Share

Chapter 5

Mau tak mau Raya kembali bertemu dengan Nyonya Kinasih. Tapi seperti yang diperkirakan Raya, perempuan itu hanya diam tak peduli dengan kehadiran dirinya. Tapi Raya juga tak peduli, ia asyik bercengkrama dengan Sintia. Di pesawat pun mereka duduk berdua. Setelah menikah baru kali ini Raya bisa sedikit lega, paling tidak ada teman yang menemaninya. Bukannya David tidak mengizinkan ia bertemu dengan sepupunya, tapi Sintia sibuk mengurusi skripsi, Raya tidak mau menganggu konsentrasinya.

            Baru kali ini Raya pergi ke Bali. Begitu juga Sintia. Mereka sangat takjub akan keindahan panorama Bali yang indah. Apalagi pesta pernikahan Raya dan David akan dilaksanakan di tepi pantai. Mirip dengan pesta pernikahan selebritis.

            Raya tertegun. Kenapa nasib membawanya bagaikan Cinderella. Kenapa hal-hal indah yang hanya dapat disaksikannya lewat televisi, kini benar-benar nyata di depannya. Haruskah ia bahagia? Tidak. Ini bukan kenyataan bagi Raya. Ini semua semu. Dirinya bukan Cinderella, ia hanyalah peran figuran yang kedatangannya hanya sebagai pelengkap drama saja. Ia tak punya sepatu kaca. Ia tak punya pangeran tampan. Semua itu ilusi.

            “Kau seorang putri sekarang,” puji Sintia. Mereka berdua berada di lokasi pernikahan yang sedang didekorasi untuk besok sore.

            Raya menggeleng. Rambutnya tersapu semilir angin. “Ini hanya permainan. Kami bukanlah pasangan. Kami tidak saling menyukai.”

            Sintia mengeryitkan kening. “Apa kau yakin?”

            Raya mengangguk pelan.

            “Ku rasa David orang yang baik. Tempo hari dia yang mendatangiku ke kampus. Sebenarnya aku gak bisa ke sini hari ini, ada jadwal bimbingan dengan dosen killer. Eh, asal kamu tahu, dia datangi dosen killer itu. Memintakan aku izin supaya nemenin kamu.”

            Raya melotot. “Kau bohong.”

            “Sumpah, Raya!” Sintia mengangkat dua jarinya.

            Raya menatap jauh ke lautan. Sintia tidak akan berbohong. Begitu perhatiankah David padanya?

            “Raya, dengarkan aku,” Sintia berkata setelah mereka sejenak diam. “Jika memang benar David seorang gay, maka jalan satu-satunya kau harus bisa menyembuhkannya.”

            Raya menatap Sintia dalam. “Menyembuhkannya?”

            Sintia mengangguk. “Aku pernah baca buku, banyak kok lelaki seperti David sembuh. Memang banyak pasangan mereka yang menolak kelainan tersebut setelah tahu yang sebenarnya. Tapi ada juga yang menerima bahkan bertekad menyembuhkan. Dan kau mampu, Raya.”

            Raya mendesah pelan.

            “Sekarang aku tanya padamu. Kau menyukainya, kan?” Sintia bertanya sambil tersenyum.

            “Aku tidak tahu.”

            “Aku tahu kau menyukainya. Kau jangan mengelak.”

            Raya diam. Ia memang selalu bergetar jika dekat dengan David. Ia suka bau tubuh laki-laki itu. Ia suka wajah segar David jika keluar dari kamar mandi. Ia suka perhatian David. Ia rindu suara beratnya jika bertanya apa sudah mengantuk, apa sudah makan. Raya suka semua itu. Tapi apa itu yang dinamakan suka?   

            “Tanyakan pada dirimu sendiri, Raya. Jangan bohongi hatimu sendiri.” Suara Sintia berbaur dengan deru ombak. Memecah kalut di pikiran Raya.

            Akankah ia bisa menyembuhkan David. Apa yang akan dilakukannya?

***

            Raya masuk ke kamarnya sudah hampir pukul sepuluh malam. David belum tidur, ia duduk bersandar di sofa, tangannya memegang gelas yang berisi wine yang hampir habis.

            “Belum tidur?” Raya  bertanya seraya duduk di samping David.

            “Masih menunggumu.”

            Raya memandang David, rasa bersalah menjalar di hatinya. Ia terlalu asyik menikmati keindahan pantai sampai lupa jika waktu semakin larut.

            “Maaf,” balas Raya lirih.

            David tersenyum. Meletakkan gelas di meja. “Sintia sudah ke kamarnya?”

            Raya mengangguk. “Terimakasih karena sudah mengizinkan Sintia menemaniku.”

            “Asal kau senang, aku tidak apa-apa.”

            Raya menatap David. Laki-laki itu balas menatap Raya. Perasaan tenang merasuk dalam hati Raya, ia suka tatapan David. Benar kata Sintia, perasaan suka mungkin sudah menghinggapi hati Raya sekarang.

            “Kenapa kau ingin aku bahagia?” tanya Raya. “Sedangkan kau tahu pernikahan ini mungkin yang membuatku tidak bahagia.”

            “Karena pernikahan ini tidak membuatmu bahagia, maka aku ingin kau bisa bahagia, Raya,” jawab David tersenyum. Senyum itu meluruhkan hati Raya. Raya ingin memiliki senyuman itu.

            “Kenapa?” tanya Raya ingin menangis. “Kenapa kalian semua begitu mempermainkanku? Kenapa kalian semua tega menyakitiku? Pakdeku, mamamu, kamu, semua membuatku tersungkur!”

            David menatap dalam mata Raya. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku sedang menyelamatkanmu!”

            “Aku capek, David!” Raya beranjak. Tiba-tiba tangan David mencengkeram pergelangan tangannya. Raya jatuh, tepat di pelukan David. Belum selesai Raya terkejut, tiba-tiba ciuman David mendarat di bibirnya. Liar. Raya ingin memberontak, tetapi ia menikmatinya. Ia menginginkan lagi dan lagi. Ia tak kuasa untuk pergi, atau lebih tepatnya ia tak mau pergi. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di hatinya. Apa David mulai sembuh?

            Setelah sekian detik, David menjauhkan bibirnya. Raya mendorong tubuh laki-laki itu, keduanya bersandar di sofa dengan nafas memburu.

            “Jangan pergi, Raya.” Kata David kemudian. “Tinggallah di sisiku, benar-benar menjadi istriku.”

            Raya terkejut. “Maksudmu?”

            David mendengus pelan. “Sudah ku bilang kalau aku tahu alasan kita menikah. Kisah hutang-hutang ayahmu yang dilunasi pakdemu dengan meminjam uang mama. Tapi mamaku malah memberikan pakdemu uang lebih jika kau dinikahkan denganku.”

            Raya menunduk.

            “Dan pertanyaannya kenapa mamaku malah memberikan pakdemu uang lebih banyak? Jawabannya adalah karena mama ingin aku segera menikah, dan tidak ada wanita yang mau menikahiku karena aku gay!”

            Raya masih menunduk.

            “Dan mama pasti sudah bilang padamu tentang diriku. Dan tentu saja kau sangat marah, kecewa, sedih mendengar ini semua, bukan?”

            Kini Raya memandang David. “Kau… Kau tahu?”

            David mengangguk. “Aku tahu semua, Raya. Aku tahu dirimu bahkan sebelum kita kenal!”

            “Maksudmu? Dari mana kau tahu?” Raya bingung.

            “Dulu sewaktu aku tinggal bersama mama, aku sering dengar Pak Suroto cerita dengan para asisten di rumah tentang kamu, keluargamu, ayahmu. Aku dengar keluhan Pak Suroto setiap hari. Tapi aku penasaran siapakah Raya ini? Sampai suatu hari kau ke rumah kami mengambil dompet Pak Suroto yang ketinggalan di dapur. Kau di luar gerbang. Tapi aku mengamatimu dari lantai atas. Aku tahu kau bukan orang jahat. Dan aku yakin,” jelas David panjang lebar.

            Raya menangis. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

            “Jadi kau menikahiku karena kasihan padaku?” tanya Raya di sela tangisnya.

            “Bukan, Raya.”

            “Kau menikahiku untuk menyiksaku? Karena kau gay jadi bisa mempermainkan hidup gadis miskin sepertiku seenakmu?” Raya masih menangis.

            David tertawa. Raya membuka telapak tangannya, ia merasa aneh kenapa David tertawa.

            “Dan kau percaya itu semua?” tanya David masih tertawa.

            Raya menatap David.

            “Aku normal, Raya!” kata David menahan tawa. “Aku seratus persen pria normal!”

            Raya kaget. Ditatapnya David lekat-lekat. David diam, meraih kedua tangan Raya dan memegangnya.

            “Kau ingat saat malam pertama kita?” tanya David. “Waktu itu di balkon aku ingin bermesraan denganmu, Raya. Tapi kau malah menolak dan menghindariku. Ku pikir kau memang butuh waktu untuk menerima kehadiranku, maka aku berjanji tidak akan mendekatimu sebelum kau sendiri yang meminta.”

            “Tapi mamamu sendiri yang bilang kau tidak normal. Bahkan Mbok Siti bilang ke mamamu kau suka membawa laki-laki ke rumah…”

            “Rama?” tanya David cepat. Ia terkekeh. “Aku bersekongkol dengan Mbok Siti. Mama selalu bertanya pada Mbok Siti apakah aku sering membawa teman wanita pulang, lalu aku bilang Mbok Siti jika yang sering menginap di rumahku teman laki-laki.”

            “Semudah itukah mamamu percaya jika kau gay hanya dengan perkataan Mbok Siti?”

            David menggeleng. Ia beranjak, berjalan pelan dan menuju balkon kamar. Raya mengikuti dari belakang. Balkon kamar ini menghadap ke laut, jadi suara debuaran ombak begitu mengusik di telinga.

            “Sebelumnya aku pernah bilang ke mama jika aku gay. Mama tidak percaya dan meminta informasi pada Mbok Siti, aku sudah bilang Mbok Siti semuanya, jadi beliau bicara pada mama sesuai dengan perkataanku.”

            Raya terhenyak. Ternyata pria di depannya ini normal. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

            Tiba-tiba David memeluknya. Raya bisa merasakan degup jantung David, tangannya membelai rambut Raya. Damai sekali.

            “Kenapa kau berbohong pada mamamu?” tanya Raya pelan.

            David melepaskan pelukannya, tapi beralih menggandeng tangan Raya. Ia menjawab sambil menatap lautan. “Mamaku itu orang yang keras. Semua harus sesuai dengan kehendak beliau. Aku ditentang ketika memutuskan mencari kerja sendiri, karena seharusnya aku meneruskan perusahaan. Dulu aku juga ditentang ketika mencintai seorang gadis, namanya Gea.”

            David terdiam, mengambil nafas. Raya teringat foto di dinding tangga. Apakah itu Gea?

            “Fotonya ada di dinding tangga,” lanjut David serasa mengerti pertanyaan di hati Raya. “Gea teman kuliahku. Kami berkencan cukup lama. Tapi mama tidak menyetujuinya.”

            “Kenapa?”

            “Karena Gea adalah anak saingan bisnis mama.”

            Raya tertegun. Sama-sama dengan orang kaya saja David tidak diperbolehkan? Apakah cinta itu begitu rumit?

            “Sampai akhirnya kami putus, dan Gea menikah dengan laki-laki lain,” David menghela nafas. “Aku kecewa dengan mama dan memutuskan pindah rumah. Aku juga mengaku kalau aku menjadi gay, agar tidak terus dijodohkan dengan wanita pilihan mama.”

            Pertanyaan muncul di benak Raya. “Lantas kenapa kau mau dinikahkan denganku?”

            David memandang Raya, lalu merengkuhnya dengan mesra. Jemarinya mengusap rambut Raya dengan pelan. “Aku mencari wanita jujur yang semua itu tidak kudapatkan dari wanita pilihan mama. Aku pernah melihatmu dan aku tahu kau gadis yang baik.”

            Raya memandang David. Cintakah pria itu padanya? David membalas pandangan itu lalu mencium bibir Raya. Lebih hangat, lebih mesra. Tanpa sadar Raya mengalungkan tangannya di leher David. Mereka berdua bak pasangan yang mabuk kepayang.

            “Maukah kau menerimaku, Raya?’’ tanya David ketika melepaskan ciumannya. “Maukah kau menerimaku sebagai suamimu?”

            Raya mengangguk lalu membalas ciuman David. Raya tak ingin menolak semua itu. Ia membutuhkan david. Mencintai laki-laki itu dengan sebenar-benarnya cinta. Ia tak peduli apapun, hanya ingin merasakan kehangatan malam ini dengan suaminya.

            Malam ini kedua insan ini menggelepar dalam kenikmatan. Bercampurnya dua nafas dalam desahan dan rintihan. Mereka menikmati malam pertama mereka sebagai pasangan baru dan kehidupan yang baru.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
RinduPurnama
oh iya..maaf.. pas lagi ngantuk ngetiknya..
goodnovel comment avatar
Magdalena marion
typo min..bukan suroto..tapi suroso..hehehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status