Share

Bab 5. Sandiwara yang di mulai

Semua orang menoleh, menatap pria yang tengah berdiri di ambang pintu masuk rumah mereka. Pria yang mengenakan tuxedo berwarna coklat itu, terlihat begitu tampan dan percaya diri.

Dengan cepat, Liana berdiri dan melangkah menghampiri si pria. “Sayang, kamu datang!“ serunya, berusaha untuk memainkan peran dengan baik.

Pavel mengangguk singkat. “Sesuai yang sudah disepakati.”

“Ya, terima kasih karena sudah menepati kesepakatan kita.”

“Hm.”

Pavel menanggapi dengan dingin, membuat Liana meliriknya dan menghembuskan nafas malas.

“Beraktinglah dengan baik, Pavel!” Liana memperingatkan si pria, tidak ingin jika rencananya gagal karena sikap Pavel tidak seperti seseorang yang sedang berbicara dengan pacarnya.

“Tidak usah menggurui. Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri, aku tau kapan aktingku dibutuhkan dan tidak.”

Suara pelan dari si pria memang terdengar lembut di telinga, namun nada suara dan kata-katanya sedikit ketus dan menohok bagi Liana.

Liana terdiam sejenak, merasa kesal tapi mencoba untuk mengenyahkannya dengan cepat. Ia ingat kalau dirinya masih membutuhkan bantuan dari si pria. “Ya, kamu atur sajalah!”

“Ya.”

Lagi-lagi, respon yang seperti itu ditambah dengan raut wajah datar, sungguh sangat menyebalkan sekali bagi Liana. Namun, karena harus tetap menjalankan rencana, Liana lebih memilih untuk melingkarkan tangannya di lengan Pavel dari pada menggunakan tangan itu untuk memukul si pria menyebalkan.

“Sekarang, ayo kita masuk!” ajak Liana, membawa pria itu untuk menghadapi keluarganya yang sedari tadi terus menatap ke arah mereka.

Keluarga Liana, tampak terkejut saat melihat siapa pria yang datang. Dalam keterkejutan mereka ada isyarat tak terucapkan dari tatapan mata yang saling dipertukarkan, seolah-olah mereka memiliki rahasia yang hanya dimengerti oleh mereka saja.

Ketika Kakeknya Liana mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis kepada orang tua Liana, raut wajah mereka langsung berubah, seolah mereka percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketiganya memilih diam, sedang menunggu Liana ataupun si pria mengucapkan sesuatu terlebih dulu pada mereka.

Sejenak, Liana menatap semua orang yang ada di sana, sebelum ia memperlihatkan senyum palsunya dan berucap, “Mah, Pah, Kek, kenalkan ini Pavel Romanov, pacar Liana.”

Ketiganya tersenyum penuh makna, lalu menganggukan kepala sebagai pengganti salam perkenalan mereka untuk Pavel.

“Lalu Pavel, kenalkan ini Max Parker Papahku. Ini Diana Parker, Mamahku dan yang itu Alexander Parker, Kakekku.” Liana memperkenalkan keluarganya sembari dengan sopan menunjuk ke arah Papah, Mamah dan Kakeknya secara urut.

“Selamat malam Om, Tante, Kakek. Senang bisa bertemu kembali dengan kalian.” Pavel menyapa keluarga Liana dengan ramah, bersama senyum manis berdimple yang mengembang menghiasi wajah rupawannya. “Maaf karena saya sedikit terlambat. Ada sesuatu yang harus saya urus dulu tadi.”

“Tidak apa-apa, Pavel, kami mengerti dan memakluminya. Walau kami sempat sedikit kaget karena melihatmu yang datang sebagai pacar Liana.” Diana Parker menyambut Pavel dengan ramah. Ia bahkan tersenyum lebar hingga memperlihatkan semua giginya.

Sementara itu, Liana tengah terpikat pada senyuman manis dari pacar pura-puranya. Debaran jantungnya berpacu cepat, jiwa dan pikirannya serasa melayang bersama senyuman manis nan menawan milik Pavel. Dia seketika lupa akan wajah datar dan cara berbicara ketus dari si pria yang sempat membuatnya kesal.

Wanita itu juga tidak menyadari bahwa perkataan Mamahnya terdengar sedikit aneh.

“Ternyata dia bisa tersenyum juga! Mana senyumannya semanis itu. Gula berkilo-kilo pun masih kalah manis dari senyumannya. Dan wajahnya jadi terlihat seperti pria yang lembut dan penuh kasih.” Tanpa sadar, Liana terus memandang kagum pada pria yang masih berdiri di sampingnya.

Pavel yang merasakan seperti sedang ditatap oleh seseorang, melirik tajam ke arah si wanita dan berbisik tegas, “Apa aku sangat tampan hingga kamu terus menatapku begitu?”

Liana tersentak, mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berusaha untuk menyembunyikan rasa terkejutnya. “Tidak! Aku tidak sedang melihatmu. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”

Bibir Pavel berdecak pelan. “Iya memikirkan sesuatu sambil menatapku, Kan?”

“Idih, percaya diri sekali Anda!” Liana melepaskan lingkaran tangannya di lengan Pavel dan menatap pria itu dengan tatapan mencibir. Dia tidak takut, hanya merasa malu jika harus mengakui yang sebenarnya. Apalagi, dia sudah sampai ketahuan oleh si pria itu sendiri.

“Terima kasih! Aku memang cukup percaya diri. Selain itu, aku juga cukup percaya bahwa kamu memang sedang memandangku tadi.”

Liana melipat tangannya ke depan dada dan berucap, “Itu hanya perasaanmu saja, Tuan yang cukup percaya diri! Karena aku tidak memandangmu sama sekali.”

“Kamu mungkin pandai dalam membohongi orang tuamu, tapi tidak saat berbohong padaku, Liana.” Dengan nada yang santai, Pavel menyindir Liana. Dia hanya ingin membuat wanita itu kesal saja, tidak lebih.

Liana memicingkan mata pada si pria. “Memangnya siapa yang mau membohongi pria sepertimu?”

“Ya kamu lah, siapa lagi yang memiliki hobi berbohong kalau bukan kamu.”

Rasa kesal tersirat jelas dalam sorot mata Liana, yang kini tengah menatap Pavel dengan tajam. “Bisa-bisanya aku sempat terpesona kepada pria sepertinya! Harusnya aku ingat kalau diantara semua pria yang kukenal, dia adalah pria yang paling menyebalkan. Sangat disayangkan karena senyum semanis itu dimiliki oleh pria semenyebalkan Pavel.”

“Kalau bukan karena aku butuh bantuannya sudah ku buang dia jauh-jauh dariku. Malas sekali melihat raut wajah datar dan cara berbicaranya yang selalu membuatku kesal. Sudah begitu, terkadang masih bisa berbicara manis, lalu kembali lagi ke setelan awal, sudah seperti bunglon yang suka berubah-ubah. Padahal kalau tersenyum seperti tadi, dia akan terlihat seperti manusia pada umumnya.” Liana terus menggerutu, meluapkan segala kekesalannya tentang Pavel dengan bibir yang bergerak-gerak tanpa suara.

“Teruskan saja mengeluh tentangku! Sudah bagus aku mau membantumu.” Walau Liana tidak mengeluarkan suara sedikit pun, tapi Pavel bisa menebak apa yang sedang digerutukan oleh wanita itu. Dia bisa melihat dengan jelas dalam raut wajah Liana, kalau wanita itu sedang mengeluh tentangnya.

“Siapa juga yang sedang mengeluh tentangmu. Sok tau banget sih!” kesal Liana. Walau kenyataannya memang begitu, tapi tetap saja ucapan Pavel itu membuatnya kesal.

Dengan raut datar, Pavel berucap, “Elakanmu ini bisa menjadi salah satu bukti bahwa kamu memang hobi berbohong.”

“Siapa yang kamu bilang hobi berbohong? Seperti kamu tau saja apa yang ku gerutukan tadi!”

“Raut wajahmu itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya dan sangat mudah untuk ditebak olehku.”

“Memangnya kamu pakar ekspresi sampai bisa menebak sesuatu hanya dari raut wajah?” seloroh Liana, yang mulai merasa kesal.

“Tidak perlu menjadi pakar ekspresi jika orang yang perlu ditebak hanyalah kamu.”

Liana berdecak kesal. “Menyebalkan!”

“Kamu baru menghadapiku sebentar sudah mengeluh terus-terusan, bagaimana kalau lama? Sudah melambaikan tangan sepertinya.”

“Karena kamu memang menyebalkan, tau tidak sih? Lagipula, siapa yang mau menghadapimu dalam waktu lama? Kalau aku sih malas, sebentar saja sudah cukup bagiku.” Sebentar saja sudah membuatnya kesal berkali-kali, apalagi kalau lama, bisa naik darah setiap hari dia. Tidak, tidak, dia tidak mau! Membayangkannya saja sudah cukup mengerikan baginya.

“Ya itu terserah padamu, tapi kita akan lihat nanti.” Pavel berucap dengan kedua sudut bibir yang samar- samar terangkat.

“Terserah kamu saja!” Liana sudah memanyunkan bibirnya, merasa sangat kesal tapi malas untuk mendebatnya lagi. Dia tau kalau di debat lagi, pasti dia yang akan semakin dibuat kesal, sedangkan pria itu akan berwajah datar seperti biasa.

“Apa yang sedang kalian bisik-bisikan itu anak-anak? Apa kalian lupa kalau kami masih ada di sini?” tanya Alexander Parker, menatap cucunya dan pria di samping sang cucu secara bergantian. Dia hanya bermaksud untuk meledek keduanya, karena mereka terkesan berada di dunia mereka sendiri dan tidak memperdulikan sekitar.

“Mereka mungkin sedang kasmaran-kasmarannya, Pah, biarkan saja,” timpal Max, ikut meledek dua sejoli yang masih saja berdiri.

“Apa Papah tidak melihat wajahku! Apa wajahku ini terlihat seperti seseorang yang sedang kasmaran? Jelas- jelas putrimu ini sedang sangat kesal, Papah!” Liana menggerutu dalam hatinya. Tentu saja dia tidak berani untuk mengatakannya secara langsung, bisa ketahuan sandiwaranya kalau dia mengatakan seperti itu.

“Benar juga apa katamu, Max.” Alexander membenarkan apa yang dikatakan putranya sembari tertawa ringan dan kemudian kembali menatap ke arah sang cucu. “Tapi, kenapa kamu terlihat kesal, Liana? Apa Pavel membuat kesalahan, atau kamu kesal karena ketahuan memandangi wajah Pavel?”

Liana membelalak, bagaimana Kakeknya bisa menebak dengan tepat begitu? Apa hari ini Kakeknya sedang berubah menjadi cenayang juga? Atau memang benar apa yang dikatakan si pria menyebalkan, kalau raut wajahnya mudah ditebak hingga orang lain bisa tau apa yang sedang dirasakannya. Namun, Papahnya tadi salah menebak, itu berarti yang diucapkan Pavel salah.

Melihat cucunya membelalak setelah mendengar tebakannya, membuat Alexander kembali tertawa ringan. “Jadi mana yang benar Liana? Kesal karena Pavel membuat kesalahan, atau kesal karena ketahuan memandanginya?”

Sebenarnya Alexander sudah memperhatikan keduanya sedari tadi, jadi dia tau kalau pada awalnya sang cucu terlihat memandangi si pria dengan penuh kekaguman. Walau dia tidak tau apa yang sebenarnya mereka bicarakan, tapi dia bisa menebak kalau sang cucu pasti ketahuan memandangi Pavel dan merasa tidak terima hingga menjadi kesal. Dan karena itulah dia ingin meledek cucunya.

“Apa sih, Kek? Tidak ada yang seperti Kakek tanyakan. Dan dari pada meledekku, bukankah akan lebih baik jika menghubungi pria yang kata Papah akan datang. Kelihatannya dia lupa, atau mungkin memang tidak mau datang.” Liana berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak diledek lagi oleh Kakek dan Papahnya.

“Untuk apa menghubunginya, itu sudah tidak diperlukan lagi.” Max melirik ke sebelah putrinya dan tersenyum penuh makna.

“Kenapa?” Liana sedikit heran karena Papahnya terkesan sudah tidak peduli dengan pria yang sangat ingin dinikahkan dengannya. Padahal sebelum-sebelumnya sang Papah tidak pernah absen untuk menyanjung pria itu didepannya, maupun menceritakan segala hal tentang pria itu kepadanya. Apa mungkin ini karena dia sudah membawa Pavel sebagai pacarnya dan sang Papah sudah cocok dengan Pavel? Semoga saja benar begitu, agar rencananya kedepan bisa berjalan dengan lancar.

Sang Papah terkekeh dan kemudian berkata, “Kamu akan tau nanti. Untuk sekarang lebih baik kita makan malam dulu. Pavel pasti sudah lapar.”

“Iya benar. Ayo makan malam dulu.” Diana ikut menambahi perkataan suaminya.

“Iya, ayo anak-anak. Makan malam dulu,” timpal Alexander.

“Iya, Kek.” Liana melirik kesal saat dia dan Pavel berucap berbarengan.

Namun, berbeda dengan ketiga orang tua yang ada di sana, mereka tersenyum dengan begitu lebar hanya karena kejadian itu.

***

Di ruang makan, terlihat meja telah dipenuhi dengan hidangan yang lezat dan menggoda, Papahnya Liana mempersilahkan semuanya untuk duduk, termasuk Pavel yang dimintanya untuk duduk di dekat sang putri.

Suasana makan malam keluarga Liana dan Pavel berjalan dengan baik, ada beberapa obrolan ringan dan santai yang mereka selipkan. Seperti Pavel yang selalu memuji hidangan yang dia cicipi, juga orang tua Liana dan sang Kakek yang sepertinya begitu menyukai setiap pujian dan ucapan Pavel.

Saat melihat semua orang telah menyelesaikan makanan mereka, Max segera membuka percakapan. “Jadi Pavel, bagaimana kabar Mama dan adikmu? Apa Mama dan adikmu sudah tau kalau kamu dan Liana berpacaran?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status