Suara dering ponsel menghentakkan Raya dari tidurnya. Kaget. Sambil mengerjapkan mata ia mengambil sumber bunyi itu dari nakas.
“Ha… Halo,” kata Raya parau.
“Raya!” pekik suara di seberang. Raya menjauhkan ponsel dari telinganya, memastikan nama yang tertera di layar. Sintia.
“Ada apa, Sin?” tanya Raya seraya memejamkan mata.
“Aduh! Gila kamu, ya! Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi!” pekik Sintia kesal.
Raya tersentak. Kembali dilihatnya layar ponsel. Pukul sepuluh kurang lima menit. Kenapa ia bangun kesiangan? David menggeliat. Mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum pada Raya. Satu hal yang Raya sadari kini, mereka tidur tanpa mengenakan apapun!
“Halo! Kok ngalamun sih, Ya!” teriak Sintia.
“I… iya, nanti aku telepon lagi. Aku mandi dulu,” Raya cepat-cepat menutup teleponnya.
Raya memijit pelipisnya. Ingatannya telah kembali utuh. Tadi malam merupakan hal paling manis yang ia rasakan selama hidup. Ia dan David telah menghabiskan malam seperti layaknya suami-istri yang sebenarnya.
“Aduh, kita harus segera siap-siap!” pekik Raya saat ia mulai sadar bahwa harus segera mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya nanti sore.
“Kenapa buru-buru?” tanya David memeluk tubuhnya. Raya menggeliat, ingin melepaskan dekapan suaminya.
“Mamamu pasti sudah bertanya-tanya dimana kita berada,” elak Raya. Ia hendak bangkit, tapi tiba-tiba tangan David mencengkeram pergelangan tangannya, lantas menarik tubuh Raya. Sebelum Raya sempat memberontak, David telah menindih tubuh kecil itu, lalu menelusupkan jemarinya ke rambut Raya.
“Jangan kemana-mana,” bisik David di telinga Raya.
Raya tersenyum geli. “Sudah siang, David.”
“Adakah yang lebih penting dari keadaan ini?” goda David. Tangannya masih mengunci pergelangan tangan Raya. Gadis itu mengerang lirih, tapi David semakin erat memegangnya.
“Pesta pernikahan kita,” jawab Raya dengan sorot mata memohon. Memohon agar David melepaskan dekapannya.
“Tidak!” David menggeleng. “Pesta pernikahan itu tidak penting, Raya. Hanya ajang mamaku mengatakan pada dunia bahwa aku lelaki yang normal dan mau menikah.”
Raya tertawa. Sejak menikah dengan David, baru kali ini ia tertawa lepas. Beban yang tersandang di pundaknya telah berangsur reda.
“Apapun yang terjadi kita harus siap-siap,” jawab Raya pelan. “Jangan sampai kita membuat mamamu marah karena kita tidak segera siap-siap.”
“No!” pekik David. “Kita habiskan waktu kita kira-kira satu jam lagi!”
Sia-sia Raya memberontak. David malah memeluknya. Posisinya telah berganti di atas David. David menarik selimut sehingga menutupi tubuh keduanya. Raya ingin keluar dari selimut tersebut, tapi tetap saja sia-sia.
Raya menyerah.
Bagaimanapun ia juga menikmati keadaan itu. Biarkan saja Nyonya Kinasih menunggu. Biarkan saja Sintia galau karena sendirian di kamar menunggunya mengajak keluar. Biarkan MUA menunggunya untuk merias wajah. Biarkan orang-orang itu menunggu. Ia hanya ingin David di sampingnya. Selamanya. Seutuhnya.
***
Suasana pesta pernikahan petang begitu meriah. Banyak tamu, yang bukan orang sembarangan tentunya, datang memenuhi undangan Nyonya Kinasih. Suasana begitu elegan, mewah, dan intim. Ditambah acara tersebut dilangsungkan di pinggir pantai, menambah suasana romantis kian tercipta.
Angin berhembus, menghempaskan rambut panjang Raya yang dibiarkannya tergerai. Tangannya dikalungkan ke leher David, semetara Dara meletakkan tangannya di pinggang Raya. Mereka berdansa. “Kau cantik sekali,” puji David lalu merapikan helaian rambut Raya.
“Makasih.”
“Apa kau bahagia?” tanya David tersenyum.
Raya mengangguk. “Sangat!”
Mereka berdua tak peduli dengan sekitar. Sintia duduk di kursi tamu bersama Rama. Tangannya tak henti bertepuk girang melihat adegan kemesraan saudara sepupunya itu.
“Romantis sekali.” Puji Sintia.
“Kau juga ingin berdansa?” Rama meletakkan makanan yang sedari tadi dinikmatinya.
Sintia menggeleng. “Aku tak bisa berdansa.”
“Aku ajari.”
“Aku malu,” sahut Sintia ketus. “Mereka semua yang berdansa adalah ahli dansa. Sedangkan aku baru melihat orang berdansa secara langsung di sini.”
“Tenang,” sahut Rama. “Sepuluh menit kau akan lihai berdansa.”
Belum sempat Sintia menjawab, Rama sudah menarik tangan gadis itu. Bergabung dengan pedansa-pedansa yang lain di bawah panggung tempat Raya dan David berdansa.
Semua bertepuk tangan. Raya juga ikut bertepuk tangan sambil tertawa melihat Sintia yang kikuk berdansa dengan Rama.
“Hey!” ujar David. “Sejak kapan mereka saling mengenal?”
Raya mengangkat bahu. “Aku tak tahu. Tapi mereka serasi sekali.”
David menganggukkan kepalanya.
“Kau cemburu, ya?” goda Raya tersenyum jahil.
“Huss!” David berkata seraya mempererat tangannya di pinggang Raya. “Apa tadi malam belum menjawab semuanya?”
Raya menggeleng jahil sambil tertawa.
“Okey, kalau begitu kita lihat lagi nanti!” ancam David tersenyum lebar.
Raya melotot. David tak peduli, jemari tangan kanannya menelusup ke sela rambut kepala Raya. Dengan sekali sentakan ia mendekatkan bibir Raya ke bibirnya, dan tanpa permisi David melumatnya sampai erangan lirih keluar dari bibir itu.
“Sakit,” erang Raya yang hanya di sendiri yang bisa mengartikan suaranya.
David tak peduli!
Tamu undangan bertepuk tangan. Sintia dan Rama menghentikan dansa mereka dan juga ikut memeriahkan suara tepuk dan siulan yang gegap gempita menghiasa malam penuh bintang itu.
Raya dan David berbahagia. Dan semua tamu di acara itu bisa merasakan kemesraan dari dua sejoli dilanda kasmaran tersebut.
Tapi tidak dengan Nyonya Kinasih. Ia duduk di bangku depan bersama asisten pribadinya. Wajahnya dingin, tanpa senyum dan ekspresi. Tapi jelas kejengkelan tersirat dari wajah paruh baya yang tetap cantik itu.
“Kenapa akting mereka natural sekali,” geramnya kesal.
“Adakah sesuatu, Nyonya?” tanya Rony, asisten pribadinya itu.
“Apakah ada yang aneh dari gerak-gerik Raya dan David setelah mereka tinggal serumah?”
Rony menggeleng pelan. “Tidak ada. Nona Raya jarang ke luar rumah. Sedangkan Tuan David melakukan aktivitasnya seperti biasa, Nyonya.”
Nyonya Kinasih memainkan ujung dagu dengan tangan kanannya. “Apakah Rama masih sering datang ke rumah David?” tanyanya seraya mengerling ke arah Rama dan Sintia yang masih asyik berdansa.
“Tidak, Nyonya.” Jawab Rony. “Tuan Rama sama sekali tidak pernah keliatan batang-hidungnya di rumah Tuan David.”
Nyonya Kinasih mengangguk pelan. “Sepertinya David dan Rama sudah putus.”
Rony melihat Rama dan Sintia. “Atau mereka hanya berakting saja, Nyonya?” tanya Rony kemudian.
Nyonya Kinasih menggelengkan kepalanya.
“Apakah saya perlu bertindak, Nyonya?” tanya Rony sambil merapikan atasan jasnya.
Nyonya Kinasih diam. Memandang anak dan menantunya yang sangat ketara sekali tidak sedang berakting.
“Awasi mereka, Rony,” pesan Nyonya Kinasih kemudian. “Sepertinya ada yang tidak beres dengan pernikahan mereka ini. Rupa-rupanya Suroso sedang bermain api denganku. Jika perjanjian yang telah kami buat dilanggar olehnya, maka supir itu bisa menerima hal yang buruk!”
“Apakah saya harus menghubungi Pak Suroso sekarang saja, Nyonya?” tanya Rony bersiap mengeluarkan ponselnya.
“Jangan!” sergah Nyonya Kinasih. “Biar aku yang menghubungi Suroso, tugasmu awasi mereka saja!”
Rony mengangguk takzim. Nyonya Kinasih berdiri, sebelum melangkah ia berpesan pada Rony, “Aku akan pergi ke kamarku dahulu. Tetap awasi mereka. Jika ada tamu yang bertanya dan curiga akan keberadaanku, bilang pada mereka aku sedang meeting online dengan kolegaku.”
Rony berdiri seraya mengangguk takzim. Ia duduk kembali setelah Nyonya Kinasih beranjak meninggalkannya. Ia kembali mengawasi David dan Raya yang dimabuk cinta itu. Dua sejoli itu selalu berpelukan dan berpegangan tangan. Rony menyandarkan tubuhnya di kursi. Ada hal aneh terbersit di kepalanya saat itu….
***
“Hey, Suroso!” pekik Nyonya Kinasih setelah sampai dalam kamarnya. “Rencana yang kita lakukan sepertinya tidak sesuai dengan prediksimu!” Suara di seberang menjawab, “Apa maksud, Nyonya?” “Kau mengatakan antara David dan Raya tidak akan mungkin ada perasaan satu sama lain!” “Benar, Nyonya. Saya jamin! Apalagi melihat kelainan yang ada dalam diri Tuan David.” Nyonya Kinasih memijit-mijit kepalanya yang tidak pening itu. “Besok siang sepulang saya dari sini saya tunggu kamu di ruang kerja saya!” “A… Ada apa, Nyonya?” suara panik Pak Suroso dari seberang. “Kau akan tahu besok!”*** David membopong Raya setelah menutup pintu kamar hotel dengan kasar. “Ih, kamu kenapa, Vid!” pekik Raya. “Malu jika ada orang melihat!” David tertawa. “Nyonya David, siapa yang akan melihat kita. Di kamar ini hanya ada kita berdua sekarang!” Raya meng
Nyonya Kinasih menggebrak meja kerjanya. Suaranya berdentum keras sehingga membuat Pakde Suroso sedikit tersentak kaget. Lelaki lebih setengah abad itu mundur selangkah, takut wanita di depannya akan melakukan hal yang sama lagi.“Saya rasa mereka hanya beradu akting saja, Nyonya,” Pakde Suroso angkat bicara. “Saya yakin tidak ada perasaan sama sekali diantara mereka berdua.”Nyonya Kinasih menggeleng seraya menjawab, “Kau tahu, ketika berangkat ke Bali sikap mereka biasa saja. Aku akan percaya mereka hanya berakting kalau ketika pulang mereka juga akan bersikap biasa. Tapi ini tidak begitu, di pesawat bahkan di bandara mereka sangat mesra. Berpelukan dan bergandengan seperti tidak bisa dipisahkan!”Pakde Suroso diam.“Apakah Bali membuat mereka berdua jatuh cinta? Apakah Raya bisa menyembuhkan David?” tanya Nyonya Kinasih seperti pada dirinya sendiri.“Ah, saya rasa tidak, Nyonya ….”“Atau ….” Potong Nyonya Kinasih cepat. “Kau memang sengaja memberikan Raya padaku agar mereka berdua
“Mulai besok aku ada rapat ke luar kota, Ya,” kata David pagi itu di meja makan.Raya mengangguk. Menuangkan jus jeruk ke gelas kaca dengan perlahan. Sarapan sudah siap di meja makan, Raya memasak nasi goreng daging sapi. Mbok Siti libur dua hari ini, anaknya yang sulung melahirkan kemarin, beliau sibuk menjaga anaknya tersebut.“Mungkin sekitar lima hari aku tidak di rumah,” kata David seraya menyendokkan nasi ke mulutnya. “Kau tidak apa-apa sendirian? Kau berani?”Raya kembali mengangguk. “Jangan khawatir. Aku bukan anak kecil yang penakut.”David tersenyum, membelai rambut istrinya itu dengan lembut.“Berarti nanti sore saja kita tengok cucu Mbok Siti,” kata Raya. “Pumpung kamu masih di rumah, jadi bisa menemaniku.”“Okay.”“Mamamu kemarin kenapa menyuruhmu datang ke kantornya?” tanya Raya. Hal ini ingin ditanyakannya sedari kemarin, tapi tadi malam ia kecapekan dan ketiduran ketika menunggu David lembur.“Oh, itu,” balas David. “Biasa. Menyuruhku untuk menggantikan beliau di kant
“Gimana? Sudah enakan badannya?” tanya David dari telepon. Raya menggeliat, kembali bergelung dalam selimut. Sudah dua hari David pergi ke luar kota, tapi sejak saat itu dirasakannya badannya tidak enak.“Asam lambungku naik sepertinya,” jawab Raya setelah menguap. “Tadi malam aku sudah minum obat asam lambung.”“Terus sudah enakan?” tanya David khawatir.Raya menggeleng seraya menjawab, “Belum.”“Janji ya nanti kamu bakal pergi ke dokter,” pinta David. “Jangan sampai sakit, apalagi aku masih tiga hari di sini. Setelah selesai janji aku langsung pulang.”“Iya, Vid,” jawab Raya. “Tadi aku sudah telepon Sintia, dia mau kok pergi ke dokter denganku. Nanti sore aku ke dokter langgananku.”“Kok nanti sore?” sergah David.“Sintia ada bimbingan skripsi sampai siang,” jawab Raya sambil duduk. “Gak apa-apa, kok. Aku bukan sakit parah, cuma sedikit gak enak badan.”Terdengar David menghela nafas panjang. “Ya, sudah. Tapi kalau sampai siang ini sakitnya semakin parah kamu pergi ke rumah sakit de
Sintia menguap, berdiri di samping ibunya yang tengah memotong sayuran di dapur. Tangannya meraih gelas dan menuangkan aor putih ke dalamnya. Ibunya melihatnya dengan pandangan kesal.“Anak perawan jam segini baru bangun,” kata Bude Rani. “Gak malu sama ayam tetangga?”Sintia meletakkan gelas kosong seraya menguap. “Namanya juga ngantuk, Bu.”“Semalam darimana?” tanya BUde Rani lantas melanjutkan memotong wortel. “Jam berapa pulang?”“Nganter Raya ke dokter.”Bude Rani memandang Sintia sekilas. “Raya sakit apa?”“Bukan sakit, Bu.”“Lha, terus?”“Ibu mau jadi nenek!” Sintia menjawab antusias dengan senyum tersungging lebar di bibirnya.Bude Rani menghentikan aktifitasnya, memandang anak semata wayangnya itu dengan melotot. “Jadi nenek? Maksudmu?”Sintia menghela nafas. “Ya, kalau Ibu mau jadi nenek, artinya Raya hamil, Bu!” jawabnya kesal.“Ha …. Hamil?” tanya Bude Rani kaget.Sintia mengangguk pelan. “Betul sekali!”“Kok bisa?” Bude Rani berteriak tidak percaya. “Sama siapa?”Sintia m
Sepagi ini Raya telah bersiap-siap. Ia mengenakan dress selutut warna cream dengan cardigan warna senada. Rambutnya yang panjang sebahu dikuncir kuda. Ia tidak banyak berdandan karena memang tidak bisa. Wajahnya hanya dipoles dengan bedak tipis dan bibirnya hanya menggunakan lipgloss warna pink.Tadi malam Pakde Suroso meneleponnya. Tanpa ada angin ataupun hujan, beliau mengabarkan sesuatu yang cukup membuat Raya senang.“Nyonya Kinasih mengajakmu bertemu besok, Ya,” kata Pakde Suroso.“Besok, Pakde?” tanya Raya ragu-ragu karena tak percaya Nyonya Kinasih mengajak bertemu.“Kenapa?” Pakde Suroso balik bertanya. “Kamu ada acara besok?”“Oh, tidak!” cepat-cepat Raya menjawab. “Besok saya bisa.”“Baguslah,” nada lega tersirat dari suara Pakde Suroso. “Nyonya Kinasih mau makan siang sama kamu.”Mata Raya berbinar. Makan siang bersama? Semoga ini bisa menjadi pertanda baik akan hubungannya dengan mertuanya itu.“Dimana, Pakde?” tanya Raya tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.“Di v
Perlahan Raya membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu mengamati sekeliling. Ia tengah berada di sebuah kamar yang baru kali ini lihat. Luas dan lebar. Perlahan ia duduk, mengumpulkan semua ingatan di dalam benaknya. Kepalanya sedikit pusing dan berat.Belum hilang ragunya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Masuklah sosok Pakde Suroso dengan membawa sebuah cangkir.“Sudah bangun kamu, Ya?” tanyanya seraya meletakkan cangkir itu di nakas.Raya mengangguk bingung. “Kenapa saya sampai di kamar ini, Pakde?”“Kamu tidak ingat yang terjadi?”Raya menggeleng pelan. Ingatan terakhirnya adalah di dalam mobil setelah Pakde turun di minimarket.“Tadi kamu itu pingsan di mobil,” jawab Pakde Suroso seraya mengangsurkan cangkir yang ternyata berisi teh hangat pada Raya.“Pingsan?” tanya Raya seraya menerima cangkir dari tangan Pakde Suroso.“Entah kamu pingsan atau ketiduran, tapi dibangunin susah,” jawab Pakde Suroso. “Ayo sambil diminum tehnya, biar hangat.”Raya menyeruput teh itu sedikit.
Suara derum kendaraan dari garasi mengagetkan Raya di kamarnya. Ia baru saja berganti pakaian sehabis mandi. Diintipnya dari gorden siapa gerangan yang datang ke rumahnya pagi-pagi begitu.“David,” katanya tak percaya sekaligus senang. Seharusnya baru besok suaminya itu pulang. Tapi kenapa tiba-tiba sepagi ini ia sudah sampai di rumah?Raya setengah berlari ke ruang bawah untuk menyambut David. Tapi belum sempat pintu ruang tamu dibukanya, David sudah mendorong pintu itu dari luar dengan kasar, hampir mengenai badan Raya.“David!” kata Raya tersenyum senang. “Kenapa sudah pulang?”David diam, berjalan melalui Raya. Raya tertegun, ia menginginkan depakan David seperti biasanya ketika pulang kantor. Tapi jangankan dekapan, senyuman saja tidak hadir di bibir David saat ini.“Ada apa?” tanya Raya pelan. “Adakah masalah di kantor?” Raya berjalan perlahan ke samping David yang berdiri bagai patung di dekat TV.“Pergi kau dari sini!” David berteriak, tanpa memandang Raya.Raya mengeryitkan k