"Pernikahan ini terjadi karena ulah ayahmu," jawab Damian tenang. “Dan sekarang, dia ... menghilang begitu saja.”
Badan Alea limbung. Dunia terasa berputar begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan dengan benar. Dirinya terpaku, matanya terbelalak membaca nama dan tanda tangan yang tertera di dokumen di tangannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya pelan, seakan tak mampu mengeluarkan suara. Dada Alea naik turun, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Ayahku? Bagaimana bisa?" ucapnya dengan nada yang hampir pecah.
Damian tak menjawabnya. Ia menoleh ke penjaga. "Bawa dia ke kamar. Jangan beri akses komunikasi apapun. Lusa kita terbang ke Nerezza."
"Nerezza?" tanya Alea tak sadar.
"Kau tidak perlu tahu," jawabnya datar.
Alea mundur selangkah. “Aku tidak akan ikut denganmu,” ujarnya lirih disertai rasa takut yang mendalam.
Damian tertawa pelan. “Dan kau tidak berhak memilih.”
Alea menatap Damian dengan mata berkaca-kaca, rasa takut dan marah bercampur menjadi satu. "Aku tidak akan pernah menjadi bagian dari rencanamu," katanya lagi, suaranya tercekat.
Damian menghentikan langkahnya. Matanya berkilat, tapi tetap dingin. Tak mengeluarkan kalimat apapun. Membuat Alea menciut. Ia menyipitkan matanya dan mengelus rambut Alea pelan. "Tidak perlu banyak membantah, setidaknya kau tidak akan mati di sini.”
Alea mengangkat tangannya menepis tangan Damian dari kepalanya. “Jangan pegang apapun dari tubuhku,” ujarnya.
Damian menatapnya dari jarak yang sangat dekat. Napasnya begitu teratur, sementara wajahnya tak menunjukkan rasa takut sedikitpun, juga tak menyiratkan rasa belas kasihan di dalamnya. “Alea …” Suaranya pelan tapi mengancam. “Kau sudah masuk ke wilayahku, jadi jaga ucapanmu,” bisiknya tajam sebelum ia kembali memundurkan wajahnya.
“Bawa dia masuk.” Damian berkata pada penjaga. Alea menepis tangan penjaga yang akan menyentuhnya dengan kasar menolak dikawal.
"Jangan sentuh aku!" tudingnya kesal.
Penjaga telah menuntun Alea ke arah pintu, namun sebelum sepenuhnya keluar, Alea berbalik dan menatap Damian sekali lagi. Air matanya mulai mengalir deras. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku," ucapnya dengan suara yang gemetar.
Damian hanya mengangguk perlahan, seolah menerima tantangan itu. "Kita akan lihat, Alea," jawabnya singkat, menutupi apa pun perasaan yang mungkin ada di balik ekspresi datarnya itu.
Penjaga menutup pintu dengan sedikit keras, meninggalkan gema suara Alea yang terakhir terdengar di koridor yang sunyi. Damian berdiri sejenak memandang pintu di depannya, menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya pergi, meninggalkan aula yang kini hanya berisikan bisikan-bisikan tak terdengar dari bayang-bayang.
Kamar milik Alea terlalu mewah untuk disebut sebagai penjara. Langit-langit menjulang tinggi, jendela kaca terpatri indah, tempat tidur berkanopi dari kayu ek tua. Tapi bagi Alea, itu semua tetap sebuah sangkar. Tak peduli emas atau berlian, kurungan tetaplah kurungan.
"Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?" gumamnya lirih.
Kemudian terdengar ketukan pelan dari pintu kamarnya. Seorang perempuan paruh baya masuk, dengan mengenakan seragam pelayan dengan membawa nampan berisi aneka makanan di atasnya. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya begitu hati-hati. "Nona Alea, saya Rosa. Saya ditugaskan untuk merawat Anda selama berada di sini."
"Aku tidak butuh pelayan," sahut Alea pelan.
Rosa tersenyum samar setelah menyimpan makanan itu di atas meja dekat ranjang. “Saya paham kalau Anda marah dengan perlakuan Tuan Damian. Tapi percayalah, tempat ini lebih aman untuk Anda daripada dunia luar untuk saat ini.”
Alea menatapnya lirih. Rosa berkata dengan pelan sembari tersenyum kecil. “Tuan Damian sudah menyelamatkan anak saya dari perdagangan manusia beberapa waktu yang lalu. Dia memang bukan pria baik, tapi dia juga bukan seorang monster yang menakutkan …. jadi, saran saya, Anda jangan terlalu keras untuk melawan Tuan Damian, ia pasti sudah memperhitungkan dengan matang keputusan yang ia ambil untuk hidup Anda.”
Alea hanya bisa terpaku, matanya terkunci pada wajah wanita di hadapannya. Kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir wanita itu masih bergema di telinganya, menusuk lebih dalam dari yang ia sangka. Dalam diam, Alea merasa dirinya semakin kecil, kehilangan kata-kata untuk membela diri.
Rosa menatap Alea dengan tulus layaknya seorang ibu, “Nona Alea … Tuan Damian selalu memiliki cara untuk melindungi orang-orang yang berharga baginya,” pesannya dengan suara yang lembut.
Malam itu turun dengan begitu cepat, membungkus langit dengan kegelapan yang semakin pekat. Di dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya lampu yang sedikit redup, Alea duduk termenung. Gadis itu mengenakan gaun putih sederhana yang ditemukannya di kamar mandi, gaun yang meskipun sederhana terlihat terlalu mahal untuk seorang mahasiswi seperti dia. Saat lamunan Alea semakin dalam, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan suara yang cukup keras. Damian, tuan rumah tempat dia menumpang, masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Hal itu mengundang reaksi cepat Alea yang langsung berdiri tegak. “Ada apa?”
Alea menarik tangan Damian dengan sedikit keras, setelah menyantap hidangan di meja makan, ia tak lagi bisa bersabar untuk melanjutkan karyanya yang sudah ia persiapkan seminggu yang lalu."Alea, hati-hati," ujar Damian memperingati. Ia sedikit menahan badannya agar tak terhuyung ke depan dan menghimpit badan Alea."Aku sudah tidak sabar," jawab Alea. "Kau bisa tidak berjalan sedikit lebih cepat?" tanyanya lagi dengan menoleh ke belakang.Damian hanya menghela napasnya panjang, lalu pria itu menarik tubuhnya dan membuat Alea sedikit tertahan. dan dengan gerakan yang cepat, tangannya yang semula berada di genggaman Alea, kini sudah berada di bahu Alea dan menahan laju gadis itu dengan cepat."Lebih baik begini," ujarnya memperlambat langkahnya.Alea mengerucutkan bibirnya, tetapi ia tak berani membantah lagi, dan ketika pintu ruangan sudah mulai tampak di pelupuk matanya, Alea menyunggingkan senyum manis, bayangannya sudah mencerna bagaimana serunya menyusun bunga itu satu per satu.Da
“Ayahmu sendiri yang memilih jalan ini, Alea,” kata Damian dengan tegas. “Dan jika dia menganggap keselamatanmu penting baginya, ia sudah muncul sejak pertama kali kau dibawa ke tempat ini. Tetapi sekarang? Ia hanya bisa melindungimu dari jauh.”Carden yang tengah terfokus pafa komputer di hadapannya, kini melirik Damian sekilas, “Tuan. Parimeter sebelah selatam dan timur sudah aman dari gangguan. Tapi, saya menyarankan untuk melakukan patroli lebih lanjut di malam ini, terutama di akses menuju runag bawah tanah,” ujarnya dengan tegas.“Lakukan itu,” sahut Damian.“Baik, Tuan,” jawab Carden meninggalkan ruangan itu beserta para pengawal lainnya.Sementara Alea yang masih menundukkan kepalanya, kini tak berani menatap Damian sedikitpun. Gadis itu terlalu takut untuk sekedar bertanya pada Damian tentang apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya.“Ayo kita ke kamar,” ujarnya pada Alea.Alea mendongak, lalu menganggukan kepalanya. “Baiklah,” ujarnya mengikuti langkah Damian dengan lemah.
“Dalam perjalanan kembali ke mansion, dan akan segera melakukan evaluasi sistem. Sementara Rosa sudah berada di tempat aman.”Ia segera mengetikan balasan dengan begitu cepat dan mengirimkannya kepada Damian. Begitu lift terhenti, dan pintu terbuka, terdapat dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu dan segera bersiap mengawal Carden. Ia menganggukkan kepalanya pada mereka, lalu mereka bergegas menuju mobil lapis baja dan membuka pintu belakang untuk Carden. Kendaraan tersebut melaju dengan kencang meninggalkan rumah sakit St. Zamoora dan kembali menembus jalanan kota di malam hari untuk mencapai mansion.Tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu sampai di depan pintu gerbang mansion yang kini di jaga oleh pengawal berseragam lengkap. Carden membuka kaca jendela dan menganggukkan kepalanya kepada mereka sebelum kembali menembus jalanan mansion menuju pintu utama.“Berhenti di sini,” ujarnya pada pengawal dibalik kemudi.Ia segera membuka pintu dan meloncat dengan cepat, lalu sed
Ambulans berhenti tepat di area parkir khusus milik keluarga Zamoora. Gedung ini tak terlihat seperti rumah sakit pada umumnya, melainkan lebih menyerupai villa dengan tulisan di atas gerbangnya St. Zamoora Private Medical tanpa keterangan lain yang menjelaskan lebih lanjut. Pintu belakang ambulans segera dibuka oleh seorang perawat yang bergegas menghampiri ambulans lengkap dengan mengenakan APD khusus dan kartu identitas yang terletak i sebelah kiri APD mereka, sementara wajahnya tertutup oleh masker medis.Carden turun terlebih dahulu, lalu membantu mengeluarkan Rosa bersama dengan Dokter Clara dan beberapa perawat lain yang sigap membantu.“Pasien dengan kode ‘Vespeer’ sudah berada di tempat,” ujar Dokter Clara memberi kode dengan menatap mereka sekilas yang dihadiahi anggukan sebagai jawaban.Petugas tersebut segera mengecek tablet di tangannya dan mencocokkan sekilas, lalu menggesekan kartu yang dibawanya ke pintu elektronik yang mengarah pada lantai steril khusus untuk perawata
“Jangan pikirkan apapun tentang ayahmu, lagi,” bisik Damian mengusap kepala Alea dengan lembut. “Aku tahu jika kau amat terluka mendengar kejadian ini. Tapi, kau tidak berdiri sendirian menghadapi ini semua.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Damian ...,” bisiknya lirih dengan mengeratkan pelukannya. “Aku takut.”Damian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Alea menggunakan kedua tangannya, “Takut kepada siapa hm?”Alea menatap Damian, lalu menggelengkan kepalanya. “Semuanya ... ayahku, orang-orang itu ... masa depanku ...,” ujarnya menghela napas panjang. “Aku bahkan tidak tahu harus mempercayai siapa lagi selain kau dan Rosa.”Damian membalas tatapan itu dalam, “Kau tak perlu mempercayai siapapun lagi. Kau cukup percaya dengan dirimu dan apa yang ingin kau lakukan. Jika kau masih belum sepenuhnya percaya ... kau bisa mempercayaiku.”Alea menelan ludahnya susah payah, “Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?”“Tidak akan ada yang terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri,” pun
Bayangan demi bayangan masa kecil Alea kembali terbesit di dalam benaknya. Ia kembali mengingat bagaimana sang ayah selalu menjaganya di setiap kesempatan sebelum akhirnya ia menghilang begitu saja dengan alasan menjadi seorang dosen di kota lain“Aku takut, Damian,” guman Alea nyaris tak terdengar. “Takut jika semuanya berakhir tanpa penjelasan apapun. Aku juga takut kehilanganmu di tengah perang yang bahkan tak kupahami apa alasan dibaliknya.”Damian mengangkat tangannya dan mengusap pipi Alea dengan lembut, menyeka satu tetes air mata yang meluncur dari mata indah milik Alea. “Aku bukanlah laki-laki yang mudah percaya dengan orang lain, Alea. Tapi, entah kenapa ketika aku melihatmu tetap berada di sisiku, aku seakan bisa menggenggam dunia dan bisa bertahan di atasnya.”Alea tersenyum mendengarnya, meskipun pandangan di matanya sedikit berkabut, “Kau selalu tahu harus mengatakan apa padaku.”Damian menarik kursi di belakangnya dan mendudukan dirinya, lalu kedua tangannya menggenggam