dari perdebatan itu tergambar jelas bahwa Smith mulai jatuh hati pada Janu."Perempuan ini tidak ada putus asanya! Terus saja mengganggu. Sudah seperti setan. Apa aku perlu membalas sebagai aku ya? Ah tidak, tidak. Bodo amat kalau dia tahu aku yang m
"Uhuk ... uhuk ...!" Hendry tersedak. Padahal ia belum menelan sebutir nasi pun.Sinta memberikan segelas air putih pada suaminya. Dan menepuk-nepuk pelan punggung Hendry."Sisil, apa kau ingin membunuh ayahmu dengan mengatakan hal menjijikan seperti itu?" bentak Sinta langsung dengan suara sekeras mungkin. Hingga terdengar menggelegar memenuhi ruang makan. Padahal ia sudah sedikit menahan suaranya. Jika tidak ada Hendry di antara mereka, tentu suara Sinta bisa lebih nyaring lagi.Baru saja Sinta senang atas sikap putrinya yang tampaknya sudah bisa melupakan Janu, sekarang Sisil malah meminta ayahnya untuk melamar Janu. Baru kali ini Sinta merasa putrinya sudah gila.Sinta benar-benar sudah habis urat kesabarannya dalam menghadapi putrinya sendiri. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sisil. Sangat-sangat tidak masuk akal dan tidak realistis sama sekali.Memangnya apa istimewanya Janu? Mungkin lelaki itu memang tampan dan sedikit pintar, tapi
Dalam batinnya Sisil tersenyum. Ia baru mengerti bahwa menjadi orang jahat tidaklah sulit. Ia hanya perlu pandai melihat situasi dan menekan rasa kepedulian terhadap orang lain. Sesudahnya, semua akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.Sisil beruntung karena ia terbiasa menangis dan ayahnya tidak pernah tega melihatnya mengeluarkan air mata. Kali ini ia harus bisa meyakinkan sang ayah untuk membalaskan sakit hatinya pada Smith."Tidak Ayah. Aku tidak menangis karena Tante Sheira. Beliau tidak bersalah. Aku memang yang salah karena menanyakan hal yang tidak diketahui oleh Tante Sheira. Bahkan juga memaksa beliau untuk menjawab. Padahal Tante Sheira sudah menjawab pertanyaanku," ucap Sisil yang bertingkah sok bijak."Lalu kenapa?" tanya Hendry sambil duduk kembali."Aku sudah tahu semua Ayah. Tadi malam saat aku menghampiri Ayah dengan wajah memar dan bibir berdarah, ada hal penting yang ingin aku katakan pada Ayah. Tapi ... ""Tapi apa?"
Hendry benar-benar dikuasai amarah. Tampak nyata dari wajahnya. Kedua matanya memerah dengan tatapan lurus ke depan nyaris tanpa berkedip. Juga gesturnya yang mengepalkan tangan erat-erat. Membuat Sinta dan Sisil kompak menyunggingkan senyum."Sisil sekarang katakan pada Ayah, apa yang ingin disembunyikan kakakmu dari Ayah?" tanya Hendry setelah beberapa saat hanya diam."Sebenarnya kebohongan besar itu tidak hanya disembunyikan dari Ayah, tapi dari kita semua, termasuk Janu," jawab Sisil sambil meletakkan tangannya di atas tangan Hendry yang terkepal.Sisil menatap mata ayahnya. Ia juga membiarkan matanya bocor seolah ingin menunjukkan simpati dan kesedihan atas kabar buruk yang hendak ia katakan pada sang ayah."Ayah, Smith tidak hamil. Aku mendengar sendiri dari mulutnya bahwa ia tidak hamil.""Apa?" pekik Hendry kedua alis yang hampir menyatu.Ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Hendry. Ia tidak mengerti, apakah ia harus merasa sena
Bibi Ipah menekan bel dengan perasaan was-was. Ia tidak tahu siapa yang ada di dalam rumah. Juga tidak tahu siapa yang akan membuka pintu untuknya. Sedangkan ia merasa kata 'pulang' tidaklah cocok untuknya yang kembali ke rumah tempatnya bekerja.Walau bagaimanapun saat ini ia berdiri di depan pintu tempatnya mencari nafkah. Itu bukan tempat tinggal miliknya di mana ia bisa beristirahat semaunya tanpa rasa sungkan. Sedangkan ia dokter telah berpesan padanya untuk tidak melakukan pekerjaan dulu hingga rasa nyeri di punggungnya benar-benar hilang.Dalam pikiran perempuan tua itu orang-orang yang mungkin ada di dalam rumah itu bukanlah orang yang menganggapnya sebagai keluarga, melainkan hanya sebagai pembantu. Bibi Ipah sadar bahwa bagi majikannya, kesehatannya tidak menjadi hal berharga yang harus dijaga. Yang terpenting adalah ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Majikan yang selama ini sangat peduli pada kesehatannya sedang ke luar semua. Keduanya bahkan mung
Sinta berdiri dengan semangat. Ia berjalan cepat menuju kamar Bibi Ipah. Perempuan itu bahkan ingin melompat kegirangan karena rencana yang disampaikan sang suami padanya sungguh sangat jenius. Tidak pernah terpikirkan olehnya. Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui.Tok ... tok ... tok ....Sinta mengetuk pintu kamar Bibi Ipah. Membuat Bibi Ipah yang baru saja duduk, harus kembali berdiri setelah sedikit terjingkat.Bibi Ipah tidak boleh lelet karena orang yang mengetuk pintu kamarnya sudah berkoar-koar memanggil namanya. Bibi Ipah hafal benar dengan suara itu. Pemiliknya adalah orang yang hobi berteriak-teriak padanya. Nyonya Sinta Sasongko!"Iya, Nyonya," kata Bibi Ipah sesudah membuka pintu."Aduh ... Bi Ipah! Kenapa lama sekali? Membuka pintu kamar saja selama ini. Pantas, kamu sering membuatku sampai tidur di depan pintu rumah karena terlalu lama menunggu," semprot Sinta yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memarahi Bibi Ipah. Bi
"Bibi Ipah tidak usah cemas. Saya tetap akan mengirimkan uang ke rekening Bibi setiap bulan. Jadi Bibi tidak perlu memikirkan keuangan lagi. Bibi bisa menikmati masa tua Bibi dengan tenang di panti bersama orang tua lainnya tanpa harus mengerjakan tugas rumah. Setelah ini Pak Jono akan mengantar Bibi. Maafkan saya karena tidak bisa ikut. Ada urusan pekerjaan yang harus saya selesaikan," jelas Hendry tanpa basa-basi.Bibi Ipah menggeser pandangannya pada Pak Jono yang sejak ia turun ke lantai bawah, telah berdiri di belakang Hendry. Membuat Pak Jono tidak tega untuk menuruti permintaan Hendry. Pak Jono tahu benar kalau Bibi Ipah tidak ingin pergi dari rumah itu. Bibi Ipah ingin tetap di sana bersama sang nona muda.Pak Jono adalah satu-satunya orang yang menjadi saksi kedekatan hubungan antara Bibi Ipah dan Smith. Ia paham benar bahwa keduanya saling menyayangi. Pak Jono yakin jika saat ini hati Bibi Ipah pasti hancur, batinnya tidak bisa menerima keputusan Tuan Hendry.