Damian, dengan langkah mantap berjalan masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. “Ini rumahku. Kamar ini juga milikku. Kamu yang menumpang kalau kamu lupa,” sahutnya dengan suara datar namun tegas, menatap Alea dengan tatapan yang tidak terbaca.
Dalam suaranya terkandung otoritas dan sedikit ketidakpedulian, membuat Alea merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan pemilik rumah tersebut. Alea berdiri dengan begitu berani. “Kalau begitu usir aku sekarang!”
Damian menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Jika aku membiarkanmu pergi, mereka akan menculikmu malam ini juga. Musuh ayahmu tidak buta dengan keberadaanmu di tempat ini. Dan aku … belum mengizinkanmu untuk mati.”
“Lalu, kamu menyiksaku di sini! apa bedanya kau dengan musuh ayahku? kalian sama-sama pembunuh!” bentak Alea dengan menudingkan jarinya.
“Kapan aku menyiksa ISTERIKU sendiri? Aku menyiapkan tempat tinggal untukmu, aku juga memberimu perlindungan, bahkan aku tak sedikitpun melukai tubuhmu, darimana aku menyiksamu?” tanyanya balik dengan menekan kata isteri.
Alea meghentakkan kakinya keras, “Aku bukan isterimu dan kita tidak pernah menikah! Kau dan orang-orangmu sudah menculikku!” sanggahnya tak terima.
Damian tertawa singkat, “Tapi sayangnya kamu sudah berada di rumahku dan tak ada yang menjemputmu dengan alasan ‘penculikan’, itu berarti, kita memang sudah resmi menikah bukan?” ujarnya semakin memojokkan Alea.
“Dasar gila!”
Detik berikutnya, Damian melemparkan sebuah map berisi foto-fotonya ke meja di depannya yang berhasil membuat Alea terkejut melihatnya. Sambil menggenggam map itu, jari-jarinya gemetar saat dia perlahan membukanya. Mata Alea melebar ketika melihat foto-foto dirinya yang diambil secara diam-diam dari jarak jauh. Beberapa di antaranya bahkan diambil dari jendela kamar kosnya dan di kampus bersama teman-temannya, menunjukkan betapa rahasianya dia diawasi.
Catatan waktu dan rute pulangnya juga tercatat rapi di sana, menambah rasa horor yang melingkupi pikirannya. Namun, yang paling mengguncang adalah foto seorang pria asing, yang ia ingat pernah menabraknya di jalanan dua minggu lalu. Wajah pria itu suram dan penuh teka-teki.
Alea menelan ludahnya kasar, seraya menunjuk pada foto pria tersebut, "Siapa mereka?" suaranya terdengar serak, dipenuhi rasa ketakutan.
Damian menarik napas dalam, matanya menatap Alea dengan serius. "Orang yang mencari ayahmu," jawabnya singkat. Jeda sesaat, sebelum kembali melanjutkan, "Dan sekarang… mereka sedang mengincarmu."
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Alea. Tubuhnya terasa lemas dan dia terduduk pasrah di kursi, pikirannya berkecamuk mencoba memproses semua informasi itu dengan baik. Sementara Damian duduk di hadapannya, matanya tidak pernah lepas, penuh dengan kekhawatiran dan keteguhan di dalamnya
“Masih mau pergi dari tempat ini?” tanya Damian dengan suara rendah.
Alea menatap Damian dengan air mata yang sudah berderai. “Damian, ak—aku,” ujarnya memegang sebuah foto di tangannya.
Damian menghela nafasnya panjang, menetralkan segala perasaan yang ada di dalam dadanya, “Tak apa Alea. Kau aman berada di tempat ini, tak pelu takut dengan apapun yang akan terjadi di luar sana,” ujar Damian dengan mengusap bahu Alea yang semakin bergetar.
“Damian … kamu—aku … aku—,” ujar Alea membekap mulutnya tak mampu melanjutkan ucapannya.
Damian segera membawa Alea ke dalam pelukannya, memeluknya erat seakan meyakinkan keselamatan isterinya itu, “Tak apa … sekarang kamu sudah aman bersamaku,” ujarnya dengan mengusap punggung Alea lembut.
Alea memeluk Damian dengan begitu erat, menumpahkan rasa takut dan lega di saat bersamaan mengingat bagaimana hidupnya selama ini di awasi oleh bayang-bayang kematian yang bisa terjadi kapan saja. Ia tak menyangka jika hidup yang dianggap normal ini menyimpan banyak rahasia menyeramkan di dalamnya.
“Kamu istirahat dulu malam ini, aku akan keluar sebentar,” ujar Damian setelah melihat tangisan Alea sedikit mereda. Ia melepaskan pelukannya dengan hati-hati dan menyeka air mata yang masih menggenang di pelupuk mta Alea. “Aku akan menjagamu,” pungkasnya sebelum mencium kening Alea dengan hangat.
Langkahnya terhenti di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang, tangan yang tadinya hendak memutar gagang pintu kini terkulai tanpa daya. Damian menoleh sekilas, matanya bertemu dengan pandangan Alea yang masih mencari-cari arti dari apa yang baru saja terjadi. "Selamat malam, Mrs. Alaric," suaranya bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menderanya.
Tanpa menunggu respons, Damian segera melangkah keluar, meninggalkan Alea yang terpaku di tempatnya. Tepat ketika pintu tertutup, sebuah isak tangis pelan kembali terdengar memecah keheningan ruangan tersebut. Alea menyandarkan tubuhnya pada dinding terdekat, menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengerti apa yang telah hilang dalam sekejap itu.
***
Sudah satu hari Alea terkurung di mansion itu tanpa bisa keluar dari kamar mewah itu. Ia bukan tahanan dalam arti kasar—tak ada borgol, tak ada kekerasan fisik—tapi juga tidak bebas. Setiap langkahnya diawasi oleh kamera tersembunyi, setiap pelayannya berbicara terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah takut membuatnya marah. Tapi Alea tahu itu bukan rasa hormat … itu ketakutan.
Ketakutan akan Damian Alaric.
Dan yang lebih mengganggunya, ia mulai bertanya-tanya: siapa sebenarnya lelaki itu? Apa yang membuat seseorang jadi begitu ditakuti… tapi sekaligus dipercaya oleh pemerintah untuk bisa menjaganya?
Malam harinya, Rosa datang lebih awal dengan membawa nampan berisi teh herbal.
“Untuk menenangkan pikiran,” katanya dengan lembut.
Alea menyambutnya dengan senyum tipis, tapi matanya melirik ke arah saku apron Rosa. Kunci. Kecil. Menggantung setengah keluar dari dalamnya. Rosa membalikkan badannya untuk merapikan kembali vas bunga. Kesempatan yang dimiliki Alea hanya satu detik untuk bisa meraih kunci itu.
Cekrek. Alea menyambar kunci dan menyelipkannya ke balik lipatan bantal sofa.
Dengan napas tertahan di tengah malam yang gelap gulita, Alea melangkahkan kakinya pelan menyusuri lorong mansion, menggunakan kunci kecil itu untuk membuka pintu yang ia tahu bukan bagian dari kamar-kamar utama di mansion ini. Ruangan dengan pintu ornamen berinisial DA yang ia yakini merupakan ruang pribadi milik Damian.
Pintu terbuka dengan pelan. Gelap. Hanya tercium bau kulit tua dan parfum maskulin yang menyambutnya.
Ia menyalakan lampu kecil yang berada tak jauh darinya. Di balik rak buku, ia menemukan sebuah lemari besi yang berukuran kecil. Dan di bawahnya, terdapat berkas-berkas lama dengan beberapa di antaranya sudah berdebu. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah satu map berwarna merah tua, dengan inisial:
R.M.
Nama ayahnya: Rinov Moreau
Dengan jari yang sedikit gemetar, Alea membuka isi map itu. Surat kawat. Percakapan penyadapan. Foto-foto dari tahun 2003. Di salah satu foto yang tersimpan di sana terlihat ayahnya tengah berdiri berdampingan dengan seorang pria berjubah hitam, berjabat tangan dengan seseorang yang wajahnya sudah dikaburkan. Ada catatan di bawahnya: “Tertuduh penjual informasi senjata biologis ke organisasi internasional. Status: informan ganda.”
Alea mundur dengan seketika. Dunia seakan runtuh begitu saja.
"Sudah kubilang jangan masuk ke ruangan ini." Suara Damian menggema di belakangnya dan berhasil membuatnya terlonjak.
Alea berbalik dengan cepat. Damian berdiri di ambang pintu, tak marah, tapi juga tak tenang. "Kamu ... tahu semua ini? Kau menyembunyikan siapa ayahku sebenarnya?!"
Damian menatapnya dalam, lalu berkata dengan pelan, "Aku tidak menyembunyikan apapun darimu. Aku hanya melindungimu dari fakta mengejutkan yang menyatakan bahwa ayahmu mungkin menjadi penyebab kematian ibuku."
Tubuh Alea seketika membeku. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
Damian menutup pintu ruang kerja di belakangnya lalu melangkah maju dan mendekatinya. "Aku menikahimu karena pemerintah memintaku untuk menjagamu. Tapi aku tetap melakukannya di saat aku memiliki hak untuk menolak dan membiarkanmu menjadi incaran di luar sana ... karena aku ingin tahu kebenaran yang harus terungkap. Dan sekarang... kau juga harus bersiap untuk mendengarnya."
"Jadi selama ini kamu ... mengawasi aku? Seperti boneka eksperimen?" suara Alea nyaris pecah, tapi ia tetap berdiri tegak.
Ruangan itu kini hanya menyisakan mereka berdua dan dokumen berdarah yang telah membuka luka lama bgi diri Alea. Damian mengangkat dagu Alea agar mau memandangnya, "Kalau aku ingin menjadikanmu boneka, aku bisa melakukannya dengan lebih mudah tanpa harus menjagamu seperti ini," katanya tenang. "Tapi aku ingin sebuah jawaban dari kebenaran ini. Dan kau adalah kuncinya," ujarnya dengan menatap dalam mata Alea.
Alea menatapnya dengan pandangan bercampur antara benci dan penasaran. “Jawaban apa yang bahkan pemerintah pun tak bisa menjawabnya?”
Damian menatap foto ayah Alea yang kini tergeletak begitu saja di meja kayu. "Ayahmu bukan hanya seorang informan biasa," bisiknya. “Dia juga orang yang membocorkan nama-nama agen rahasia yang ditanam di luar negeri. Termasuk... ibuku, yang bekerja di La Rossa Nera dua puluh tahun yang lalu.”
Damian mendongak, rahangnya kembali mengeras. “Kita sudah menunda perjalanan ini selama beberapa waktu karena tingkah bodoh kamu—yang dengan sengaja mencari penyakitmu sendiri.”“Bodoh?” Mata Alea semakin membelalak. “Aku cuma ingin tahu kenapa ada file tentang keluargaku di ruang pribadimu, kenapa semua data pribadiku bisa dikumpulkan dengan mudah sebelum aku dipaksa menikah. Itu bukan hal yang bodoh, itu namanya mencari kebenaran!” bentaknya dengan keras.Damian kembali mendekatinya. Suaranya tetap rendah tapi mengancam. “Kamu sudah masuk ke sistemku tanpa izin, lalu memicu sistem alarm di mansion bawah tanah ini berbunyi, dan membuat salah satu anak buahku tertembak karena sedikit panik mendengar alarm tersebut. Itu bukan mencari kebenaran, itu cari mati namanya, Alea!” ujarnya menekan kata ‘mati’.Alea menggigit bibirnya tak kuasa, matanya memerah, tapi dia tak mau menangis berulang kali di hadapan pria itu. “Kamu bisa saja bilang semua ini tentang misi … tentang perlindungan … ta
Badan Alea kembali menegang. Ia belum pernah mengetahui pekerjaan ayahnya kecuali ia sering melihat sang ayah sering bepergian dengan dalih urusan yang penting dan mengajar di sebuah universitas yang berada di kota sebelah.“Ayahku tidak mungkin… Dia seorang dosen filsafat,” ujarnya hampir tanpa suara.“Dosen filsafat yang pernah hidup selama tiga tahun tanpa identitas resmi di Ravessia, pada tahun 2004,” Damian membalas dengan nada yang tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang hilang di tahun itu karena kebocoran nama agen? Tujuh belas orang,” jelas Damian tanpa sungkan. “Ya ... tujuh belas orang yang berhasil dibunuh oleh ayahmu,” ulang Damian dengan menganggukan kepalanya.Alea merasa perutnya mual mendengar kata ‘pembunuhan’ dan membayangkan bagaimana mencekamnya suasana pada hari itu. Tapi ia bukan tipe gadis yang mudah percaya pada pria berjas mahal dan sejuta misteri di hadapannya itu. “Dan kenapa kau harus menikahiku? Kalau memang kau membenci ayahku? Bukankah lebih baik kau
Damian, dengan langkah mantap berjalan masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. “Ini rumahku. Kamar ini juga milikku. Kamu yang menumpang kalau kamu lupa,” sahutnya dengan suara datar namun tegas, menatap Alea dengan tatapan yang tidak terbaca.Dalam suaranya terkandung otoritas dan sedikit ketidakpedulian, membuat Alea merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan pemilik rumah tersebut. Alea berdiri dengan begitu berani. “Kalau begitu usir aku sekarang!”Damian menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Jika aku membiarkanmu pergi, mereka akan menculikmu malam ini juga. Musuh ayahmu tidak buta dengan keberadaanmu di tempat ini. Dan aku … belum mengizinkanmu untuk mati.”“Lalu, kamu menyiksaku di sini! apa bedanya kau dengan musuh ayahku? kalian sama-sama pembunuh!” bentak Alea dengan menudingkan jarinya.“Kapan aku menyiksa ISTERIKU sendiri? Aku menyiapkan tempat tinggal untukmu, aku juga memberimu perlindungan, bahkan aku tak sedikitpun melukai tubuhmu, darimana aku menyiksamu?” tanyany
"Ayahmu yang sudah mengurus semuanya," jawab Damian tenang. “Dan sekarang dia ... menghilang begitu saja.”Alea limbung. Dunia terasa berputar begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan dengan benar. Alea terpaku, matanya terbelalak membaca nama dan tanda tangan yang tertera di dokumen di tangannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya pelan, seakan tak mampu mengeluarkan suara. Dada Alea naik turun, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Ayahku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini padaku?" ucapnya dengan nada yang hampir pecah.Damian tak menjawabnya. Ia menoleh ke penjaga yang berdiri tak jauh darinya. "Bawa dia ke kamar. Kunci dengan pengaman khusus dan jangan beri akses komunikasi apapun. Lusa kita terbang ke Nerezza.""Nerezza?" tanya Alea tak sadar. “Kota yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dengan vila mewah yang terkenal menjadi markas rahasia?” lanjutnya dengan rasa ingin tahu."Untuk bulan madu," bisiknya datar seolah menjawab pertanyaan Alea. “Atau ... eksekusi terakhir. Terg
Alea Moreau tidak pernah menyangka bahwa sore ini akan menjadi hari terakhirnya ia bisa merasakan kebebasan menikmati hidupnya sebagai seorang mahasiswa biasa. Kampus di hari ini terasa begitu sepi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang ramai dengan aktivitas mahasiswa yang tak ada hentinya. Suara sepatu hak rendahnya bergema lembut di koridor jurusan kedokteran. Ia baru saja selesai ujian praktek, dan satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya hanyalah: tidur semalaman. Bukan tentang pernikahan paksa. Apalagi tentang mafia."Miss Alea Moreau?"Langkah Alea terhenti dengan seketika. Seorang pria bersetelan hitam panjang berdiri di depan pintu ruang dosen, membawa amplop putih dengan segel emas yang tampak asing dan—anehnya—terkesan mengancam."Iya, saya." Ia melangkah dengan ragu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk paham. "Saya diutus untuk mengantarkan surat ini. Tolong dibuka dan dibaca sekarang juga," ujarnya menyodorkan surat itu kepada Alea.Ale