Share

Chapter 6

Suara dering ponsel menghentakkan Raya dari tidurnya. Kaget. Sambil mengerjapkan mata ia mengambil sumber bunyi itu dari nakas.

            “Ha… Halo,” kata Raya parau.

            “Raya!” pekik suara di seberang. Raya menjauhkan ponsel dari telinganya, memastikan nama yang tertera di layar. Sintia.

            “Ada apa, Sin?” tanya Raya seraya memejamkan mata.

            “Aduh! Gila kamu, ya! Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi!” pekik Sintia kesal.

            Raya tersentak. Kembali dilihatnya layar ponsel. Pukul sepuluh kurang lima menit. Kenapa ia bangun kesiangan? David menggeliat. Mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum pada Raya. Satu hal yang Raya sadari kini, mereka tidur tanpa mengenakan apapun!

            “Halo! Kok ngalamun sih, Ya!” teriak Sintia.

            “I… iya, nanti aku telepon lagi. Aku mandi dulu,” Raya cepat-cepat menutup teleponnya.

            Raya memijit pelipisnya. Ingatannya telah kembali utuh. Tadi malam merupakan hal paling manis yang ia rasakan selama hidup. Ia dan David telah menghabiskan malam seperti layaknya suami-istri yang sebenarnya.

            “Aduh, kita harus segera siap-siap!” pekik Raya saat ia mulai sadar bahwa harus segera mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya nanti sore.

            “Kenapa buru-buru?” tanya David memeluk tubuhnya. Raya menggeliat, ingin melepaskan dekapan suaminya.

            “Mamamu pasti sudah bertanya-tanya dimana kita berada,” elak Raya. Ia hendak bangkit, tapi tiba-tiba tangan David mencengkeram pergelangan tangannya, lantas menarik tubuh Raya. Sebelum Raya sempat memberontak, David telah menindih tubuh kecil itu, lalu menelusupkan jemarinya ke rambut Raya.

            “Jangan kemana-mana,” bisik David di telinga Raya.

            Raya tersenyum geli. “Sudah siang, David.”

            “Adakah yang lebih penting dari keadaan ini?” goda David. Tangannya masih mengunci pergelangan tangan Raya. Gadis itu mengerang lirih, tapi David semakin erat memegangnya.

            “Pesta pernikahan kita,” jawab Raya dengan sorot mata memohon. Memohon agar David melepaskan dekapannya.

            “Tidak!” David menggeleng. “Pesta pernikahan itu tidak penting, Raya. Hanya ajang mamaku mengatakan pada dunia bahwa aku lelaki yang normal dan mau menikah.”

            Raya tertawa. Sejak menikah dengan David, baru kali ini ia tertawa lepas. Beban yang tersandang di pundaknya telah berangsur reda.

            “Apapun yang terjadi kita harus siap-siap,” jawab Raya pelan. “Jangan sampai kita membuat mamamu marah karena kita tidak segera siap-siap.”

            “No!” pekik David. “Kita habiskan waktu kita kira-kira satu jam lagi!”

            Sia-sia Raya memberontak. David malah memeluknya. Posisinya telah berganti di atas David. David menarik selimut sehingga menutupi tubuh keduanya. Raya ingin keluar dari selimut tersebut, tapi tetap saja sia-sia.

            Raya menyerah.

            Bagaimanapun ia juga menikmati keadaan itu. Biarkan saja Nyonya Kinasih menunggu. Biarkan saja Sintia galau karena sendirian di kamar menunggunya mengajak keluar. Biarkan MUA menunggunya untuk merias wajah. Biarkan orang-orang itu menunggu. Ia hanya ingin David di sampingnya. Selamanya. Seutuhnya.

***

            Suasana pesta pernikahan petang begitu meriah. Banyak tamu, yang bukan orang sembarangan tentunya, datang memenuhi undangan Nyonya Kinasih. Suasana begitu elegan, mewah, dan intim. Ditambah acara tersebut dilangsungkan di pinggir pantai, menambah suasana romantis kian tercipta.

            Angin berhembus, menghempaskan rambut panjang Raya yang dibiarkannya tergerai. Tangannya dikalungkan ke leher David, semetara Dara meletakkan tangannya di pinggang Raya. Mereka berdansa. “Kau cantik sekali,” puji David lalu merapikan helaian rambut Raya.

            “Makasih.”

            “Apa kau bahagia?” tanya David tersenyum.

            Raya mengangguk. “Sangat!”

            Mereka berdua tak peduli dengan sekitar. Sintia duduk di kursi tamu bersama Rama. Tangannya tak henti bertepuk girang melihat adegan kemesraan saudara sepupunya itu.

            “Romantis sekali.” Puji Sintia.

            “Kau juga ingin berdansa?” Rama meletakkan makanan yang sedari tadi dinikmatinya.

            Sintia menggeleng. “Aku tak bisa berdansa.”

            “Aku ajari.”

            “Aku malu,” sahut Sintia ketus. “Mereka semua yang berdansa adalah ahli dansa. Sedangkan aku baru melihat orang berdansa secara langsung di sini.”

            “Tenang,” sahut Rama. “Sepuluh menit kau akan lihai berdansa.”

            Belum sempat Sintia menjawab, Rama sudah menarik tangan gadis itu. Bergabung dengan pedansa-pedansa yang lain di bawah panggung tempat Raya dan David berdansa.

            Semua bertepuk tangan. Raya juga ikut bertepuk tangan sambil tertawa melihat Sintia yang kikuk berdansa dengan Rama.

            “Hey!” ujar David. “Sejak kapan mereka saling mengenal?”

            Raya mengangkat bahu. “Aku tak tahu. Tapi mereka serasi sekali.”

            David menganggukkan kepalanya.

            “Kau cemburu, ya?” goda Raya tersenyum jahil.

            “Huss!” David berkata seraya mempererat tangannya di pinggang Raya. “Apa tadi malam belum menjawab semuanya?”

            Raya menggeleng jahil sambil tertawa.

            “Okey, kalau begitu kita lihat lagi nanti!” ancam David tersenyum lebar.

            Raya melotot. David tak peduli, jemari tangan kanannya menelusup ke sela rambut kepala Raya. Dengan sekali sentakan ia mendekatkan bibir Raya ke bibirnya, dan tanpa permisi David melumatnya sampai erangan lirih keluar dari bibir itu.

            “Sakit,” erang Raya yang hanya di sendiri yang bisa mengartikan suaranya.

            David tak peduli!

            Tamu undangan bertepuk tangan. Sintia dan Rama menghentikan dansa mereka dan juga ikut memeriahkan suara tepuk dan siulan yang gegap gempita menghiasa malam penuh bintang itu.

            Raya dan David berbahagia. Dan semua tamu di acara itu bisa merasakan kemesraan dari dua sejoli dilanda kasmaran tersebut.

            Tapi tidak dengan Nyonya Kinasih. Ia duduk di bangku depan bersama asisten pribadinya. Wajahnya dingin, tanpa senyum dan ekspresi. Tapi jelas kejengkelan tersirat dari wajah paruh baya yang tetap cantik itu.

            “Kenapa akting mereka natural sekali,” geramnya kesal.

            “Adakah sesuatu, Nyonya?” tanya Rony, asisten pribadinya itu.

            “Apakah ada yang aneh dari gerak-gerik Raya dan David setelah mereka tinggal serumah?”

            Rony menggeleng pelan. “Tidak ada. Nona Raya jarang ke luar rumah. Sedangkan Tuan David melakukan aktivitasnya seperti biasa, Nyonya.”

            Nyonya Kinasih memainkan ujung dagu dengan tangan kanannya. “Apakah Rama masih sering datang ke rumah David?” tanyanya seraya mengerling ke arah Rama dan Sintia yang masih asyik berdansa.

            “Tidak, Nyonya.” Jawab Rony. “Tuan Rama sama sekali tidak pernah keliatan batang-hidungnya di rumah Tuan David.”

            Nyonya Kinasih mengangguk pelan. “Sepertinya David dan Rama sudah putus.”

            Rony melihat Rama dan Sintia. “Atau mereka hanya berakting saja, Nyonya?” tanya Rony kemudian.

            Nyonya Kinasih menggelengkan kepalanya.

            “Apakah saya perlu bertindak, Nyonya?” tanya Rony sambil merapikan atasan jasnya.

            Nyonya Kinasih diam. Memandang anak dan menantunya yang sangat ketara sekali tidak sedang berakting.

            “Awasi mereka, Rony,” pesan Nyonya Kinasih kemudian. “Sepertinya ada yang tidak beres dengan pernikahan mereka ini. Rupa-rupanya Suroso sedang bermain api denganku. Jika perjanjian yang telah kami buat dilanggar olehnya, maka supir itu bisa menerima hal yang buruk!”

            “Apakah saya harus menghubungi Pak Suroso sekarang saja, Nyonya?” tanya Rony bersiap mengeluarkan ponselnya.

            “Jangan!” sergah Nyonya Kinasih. “Biar aku yang menghubungi Suroso, tugasmu awasi mereka saja!”

            Rony mengangguk takzim. Nyonya Kinasih berdiri, sebelum melangkah ia berpesan pada Rony, “Aku akan pergi ke kamarku dahulu. Tetap awasi mereka. Jika ada tamu yang bertanya dan curiga akan keberadaanku, bilang pada mereka aku sedang meeting online dengan kolegaku.”

            Rony berdiri seraya mengangguk takzim. Ia duduk kembali setelah Nyonya Kinasih beranjak meninggalkannya. Ia kembali mengawasi David dan Raya yang dimabuk cinta itu. Dua sejoli itu selalu berpelukan dan berpegangan tangan. Rony menyandarkan tubuhnya di kursi. Ada hal aneh terbersit di kepalanya saat itu….

***

           

           

           

           

           

Komen (1)
goodnovel comment avatar
YOYOK WI
lanjutkan thor..kdang ada yang typo2 sih...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status