“Ah, Nyonya tidak seharusnya memasak begini,” ujar Mbok Siti mencoba mengambil sutil dari tangan Raya yang digunakannya untuk membola-balik gulai dalam wajan.
“Gak apa-apa, Mbok,” jawab Raya. “Di rumah bude dulu setiap hari saya yang masak.”
“Ya, tapi nanti saya dimarahi Tuan David kalau tahu Nyonya Raya yang setiap hari masak.”
Raya menggeleng. “Gak kok, Mbok. Tenang saja.”
Mbok Siti pasrah, lantas beranjak mencuci piring kotor di kitchen sink. Selama hampir dua minggu Raya tinggal di rumah ini, dialah yang memasak semua hidangan. Bangunnya selalu pagi, bahkan kadang lebih pagi dari Mbok Siti. Ia cekatan dan terampil. Menyiapkan sarapan, membantu Mbok Siti mengepel, bahkan kadang ia yang mencuci pakaian.
David tahu hal tersebut, dilapori Mbok Siti tentu saja. Dengan bijaksana ia menegur Raya.
“Raya, kamu boleh membantu Mbok Siti. Tapi jangan semua pekerjaan kamu yang kerjakan. Mbok Siti laporan sama saya, beliau gak enak karena tugasnya berkurang banyak.”
Raya mengangguk. Paham. Hatinya bergetar, bukan karena ia marah sebab David melarangnya. Tapi ia merasa suara ia menyejukkan hatinya. Entah kenapa selama ia tinggal dengan David, tak pernah sekalipun pria itu berbuat sesuatu yang menyinggungnya. Ia kalem, hangat, perhatian, serta sopan.
Sejak kejadian sore itu di balkon, David tidak pernah melakukan hal seperti itu lagi. Mereka tidur sekamar. Seranjang. Tapi tidak pernah David melampaui batas. Raya suka lupa, bukankah David tidak suka perempuan? Tapi kenapa dulu di balkon, David ingin menciumnya?
Raya meletakkan wadah gulai daging di atas meja makan ketika David datang menghampirinya. Rupanya ia selesai mandi. Raya bisa melihat rambut laki-laki itu basah. Bau harum tubuh David menguar memenuhi meja makan. Dada Raya bergetar. Entah mengapa perasaan aneh itu selalu muncul setiap bau laki-laki itu masuk ke hidungnya, sampai otaknya, dan mengendap di hatinya.
“Kau yang masak?” tanyanya seraya duduk di kursi favoritnya. Raya mengangguk. Mengambilkan nasi ke dalam piring David, menyendokkan gulai daging di atas nasi yang mengepul. Walaupun pernikahannya dengan David adalah sesuatu yang menurutnya konyol, tetapi bagaimanapun David adalah suami sahnya. Ayahnya dulu selalu berpesan, jika ia menikah, maka suami adalah segalanya. Melayani suami adalah kewajiban istri, baik itu secara lahir dan batin. Secara lahir Raya berusaha melakukan yang terbaik, tapi secara batin, entah hal itu akankah pernah terjadi.
“Ada yang mau aku bicarakan, Raya,” suara David pelan diantara denting piring dan sendok.
“Tentang apa?” tanya Raya yang telah duduk di seberang David.
“Resepsi pernikahan kita di Bali.”
Raya diam. Ia hampir saja lupa jika masih harus melaksanakan satu prosesi acara pernikahan. Bukankah resepsi itu baru akan dilaksanakan bulan depan?
“Mama mengajukan resepsi pernikahan kita.”
Raya terkejut. “Kapan?”
“Hari Minggu.”
“Tiga hari lagi?” tekan Raya.
David mengangguk. “Mama bilang bulan depan banyak kegiatan bisnis ke luar negeri. Acara sangat padat. Jadi acara resepsi kita diajukan secepatnya.”
“Oh,” balas Raya. “Tapi aku belum persiapan apa-apa.”
David minum seteguk air putih yang baru dituangkan Mbok Siti ke gelasnya. “Semua sudah disiapkan Mama. Kita tinggal berangkat besok sore.”
Raya diam, mengangguk pelan. Betapa hebatnya jadi orang kaya. Ingin melakukan apapun bisa sekehendak hatinya. Dan sekarang, ia di sini bagaikan robot. Yang bisa sesuka hati mereka disuruh ke kanan dan ke kiri. Ia harus manut. Tidak ada kuasa Raya harus memberontak dan menolak. Ia adalah gadis yang telah dijual Pakde Suroso, pembeli yang membelinya memberikannya fasilitas kehidupan layaknya orang berada. Tapi satu hal yang tak mungkin ia dapatkan. Cinta dari David.
“David…” kata Raya pelan.
“Ya.”
“Apakah pakde dan budeku akan ikut?” Raya bertanya ragu.
David memandang Raya. “Tidak. Mamaku bilang tidak ada yang boleh tahu asal-usulmu. Mereka tidak akan diajak.”
Raya diam.
“Apakah kau ingin mereka ikut?” tanya David kemudian. Matanya memandang Raya. Hangat. Raya suka pandangan David. Itu tak bisa dipungkirinya. Pandangan itu menembus batinnya. Tapi ketika itu terjadi, kata-kata Nyonya Kinasih kembali bergema di kepalanya. Gay!
Raya menggeleng cepat. “Ti… Tidak!”
David mengangguk. Kembali fokus pada makanannya. Selama di sini, Raya jadi tahu makanan kesukaan David. Salah satunya adalah gulai daging, tak heran jika David makan lahap malam ini.
Tanpa Raya sadari, ia tahu semua kebiasaan David. Apa yang disukai dan tidak disukainya. Terkadang Raya merasa David ingin dekat dengannya, ingin menyentuhnya. Tetapi Raya selalu menghindar.
Apakah David tahu perasaan hatinya? Apa David tahu sebenarnya apa yang ia inginkan? Apa David tahu jika sebenarnya ia kesepian? Apa David tahu jika ia takut ke Bali tanpa seorang pun yang dikenalnya? Apa David tahu jika ia ingin mengajak Sintia? Ah, andai David tahu….
***
David membaca di tempat tidur. Ia memakai kacamata. Dalam diam Raya suka sekali pemandangan malam jika David membaca dengan kacamatanya itu. Kebiasaan David juga sebelum tidur selalu membaca buku di tempat tidur. Bermacam-macam yang ia baca, kadang buku filsafat, buku tentang ekonomi, kadang juga novel-novel yang Raya sendiri tak terlalu paham.
Biasanya Raya tidur duluan di sampingnya membelakangi David. Di tengah-tengah mereka ada guling yang menjadi penanda area kekuasaan masing-masing. Mereka jarang berkomunikasi. Hanya kata-kata biasa seperti ucapan selamat tidur. David tidak pernah tidur mendahului Raya, ia selalu tidur belakangan.
“Sudah ngantuk?” tanya David ketika Raya memasukkan tubuhnya dalam selimut, sementara ia masih asyik dengan buku ekonominya.
“Belum.”
Suasana hening.
Raya duduk, bersandar pada headboard. “David, sebenarnya soal ke Bali. Aku…”
“Aku sudah bilang Mama. Sintia boleh ikut menemani kamu.”
Raya kaget. Belum sempat selesai kata-katanya tapi David sudah menyambungnya dengan hal yang memang ingin ia utarakan.
“Kaget?” David mengerling ke Raya seraya tersenyum.
Raya tersenyum kecil. “I… Iya.”
David meletakkan buku dan kacamata di nakas. Lalu perlahan menggeser tubuhnya menghadap Raya yang masih terbengong kenapa David tahu keinginan hatinya.
“Aku sudah tahu sejak awal kau pasti ingin salah-satu keluargamu ikut,” kata David pelan. “Aku sudah bilang mama agar mengizinkan semua keluargamu pergi ke Bali. Tapi rupanya Mama tidak mengizinkan. Aku memohon paling tidak Sintia bisa ikut. Dan diperbolehkan.”
Haruskah Raya bahagia? Haruskah Raya berterimakasih pada David atas hal ini?
“Kenapa Nyonya Kinasih tidak mengizinkan pakde dan bude ikut?” kalimat itu yang keluar dari mulut Raya.
David mengangkat bahu. “Mungkin mamaku tahu bagaimana sifat pakde dan budemu. Aku tahu banyak hal yang kamu sendiri bahkan tidak tahu, Raya.”
“Maksudmu?” Raya mengeryitkan kening.
“Aku tahu beberapa alasan kenapa kita dinikahkan. Pernikahan ini bukan keinginan kita. Kalau tidak karena ulah pakdemu, kau tidak akan mau kan menikah denganku?”
Raya menunduk. Tanpa Raya menjawab pun, David sudah tahu jawabannya.
“Mamaku takut jika pakdemu ikut malah akan membuat suasana jadi kacau. Jadi mama dengan tegas menolak.”
Dalam hati Raya membenarkan kata-kata David. Ia tahu Pakde Suroso yang mata duitan itu akan membuat hal-hal yang memalukan di pesta pernikahan itu. Tapi yang membuat Raya kaget lagi adalah bahwa David tahu hal-hal yang dirahasiakan pakde padanya. Berarti semua ini jelas scenario yang sudah disusun bersama. Dan hanya dia sendiri yang tidak tahu?
Raya ingin bersuara lagi tapi terpotong oleh dering suara hape David. Telepon. Raya sekilas melihat foto profil seorang laki-laki. Siapa dia?
“Oh, hallo… Rama!” kata David setelah hape menempel di telinganya. Ia memberikan kode pada Raya akan berbicara ke balkon. Raya mengangguk mempersilakan, padahal hatinya kacau karena masih ingin berbicara banyak dengan David.
Perlahan ia turun dari tempat tidur. Raya ingin mencari air putih ke dapur. Sekilas dilihatnya David tergelak di balkon. Rupanya ia begitu menikmati pembicaraannya. Raya penasaran, apa yang dibicarakan mereka?
Di dapur Mbok Siti masih mencuci piring. Raya duduk di meja makan yang memang menjadi satu dengan dapur tersebut. Ia menuang air putih dari teko kaca dan meminumnya.
“Belum tidur, Nyonya?” tanya Mbok Siti.
Raya menggeleng.
“Tuan sudah tidur?”
“Masih teleponan sama temannya.”
“Oh, Tuan Rama, ya?” tebak Mbok Siti. “Biasanya Tuan David teleponan sama Tuan Rama.”
“Mbok kenal sama yang namanya Rama?” Raya bertanya penasaran.
Mbok Siti mengangguk. “Kenal. Tuan Rama itu teman satu kantor Tuan David. Mereka sering kemana-mana bersama. Tuan Rama juga sering main ke sini. Nginep juga. Tapi setelah Tuan David menikah, Tuan Rama belum ke sini lagi.”
Raya meletakkan gelas beningnya. Ia penasaran. Jangan-jangan Rama kekasih David selama ini. Tadi dilihatnya David begitu bersemangat berbicara dengan Rama, bahkan sampai menjauh dari Raya. Beberapa kali memang Raya sering melihat David berbicara di telepon dengan seseorang, dan itu selalu dilakukan menjauhi Raya. Raya pikir lelaki itu berbicara dengan nasabah atau urusan pekerjaan lain. Tapi ternyata mungkin Rama yang menelepon David.
“Sering Rama menginap di sini, Mbok?” tanya Raya.
“Dulu hampir setiap hari, Nyonya,” balas Mbok Siti. “Kadang juga sama teman yang lain. Tapi seringnya mereka berdua.”
Raya mengangguk. Rasa penasaran membuncah dalam hatinya. “Apakah ada yang spesial di antara mereka berdua, Mbok?”
Mbok Siti mengeryitkan keningnya. “Ya, setahu saya teman akrab gitu lho, Nyonya.”
Raya mendesah. Bukankah Nyonya Kinasih kemarin bilang jika Mbok Siti adalah yang mengatakan jika David sering membawa kekasih laki-lakinya ke rumah. Tapi kenapa sekarang Mbok Siti malah terasa seperti tidak tahu-menahu tentang keabnormalan David? Siapakah yang benar? Siapakah yang salah? Apa Mbok Siti hanya menutupi semua dari Raya?
“Nyonya,” kata Mbok Siti pelan. “Tuan David itu orang yang baik. Baik sekali. Dia orang yang rela berkorban untuk apapun.”
Mbok Siti ngeloyor pergi ke luar sambil membawa tumpukan di plastik hitam. Raya tertegun. Ia mencerna maksud kata-kata Mbok Siti, tapi selalu hal-hal buruk tentang David yang menghiasi kepalanya.
***
“Sabun mandi?” Andra mengambil sebuah sabun mandi dari rak, memperlihatkan pada Raya yang tengah mendorong troli yang hampir penuh dengan belanjaan.“Boleh,” jawab Raya tersenyum. “Sabun di rumah hampir habis.”Mereka berjalan pelan, menyusuri rak-rak supermarket yang berderet, penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari.“Yasmin gak nitip pengen dibelikan apa begitu?” tanya Andra melihat deretan snack untuk anak-anak di sampingnya.“Gak ada,” jawab Raya sambil menggelengkan kepala.“Yasmin itu persis sama kamu,” Andra berkata seraya tersenyum kecil.“Apanya?” Raya melebarkan mata karena penasaran.“Sederhananya…”Raya mencubit lengan Andra. “Sebagai perempuan memang harus begitu, hemat dan efisien. Jangan terlalu boros, membeli yang tidak terlalu dibutuhkan.”Andra mencibir. Raya memang seorang perempuan yang sangat sederhana, berbeda dengan mantan-mantan kekasihnya dulu yang selalu memanfaatkan hubungan mereka dengan suka meminta barang-barang mahal. Selama berpacaran dengannya
Udara siang ini cukup suram. Mendung bertengger menguasai angkasa, angin sesekali berhembus kencang menghempaskan helaian daun-daun akasia di depan kafe. Sebentar lagi hujan pasti turun dengan lebat.Raya tidak suka hujan.Hujan selalu mengingatkan pada kematian ayahnya. Hujan juga selalu mengingatkan kejadian buruk enam tahun lalu ketika ia diusir oleh David. Terlunta-lunta dengan gerimis rapat di terminal bis. Tak tahu kemana tujuannya. Hatinya ngilu mengingat hal-hal tersebut. Ia suka cuaca cerah, tanpa mendung, panas, dan langit yang biru. Hal itu membuat suasana hatinya juga ikut cerah, sakit yang timbul-tenggelem di hatinya paling tidak bisa tersamarkan.“Pesanannya, Bu,” seorang pelayan perempuan manis memindahkan sepiring nasi goreng keju dan segelas es teh manis dari nampan ke meja.Raya tersenyum, berterimakasih pada pelayan kafe itu sebelum ia beranjak meninggalkan Raya.Jam-jam makan siang begini tidak biasanya ia makan sendirian di luar kantor. Biasanya Raya membawa bekal
Andra menutup pintu kamar Yasmin perlahan lalu berjalan menuju Raya yang duduk menekuri segelas kopi di meja makan. Raya memang penyuka kopi, itulah yang diketahui Andra semenjak mereka bertemu. Pagi hari dimulai dengan kopi, siang dengan kopi, dan menutup hari juga dengan kopi. Raya akan lebih rileks jika meminum segelas kopi, katanya semua syarafnya yang semula tegang menjadi kendur. Dan mulai saat itu juga Andra yang tidak suka kopi menjadi pencinta kopi juga.“Kopi ….” Raya mengerling ke secangkir kopi yang telah dibuatkannya untuk Andra.“Thanks,” jawab Andra seraya duduk di samping Raya.Mereka diam, sibuk dengan kopinya masing-masing.“Maafkan aku karena tadi mematikan ponsel, Ya….” Andra membuka percakapan setelah hangatnya air kopi membasuh kerongkongannya.“Aku yang minta maaf, aku takut kamu marah karena David yang menemaniku.”Andra tersenyum simul. “Aku tidak marah. Malah seharusnya aku berterimakasih pada David karena mau menemanimu menjemput Raya dan mengantarkanmu kemb
Rama menghampiri Raya di meja kerjanya. Ia duduk di hadapan Raya yang sibuk dengan komputernya. Raya melihatnya sekilas tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Sintia ingin bertemu denganmu,” Rama memulai pembicaraan pelan.“Kau mengatakan padanya kalau aku kembali?” Raya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.“Tentu saja!” jawab Rama seraya menghempaskan badannya ke kursi. “Apa kau tidak ingin bertemu dengannya? Semalaman dia menangis ketika ku beritahu bahwa kau bekerja di kantor yang sama denganku.”Raya menghela nafas. “Aku akan ke rumahmu nanti….”Rama mengeryitkan kening. “Apa kau tahu alamat rumahku dan Sintia?”“Aku tahu semua tentang kalian. Tapi kalian yang tidak tahu apa-apa tentangku,” jawab Raya kali ini dengan menatap Rama.“Rupanya pacar barumu itu punya kuasa, ya ….” Kata Rama seraya menyilangkan kakinya.“Apa pedulimu?”“Kenapa kau sampai menjalin hubungan dengan Andra? Sementara David di sini seperti orang gila mengharapkanmu?” Rama bertanya tajam tapi dengan suara aga
Andra tersenyum ketika Raya membuka pintu kantor. Laki-laki perlente itu berdiri di samping Range Rover hitam miliknya. Ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja atasan putih yang tak dimasukkan dengan lengan digulung ke siku. Rambutnya bermodel curtain haircut yang diterpa semilir angin sore, menambah aura terpancar dari wajahnya. Aura seorang CEO perusahaan besar. Seorang CEO muda yang bisa jatuh hati pada gadis beranak satu dan tidak punya apa-apa seperti Raya. Sungguh hati manusia yang aneh! “Sudah lama?” tanya Raya. Andra menggeleng, menggaet pinggang Raya ke dekatnya lantas mendaratkan ciuman panas ke bibir kekasihnya itu. “Hey! Malu dilihat orang!” jerit Raya celingukan. Berciuman di tempat umum bukan sesuatu yang disenangi Raya. Andra terkekeh kecil, membukakan pintu untuk Raya. “Sudah makan?” tanya Raya ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju membelah hiruk-pikuk Jakarta. “Belum,” jawab Andra. “Tadi setelah dari kantor aku langsung jemput kamu.” “Aku ka
Yang dilihat dari David wanita yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Raya yang ia kenal enam tahun lampau. Raya yang ia kenal adalah wanita bersahaja yang tidak pernah kenal make up komplit di wajahnya, tapi Raya sekarang ini kebalikannya. Ia memakai bedak, eye shadow, eye liner, lipstik dengan warna yang ia senadakan dengan blush on di pipinya. Rambut Raya yang dulu tergerai panjang, sekarang dipotong bob di bawah kuping. Pakaiannya pun kali ini lebih aduhai, ia memakai kemeja pink berpotongan sesuai lekuk tubuh, dengan rok span hitam selutut yang juga dapat mempertegas pantatnya yang aduhai.Ini bukan Raya!Raya yang dulu selalu senang jika David memeluknya ketika ia pulang kerja. Tapi Raya yang ingin dengan gesit menepis pelukan tiba-tiba David ketika ia membuka pintu tadi.“Maaf, Pak, ini kantor!” katanya tegas. Tidak ada secuil pun hasrat atau kerinduan terpancar dari wajah perempuan yang dulu begitu mencintainya itu.“Kau darimana selama ini?” pertanyaan David parau menahan se