Share

BAB 4 Hamil

“Aku rasa aku nggak bisa melanjutkan ini, Ra. Gadis itu terlalu rapuh dan dia nggak pantas untuk kita sakiti.” 

Usai melihat keadaan Ayrin yang begitu menyedihkan–babak belur, tetapi masih kukuh untuk tidak bersuara perihal pelakunya, naluri Reygan perlahan tersentuh. 

Ia yang tadinya begitu semangat menjalankan rencana apik yang telah disusunnya bersama sang kekasih gelap, kini mulai goyah. 

“Jangan gila, Rey! Kita sudah sering membicarakan ini. Sudah nggak ada jalan untuk kembali.”

Reygan menghela napas panjang, tetapi masih tetap memeluk kekasih yang begitu ia cintai itu dalam dekapannya. “Ceraikan saja Rayden, Ra. Menikahlah denganku. Kita bisa membangun hidup bersama.”

Mata itu menatap sungguh-sungguh pada Veranda yang juga tengah menatapnya.

Sesaat, raut wajah Veranda berubah kesal. Namun, tak lama ia kembali menguasai diri.

 “Nggak semudah itu, Rey. Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak bisa semudah itu untuk bercerai dengan Mas Rayden. Apalagi kami sudah memiliki Revan.”

“Bawalah Revan bersama kita, Ra. Aku nggak keberatan, dia akan menjadi anakku juga.” 

Hal ini sudah berkali-kali jadi perbincangan mereka. Rayden akan meminta hal yang sama, lalu Veranda akan menjawab hal yang juga sama.

“Mas Rayden nggak akan tinggal diam, Rey. Dia sangat menyayangi Revan dan aku juga menyayangi anakku.”

Bibir pria itu seketika mencetak garis sinis. Ada rasa cemburu yang menggerogotinya tiap kali Veranda lebih menyanjung sang kakak. “Apa kamu tidak menyayangi aku?”

Veranda menatap penuh cinta pada Reygan. Ia juga menangkup wajah pria itu dengan penuh kelembutan.

Please, Rey. Jangan seperti ini lagi. Kamu tahu berapa besarnya perasaanku untuk kamu. Jadi, tolong jangan pertanyakan lagi hal itu.” 

Reygan sempat menikmati sentuhan lembut itu, tetapi ia bergegas menghindar saat menyadari lagi-lagi dirinya tidak dipilih oleh sang kekasih. “Tapi, kamu tetap memilih suami dan anakmu.”

“Kamu datang terlambat, Rey. Kamu datang di saat aku sudah menikah dan memiliki Revan. Kamu juga meninggalkan aku dulu. Jadi, jangan salahkan aku seperti ini.” Veranda menatap kekasihnya itu dengan gemas. Sudah datang terlambat masih juga mau dapat antrian pertama. 

Reygan tersenyum pahit sambil meremas tangan Veranda di dadanya. Ia teringat masa lalu yang membuat ia berpisah dari cinta pertamanya.

Kalau saja Reygan tak melanjutkan pendidikan di luar negeri dan terlena pada kehidupan bebas di sana … mungkin saat ini mereka sudah bisa bersama tanpa takut dosa. Veranda sudah pasti akan jadi istrinya, bukan istri dari kakaknya.

“Aku akan merebutmu lagi.” Suara Reygan terdengar begitu yakin. “Sejak awal kamu milikku.” 

Direngkuhnya tubuh cinta pertamanya itu lalu Reygan menciumi wajah Veranda dengan mesra. 

Veranda adalah perempuan pertama dalam hidupnya yang menimbulkan perasaan aneh dan membuat hatinya bergetar. Daya tarik wanita cantik itu memang sulit untuk diabaikan. 

Meskipun sudah meninggalkan wanita itu dan bertemu dengan banyak wanita lainnya selama hampir dua belas tahun, tetap saja pada akhirnya hanya Veranda wanita yang diinginkannya. Tidak peduli meski wanita itu sudah menikah dengan kakak tirinya, Reygan sudah bertekad untuk merebutnya.

“Kalau begitu menikahlah dengan Ayrin, Rey. Hanya itu satu-satunya cara agar kamu bisa memiliki aku.” Veranda menatap dengan sorot memohon dan perkataan lembut. “Jalankanlah perusahaan ayahnya dan carilah cara untuk menjatuhkannya.”

Reygan terperanjat mendengar ucapan Veranda yang begitu mudah keluar dari mulutnya. “Tapi dia nggak bersalah, Ra. Gadis itu terlalu rapuh untuk kita hancurkan,” protes Reygan dengan gemas.

“Tapi aku juga nggak rela kalau kamu menikahi Daisha, Rey.” Veranda merajuk. Sesaat, ada kilat kekesalan di matanya. “Perempuan ular itu bisa menjebakmu dan melilitmu seumur hidupnya. Aku nggak akan membiarkannya, apalagi perempuan itu menyukai kamu.”

“Kalau ada perasaan wanita yang harus dihancurkan, kenapa kita nggak memilihnya saja? Kenapa malah memilih gadis seperti Ayrin yang begitu rapuh?”

Kesal, Veranda mengurai dekapan Reygan. “Mungkin aku bisa percaya kamu, Rey. Tapi, aku nggak akan pernah percaya dengan Daisha.” Ia kemudian menatap tajam ke arah pria itu, seolah memperingatkan. “Dan, kamu agaknya sudah tertipu. Ayrin nggak serapuh itu. Dia wanita yang kuat, aku juga mengenalnya dengan baik.”

Padahal, dalam hatinya … Veranda mengorbankan Ayrin bukan tanpa sebab. Wanita itu tahu betul gadis seperti sepupunya bukanlah selera Reygan, makanya ia lebih memilih Ayrin yang kurus, polos alih-alih Daisha yang lebih punya kuasa untuk melawannya. 

Ditambah lagi, ia juga tahu Ayrin tak akan mungkin menaruh hati pada Reygan, sebab ia tahu betul perasaan gadis itu untuk siapa. Kasarnya, ia memilih Ayrin sebab gadis itu lebih mudah untuk ia atur sesuai rencananya. 

“Jadi, kamu harus menikahi Ayrin, Rey. Kita nggak menyakitinya, justru kita sedang menolongnya dari keluarganya yang ular itu.” 

***   

Malam itu, Reygan duduk terdiam, menyaksikan Ayrin yang sedang berbincang dengan ibunya di meja makan. Reygan memperhatikan Ayrin,  gadis itu terlihat berbeda ketika tersenyum. Tentu saja gadis itu tidak memberikan senyuman itu untuknya, melainkan untuk ibunya. 

Senyuman yang melintasi bibir tipisnya itu terasa begitu menenangkan, apalagi dengan lesung pipi yang membuatnya semakin manis.

Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening ketika Raka Adinata melangkah ke ruang makan dan bergabung dengan meraka. Wajah tegas dan penuh wibawa yang selalu ditampilkannya membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa segan.  Namun, melihat wajah dingin Raka yang berubah lembut saat menatap Vina membuat hati Ayrin terenyuh. 

“Kenapa malah bengong?” tanya Reygan sambil menyodorkan piringnya yang kosong kepada Ayrin, meniru kebiasaan papa dan mamanya.

“....” Ayrin hanya menatap piring itu dengan bingung, sementara Reygan menatapnya dengan gemas.

“Kamu calon istri saya. Jadi, belajarlah melayani suami dengan baik.”

Ayrin tersenyum pahit lalu berbisik, “Semua sandiwara ini akan berakhir malam ini. Jadi, berhentilah berpura-pura menjadi calon suami saya.” 

Reygan merasa kesal, ia menarik kembali piringnya dan mulai mengambil nasi serta lauk-pauk yang tersedia. “Kita lihat saja nanti,” gumam Reygan menahan geram.

Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis di sampingnya itu. Kenapa Ayrin begitu sombongnya tidak mau menjadi istrinya di saat banyak wanita di luar sana yang menginginkannya.

Selama beberapa waktu, hanya suara denting alat makan yang terdengar. Semua orang tampak sibuk dengan makanan dan pikirannya masing-masing. 

“Jadi, kamu mau mengambil spesialis apa?” tanya Raka dengan suaranya yang tegas, yang langsung memecah keheningan. Pria itu menatap Ayrin dengan tajam.

“Saya masih belum memikirkannya, Om.” Mendapat serangan mendadak, Ayrin mencoba untuk tetap tenang. “Tapi, saya sempat berpikir ingin mengambil spesialis bedah.”

Raka mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Reygan. “Apa kamu akan tetap mengizinkan Ayrin melanjutkan kariernya setelah kalian menikah?” 

Ayrin meremas tangannya, menunggu jawaban Reygan. Entah kenapa dirinya penasaran dengan jawaban pria itu, padahal dirinya juga tidak mau Reygan menjadi suaminya. 

“Kenapa nggak? Sekarang bukan zamannya perempuan harus selalu terkurung di rumah menunggu suaminya pulang,” jawab Reygan dengan santainya.    

Kali ini Raka kembali mengangguk sambil melirik ke arah Vina–sang istri yang juga mengangguk sambil tersenyum singkat. Ayrin menatap mereka dengan penasaran, sementara Reygan tampak tidak terlalu peduli.

Ayrin menghela napas panjang. Ia merasa harus meluruskan semuanya sebelum terlambat. Masa depannya bergantung pada malam ini dan Ayrin tidak bisa melewatkan kesempatannya. “Maaf, Om, Tante. Ada sesuatu yang harus saya katakan. Sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada Om dan Tante karena saya…”

Reygan menegang di tempatnya, ia segera memotong ucapan Ayrin sambil menggenggam tangan gadis itu dengan erat. “Kamu yakin mau membicarakan itu sekarang?” 

Ayrin mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Reygan, tetapi pria itu seolah sengaja mencengkeramnya semakin kuat untuk membungkam perkataan Ayrin. “Saya sangat yakin. Om dan Tante harus tahu sebelum semuanya terlambat,” tegas Ayrin sambil menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tangannya.

Reygan tersenyum lembut, lalu melepaskan cengkeramannya di tangan Ayrin. “Kalau begitu, biar saya yang memberitahukannya.”

“Ada apa sebenarnya, Rey?” tuntut Raka dengan penuh ketegasan.

Selanjutnya, semua orang di ruangan itu tampak tersentak mendengar ucapan Reygan. Papanya yang semula sudah nyaris bisa menerima pilihan sang anak, kini terlihat marah.

Tak terkecuali raut Ayrin yang juga terkejut mendengar penuturan Reygan yang dianggap mengada-ada. Kalimat pria itu semakin memperumit keadaan mereka.

“Maafkan Rey, Pa. Saat ini Ayrin sedang hamil.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status