"Masuk!" titah Erland dari dalam bathub.
"HAH?! A-apa? Tidak mau!" ""Aku bilang masuk, itu artinya masuk! Buka bajumu!" Maureen tidak habis pikir dengan kelakuan Erland. Penikahan mereka hanya pura-pura, tentu saja dia tidak akan mau mandi bersama Erland. Apalagi mengingat reputasi Erland yang mudah bosan dengan wanitanya. Maureen jelas tidak mau didepak begitu saja setelah segalanya dia berikan pada Erland. "Sini! Mandi bersamaku!" ucap Erland lagi, memperjelas permintaannya. "Tidak, Erland." "Kenapa?" "Tidak boleh." "Kata siapa?" "Kata aku." Maureen berkacak pinggang di depannya. "Tidak boleh laki - laki dan perempuan berduaan tanpa busana." "Kamu itu istriku. Aku cuma mau kamu menggosok punggungku. Kenapa begitu saja tidak boleh?" dengus Erland sambil cemberut seperti anak kecil yang ditolak saat meminta cokelat. "Padahal aku memintanya sama istriku sendiri. Apa kamu lebih suka aku meminta pada wanita lain?" "Huh!" Maureen memalingkan wajah. Pintar sekali Erland menggunakan trik psikologi ini. Yang diucapkan oleh Erland memang benar, sudah wajar seorang suami minta mandi bersama. "Tapi, tunggu! Bukankah pernikahan mereka hanya pura-pura?" Hati kecil Maureen mengingatkan. "Sini!" "Wooops!" Erland tiba-tiba menarik tubuh Maureen hingga gadis itu kembali terjerembab ke dalam bathub. Dia tertawa keras saat Maureen menimpa tubuhnya. "Kamu tidak akan patuh kalau tidak dipaksa." Detik berikutnya, shower sudah menyala. Seketika pakaian dan tubuh Maureen basah kuyup. "Argh!" geram Maureen. Dia benar - benar kehabisan kata - kata karena ulah Erland. "Minggir!" Erland mendorong Maureen supaya menyingkir. Setelah itu, dia berubah posisi membelakangi Maureen. "Gosok punggungku!" "Kamu ini benar - benar mabuk? Atau pura - pura sih?" sergah Maureen curiga. Jangan - jangan Erland hanya bermain peran untuk menggodanya. Bukannya jawaban, tapi Erland malah berbalik badan dengan tatapan sayu. Dia memperhatikan dengan seksama wanita yang sedang berada di hadapannya. Tatapannya berjalan dari ujung kepala, mata dan berhenti sejenak di bibir. Kemudian, tatapan itu turun ke leher dan dada. Seketika suasana berubah bagi Maureen. Darah berdesir ketika tiba - tiba Erland meraih jarinya, lalu mengecup satu per satu jari - jari lentik itu. Maureen terpaku di posisinya, memandangi lelaki yang sedang mencium jari - jarinya. Sembari menciumi jari - jari, mata Erland tetap lekat di wajah Erland. Ekspresinya sungguh tidak bisa diterjemahkan oleh Maureen. Air shower terus mengucur, menyirami sepasang laki - laki dan perempuan yang ada didalam bathub berukuran besar. "Erland... " bisik Maureen dengan suara tercekat. Dia berusaha menarik tangannya, ingin kabur dari suasana janggal yang menggetarkan jiwanya. "Aku cuma ingin kelembutan yang tidak pernah aku dapatkan sejak kecil." Erland memainkan jari - jari mereka yang bertautan. Kulit Maureen terasa hangat dan lembut, berbeda dengan kekasih-kekasihnya selama ini. "Erland, kamu mabuk..." ucap Maureen kemudian, mulai pasrah pada keadaan. Melawan orang mabuk bukanlah pilihan yang tepat saat ini. "Hehe... beginilah kalau mabuk. Kamu pernah mabuk?" Erland semakin melantur. Senyum lebar terukir di wajah tampannya. Ah, Erland jadi tidak bisa berpikir jernih. Belum lama dia berkata kalau tidak akan tertarik pada Maureen meski dalam kondisi telanjang sekali pun, tapi Maureen dalam pakaian tidur yang basah membuatnya tiba - tiba bergairah. "Erland, lebih baik kamu tidur saja," putus Maureen kemudian sembari mematikan shower. "Yuk, bobok bareng," sahut Erland dengan entengnya.Angkat tangan, Maureen menyerah pada tingkah Erland yang menjadi-jadi. Mengabaikan omongan Erland, Maureen menyambar kimono handuk untuk dirinya sendiri dan Erland.
Setelah memakaikan kimono, Maureen mengalungkan lengan Erland ke bahunya dan memapahnya ke kamar Erland yang tidak jauh dari sana. Erland menyandarkan kepalanya diatas kepala Maureen, menciumi kepala gadis itu sesuka hati.
"Aku sudah menikah, hm? Kamu istriku atau bukan?" gumamnya. Maureen memutar bola matanya dengan sebal. Erland benar - benar tega membebankan berat badannya ke tubuh Maureen yang mungil. Dia mulai kesulitan menyeret tubuh suaminya yang tinggi dan besar. "Baru sadar kalau sudah menikah? Sudah menikah tapi keluyuran terus," gerutu Maureen jengkel. Lagi - lagi Erland terkekeh seperti orang yang baru saja mendengar lelucon. Dia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Sini! Sini! Bobok sini!" ujarnya sambil menepuk sisi tempat tidur kosong disebelahnya."Heh?! Tidak mau!"
Erland tak peduli. Dia menarik tangan Maureen dengan keras. Sekali hentakan saja, tubuh Maureen sudah jatuh menimpa Erland. "Kamu memang keras kepala. Minta gosok punggung, kamu menolak. Bobok bareng, kamu juga tidak mau. Itu hal yang wajar dilakukan oleh suami istri."
Maureen tertegun mendengar kalimat Erland. Memang benar mereka suami istri yang sah dihadapan Tuhan dan negara, tapi ada perjanjian diantara mereka. Erland pintar sekali membuat hati Maureen terombang ambing.
"Kamu tau? Pertama kali aku melihatmu, kamu jelek sekali. Kurus. Kuno. Tapi... ternyata matamu cantik. Kamu cuma perlu sedikit berdandan," bisik Erland dengan lembut.
Maureen menatap Erland dalam-dalam, menelaah apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh lelaki yang berusia tiga tahun diatasnya.
Gombal? Merayu? Meracau? Atau, apa? Yang jelas ekspresi Erland terlihat berbeda dar biasanya. Kemudian, tatapan mereka bertemu. Erland tersenyum padanya. Senyum tulus yang lama tidak dia lihat. Ekspresi ini membuat hati Maureen menghangat. Tangan Erland menyibakkan poni Maureen, lalu menarik kepala gadis itu mendekat. Heran sungguh Maureen heran pada dirinya sendiri yang begitu patuh pada Erland. Dia menurut saja saat Erland mencium bibirnya. Tanpa sadar Maureen memejamkan mata menerima ciuman Erland yang lembut. Sepersekian detik, dia bisa merasakan kalau tidak ada kebencian dalam ciuman itu. Ini seperti ciuman dari seorang kekasih. Maureen membuka mata. "Erland..." "Kamu ingat saat penerimaan mahasiswa baru? Waktu itu aku menyuruhmu menyatakan cinta padaku. Apa kamu ingat?" tanya Erland, jarinya mengusap ujung bibir Maureen. "Tentu saja ingat!" jawab Maureen cepat. Dia tak mungkin lupa peristiwa hari itu. * "Katakan padaku, kamu cinta padaku! Atau, kamu tidak akan lulus masa orientasi," perintah Erland yang saat itu menjadi salah satu panitia. Maureen ingat waktu itu dia harus mengumpulkan tanda tangan dari seluruh panitia, atau harus mengulang acara ini. Hanya tersisa satu orang yang tidak mau menanda tangani bukunya, yaitu Erland. "Hah? Itu tidak adil," protes Maureen yang saat itu masih mahasiswa baru. "Tidak usah banyak protes. Pokoknya, katakan pada mereka semua kalau kamu cinta padaku!" perintah Erland sambil tertawa. Ditangannya, ada sebuah ponsel yang siap merekam pernyataan cinta Maureen. Mengingat Erland adalah anak dari salah satu penyokong bea siswanya, maka Maureen hanya bisa menurut. Yang menjengkelkan adalah Erland memutar rekaman itu di hadapan seluruh mahasiswa baru.Sejak hari itu, Maureen memutuskan untuk menjaug dari Erland.
*
"Kamu tau kenapa aku suruh kamu menyatakan cinta padaku waktu itu?" tanya Erland, matanya menatap sayu pada bibir merah Maureen. Maureen menggeleng, "Tidak tahu." "Mmm... itu... ka... rena..." Mata Erland terasa berat. Entah kenapa berpelukan dengan Maureen membuatnya merasa sangat nyaman. "Karena?" tanya Maureen yang mulai penasaran. Dulu. Dulu sekali. Waktu mereka masih kecil, Erland pernah menolongnya. Sayangnya, saat bertemu kembali kebaikan Erland sudah tidak terlihat. "Zzzzz..." Suara dengkuran menjadi jawaban atas pertanyaan Maureen."Hhhh!!" Maureen mengertakkan gigi sambil mengepalkan tangannya, lalu membuat gerakan seperti ingin memukul kepala Erland.
Gemas! Sudah serius-serius mendengarkan, eh malah ditinggal tidur. Pelan - pelan, Maureen melepaskan diri dan berguling ke sisi lain kasur. Erland sudah terlelap, terdengar dari suara dengkuran dan napasnya yang teratur. Gadis itu duduk di sambil memandangi wajah suami rahasianya. Lelaki yang selama ini dikenal sebagai pewaris Diandra Group. Wajahnya sudah tidak chubby seperti saat mereka pertama bertemu. Sekarang rambut Erland, tidak lagi tersisir rapi ke samping seperti saat masih kanak - kanak. Lelaki muda itu membiarkan rambutnya panjang hingga menyentuh bahu.Meski begitu, Erland tetap tampan.
"Pantas saja cewek - cewek rela antre jadi pacarmu. Kalau dilihat - lihat, wajahmu mirip salah satu aktor bule kesayangan Nenek Argantha," gumam Maureen.
Apakah ucapan Erland saat mabuk berhasil menggoyahkan hati Maureen?
"Maaf. Begitu sampai, aku langsung sibuk. Rencananya besok aku akan menemuimu." Reinner membalas pelukan Maureen, tapi dengan segera melerai pelukan mereka."Datang bersama suami tercinta, hm?" tanya Reinner, menahan diri untuk memuji Maureen yang mempesona malam ini."Tuh! Orangnya disana. Aku diabaikan." Maureen mencebikkan bibir kearah Erland dan gerombolannya, seperti gadis kecil yang sedang mengadu tentang temannya yang nakal."Businessman butuh relasi. Erland sedang membangun relasi sebanyak mungkin," hibur Reinner dengan sabar, sebisa mungkin mengurangi sentuhan fisik sebanyak yang dia bisa."Relasi sih relasi. Tapi, menurutku, dia itu tidak bertanggung jawab. Dia yang mengajak, tapi dia pula yang membiarkan aku kelaparan," keluh Maureen. Hidungnya mengendus aroma gurih fish and chip bercampur jamur panggang membuat Maureen meneteskan air liur.Reinner tertawa pelan melihat ekspresi Maureen yang menggemaskan. "Jadi, sebenarnya kamu kesal karena diabaikan? Atau, karena kelaparan
"Ada apa denganmu? Kamu terpesona padaku? Aku cantik kan?" Maureen memberondong Erland dengan pertanyaan. Semuanya diucapkan gadis itu dengan sangat percaya diri. Erland berdehem beberapa kali. Dia menatap Maureen tak berkedip, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa menyembunyikan kekagumannya. "Can-cantik... cantik sekali," pujinya dengan canggung. "O'ya?" pekik Maureen girang. Hatinya seakan terbang ke luar angkasa. Kalau tidak malu, mungkin dia sudah salto atau loncat-loncat saking senangnya. Erland sangat pelit pujian. Kalau sampai dia memuji, berarti itu yang sebenarnya. "Ayo masuk!" ajak Erland, ingin menyudahi kecanggungan yang tiba-tiba menyeruak dari dalam diri. "Ayo," angguk Maureen sambil berbalik badan, dan mata Erland langsung membelalak lebar. "Sial! Harusnya aku tidak memilih baju ini untukmu!" gerutu laki-laki itu, menyalahkan diri sendiri. Meski rambut Maureen dibiarkan tergerai, ternyata masih kurang panjang untuk menutupi pungggungnya yang terbuka. Erlan
Sesaat Erland berdiri canggung. Jujur hatinya bergetar setiap melihat wanita yang sudah melahirkannya ini. "Kalau Ibuku datang berkunjung, pasti aku akan senang sekali." Suara Maureen terngiang di kepalanya, seakan mengingatkannya untuk memperlakukan Lillian dengan lebih sopan. “Terima kasih sudah datang, Nak," ucap Lillian akhirnya. Suara lembutnya menyusup masuk ke telinga Erland, lalu merasuk hingga ke dalam hatinya. Terasa hangat dan tulus. "Aku kesini karena mengantar Maureen. Kalau bukan demi dia, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki kesini," ucap Erland dengan nada tajam. Ah, lagi-lagi Erland mengeraskan hati. Dia sedikit berbohong pada Lillian, padahal Maureen tidak pernah mengusulkan untuk datang ke Oddelia House. Ini semua murni idenya karena melihat rancangan Lillian sangat pas di tubuh Maureen. Lillian tersenyum penuh pengertian, tatapannya teduh saat berkata, "Apapun alasanmu datang, aku tetap berterima kasih atas kunjungannya. "Aku ada urusan penting," jawab
"Dia mau datang kesini saja, sudah sangat bagus," ketik Lillian di ponselnya. Satu tetes air mata meluncur saat dia mengirimkan pesan pada Marco, orang yang selama ini selalu memberikan informasi tentang puteranya.Wanita itu duduk dengan anggun di ruangan yang letaknya tepat bersebelahan dengan ruang dimana Erland dan Maureen berada. Matanya tak bisa lepas dari layar CCTV besar yang menampilkan suasana ruang fitting utama. Dari layar itu, setidaknya dia bisa lebih lama melihat puteranya.Dia mengerjapkan mata supaya pandangannya tidak kabur. Tidak hanya rindu tapi juga ada haru menyesakkan dada Lillian."Ini kabar baik, Nyonya. Sepertinya Nona Maureen membawa kebaikan untuk Tuan Muda. Akhir-akhir ini, Tuan Muda juga lebih fokus bekerja dan tidak pernah pergi ke club malam," balas Marco, sekaligus menceritakan kabar baik tentang Erland. "Dia kesini sebagai pelanggan, bukan untuk menemuiku. Meski begitu aku sudah senang sekali," tambah Lillian. Sudah bertahun-tahun Erland menjauh dari
"Boleh aku menciummu?" bisik Erland dengan suara serak."Eh?" Maureen mendongak kaget. Erland adalah tipe lelaki yang melakukan apa pun sesuka hatinya, tapi sekarang dia minta ijin untuk menciumnya."Boleh?" tanya Erland lagi, menarik tubuh Maureen lebih merapat hingga tubuh bagian depan mereka saling menempel."Eeerr.. Erland?" lirih Maureen, sedikit menjauhkan badan, tapi tidak bisa karena pelukan Erland terlalu kuat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah sedikit memalingkan wajah.Kepala Erland menunduk, menghirup aroma shampoo Maureen yang lembut. Tangannya merayap di punggung Maureen yang terbuka."Oh, Erland!" pekik Maureen. Dia menarik napas, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar tak terkontrol. Gelenyar-gelenyar aneh merambati tubuhnya tanpa bisa dicegah."Kenapa? Tidak boleh?" bisik Erland didekat telinga Maureen. Tangan satunya mengarahkan wajah Maureen kepadanya dengan tangan yang lain menahan tubuh sang istri supaya tidak menjauh darinya.Selanjutnya, Erland mu
"Sayang, yuk shopping..." Erland menoleh sekilas, lalu mengedipkan sebelah mata. Tangannya terjulur seperti seorang pengawal menyambut seorang tuan puteri. Maureen kembali menoleh cepat, matanya tertuju pada tangan Erland yang terulur sementara perasaannya masih campur aduk saat mendengar sebutan sayang untuk kedua kalinya. Sebutan sayang itu tidak hanya canggung di telinga, tapi juga mendebarkan hati. Namun, diantara perasaan itu ada sebuah hati kecil yang terus mengomel, "Ingat, Maureen! Erland punya banyak wanita. Pasti dia terbiasa berbicara manis." "Ayo! Lambat banget sih?" Tidak sabar, Erland menarik tangan Maureen yang terbengong-bengong, lalu menggandeng gadis itu masuk ke dalam rumah mode. Seorang perempuan cantik menyambut mereka. "Selamat siang, Tuan dan Nyonya, silahkan," sapanya dengan keramahan yang luar biasa. Maureen mengangguk canggung, matanya melirik kearah tangannya yang digandeng oleh Erland. Dia memberi kode pada Erland untuk melepaskan tangannya, tapi Erlan