Damian, dengan langkah mantap berjalan masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. “Kau tidak perlu terkejut,” sahutnya dengan suara datar, menatap Alea dengan tatapan yang tidak terbaca.
Dalam suaranya terkandung otoritas dan sedikit ketidakpedulian, membuat Alea merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan pemilik rumah tersebut. Alea mendekat perlahan. “Tolong lepaskan aku ….”
Damian menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Jika aku membiarkanmu pergi, mereka akan menculikmu malam ini juga. Musuh ayahmu tidak buta dengan keberadaanmu.”
Detik berikutnya, Damian melemparkan sebuah map berisi foto-fotonya ke meja di depannya yang berhasil membuat Alea terkejut melihatnya. Sambil menggenggam map itu, jari-jarinya gemetar saat dia perlahan membukanya. Mata Alea melebar ketika melihat foto-foto dirinya yang diambil secara diam-diam dari jarak jauh. Beberapa di antaranya bahkan diambil dari jendela kamar kosnya dan di kampus bersama teman-temannya, menunjukkan betapa rahasianya dia diawasi.
Catatan waktu dan rute pulangnya juga tercatat rapi di sana, menambah rasa horor yang melingkupi pikirannya. Namun, yang paling mengguncang adalah foto seorang pria asing, yang ia ingat pernah menabraknya di jalanan dua minggu lalu. Wajah pria itu suram dan penuh teka-teki.
Alea menelan ludahnya kasar, seraya menunjuk pada foto pria tersebut, "Siapa mereka?" suaranya terdengar serak, dipenuhi rasa ketakutan.
Damian menarik napas dalam, matanya menatap Alea dengan serius. "Orang yang mencari ayahmu," jawabnya singkat. Jeda sesaat, sebelum kembali melanjutkan, "Dan sekarang… mereka sedang mengincarmu."
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Alea. Tubuhnya terasa lemas dan dia terduduk pasrah di kursi, pikirannya berkecamuk mencoba memproses semua informasi itu dengan baik.
“Masih mau pergi dari tempat ini?” tanya Damian dengan suara rendah.
Alea menatap Damian dengan air mata yang sudah berderai. “Damian, ak—aku,” ujarnya memegang sebuah foto di tangannya.
Damian menghela napasnya. “Kau aman berada di tempat ini,” ujar Damian singkat.
“Damian … kau—aku … aku—,” ujar Alea membekap mulutnya tak mampu melanjutkan ucapannya. Alea menangis, menumpahkan rasa takut dan lega di saat bersamaan mengingat bagaimana hidupnya selama ini diawasi oleh bayang-bayang kematian yang bisa terjadi kapan saja. Ia tak menyangka jika hidup yang dianggap normal ini menyimpan banyak rahasia menyeramkan di dalamnya.
“Jika kau ingin rasa aman, maka tidak perlu banyak bertanya.” Tanpa menunggu respons, Damian segera melangkah keluar, meninggalkan Alea yang terpaku di tempatnya. Tepat ketika pintu tertutup, sebuah isak tangis pelan kembali terdengar memecah keheningan ruangan tersebut. Alea menyandarkan tubuhnya pada dinding terdekat, menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengerti apa yang telah hilang dalam sekejap itu.
***
Sudah satu hari Alea terkurung di mansion itu tanpa bisaberkomunikasi degan dunia luar. Ia bukan tahanan dalam arti kasar—tak ada borgol, tak ada kekerasan fisik—tapi juga tidak bebas. Setiap langkahnya diawasi oleh kamera tersembunyi, setiap pelayannya berbicara terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah takut membuatnya marah. Tapi Alea tahu itu bukan rasa hormat … itu ketakutan.
Ketakutan akan Damian Alaric.
Dan yang lebih mengganggunya, ia mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya lelaki itu? Apa yang membuat seseorang jadi begitu ditakuti… bahkan bisa membuat pemerintah meresmikan pernikahannya secara sepihak?
Malam harinya, Rosa datang lebih awal dengan membawa nampan berisi teh herbal. “Untuk menenangkan pikiran,” katanya dengan lembut.
Alea menyambutnya dengan senyum tipis, tanpa ingin menjawab sedikitpun. Ia masih mencerna apa yang sedang terjadi pada dirinya. Hatinya merasa tak nyaman berada di tempat ini terus menerus, seakan bayangan kematian menghantuinya kapan saja.
Malam berlalu begitu cepat tanpa bisa membuatnya terlelap, ia berguling ke sisi ranjang seolah mencari kenyamanan di sana, kemudian beranjak dan duduk di sofa, tetapi semua itu tak bisa membuat hatinya tenang. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan untuk keluar kamar, menelusuri satu per satu lorong mansion, sebelum kemudian ... ia menemukan sebuah pintu yang berbeda, dengan sedikit rasa takut, ia membuka pintu dengan perlahan. Gelap. Hanya tercium bau kulit tua dan parfum maskulin yang menyambutnya.
Ia menyalakan lampu kecil yang berada tak jauh darinya. Menelusuri ruangan yang ia yakini sebagai perpustakaan pribadi dengan banyaknya rak buku yang tersusun rapi. Dan di bawahnya, terdapat berkas-berkas lama dengan beberapa di antaranya sudah berdebu. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah satu map berwarna merah tua, dengan inisial:
R.M.
Nama ayahnya: Rinov Moreau
Dengan jari yang sedikit gemetar, Alea membuka isi map itu. Surat kawat. Percakapan penyadapan. Foto-foto dari tahun 2003. Di salah satu foto yang tersimpan di sana terlihat ayahnya tengah berdiri berdampingan dengan seorang pria berjubah hitam, berjabat tangan dengan seseorang yang wajahnya sudah dikaburkan. Ada catatan di bawahnya: “Tertuduh penjual informasi senjata biologis ke organisasi internasional. Status: informan ganda.”
Alea mundur dengan seketika. Dunia seakan runtuh begitu saja.
"Siapa yang memberimu izin masuk?" Suara Damian menggema di belakangnya dan berhasil membuatnya terlonjak.
Alea berbalik dengan cepat. Damian berdiri di ambang pintu, tak marah, tapi juga tak tenang. "Kau ... tahu semua ini? Kau menyembunyikan siapa ayahku sebenarnya?" tanya Alea dengan suara gemetar.
Damian menatapnya dalam, lalu berkata dengan pelan, "Aku hanya melindungimu dari fakta mengejutkan bahwa ayahmu mungkin menjadi penyebab kematian ibuku."
Tubuh Alea seketika membeku. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Kepalanya menggeleng seolah tak menerima fakta menyakitkan itu.
Damian menutup pintu ruang kerja di belakangnya lalu melangkah maju dan mendekatinya. "Aku menikahimu bukan karena cinta, jadi kau harus bersiap untuk mendengarnya."
"Jadi selama ini kau ... mengawasi aku? Seperti boneka eksperimen?" suara Alea nyaris pecah, tapi ia tetap berdiri tegak.
Ruangan itu kini hanya menyisakan mereka berdua dan dokumen berdarah yang telah membuka luka lama bagi diri Alea. Damian mengangkat dagu Alea agar mau memandangnya, "Aku ingin sebuah jawaban dari kebenaran ini. Dan kau adalah kuncinya," ujarnya dengan menatap dalam mata Alea.
Alea menatapnya dengan pandangan bercampur antara takut dan penasaran. “Jawaban apa yang membuatmu menjadikanku sebagai boneka?”
Damian menatap foto ayah Alea tajam. "Ayahmu bukan hanya seorang informan biasa," bisiknya. “Dia membocorkan nama-nama agen rahasia yang ditanam di luar negeri. Termasuk... ibuku.”
Alea menarik tangan Damian dengan sedikit keras, setelah menyantap hidangan di meja makan, ia tak lagi bisa bersabar untuk melanjutkan karyanya yang sudah ia persiapkan seminggu yang lalu."Alea, hati-hati," ujar Damian memperingati. Ia sedikit menahan badannya agar tak terhuyung ke depan dan menghimpit badan Alea."Aku sudah tidak sabar," jawab Alea. "Kau bisa tidak berjalan sedikit lebih cepat?" tanyanya lagi dengan menoleh ke belakang.Damian hanya menghela napasnya panjang, lalu pria itu menarik tubuhnya dan membuat Alea sedikit tertahan. dan dengan gerakan yang cepat, tangannya yang semula berada di genggaman Alea, kini sudah berada di bahu Alea dan menahan laju gadis itu dengan cepat."Lebih baik begini," ujarnya memperlambat langkahnya.Alea mengerucutkan bibirnya, tetapi ia tak berani membantah lagi, dan ketika pintu ruangan sudah mulai tampak di pelupuk matanya, Alea menyunggingkan senyum manis, bayangannya sudah mencerna bagaimana serunya menyusun bunga itu satu per satu.Da
“Ayahmu sendiri yang memilih jalan ini, Alea,” kata Damian dengan tegas. “Dan jika dia menganggap keselamatanmu penting baginya, ia sudah muncul sejak pertama kali kau dibawa ke tempat ini. Tetapi sekarang? Ia hanya bisa melindungimu dari jauh.”Carden yang tengah terfokus pafa komputer di hadapannya, kini melirik Damian sekilas, “Tuan. Parimeter sebelah selatam dan timur sudah aman dari gangguan. Tapi, saya menyarankan untuk melakukan patroli lebih lanjut di malam ini, terutama di akses menuju runag bawah tanah,” ujarnya dengan tegas.“Lakukan itu,” sahut Damian.“Baik, Tuan,” jawab Carden meninggalkan ruangan itu beserta para pengawal lainnya.Sementara Alea yang masih menundukkan kepalanya, kini tak berani menatap Damian sedikitpun. Gadis itu terlalu takut untuk sekedar bertanya pada Damian tentang apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya.“Ayo kita ke kamar,” ujarnya pada Alea.Alea mendongak, lalu menganggukan kepalanya. “Baiklah,” ujarnya mengikuti langkah Damian dengan lemah.
“Dalam perjalanan kembali ke mansion, dan akan segera melakukan evaluasi sistem. Sementara Rosa sudah berada di tempat aman.”Ia segera mengetikan balasan dengan begitu cepat dan mengirimkannya kepada Damian. Begitu lift terhenti, dan pintu terbuka, terdapat dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu dan segera bersiap mengawal Carden. Ia menganggukkan kepalanya pada mereka, lalu mereka bergegas menuju mobil lapis baja dan membuka pintu belakang untuk Carden. Kendaraan tersebut melaju dengan kencang meninggalkan rumah sakit St. Zamoora dan kembali menembus jalanan kota di malam hari untuk mencapai mansion.Tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu sampai di depan pintu gerbang mansion yang kini di jaga oleh pengawal berseragam lengkap. Carden membuka kaca jendela dan menganggukkan kepalanya kepada mereka sebelum kembali menembus jalanan mansion menuju pintu utama.“Berhenti di sini,” ujarnya pada pengawal dibalik kemudi.Ia segera membuka pintu dan meloncat dengan cepat, lalu sed
Ambulans berhenti tepat di area parkir khusus milik keluarga Zamoora. Gedung ini tak terlihat seperti rumah sakit pada umumnya, melainkan lebih menyerupai villa dengan tulisan di atas gerbangnya St. Zamoora Private Medical tanpa keterangan lain yang menjelaskan lebih lanjut. Pintu belakang ambulans segera dibuka oleh seorang perawat yang bergegas menghampiri ambulans lengkap dengan mengenakan APD khusus dan kartu identitas yang terletak i sebelah kiri APD mereka, sementara wajahnya tertutup oleh masker medis.Carden turun terlebih dahulu, lalu membantu mengeluarkan Rosa bersama dengan Dokter Clara dan beberapa perawat lain yang sigap membantu.“Pasien dengan kode ‘Vespeer’ sudah berada di tempat,” ujar Dokter Clara memberi kode dengan menatap mereka sekilas yang dihadiahi anggukan sebagai jawaban.Petugas tersebut segera mengecek tablet di tangannya dan mencocokkan sekilas, lalu menggesekan kartu yang dibawanya ke pintu elektronik yang mengarah pada lantai steril khusus untuk perawata
“Jangan pikirkan apapun tentang ayahmu, lagi,” bisik Damian mengusap kepala Alea dengan lembut. “Aku tahu jika kau amat terluka mendengar kejadian ini. Tapi, kau tidak berdiri sendirian menghadapi ini semua.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Damian ...,” bisiknya lirih dengan mengeratkan pelukannya. “Aku takut.”Damian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Alea menggunakan kedua tangannya, “Takut kepada siapa hm?”Alea menatap Damian, lalu menggelengkan kepalanya. “Semuanya ... ayahku, orang-orang itu ... masa depanku ...,” ujarnya menghela napas panjang. “Aku bahkan tidak tahu harus mempercayai siapa lagi selain kau dan Rosa.”Damian membalas tatapan itu dalam, “Kau tak perlu mempercayai siapapun lagi. Kau cukup percaya dengan dirimu dan apa yang ingin kau lakukan. Jika kau masih belum sepenuhnya percaya ... kau bisa mempercayaiku.”Alea menelan ludahnya susah payah, “Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?”“Tidak akan ada yang terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri,” pun
Bayangan demi bayangan masa kecil Alea kembali terbesit di dalam benaknya. Ia kembali mengingat bagaimana sang ayah selalu menjaganya di setiap kesempatan sebelum akhirnya ia menghilang begitu saja dengan alasan menjadi seorang dosen di kota lain“Aku takut, Damian,” guman Alea nyaris tak terdengar. “Takut jika semuanya berakhir tanpa penjelasan apapun. Aku juga takut kehilanganmu di tengah perang yang bahkan tak kupahami apa alasan dibaliknya.”Damian mengangkat tangannya dan mengusap pipi Alea dengan lembut, menyeka satu tetes air mata yang meluncur dari mata indah milik Alea. “Aku bukanlah laki-laki yang mudah percaya dengan orang lain, Alea. Tapi, entah kenapa ketika aku melihatmu tetap berada di sisiku, aku seakan bisa menggenggam dunia dan bisa bertahan di atasnya.”Alea tersenyum mendengarnya, meskipun pandangan di matanya sedikit berkabut, “Kau selalu tahu harus mengatakan apa padaku.”Damian menarik kursi di belakangnya dan mendudukan dirinya, lalu kedua tangannya menggenggam