Share

Monster Damian

Author: Anidania
last update Last Updated: 2025-06-11 15:18:28

Cahaya lilin di meja makan memancarkan bayangan redup di wajah Damian yang duduk dengan tenang, bahkan terkesan dingin. Sorot matanya gelap, tajam, dan tak terbaca sedikitpun. Tak ada senyum di wajahnya, hanya tersirat tatapan tajam nan menusuk yang menembus batas ketakutan dalam diri Alea.

Gadis itu menggenggam sendoknya erat, tapi tak juga menyentuh makanannya. Tangan kirinya secara refleks terangkat dan meraba liontin di lehernya, seolah kalung itu bisa meredam rasa takut yang merayap di dalam dadanya.

“Kenapa diam?” tanya Damian pada akhirnya. Suaranya terdengar rendah dan pelan, tapi cukup untuk membuat Alea mengangkat wajahnya.

“Aku tidak lapar,” cicit Alea dengan ragu.

Damian menatapnya lama, pandangannya tajam dan mampu membuat Alea menundukkan kepalanya lebih dalam, “Atau kau sedang menghitung kemungkinan kabur dari tempat ini?” tanya Damian dengan menohok.

Tubuh Alea sedikit tersentak, ucapannya tercekat. Matanya terpejam sejanak dengan nafas yang masih tertahan sebelum memberanikan diri untuk menatap pria di hadapannya. “Aku tidak—”

“Kau takut padaku, Alea.” Damian memotong dengan tenang. “Bukan sesuatu yang harus kau sangkal.”

Alea menundukkan kepalanya lebih dalam, bibirnya sedikit bergetar, tapi ia mencoba untuk mengendalikan suaanya. “Bagaimana bisa aku tak takut padamu?” tanyanya mengalihkan pandangan pada langit di depan sana. “kau menculikku ke mansion tanpa penjelasan sedikitpun, kau melarangku untuk berkomunikasi dengan dunia luar bahkan dengan ibuku sendiri ... kau mengikatku ... seperti aku milikmu,” jelas Alea sedikit ragu.

“Kau memang milikku.”

Kalimat itu menghantam Alea seperti palu gondam yang terasa menyesakkan. Ia nyaris tak bisa bernafas. Tubuhnya kaku, dan matanya membelalak kecil tak percaya.

Damian menyandarkan diri ke kursi, lalu menautkan jarinya di atas meja. Tatapannya lurus mengintai gadis di hadapannya, “Aku tidak pernah  berusaha jadi pria yang baik, kalau kau berharap aku bisa berubah ... kau  hanya akan kecewa.”

“Lalu kenapa kau menikahiku,” suara Alea terdengar pelan, nyaris tak terdengar.

“Kau sudah tahu jawabannya,” jelas Damian singkat. Damian menundukkan sedikit kepalanya, sorot matanya sedikit melembut, tetapi suaranya tetap terdengar tajam. “Kau terlalu penting untuk berada di bawah cengkeraman musuhku.”

Alea mencengkeram liontinnya lebih erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Kau ... kau seperti penjara yang memberi perlindungan ... tapi, penjara tetap saja penjara.”

“Tapi kau memilih bersamaku.” Damian mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya memindai wajah Alea yang terlihat begitu tegang, “Kalau aku memang monster ... kau sudah lari sejak malam pertama.”

Alea menggigit bibirinya. Ia tahu ucapan Damian benar adanya, tapi ia juga tahu, sebagian dari dirinya mulai goyah—bukan karena cinta, tapi karena kebingungan yang perlahan mengikis logikanya.

“Kalau aku menolaknya ... kau mau apa?” tanyanya pelan.

Damian memiringkan kepalanya sedikit dengan sebelah alis yang terangkat, dan untuk sesaat, senyum tipis yang dingin menghiasi wajahnya, “Kau tak bisa menolak.”

Alea menahan nafasnya, ruangan terbuka ini terasa sempit, seolah dinding-dinding ikut mendekat dan menelannya dalam ketidakpastian yang mencekam. Damian tetap menatapnya tanpa berkedip—tatapan yang dingin seperti pemburu yang baru saja menjebak mangsanya.

“Kenapa?” bisik Alea nyaris tak terdengar. “Kenapa aku tak bisa menolak?” ulangnya sekali lagi.

Damian bangkit dari kursinya, gerakannya pelan, tapi penuh kendali—seperti seorang eksekutor yang tak perlu banyak bicara untuk menakuti mangsanya. Ia berjalan mengitari meja dan menekat ke arah Alea yang masih terpaku di tempat duduknya. Nafas gadis itu tercekat tepat ketika Damian berdiri di belakangnya—terlalu dekat, dan terlalu hening.

Lalu ia menunduk, membisikkan kata-kata yang menusuk tepat di telinganya, “Karena menolakku ... berarti memilih mati.”

Alea memejamkan matanya dan memiringkan kepala dengan nafas memburu. Tangannya refleks mencengkeram sandaran kursi, namun tubuhnya beku tak mampu bergerak. Alea berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan matanya yang mulai berair. Ia ingin menolak ini semua, ingin berteriak, melawan, kabur sejauh mungkin dari pria di sampingnya. Tapi, tubuhnya menolak, logikanya lumpuh. Hanya degup jantung yang terasa begitu keras terdengar.

“Kau tak bisa menolak,” ulang Damian dengan nada lebih rendah dan tajam. “Semakin kau membenciku, semakin kau terikat denganku.”

***

Langkah Alea terhuyung ketika ia kembali ke kamarnya. Pintu tertutup dengan dentuman pelan di belakangnya, tapi suara itu seakan bergema keras di telinganya. Tubuhnya luruh ke lantai, bukan ke tempat tidur ataupun sofa, melainkan ke lantai dingin marmer yang menyambutnya tanpa belas kasihan.

Tangannya meraih liontin di lehernya—refleks yang kini tak lagi memberi rasa aman, tetapi hanya benda kecil itu yang membuatnya merasa terhubung dengan dunia luar ... dengan ibunya ... dengan siapapun selain Damian.

Nafasnya mulai tak beraturan. Dadanya terasa lebih sesak, seolah udara di dalam kamarnya menipis begitu saja. Rasa letih menjalar dari ujung kaki sampai tengkuknya, tetapi pikirannya terus berbisik,

“Karena menolakku ... berarti memilih mati.”

Kalimat itu terulang dan terulang dalam benaknya seperti jarum yang menusuk saraf paling sensitif.

Alea menutup telinga dengan kedua tangannya, “berhenti ... berhenti ...,” bisiknya dengan menggoyangkan kepala pelan. Tapi suara Damian terus menggema di dalam pikirannya, ia seolah masih ada di ruangan. Berdiri. Menatap. Dan menghancurkan.

Alea menutup matanya rapat-rapat, tetapi justru semuanya menyerbu dalam kegelapan. Ledakan emosi ... darah ... jeritan ... tangan terikat ... nafas tercekat ... dan bayangan kematian seakan berseru dalam dirinya.

Ia tersentak, tubuhnya gemetar hebat, ia memeluk lututnya sendiri dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Matanya menatap liar mencari sesuatu—apa saja—yang bisa menenangkan dirinya. Tapi yang ada hanya keheningan, sepi, dan sunyi yang menusuk.

“Aku benci semua ini,” bisiknya lirih.

Air matanya kembali menetes tanpa permisi, tanginya nyaris tanpa suara—bukan karena terlalu kuat, tapi terlalu hancur untuk bisa menangis dengan utuh. “Aku tak bisa keluar dari tempat ini. Bahkan jika aku mati pun ... aku tetap milik mereka. Milik dia.”

Alea menenggelanmkan wajahnya pada lipatan lutut, menyandarkan badannya pada ranjang di sampingnya, seolah mencari tumpuan untuk tetap bisa bertahan.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pelan terdengar dari pintu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   End

    “Kau tak apa?” tanya Alea kembali memastikan. Tangannya kini mulai melingkari lengan Damian, dan mengusapnya perlahan, seakan ingin menghapus sisa amarah yang masih berdiam pada tubuh pria itu.Damian menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan, seolah membuang beban yang sudah terlalu lama menghuni dadanya. “Sudah saatnya,” ucapnya dengan lirih. “Aku akan menyerahkan proses penyelidikan ini sepenuhnya pada pihak kepolisian. Jika benar Tuan Lagrand terlibat dalam pembunuhan ibuku, biarlah hukum yang akan berbicara, dan aku tak akan mengintervensi apapun.”Alea menatapnya dengan mata yang sedikit panas. “Kalau begitu … berarti ayahku mungkin saja tak bersalah?” ujarnya dengan penuh harap.Damian tak langsung menjawab. Hanya saja tatapannya yang berbicara, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepala, sekali. “Kita akan tahu kebenarannya ... dan mungkin saja ayahmu adalah korban dari konspirasi mereka di masa lalu ... karena, aku pun tak berada di tempat ketika kejadian itu tenga

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   Sara Alaric

    Damian baru saja merebahkan kepala di atas bantal dan ingin memejamkan matanya ketika suara bip-bip dari interkom di dinding terdengar sedikit nyaring, dan berhasil memecah keheningan di dalam kamar. Ia mengerjapkan matanya pelan, sedikit terganggu dengan suara itu, lalu meraih remote kecil di atas nakas untuk menyambungkannya.“Tuan Damian,” panggil Carden dengan suara yang terdengar berat, “Anda harus ke ruang keamanan sekarang.”Alea, yang semula hampir terlelap dalam pelukannya, kini ikut membuka mata. Ia mendengar percakapan itu dengan jelas, lalu berbalik menatap pada Damian. “Apa yang terjadi?” tanyanya setengah berbisik.Damian menatapnya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. “Carden jarang memanggilku pagi-pagi begini jika tak ada berita yang tidak penting.”Alea menarik selimutnya lebih jauh, lalu duduk sambil menyibakkan rambut dari sisi wajahnya. “Kalau begitu aku akan ikut denganmu.”“Alea—” desis Damian mulai menolak.“Aku ikut,” potongnya dengan tegas, ia menatap Dami

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   Tidur Lagi?

    Alea mengerjapkan matanya pelan, mencoba menahan debaran yang merambat dari jantung hingga ke seluruh tubuhnya. Damian masih memeluknya erat, masih membungkus mereka dengan satu handuk besar seperti sepasang kekasih yang enggan beranjak dari keintiman yang mereka rasakan bersama.“Kalau kau baru mulai …” gumam Alea pelan, “aku harus segera menabung energi mulai dari sekarang.”Damian tertawa kecil mendengarnya. “Tenang saja, Alea. Aku bisa menjadi pelatih sekaligus pelindung bagimu. Kau hanya perlu … menyerahkan sepenuhnya padaku.”Alea menggigit bibir bawahnya seraya tertawa pelan. “Bahaya sekali kalimat itu.”“Bahaya yang menyenangkan,” balas Damian, lalu mengecup pelan sisi pelipis Alea dan membuat badan Alea sedikit terasa hangat. Detik berikutnya, ia membawa tubuh Alea ke dalam pelukannya, lalu kembali ke dalam kamar, Damian perlahan menarik selimut sambil meraih remote kecil di sisi tempat tidur, lalu menekan tombol pada panel interkom yang terpasang di dinding.“Bawakan sarapa

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   Mandi Bersama

    “Kalau kita begini terus,” gumam Alea pelan, “aku bisa-bisa tak sanggup bangun selama seminggu.”Damian terkekeh pelan mendengar celotehan Alea. “Itu risiko yang menyenangkan.”“Risiko untuk siapa?” balas Alea malas membuka mata.“Untukmu. Aku masih bisa menggendong jika kau tak bisa jalan,” ujar Damian sambil mencium lembut bahu Alea. “Seperti tadi malam.”Alea menahan senyumnya, sementara wajahnya kembali menghangat. “Kau benar-benar tak punya rasa bersalah ya…”“Kenapa harus merasa bersalah kalau sedang mencintai seseorang dengan sepenuhnya?”Alea menoleh sedikit dan menatap Damian dari bawah. “Mencintai?”Damian menatapnya sebentar, lalu mengangguk dengan lembut. “Ya. Aku mencintaimu, Alea.”Alea terdiam, matanya membulat sedikit, tak menyangka pernyataan itu keluar begitu langsung. Tapi bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum kecil yang tulus.“Aku juga…” bisiknya. “Meski awalnya kupikir aku cuma tertarik… ternyata… perasaanku lebih dalam dari itu.”Damian mempererat peluk

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   Pagi yang Indah

    Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah tirai, menyinari kamar dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara masih hangat, aroma kasur, dan jejak semalam masih terasa menyelimuti setiap inci ruangan.Alea mengerjapkan matanya perlahan. Tubuhnya terasa berat… tapi nyaman. Namun, yang membuat jantung Alea tiba-tiba berdetak lebih cepat … adalah kenyataan bahwa tubuhnya masih berada di atas Damian. Lebih tepatnya… miliknya masih menyatu dengan milik Damian.Wajah Alea langsung merona hebat. Ia refleks menggigit bibir, menahan napas dan tidak berani bergerak. Tapi perasaan penuh di dalam dirinya itu terlalu nyata untuk diabaikan—seolah tubuh mereka belum sempat benar-benar berpisah sejak semalam.“Hh…” gumamnya lirih, hampir seperti desahan tercekik oleh malu dan bingung sendiri.Ia mengangkat kepalanya pelan, menatap wajah Damian yang masih tertidur dengan tenang di bawahnya. Namun ketika tubuh Alea bergeser sedikit saja…Damian mengerang pelan dalam tidurnya. “Hmm…”Mata pria i

  • Pernikahan Paksa Sang Mafia   Bayangan Patricia

    Malam hari di pusat kota yang mulai padat menjelang jam pulang kantor, layar videotron raksasa yang berada di persimpangan jalan tiba-tiba berubah. Tayangan berita darurat mulai diputar, dan berhasil menarik perhatian orang-orang yang tengah berlalu lalang.“Breaking News: Polisi berhasil melumpuhkan dan menangkap Leopold Lagrand dalam penggerebekan berdarah di mansion pribadinya.”Wajah Patricia muncul beberapa detik kemudian, disandingkan dengan tulisan berwarna merah yang berjudul,“BURONAN: Patricia Lagrand. Dicurigai mengetahui dan terlibat dalam sabotase sistem hukum dan upaya pembunuhan.”Patricia yang sedang berjalan cepat di antara keramaian, berhenti secara mendadak. Ia berdiri mematung, wajahnya menegang saat melihat dirinya di layar raksasa. Ia segera memperbaiki masker yang melekat di wajahnya, lalu membenamkan rambuutnya di dalam topi yang dikenakannya.“TIDAK...” desisnya pelan.Beberapa orang mulai tertarik dan melihat ke arah layar, lalu saling berbisik satu sama lai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status