"Ayahmu yang sudah mengurus semuanya," jawab Damian tenang. “Dan sekarang dia ... menghilang begitu saja.”
Alea limbung. Dunia terasa berputar begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan dengan benar. Alea terpaku, matanya terbelalak membaca nama dan tanda tangan yang tertera di dokumen di tangannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya pelan, seakan tak mampu mengeluarkan suara.
Dada Alea naik turun, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Ayahku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini padaku?" ucapnya dengan nada yang hampir pecah.
Damian tak menjawabnya. Ia menoleh ke penjaga yang berdiri tak jauh darinya. "Bawa dia ke kamar. Kunci dengan pengaman khusus dan jangan beri akses komunikasi apapun. Lusa kita terbang ke Nerezza."
"Nerezza?" tanya Alea tak sadar. “Kota yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dengan vila mewah yang terkenal menjadi markas rahasia?” lanjutnya dengan rasa ingin tahu.
"Untuk bulan madu," bisiknya datar seolah menjawab pertanyaan Alea. “Atau ... eksekusi terakhir. Tergantung kau memilih jadi istri ... atau musuh.”
Alea mundur selangkah. “Aku tidak akan ikut denganmu.”
Damian tertawa pelan. “Sayang sekali, pengawal di luar tidak akan mengizinkanmu keluar sendirian.”
Alea menatap Damian dengan mata berkaca-kaca, rasa takut dan marah bercampur menjadi satu. "Aku tidak akan menjadi boneka seorang mafia!" Alea berteriak keras, suaranya menggema di aula megah itu. "Aku tidak akan pernah menjadi bagian dari rencanamu!" teriaknya lagi, suaranya tercekat oleh emosi.
Damian menghentikan langkahnya. Matanya berkilat, tapi tetap dingin. "Boneka? Kau pikir aku menginginkan pernikahan ini juga? Kau pikir aku menikmati situasi ini? Kau pikir aku ingin menyeretmu ke dalam hidupku yang penuh dengan bahaya ini?" suaranya rendah, hampir berbisik, namun setiap kata terpotong tajam di udara yang dingin. “Kalo aku bisa memilih … aku lebih memilih untuk melindungimu dari jauh dan memastikan kesemalatnmu selalu aman daripada harus membawamu ke dalam lingkaran mafia yang membahayakan nyawamu ini,” lanjutnya dalam hati.
Alea mendekat, wajahnya semakin memerah, napasnya kian memburu. "Lalu kenapa kamu setuju? Karena uang? Kekuasaan? Atau ... sekadar permainan untuk memenuhi nafsu gilamu itu?"
Damian menyipitkan matanya dan mengelus rambut Alea pelan, "Karena aku butuh kehadiran kamu di hidupku. Setidaknya untuk sekarang dan beberapa waktu ke depan," ujarnya dengan begitu tulus.
Alea mengangkat tangannya menepis tangan Damian, “Jangan pegang apapun dari tubuhku!” ujarnya dengan mengusap rambutnya seolah takut kotor. “Kalau begitu bunuh aku saja sekarang. Daripada kau seret aku ke dalam sandiwara pernikahan yang penuh kebohongan ini,” ujarnya tak gentar.
Tiba-tiba, Damian mendekat dengan cepat. Terlalu cepat sampai Alea harus mundur setapak, tapi ia sudah terpojok di dinding yang terasa dingin. Damian menatapnya dari jarak yang sangat dekat. Nafasnya begitu teratur, sementara wajahnya tak menunjukkan rasa takut sedikitpun, juga tak menyiratkan rasa belas kasihan di dalamnya.
“Kamu bukan boneka, Alea. ... tapi kau adalah pion.” Suaranya pelan tapi mengancam. “Dan dalam permainan ini, pion bisa naik jadi ratu … atau mati di langkah kedua,” bisiknya dengan hidung yang bersentuhan sebelum ia kembali memundurkan wajahnya.
Alea mendongakkan kepalanya dan menatap penuh dengan keberanian. “Lalu kamu siapa? Raja? Atau pecundang yang takut menghadapi masa lalu sehingga harus mengorbankan hidup orang lain?” ujarnya dengan nyalang.
Tatapan Damian menggelap untuk sesaat. Namun alih-alih marah, ia ... tersenyum. Tipis. Bahkan tak terlihat jika tak memperhatikan dengan jelas. Bahaya.
“Kamu punya nyali juga ternyata,” gumamnya singkat. “Itu perumpamaan yang buruk untukku ... tapi terdengar sangat menarik jika diucapkan oleh gadis cantik nan pemberani seperti kau, Alea Moreau,” ujarnya menganggukan kepala.
“Omong kosong!”
Alea menepis bahu Damian dengan kasar dan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan para mafia di sana, menolak dikawal olehnya. Salah satu penjaga mencoba untuk menahan lengannya, dan tanpa pikir panjang Alea menyikut perutnya dengan kuat. Sementara lelaki itu hanya bisa meringis.
"Sentuh aku sekali lagi jika kamu mau, dan aku pastikan jari-jari kalian tidak lengkap saat fajar tiba," tudingnya tegas.
Damian terkekeh pelan mendengar pemberontakan dari wanitanya itu. "Bawa dia ke kamarnya. Jangan dipaksa. Dia sedang membangun reputasinya sendiri untuk terlihat kuat.”
“Baik, Tuan,” ujar penjaga dengan sopan, “Mari, Nona,” ujarnya membuat Alea menoleh dan mengikuti.
Ketika Alea berjalan melewati Damian, ia menoleh sekilas. “Kau pikir aku takut padamu? HAH?!”
Damian menjawab dengan tenang, tapi mata itu menyimpan rahasia yang lebih dalam dari sekedar dalamnya lautan lepas. “Tidak, Alea,” jawabnya tersenyum. “Tapi nanti ... kamu akan takut pada apa yang aku lindungi darimu dan hidupmu,” tambahnya lagi.
Penjaga telah menuntun Alea ke arah pintu, namun sebelum sepenuhnya keluar, Alea berbalik dan menatap Damian sekali lagi. Air matanya mulai mengalir deras, tapi tatapannya keras, penuh tekad. "Aku akan melawanmu, Damian. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku sejengkalpun," ucapnya dengan suara yang gemetar.
Damian hanya mengangguk perlahan, seolah menerima tantangan itu. "Kita akan lihat, Alea," jawabnya sebelum memalingkan wajah, menutupi apa pun perasaan yang mungkin ada di balik ekspresi datarnya itu.
Penjaga menutup pintu dengan sedikit keras, meninggalkan gema suara Alea yang terakhir terdengar di koridor yang sunyi. Damian berdiri sejenak memandang pintu di depannya, menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya pergi, meninggalkan aula yang kini hanya berisikan bisikan-bisikan tak terdengar dari bayang-bayang.
Kamar milik Alea terlalu mewah untuk disebut sebagai penjara. Langit-langit menjulang tinggi, jendela kaca terpatri indah, tempat tidur berkanopi dari kayu ek tua. Tapi bagi Alea, itu semua tetap sebuah sangkar. Tak peduli emas atau berlian, kurungan tetaplah kurungan.
Ia mendekati jendela dan membuka tirai dengan pelan. Tertutup rapat. Kaca tebal. Bahkan sinyal ponselnya mati total sejak tadi. Ia sudah mencoba mengetuk, bahkan menggedor pintu, tapi hanya suara hening yang menjawab.
"Aku harus keluar dari sini," gumamnya lirih.
Kemudian terdengar ketukan pelan dari pintu kamarnya. Seorang perempuan paruh baya masuk, dengan mengenakan seragam pelayan dengan membawa nampan berisi aneka makanan di atasnya. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya begitu hati-hati. "Nona Alea, saya Rosa. Saya ditugaskan untuk merawat Anda selama berada di sini."
"Aku nggak butuh pelayan," sahut Alea datar.
Rosa tersenyum samar setelah menyimpan makanan itu di atas meja dekat ranjang. “Saya paham kalau Anda marah dengan perlakuan Tuan Damian. Tapi percayalah, tempat ini lebih aman untuk Anda daripada dunia luar untuk saat ini.”
Alea menatapnya tajam. “Kamu juga bagian dari organisasi kriminal itu, kan?” tudingnya lagi.
Rosa tak menjawabnya secara langsung, ia hanya berkata dengan pelan sembari menggelengkan kepala, “Tuan Damian sudah menyelamatkan anak saya dari perdagangan manusia beberapa tahun yang lalu. Dia memang bukan pria baik, tapi dia juga bukan seorang monster yang menakutkan …. jadi, saran saya, Anda jangan terlalu keras untuk melawan Tuan Damian, ia pasti sudah memperhitungkan dengan matang keputusan yang ia ambil untuk hidup Anda.”
Alea hanya bisa terpaku, matanya terkunci pada wajah wanita di hadapannya. Kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir wanita itu masih bergema di telinganya, menusuk lebih dalam dari yang ia sangka. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya, tetapi ia menelan rasa sakit itu. Alea menggigit bibirnya pelan, berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan wanita yang jelas-jelas telah menyakitinya. Namun, sekuat apa pun Alea berusaha, dia tidak bisa membantah atau mengelak dari kenyataan pahit yang telah diucapkan dengan begitu lancang. Dalam diam, Alea merasa dirinya semakin kecil, kehilangan kata-kata untuk membela diri.
Rosa menatap Alea dengan tulus layaknya seorang ibu, “Nona Alea … apapun yang dilakukan Tuan Damian kepada Anda, itu demi keselamatan nyawa Anda sendiri. Tuan Damian selalu memiliki cara untuk melindungi orang-orang yang berharga baginya,” pesannya dengan suara yang lembut. “Makanan ini, juga Tuan Damian sendiri yang memilihkan dan memastikan tak akan mengganggu kesehatan Anda,” pungkasnya sebelum menutup pintu dan menguncinya.
Malam itu turun dengan begitu cepat, membungkus langit dengan kegelapan yang semakin pekat. Di dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya lampu yang sedikt redup, Alea duduk termenung. Gadis itu mengenakan gaun putih sederhana yang ditemukannya di kamar mandi, gaun yang meskipun sederhana terlihat terlalu mahal untuk seorang mahasiswi seperti dia. Saat lamunan Alea semakin dalam, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan suara yang cukup keras. Damian, tuan rumah tempat dia menumpang, masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Kamu tidak tahu sopan santun, ya?” hardik Alea dengan nada tinggi, terkejut dan sedikit kesal karena Damian tidak mengetuk pintu sebelum masuk.
Damian mendongak, rahangnya kembali mengeras. “Kita sudah menunda perjalanan ini selama beberapa waktu karena tingkah bodoh kamu—yang dengan sengaja mencari penyakitmu sendiri.”“Bodoh?” Mata Alea semakin membelalak. “Aku cuma ingin tahu kenapa ada file tentang keluargaku di ruang pribadimu, kenapa semua data pribadiku bisa dikumpulkan dengan mudah sebelum aku dipaksa menikah. Itu bukan hal yang bodoh, itu namanya mencari kebenaran!” bentaknya dengan keras.Damian kembali mendekatinya. Suaranya tetap rendah tapi mengancam. “Kamu sudah masuk ke sistemku tanpa izin, lalu memicu sistem alarm di mansion bawah tanah ini berbunyi, dan membuat salah satu anak buahku tertembak karena sedikit panik mendengar alarm tersebut. Itu bukan mencari kebenaran, itu cari mati namanya, Alea!” ujarnya menekan kata ‘mati’.Alea menggigit bibirnya tak kuasa, matanya memerah, tapi dia tak mau menangis berulang kali di hadapan pria itu. “Kamu bisa saja bilang semua ini tentang misi … tentang perlindungan … ta
Badan Alea kembali menegang. Ia belum pernah mengetahui pekerjaan ayahnya kecuali ia sering melihat sang ayah sering bepergian dengan dalih urusan yang penting dan mengajar di sebuah universitas yang berada di kota sebelah.“Ayahku tidak mungkin… Dia seorang dosen filsafat,” ujarnya hampir tanpa suara.“Dosen filsafat yang pernah hidup selama tiga tahun tanpa identitas resmi di Ravessia, pada tahun 2004,” Damian membalas dengan nada yang tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang hilang di tahun itu karena kebocoran nama agen? Tujuh belas orang,” jelas Damian tanpa sungkan. “Ya ... tujuh belas orang yang berhasil dibunuh oleh ayahmu,” ulang Damian dengan menganggukan kepalanya.Alea merasa perutnya mual mendengar kata ‘pembunuhan’ dan membayangkan bagaimana mencekamnya suasana pada hari itu. Tapi ia bukan tipe gadis yang mudah percaya pada pria berjas mahal dan sejuta misteri di hadapannya itu. “Dan kenapa kau harus menikahiku? Kalau memang kau membenci ayahku? Bukankah lebih baik kau
Damian, dengan langkah mantap berjalan masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. “Ini rumahku. Kamar ini juga milikku. Kamu yang menumpang kalau kamu lupa,” sahutnya dengan suara datar namun tegas, menatap Alea dengan tatapan yang tidak terbaca.Dalam suaranya terkandung otoritas dan sedikit ketidakpedulian, membuat Alea merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan pemilik rumah tersebut. Alea berdiri dengan begitu berani. “Kalau begitu usir aku sekarang!”Damian menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Jika aku membiarkanmu pergi, mereka akan menculikmu malam ini juga. Musuh ayahmu tidak buta dengan keberadaanmu di tempat ini. Dan aku … belum mengizinkanmu untuk mati.”“Lalu, kamu menyiksaku di sini! apa bedanya kau dengan musuh ayahku? kalian sama-sama pembunuh!” bentak Alea dengan menudingkan jarinya.“Kapan aku menyiksa ISTERIKU sendiri? Aku menyiapkan tempat tinggal untukmu, aku juga memberimu perlindungan, bahkan aku tak sedikitpun melukai tubuhmu, darimana aku menyiksamu?” tanyany
"Ayahmu yang sudah mengurus semuanya," jawab Damian tenang. “Dan sekarang dia ... menghilang begitu saja.”Alea limbung. Dunia terasa berputar begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan dengan benar. Alea terpaku, matanya terbelalak membaca nama dan tanda tangan yang tertera di dokumen di tangannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya pelan, seakan tak mampu mengeluarkan suara. Dada Alea naik turun, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Ayahku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini padaku?" ucapnya dengan nada yang hampir pecah.Damian tak menjawabnya. Ia menoleh ke penjaga yang berdiri tak jauh darinya. "Bawa dia ke kamar. Kunci dengan pengaman khusus dan jangan beri akses komunikasi apapun. Lusa kita terbang ke Nerezza.""Nerezza?" tanya Alea tak sadar. “Kota yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dengan vila mewah yang terkenal menjadi markas rahasia?” lanjutnya dengan rasa ingin tahu."Untuk bulan madu," bisiknya datar seolah menjawab pertanyaan Alea. “Atau ... eksekusi terakhir. Terg
Alea Moreau tidak pernah menyangka bahwa sore ini akan menjadi hari terakhirnya ia bisa merasakan kebebasan menikmati hidupnya sebagai seorang mahasiswa biasa. Kampus di hari ini terasa begitu sepi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang ramai dengan aktivitas mahasiswa yang tak ada hentinya. Suara sepatu hak rendahnya bergema lembut di koridor jurusan kedokteran. Ia baru saja selesai ujian praktek, dan satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya hanyalah: tidur semalaman. Bukan tentang pernikahan paksa. Apalagi tentang mafia."Miss Alea Moreau?"Langkah Alea terhenti dengan seketika. Seorang pria bersetelan hitam panjang berdiri di depan pintu ruang dosen, membawa amplop putih dengan segel emas yang tampak asing dan—anehnya—terkesan mengancam."Iya, saya." Ia melangkah dengan ragu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk paham. "Saya diutus untuk mengantarkan surat ini. Tolong dibuka dan dibaca sekarang juga," ujarnya menyodorkan surat itu kepada Alea.Ale