Hati Maureen mencelos saat dia tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Nenek. Dia melangkah masuk sambil bertepuk tangan tiga kali. Lampu pun menyala terang. "Nenek! Nenek! Kenapa, Nek? Apa yang Nenek rasakan?" pekiknya, tergopoh menghampiri tubuh yang tergolek tak berdaya diatas tempat tidur. "Uuuggh!" Mata Maureen terbelalak lebar, menatap Neneknya dengan panik. Wajah Nenek Argantha pucat dan mengernyit kesakitan. "Apa yang sakit, Nek?" serunya panik, lalu menyibak selimut. Keringat dingin membanjiri Nenek. "Ya Tuhan!" Maureen berlari ke ambang pintu dan berteriam sekencang yang dia bisa, "ERLAND! TOLONG! NENEK!" Erland yang sedang tidur kaget bukan kepalang saat mendengar teriakan histeris Maureen. Dia meloncat dari tempat tidur dan tergopoh-gopoh berlari ke kamar Nenek. "Ada apa, Maureen?" tanyanya, melongok ke dalam kamar Nenek. Di dalam Maureen menangis tersedu-sedu. "Ambulance. Nenek sakit," ucapnya disela-sela tangis. "Ambil dompet dan ponselku di kamar. Kita ke rumah sak
"Vita, apa benar kamu cemburu sama Stella?"Yovita mengernyitkan kening sambil mengamati Paramita yang terlihat sengaja mampir setelah pulang kerja. Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba - tiba saja sang tetangga menembaknya dengan pertanyaan aneh."Kamu ngomong apa sih? Aku kok gagal paham," sahut Yovita kemudian."Pertanyaanku ini sangat jelas lho, Vita. Masa kamu nggak mengerti sih?" ujar Paramita lagi. Dia memandang Yovita dengan tatapan menyelidik sambil mengulang kembalI pertanyaannya, kali ini dengan nada penuh penekanan, "Apa kamu cemburu sama Stella?"Tidak langsung merespon, Yovita memiringkan wajah. Keningnya berkerut kian dalam saat mengamati tetangganya itu dengan seksama. Paramita duduk di atas sepeda motor yang biasa dia pakai pergi dan pulang kerja. Dari penampilannya, terlihat kalau tetangganya itu belum sempat masuk ke rumahnya sendiri. Pakaian yang dikenakan pun masih setelan celana panjang khas seragam kantor sebuah pabrik tekstil yang cukup terkenal di kota ini.
Beberapa saat, waktu terhenti bagi Maureen, Nenek dan Erland. Hingga akhirnya, Erland lebih dahulu membuka suara dan mengatakan yang sebenarnya."Maafkan kami, Nenek. Kami sudah menikah."Nenek mendongak, melihat ke Maureen dengan tatapan seakan tak percaya.Maureen membalas tatapan Nenek dengan perasaan campur aduk. Dia takut jantung Nenek kumat lagi. Tapi di saat yang sama dia tidak sanggup mengatakan apa pun untuk memperbaiki suasana. Gumpalan besar rasa bersalah menyesaki dadanya.Serta merta Erland menarik tangan Maureen, lalu mengangkat tangan mereka bersamaan untuk menunjukkan sepasang cincin yang melingkar di jari manis masing-masing. Benda mungil yang selama ini mungkin luput dari perhatian Nenek.Mata Nenek langsung terbuka lebar saat melihat cincin yang berkilau di tangan cucunya dan Erland. "A-apa? J-jadi..." gagapnya, tanpa bisa mengeluarkan satu kalimat utuh. Dia melihat Maureen lalu Erland, secara bergantian. "Kalian..."Mulutnya terbuka, tapi tidak jadi melanjutkan kali
"Nenek!" sapa Maureen dan Erland hampir bersamaan. Mereka nyaris memekik karena terkejut.Mata Nenek memindai Erland dan Maureen dari ujung kepala hingga ke ujung kaki seakan tidak ingin melewatkan hal sekecil apa pun. Ekspresi wajahnya tampak suram. Beliau melihat sendiri Maureen sedang duduk di pangkuan Erland dan mereka tampak sedang bermesraan. Dia tidak mungkin salah lihat.Seketika Maureen melompat turun dari pangkuan Erland, lalu merapikan rambut dan pakaiannya dengan gugup. Matanya menatap Nenek takut-takut karena tertangkap basah.Berbeda dengan Maureen, Erland terlihat lebih tenang. Lelaki itu meraih tangan Maureen dan menggandengnya berjalan mendekat ke Nenek. Langkah Maureen terasa berat saat mengikuti Erland."Apa yang kalian lakukan malam-malam begini, hah?" sergah Nenek. Sorot matanya tajam dan menghakimi."Uhm, Nenek..." Maureen mengkeret. Otaknya blank, tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan keberadaan Erland disini."Apa kalian pacaran diam-diam di b
"Erland...." Sesaat Maureen tidak tahu harus menjawab apa. Ajakan Erland terdengar spontan dan lugas. "Oke. Diam berarti setuju," putus Erland, kembali menyuap makanannya. Dia sangat lapar. "Kita pacaran?" tanya Maureen seperti orang berbisik, seakan-akan takut ada yang mendengar percakapan mereka. Erland mengangguk. "Ya." Maureen menarik tangannya dari genggaman Erland, lalu melipatnya di depan dada. "Kamu sedang menjadi pacarmu, atau sudah memutuskannya? Sepertinya aku tidak mendengar kalimat permohonan darimu," ucap Maureen, berpura-pura marah. "Aku tidak perlu memohon pada istriku untuk menjadi pacarku. Pokoknya, kita pacaran," tegas Erland, memasukkan potongan terakhir makanan ke dalam mulut. Perut kenyang, hati pun senang. Maureen mengernyitkan wajah, tiba-tiba kesulitan menata kalimatnya. "Jadi, kita pacaran seperti... " Erland mengusap mulutnya dengan serbet, lalu menunggu Maureen melanjutkan ucapannya. "Seperti?" pancing Erland kemudian. "Yeah..., jadi hubungan kita
Reaksi Lillian yang tampak diluar kebiasaan itu membuat Maureen tersadar akan sesuatu. Di menunduk, melihat ke dirinya sendiri. Tersentak, Maureen langsung mengibaskan rambutnya kembali ke depan supaya kembali menutup bagian dadanya yang sedikit terbuka. Dia berusaha tersenyum meski bibir dan pipinya terasa panas. Ini memalukan sekali! Sejak tadi, Erland sesekali mencuri lihat interaksi Mommy dan istrinya. Ekspresi janggal Lillian ditambah reaksi aneh Maureen menimbulkan penasaran di hati Erland. "Ada apa dengan kalian?" tanya Erland curiga. "Kulitmu merah-merah, apakah gatal? Atau, sebaiknya kita pergi ke dokter kulit saja?" tanya Lillian, mengabaikan pertanyaan Erland. Maureen refleks melirik ke arah Erland. Tatapan yang singkat, tapi cukup menyadarkan lelaki itu akan sesuatu. Bibir bengkak? Lalu, merah-merah di kulit. Astaga! Erland nyaris mengelus dada. Jelas sekali kedua hal itu adalah hasil karyanya. "Tidak perlu, Lillian. Cuma diolesi salep pasti akan sembuh," jawab Mau