Share

Chapter 5

Author: RinduPurnama
last update Last Updated: 2023-06-12 14:42:52

Mau tak mau Raya kembali bertemu dengan Nyonya Kinasih. Tapi seperti yang diperkirakan Raya, perempuan itu hanya diam tak peduli dengan kehadiran dirinya. Tapi Raya juga tak peduli, ia asyik bercengkrama dengan Sintia. Di pesawat pun mereka duduk berdua. Setelah menikah baru kali ini Raya bisa sedikit lega, paling tidak ada teman yang menemaninya. Bukannya David tidak mengizinkan ia bertemu dengan sepupunya, tapi Sintia sibuk mengurusi skripsi, Raya tidak mau menganggu konsentrasinya.

            Baru kali ini Raya pergi ke Bali. Begitu juga Sintia. Mereka sangat takjub akan keindahan panorama Bali yang indah. Apalagi pesta pernikahan Raya dan David akan dilaksanakan di tepi pantai. Mirip dengan pesta pernikahan selebritis.

            Raya tertegun. Kenapa nasib membawanya bagaikan Cinderella. Kenapa hal-hal indah yang hanya dapat disaksikannya lewat televisi, kini benar-benar nyata di depannya. Haruskah ia bahagia? Tidak. Ini bukan kenyataan bagi Raya. Ini semua semu. Dirinya bukan Cinderella, ia hanyalah peran figuran yang kedatangannya hanya sebagai pelengkap drama saja. Ia tak punya sepatu kaca. Ia tak punya pangeran tampan. Semua itu ilusi.

            “Kau seorang putri sekarang,” puji Sintia. Mereka berdua berada di lokasi pernikahan yang sedang didekorasi untuk besok sore.

            Raya menggeleng. Rambutnya tersapu semilir angin. “Ini hanya permainan. Kami bukanlah pasangan. Kami tidak saling menyukai.”

            Sintia mengeryitkan kening. “Apa kau yakin?”

            Raya mengangguk pelan.

            “Ku rasa David orang yang baik. Tempo hari dia yang mendatangiku ke kampus. Sebenarnya aku gak bisa ke sini hari ini, ada jadwal bimbingan dengan dosen killer. Eh, asal kamu tahu, dia datangi dosen killer itu. Memintakan aku izin supaya nemenin kamu.”

            Raya melotot. “Kau bohong.”

            “Sumpah, Raya!” Sintia mengangkat dua jarinya.

            Raya menatap jauh ke lautan. Sintia tidak akan berbohong. Begitu perhatiankah David padanya?

            “Raya, dengarkan aku,” Sintia berkata setelah mereka sejenak diam. “Jika memang benar David seorang gay, maka jalan satu-satunya kau harus bisa menyembuhkannya.”

            Raya menatap Sintia dalam. “Menyembuhkannya?”

            Sintia mengangguk. “Aku pernah baca buku, banyak kok lelaki seperti David sembuh. Memang banyak pasangan mereka yang menolak kelainan tersebut setelah tahu yang sebenarnya. Tapi ada juga yang menerima bahkan bertekad menyembuhkan. Dan kau mampu, Raya.”

            Raya mendesah pelan.

            “Sekarang aku tanya padamu. Kau menyukainya, kan?” Sintia bertanya sambil tersenyum.

            “Aku tidak tahu.”

            “Aku tahu kau menyukainya. Kau jangan mengelak.”

            Raya diam. Ia memang selalu bergetar jika dekat dengan David. Ia suka bau tubuh laki-laki itu. Ia suka wajah segar David jika keluar dari kamar mandi. Ia suka perhatian David. Ia rindu suara beratnya jika bertanya apa sudah mengantuk, apa sudah makan. Raya suka semua itu. Tapi apa itu yang dinamakan suka?   

            “Tanyakan pada dirimu sendiri, Raya. Jangan bohongi hatimu sendiri.” Suara Sintia berbaur dengan deru ombak. Memecah kalut di pikiran Raya.

            Akankah ia bisa menyembuhkan David. Apa yang akan dilakukannya?

***

            Raya masuk ke kamarnya sudah hampir pukul sepuluh malam. David belum tidur, ia duduk bersandar di sofa, tangannya memegang gelas yang berisi wine yang hampir habis.

            “Belum tidur?” Raya  bertanya seraya duduk di samping David.

            “Masih menunggumu.”

            Raya memandang David, rasa bersalah menjalar di hatinya. Ia terlalu asyik menikmati keindahan pantai sampai lupa jika waktu semakin larut.

            “Maaf,” balas Raya lirih.

            David tersenyum. Meletakkan gelas di meja. “Sintia sudah ke kamarnya?”

            Raya mengangguk. “Terimakasih karena sudah mengizinkan Sintia menemaniku.”

            “Asal kau senang, aku tidak apa-apa.”

            Raya menatap David. Laki-laki itu balas menatap Raya. Perasaan tenang merasuk dalam hati Raya, ia suka tatapan David. Benar kata Sintia, perasaan suka mungkin sudah menghinggapi hati Raya sekarang.

            “Kenapa kau ingin aku bahagia?” tanya Raya. “Sedangkan kau tahu pernikahan ini mungkin yang membuatku tidak bahagia.”

            “Karena pernikahan ini tidak membuatmu bahagia, maka aku ingin kau bisa bahagia, Raya,” jawab David tersenyum. Senyum itu meluruhkan hati Raya. Raya ingin memiliki senyuman itu.

            “Kenapa?” tanya Raya ingin menangis. “Kenapa kalian semua begitu mempermainkanku? Kenapa kalian semua tega menyakitiku? Pakdeku, mamamu, kamu, semua membuatku tersungkur!”

            David menatap dalam mata Raya. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku sedang menyelamatkanmu!”

            “Aku capek, David!” Raya beranjak. Tiba-tiba tangan David mencengkeram pergelangan tangannya. Raya jatuh, tepat di pelukan David. Belum selesai Raya terkejut, tiba-tiba ciuman David mendarat di bibirnya. Liar. Raya ingin memberontak, tetapi ia menikmatinya. Ia menginginkan lagi dan lagi. Ia tak kuasa untuk pergi, atau lebih tepatnya ia tak mau pergi. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di hatinya. Apa David mulai sembuh?

            Setelah sekian detik, David menjauhkan bibirnya. Raya mendorong tubuh laki-laki itu, keduanya bersandar di sofa dengan nafas memburu.

            “Jangan pergi, Raya.” Kata David kemudian. “Tinggallah di sisiku, benar-benar menjadi istriku.”

            Raya terkejut. “Maksudmu?”

            David mendengus pelan. “Sudah ku bilang kalau aku tahu alasan kita menikah. Kisah hutang-hutang ayahmu yang dilunasi pakdemu dengan meminjam uang mama. Tapi mamaku malah memberikan pakdemu uang lebih jika kau dinikahkan denganku.”

            Raya menunduk.

            “Dan pertanyaannya kenapa mamaku malah memberikan pakdemu uang lebih banyak? Jawabannya adalah karena mama ingin aku segera menikah, dan tidak ada wanita yang mau menikahiku karena aku gay!”

            Raya masih menunduk.

            “Dan mama pasti sudah bilang padamu tentang diriku. Dan tentu saja kau sangat marah, kecewa, sedih mendengar ini semua, bukan?”

            Kini Raya memandang David. “Kau… Kau tahu?”

            David mengangguk. “Aku tahu semua, Raya. Aku tahu dirimu bahkan sebelum kita kenal!”

            “Maksudmu? Dari mana kau tahu?” Raya bingung.

            “Dulu sewaktu aku tinggal bersama mama, aku sering dengar Pak Suroto cerita dengan para asisten di rumah tentang kamu, keluargamu, ayahmu. Aku dengar keluhan Pak Suroto setiap hari. Tapi aku penasaran siapakah Raya ini? Sampai suatu hari kau ke rumah kami mengambil dompet Pak Suroto yang ketinggalan di dapur. Kau di luar gerbang. Tapi aku mengamatimu dari lantai atas. Aku tahu kau bukan orang jahat. Dan aku yakin,” jelas David panjang lebar.

            Raya menangis. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

            “Jadi kau menikahiku karena kasihan padaku?” tanya Raya di sela tangisnya.

            “Bukan, Raya.”

            “Kau menikahiku untuk menyiksaku? Karena kau gay jadi bisa mempermainkan hidup gadis miskin sepertiku seenakmu?” Raya masih menangis.

            David tertawa. Raya membuka telapak tangannya, ia merasa aneh kenapa David tertawa.

            “Dan kau percaya itu semua?” tanya David masih tertawa.

            Raya menatap David.

            “Aku normal, Raya!” kata David menahan tawa. “Aku seratus persen pria normal!”

            Raya kaget. Ditatapnya David lekat-lekat. David diam, meraih kedua tangan Raya dan memegangnya.

            “Kau ingat saat malam pertama kita?” tanya David. “Waktu itu di balkon aku ingin bermesraan denganmu, Raya. Tapi kau malah menolak dan menghindariku. Ku pikir kau memang butuh waktu untuk menerima kehadiranku, maka aku berjanji tidak akan mendekatimu sebelum kau sendiri yang meminta.”

            “Tapi mamamu sendiri yang bilang kau tidak normal. Bahkan Mbok Siti bilang ke mamamu kau suka membawa laki-laki ke rumah…”

            “Rama?” tanya David cepat. Ia terkekeh. “Aku bersekongkol dengan Mbok Siti. Mama selalu bertanya pada Mbok Siti apakah aku sering membawa teman wanita pulang, lalu aku bilang Mbok Siti jika yang sering menginap di rumahku teman laki-laki.”

            “Semudah itukah mamamu percaya jika kau gay hanya dengan perkataan Mbok Siti?”

            David menggeleng. Ia beranjak, berjalan pelan dan menuju balkon kamar. Raya mengikuti dari belakang. Balkon kamar ini menghadap ke laut, jadi suara debuaran ombak begitu mengusik di telinga.

            “Sebelumnya aku pernah bilang ke mama jika aku gay. Mama tidak percaya dan meminta informasi pada Mbok Siti, aku sudah bilang Mbok Siti semuanya, jadi beliau bicara pada mama sesuai dengan perkataanku.”

            Raya terhenyak. Ternyata pria di depannya ini normal. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

            Tiba-tiba David memeluknya. Raya bisa merasakan degup jantung David, tangannya membelai rambut Raya. Damai sekali.

            “Kenapa kau berbohong pada mamamu?” tanya Raya pelan.

            David melepaskan pelukannya, tapi beralih menggandeng tangan Raya. Ia menjawab sambil menatap lautan. “Mamaku itu orang yang keras. Semua harus sesuai dengan kehendak beliau. Aku ditentang ketika memutuskan mencari kerja sendiri, karena seharusnya aku meneruskan perusahaan. Dulu aku juga ditentang ketika mencintai seorang gadis, namanya Gea.”

            David terdiam, mengambil nafas. Raya teringat foto di dinding tangga. Apakah itu Gea?

            “Fotonya ada di dinding tangga,” lanjut David serasa mengerti pertanyaan di hati Raya. “Gea teman kuliahku. Kami berkencan cukup lama. Tapi mama tidak menyetujuinya.”

            “Kenapa?”

            “Karena Gea adalah anak saingan bisnis mama.”

            Raya tertegun. Sama-sama dengan orang kaya saja David tidak diperbolehkan? Apakah cinta itu begitu rumit?

            “Sampai akhirnya kami putus, dan Gea menikah dengan laki-laki lain,” David menghela nafas. “Aku kecewa dengan mama dan memutuskan pindah rumah. Aku juga mengaku kalau aku menjadi gay, agar tidak terus dijodohkan dengan wanita pilihan mama.”

            Pertanyaan muncul di benak Raya. “Lantas kenapa kau mau dinikahkan denganku?”

            David memandang Raya, lalu merengkuhnya dengan mesra. Jemarinya mengusap rambut Raya dengan pelan. “Aku mencari wanita jujur yang semua itu tidak kudapatkan dari wanita pilihan mama. Aku pernah melihatmu dan aku tahu kau gadis yang baik.”

            Raya memandang David. Cintakah pria itu padanya? David membalas pandangan itu lalu mencium bibir Raya. Lebih hangat, lebih mesra. Tanpa sadar Raya mengalungkan tangannya di leher David. Mereka berdua bak pasangan yang mabuk kepayang.

            “Maukah kau menerimaku, Raya?’’ tanya David ketika melepaskan ciumannya. “Maukah kau menerimaku sebagai suamimu?”

            Raya mengangguk lalu membalas ciuman David. Raya tak ingin menolak semua itu. Ia membutuhkan david. Mencintai laki-laki itu dengan sebenar-benarnya cinta. Ia tak peduli apapun, hanya ingin merasakan kehangatan malam ini dengan suaminya.

            Malam ini kedua insan ini menggelepar dalam kenikmatan. Bercampurnya dua nafas dalam desahan dan rintihan. Mereka menikmati malam pertama mereka sebagai pasangan baru dan kehidupan yang baru.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
RinduPurnama
oh iya..maaf.. pas lagi ngantuk ngetiknya..
goodnovel comment avatar
Magdalena marion
typo min..bukan suroto..tapi suroso..hehehe
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 23

    “Sabun mandi?” Andra mengambil sebuah sabun mandi dari rak, memperlihatkan pada Raya yang tengah mendorong troli yang hampir penuh dengan belanjaan.“Boleh,” jawab Raya tersenyum. “Sabun di rumah hampir habis.”Mereka berjalan pelan, menyusuri rak-rak supermarket yang berderet, penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari.“Yasmin gak nitip pengen dibelikan apa begitu?” tanya Andra melihat deretan snack untuk anak-anak di sampingnya.“Gak ada,” jawab Raya sambil menggelengkan kepala.“Yasmin itu persis sama kamu,” Andra berkata seraya tersenyum kecil.“Apanya?” Raya melebarkan mata karena penasaran.“Sederhananya…”Raya mencubit lengan Andra. “Sebagai perempuan memang harus begitu, hemat dan efisien. Jangan terlalu boros, membeli yang tidak terlalu dibutuhkan.”Andra mencibir. Raya memang seorang perempuan yang sangat sederhana, berbeda dengan mantan-mantan kekasihnya dulu yang selalu memanfaatkan hubungan mereka dengan suka meminta barang-barang mahal. Selama berpacaran dengannya

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 22

    Udara siang ini cukup suram. Mendung bertengger menguasai angkasa, angin sesekali berhembus kencang menghempaskan helaian daun-daun akasia di depan kafe. Sebentar lagi hujan pasti turun dengan lebat.Raya tidak suka hujan.Hujan selalu mengingatkan pada kematian ayahnya. Hujan juga selalu mengingatkan kejadian buruk enam tahun lalu ketika ia diusir oleh David. Terlunta-lunta dengan gerimis rapat di terminal bis. Tak tahu kemana tujuannya. Hatinya ngilu mengingat hal-hal tersebut. Ia suka cuaca cerah, tanpa mendung, panas, dan langit yang biru. Hal itu membuat suasana hatinya juga ikut cerah, sakit yang timbul-tenggelem di hatinya paling tidak bisa tersamarkan.“Pesanannya, Bu,” seorang pelayan perempuan manis memindahkan sepiring nasi goreng keju dan segelas es teh manis dari nampan ke meja.Raya tersenyum, berterimakasih pada pelayan kafe itu sebelum ia beranjak meninggalkan Raya.Jam-jam makan siang begini tidak biasanya ia makan sendirian di luar kantor. Biasanya Raya membawa bekal

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 21

    Andra menutup pintu kamar Yasmin perlahan lalu berjalan menuju Raya yang duduk menekuri segelas kopi di meja makan. Raya memang penyuka kopi, itulah yang diketahui Andra semenjak mereka bertemu. Pagi hari dimulai dengan kopi, siang dengan kopi, dan menutup hari juga dengan kopi. Raya akan lebih rileks jika meminum segelas kopi, katanya semua syarafnya yang semula tegang menjadi kendur. Dan mulai saat itu juga Andra yang tidak suka kopi menjadi pencinta kopi juga.“Kopi ….” Raya mengerling ke secangkir kopi yang telah dibuatkannya untuk Andra.“Thanks,” jawab Andra seraya duduk di samping Raya.Mereka diam, sibuk dengan kopinya masing-masing.“Maafkan aku karena tadi mematikan ponsel, Ya….” Andra membuka percakapan setelah hangatnya air kopi membasuh kerongkongannya.“Aku yang minta maaf, aku takut kamu marah karena David yang menemaniku.”Andra tersenyum simul. “Aku tidak marah. Malah seharusnya aku berterimakasih pada David karena mau menemanimu menjemput Raya dan mengantarkanmu kemb

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 20

    Rama menghampiri Raya di meja kerjanya. Ia duduk di hadapan Raya yang sibuk dengan komputernya. Raya melihatnya sekilas tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Sintia ingin bertemu denganmu,” Rama memulai pembicaraan pelan.“Kau mengatakan padanya kalau aku kembali?” Raya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.“Tentu saja!” jawab Rama seraya menghempaskan badannya ke kursi. “Apa kau tidak ingin bertemu dengannya? Semalaman dia menangis ketika ku beritahu bahwa kau bekerja di kantor yang sama denganku.”Raya menghela nafas. “Aku akan ke rumahmu nanti….”Rama mengeryitkan kening. “Apa kau tahu alamat rumahku dan Sintia?”“Aku tahu semua tentang kalian. Tapi kalian yang tidak tahu apa-apa tentangku,” jawab Raya kali ini dengan menatap Rama.“Rupanya pacar barumu itu punya kuasa, ya ….” Kata Rama seraya menyilangkan kakinya.“Apa pedulimu?”“Kenapa kau sampai menjalin hubungan dengan Andra? Sementara David di sini seperti orang gila mengharapkanmu?” Rama bertanya tajam tapi dengan suara aga

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 19

    Andra tersenyum ketika Raya membuka pintu kantor. Laki-laki perlente itu berdiri di samping Range Rover hitam miliknya. Ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja atasan putih yang tak dimasukkan dengan lengan digulung ke siku. Rambutnya bermodel curtain haircut yang diterpa semilir angin sore, menambah aura terpancar dari wajahnya. Aura seorang CEO perusahaan besar. Seorang CEO muda yang bisa jatuh hati pada gadis beranak satu dan tidak punya apa-apa seperti Raya. Sungguh hati manusia yang aneh! “Sudah lama?” tanya Raya. Andra menggeleng, menggaet pinggang Raya ke dekatnya lantas mendaratkan ciuman panas ke bibir kekasihnya itu. “Hey! Malu dilihat orang!” jerit Raya celingukan. Berciuman di tempat umum bukan sesuatu yang disenangi Raya. Andra terkekeh kecil, membukakan pintu untuk Raya. “Sudah makan?” tanya Raya ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju membelah hiruk-pikuk Jakarta. “Belum,” jawab Andra. “Tadi setelah dari kantor aku langsung jemput kamu.” “Aku ka

  • Pernikahan Penebus Hutang   Chapter 18

    Yang dilihat dari David wanita yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Raya yang ia kenal enam tahun lampau. Raya yang ia kenal adalah wanita bersahaja yang tidak pernah kenal make up komplit di wajahnya, tapi Raya sekarang ini kebalikannya. Ia memakai bedak, eye shadow, eye liner, lipstik dengan warna yang ia senadakan dengan blush on di pipinya. Rambut Raya yang dulu tergerai panjang, sekarang dipotong bob di bawah kuping. Pakaiannya pun kali ini lebih aduhai, ia memakai kemeja pink berpotongan sesuai lekuk tubuh, dengan rok span hitam selutut yang juga dapat mempertegas pantatnya yang aduhai.Ini bukan Raya!Raya yang dulu selalu senang jika David memeluknya ketika ia pulang kerja. Tapi Raya yang ingin dengan gesit menepis pelukan tiba-tiba David ketika ia membuka pintu tadi.“Maaf, Pak, ini kantor!” katanya tegas. Tidak ada secuil pun hasrat atau kerinduan terpancar dari wajah perempuan yang dulu begitu mencintainya itu.“Kau darimana selama ini?” pertanyaan David parau menahan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status