“Nona Alea ... ini Rosa,” terdengar suara lembut dari luar. “Saya hanya ingin membantu Nona Alea membersihkan badan.”
Alea semakin menenggelamkan wajahnya, tubuhnya kembali berguncang menahan rasa takut. Ia tak sanggup menjawab—bahkan sekedar bersuara.
Beberapa detik kemudian, klik—bunyi pintu dengan perlahan. Rosa melangkah masuk dengan hati-hati, cahaya dari lampu kecil di sudut meja cukup untuk memperlihatkan sosok Alea yang tengah duduk di lantai, bersandar di samping ranjang, dengan wajah yang tersembunyi di antara lutut dan kedua tangan.
Mata Rosa membelalak pelan, ia bergegas menutup pintu dan menghampiri gadis itu. “Nona ...,” bisiknya pelan, ia berlutut di samping Alea. “Nona baik-baik saja?” tanyanya khawatir, tangannya mengusap lengan Alea yang terasa begitu dingin.
Alea menggelengkan kepalanya singkat sebagai jawaban, hanya bahunya yang bergetar pelan, ia tak memiliki tenaga lagi untuk menjaga gengsi ataupun harga diri. Tidak untuk malam ini.
“Nona belum beristirahat?”
Alea menggelengkan kepalanya. Ia mengangkat wajahnya pelan, pucat, mata sembab dan tubuhnya masih sedikit gemetar.
“Ya Tuhan, Nona,” bisik Rosa tercekat. Ia memeluk Alea, hati kecilnya ikut remuk tatkala melihat keadaan gadis itu, ia memang bukan siapa-siapa, hanya seorang pelayan, tetapi yang ia lihat malam ini seakan mengingatkannya pada satu hal yang jauh lebih buruk.
Alea menatap kosong dinding di hadapannya, “Aku tak bisa tidur ...,” bisiknya rapuh. “Tempat ini terlalu sunyi untukku ... tapi, kepalaku terlalu berisik.”
Rosa menatapnya iba, “Maafkan saya ... saya tak tahu jika Nona akan seperti ini,” ucap Rosa dengan suara pelan. “Andai saya tahu, saya akan datang lebih cepat.”
Alea memejamkan matanya sejenak, menahan emosi dan rasa takut yang menggunung di dalam dadanya. Tapi suaranya lirih, “Apa kau juga diperintahkan untuk mengawasiku?” tanyanya rapuh.
Rosa terdiam, detik berikutnya, ia menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, Nona. Saya di sini karena saya ... khawatir.”
Seketika mata Alea kembali berkaca, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, menahan air mata yang mulai menggantung. “Apakah dia selalu seperti itu? Damian ...,” tanyanya menggantung.
Rosa menahan nafasnya sejenak, jemarinya meremas ujung rok seragamnya. “Tuan tidak mempercayai banyak orang di dalam hidupnya. Tapi, yang saya tahu satu hal dari Tuan Damian, kalau dia membawa seseorang ke rumah ini, maka orang itu pasti akan sangat berarti untuknya. Hanya saja ... caranya terkadang menakutkan.”
Alea menatap Rosa untuk pertama kalinya, pandangannya penuh akan luka yang menyakitkan “Kalau seperti ini, lebih baik aku tidak berarti apa-apa untuknya.”
Rosa tak menjawabnya, ia hanya bisa mengusap bahu Alea—memberi kekuatan untuknya.
“Aku takut, Rosa,” bisik Alea lirih, suaranya terdengar bergetar. “Aku takut aku tak bisa bertahan.”
Rosa memejamkan matanya sejenak, menetralisir rasa sesak di dadanya, “Nona ...,”
“Damian ... dia bukan manusia. Dia ... dia seperti labirin yang menjebakku hidup-hidup,” lanjut Alea nyaris tak terdengar. “Aku merasa ... aku akan segera mati di tempat ini,” bisiknya pasrah.
Rosa menggelengkan kepalanya, menyiratkan rasa salah pada ucapan Alea. “Nona tidak sendirian. Saya ada di sini. Kalau Nona butuh teman cerita atau apa pun ... katakan kepada saya. Saya akan membantu Nona semampu saya,” jelasnya memberi secercah harapan.
Alea mengangguk perlahan, hanya sedikit, tetapi cukup bagi Rosa untuk mengetahui bahwa gadis di depannya masih bertahan—meski tinggal serpihannya saja.
Rosa mengusap bahu Alea sekali lagi, lalu berdiri dan berlalu menuju kamar mandi, mengambil semangkuk air hangat dan handuk kecil di sampingnya, “Mari, saya bantu bersihkan wajah Nona, ya?” tanyanya dengan lembut, penuh hormat. “Nona akan merasa sedikit lebih tenang,” lanjutnya lagi.
Alea tidak menjawabnya, hanya menatap dengan kosong. Tapi, ketika Rosa menyentuh pipinya dengan kain hangat, matanya kembali berkaca-kaca. “Terima kasih ...,” bisik Alea tak terdengar.
Rosa tersenyum samar, “Tak usah berterimakasih, Nona. Saya hanya ingin memastikan jika Nona tak kehilangan dirinya sendiri.”
Kamar itu kembali tenggelam dalam keheningan, Alea masih sibuk dengan pikirannya yang melayang entah kemana. Sementara Rosa mengusap wajah Alea dengan lembut, memindai wajah pucat itu dengan sayu dan iba.
“Lebih tenang, Nona?” tanyanya dengan merapikan kain dan mangkuk. Namun, saat Rosa hendak berdiri terdengar sesuatu—
“Rosa ....” Sebuah suara dalam dan berat menyebut nama itu dari balik pintu. Tubuh Rosa membeku, dan pandnagannya bertemu dengan Alea yang tak kalah terkejut.
Langkah kaki terdengar mendekat dengan perlahan.
“Jangan bilang siapa pun jika saya menemui Nona di sini,” bisik Rosa cepat, panik. Ia segera meraih nampan dan berjalan pelan ke arah pintu belakang untuk melarikan diri melalui jalur pelayan. Namu, sebelum ia berhasil menyentuh gagang pintu,
Klik.
Pintu kamar terbuka dengan perlahan.
Sosok Damian berdiri di sana, bayangan tubuhnya panjang, ditimpa cahaya redup yang membuatnya semakin menakutkan. Ia memandang Rosa dalam diam, lalu mengalihkan pandangan tajamnya pada Alea yang masih terduduk di lantai. Pandnagannya bak bilah pisau—dingin, gelap, dan tak bisa ditebak.
“Apakah aku memberikan izin kepada seseorang untuk masuk ke kamarnya malam-malam begini?” Suara Damian terdengar begitu pelan, tetapi cukup untuk membuat Rosa menundukkan kepalanya dalam, dan Alea mencengkeram sisi gaunnya dengan gemetar.
Damian melangkahkan kakinya perlahan, lalu menutup pintu di belakangnya. “Rosa ... keluar,” titahnya tegas.
Rosa buru-buru membungkuk, “Maafkan saya, Tuan,” ujarnya, lalu bergegas meninggalkan kamar dengan langkah cepat, menahan detak jantung yang semakin berdebar.
Alea memandang kepergian wanita itu dengan lunglai, lalu kembali menundukkan kepalanya. Sebuah sepatu hitam berdiri tepat di hadapannya dan berhasil membuatnya memejamkan mata. Keheningan kembali melanda keduanya—tapi tidak dengan Damian, pria itu menatap dengan tajam.
“Kau menangis?” tanyanya pada akhirnya. Satu kalimat. Tapi penuh tekanan dan misteri di dalamnya.
Alea tidak menjawabnya, tapi Damian tetap menunggunya, menatapnya dalam, lalu perlahan-lahan, ia berlutut ... sejajar dengan tubuh Alea. Gerakannya tenang dan tak terduga.
Ia menyentuh dagu Alea, mengangkat wajah gadis itu dengan dua jarinya, “Siapa yang membuatmu takut seperti ini?”
Wajah Alea memucat. Karena jawabannya ... ada di hadapannya.
“Kau tak apa?” tanya Alea kembali memastikan. Tangannya kini mulai melingkari lengan Damian, dan mengusapnya perlahan, seakan ingin menghapus sisa amarah yang masih berdiam pada tubuh pria itu.Damian menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan, seolah membuang beban yang sudah terlalu lama menghuni dadanya. “Sudah saatnya,” ucapnya dengan lirih. “Aku akan menyerahkan proses penyelidikan ini sepenuhnya pada pihak kepolisian. Jika benar Tuan Lagrand terlibat dalam pembunuhan ibuku, biarlah hukum yang akan berbicara, dan aku tak akan mengintervensi apapun.”Alea menatapnya dengan mata yang sedikit panas. “Kalau begitu … berarti ayahku mungkin saja tak bersalah?” ujarnya dengan penuh harap.Damian tak langsung menjawab. Hanya saja tatapannya yang berbicara, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepala, sekali. “Kita akan tahu kebenarannya ... dan mungkin saja ayahmu adalah korban dari konspirasi mereka di masa lalu ... karena, aku pun tak berada di tempat ketika kejadian itu tenga
Damian baru saja merebahkan kepala di atas bantal dan ingin memejamkan matanya ketika suara bip-bip dari interkom di dinding terdengar sedikit nyaring, dan berhasil memecah keheningan di dalam kamar. Ia mengerjapkan matanya pelan, sedikit terganggu dengan suara itu, lalu meraih remote kecil di atas nakas untuk menyambungkannya.“Tuan Damian,” panggil Carden dengan suara yang terdengar berat, “Anda harus ke ruang keamanan sekarang.”Alea, yang semula hampir terlelap dalam pelukannya, kini ikut membuka mata. Ia mendengar percakapan itu dengan jelas, lalu berbalik menatap pada Damian. “Apa yang terjadi?” tanyanya setengah berbisik.Damian menatapnya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. “Carden jarang memanggilku pagi-pagi begini jika tak ada berita yang tidak penting.”Alea menarik selimutnya lebih jauh, lalu duduk sambil menyibakkan rambut dari sisi wajahnya. “Kalau begitu aku akan ikut denganmu.”“Alea—” desis Damian mulai menolak.“Aku ikut,” potongnya dengan tegas, ia menatap Dami
Alea mengerjapkan matanya pelan, mencoba menahan debaran yang merambat dari jantung hingga ke seluruh tubuhnya. Damian masih memeluknya erat, masih membungkus mereka dengan satu handuk besar seperti sepasang kekasih yang enggan beranjak dari keintiman yang mereka rasakan bersama.“Kalau kau baru mulai …” gumam Alea pelan, “aku harus segera menabung energi mulai dari sekarang.”Damian tertawa kecil mendengarnya. “Tenang saja, Alea. Aku bisa menjadi pelatih sekaligus pelindung bagimu. Kau hanya perlu … menyerahkan sepenuhnya padaku.”Alea menggigit bibir bawahnya seraya tertawa pelan. “Bahaya sekali kalimat itu.”“Bahaya yang menyenangkan,” balas Damian, lalu mengecup pelan sisi pelipis Alea dan membuat badan Alea sedikit terasa hangat. Detik berikutnya, ia membawa tubuh Alea ke dalam pelukannya, lalu kembali ke dalam kamar, Damian perlahan menarik selimut sambil meraih remote kecil di sisi tempat tidur, lalu menekan tombol pada panel interkom yang terpasang di dinding.“Bawakan sarapa
“Kalau kita begini terus,” gumam Alea pelan, “aku bisa-bisa tak sanggup bangun selama seminggu.”Damian terkekeh pelan mendengar celotehan Alea. “Itu risiko yang menyenangkan.”“Risiko untuk siapa?” balas Alea malas membuka mata.“Untukmu. Aku masih bisa menggendong jika kau tak bisa jalan,” ujar Damian sambil mencium lembut bahu Alea. “Seperti tadi malam.”Alea menahan senyumnya, sementara wajahnya kembali menghangat. “Kau benar-benar tak punya rasa bersalah ya…”“Kenapa harus merasa bersalah kalau sedang mencintai seseorang dengan sepenuhnya?”Alea menoleh sedikit dan menatap Damian dari bawah. “Mencintai?”Damian menatapnya sebentar, lalu mengangguk dengan lembut. “Ya. Aku mencintaimu, Alea.”Alea terdiam, matanya membulat sedikit, tak menyangka pernyataan itu keluar begitu langsung. Tapi bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum kecil yang tulus.“Aku juga…” bisiknya. “Meski awalnya kupikir aku cuma tertarik… ternyata… perasaanku lebih dalam dari itu.”Damian mempererat peluk
Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah tirai, menyinari kamar dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara masih hangat, aroma kasur, dan jejak semalam masih terasa menyelimuti setiap inci ruangan.Alea mengerjapkan matanya perlahan. Tubuhnya terasa berat… tapi nyaman. Namun, yang membuat jantung Alea tiba-tiba berdetak lebih cepat … adalah kenyataan bahwa tubuhnya masih berada di atas Damian. Lebih tepatnya… miliknya masih menyatu dengan milik Damian.Wajah Alea langsung merona hebat. Ia refleks menggigit bibir, menahan napas dan tidak berani bergerak. Tapi perasaan penuh di dalam dirinya itu terlalu nyata untuk diabaikan—seolah tubuh mereka belum sempat benar-benar berpisah sejak semalam.“Hh…” gumamnya lirih, hampir seperti desahan tercekik oleh malu dan bingung sendiri.Ia mengangkat kepalanya pelan, menatap wajah Damian yang masih tertidur dengan tenang di bawahnya. Namun ketika tubuh Alea bergeser sedikit saja…Damian mengerang pelan dalam tidurnya. “Hmm…”Mata pria i
Malam hari di pusat kota yang mulai padat menjelang jam pulang kantor, layar videotron raksasa yang berada di persimpangan jalan tiba-tiba berubah. Tayangan berita darurat mulai diputar, dan berhasil menarik perhatian orang-orang yang tengah berlalu lalang.“Breaking News: Polisi berhasil melumpuhkan dan menangkap Leopold Lagrand dalam penggerebekan berdarah di mansion pribadinya.”Wajah Patricia muncul beberapa detik kemudian, disandingkan dengan tulisan berwarna merah yang berjudul,“BURONAN: Patricia Lagrand. Dicurigai mengetahui dan terlibat dalam sabotase sistem hukum dan upaya pembunuhan.”Patricia yang sedang berjalan cepat di antara keramaian, berhenti secara mendadak. Ia berdiri mematung, wajahnya menegang saat melihat dirinya di layar raksasa. Ia segera memperbaiki masker yang melekat di wajahnya, lalu membenamkan rambuutnya di dalam topi yang dikenakannya.“TIDAK...” desisnya pelan.Beberapa orang mulai tertarik dan melihat ke arah layar, lalu saling berbisik satu sama lai