KRRIIIIINNNGG!
Bunyi alarm yang nyaring mengganggu tidur Erland. "MAUREEEEN! BERISIK SEKALI!" umpat Erland keras, menutup kepalanya dengan bantal. Kepalanya yang sudah sakit karena terlalu banyak minum alkohol, jadi terasa semakin berdenyut.KRRIIIIING!Bukannya mati, tapi suara weker justru terdengar makin keras dan dekat di telinga."MAUREE...OUCH!!"Belum selesai kemarahan terlontar dari mulut, telinganya terasa seperti ditarik begitu kuat. Dan, sakit sekali!Antara sadar dan tidak, Erland tahu ada orang lain di kamar tidurnya dan orang itu sengaja membunyikan weker di dekat telinganya.
"Dasar berandalan! Ayo bangun!" Seruan itu membuat Erland tergeragap. Bahkan si pemilik suara tidak tanggung-tanggung menarik telinganya lebih keras.
"Papa! Apa yang Papa lakukan disini?" protes Erland, sambil mengusap telinganya yang terasa seperti mau putus. "Aku bukan anak kecil. Jangan perlakukan aku seperti ini!""Kalau kamu merasa b"Ada apa denganmu? Kamu terpesona padaku? Aku cantik kan?"Maureen memberondong Erland dengan pertanyaan. Semuanya diucapkan gadis itu dengan sangat percaya diri.Erland berdehem beberapa kali, lalu membuang muka. Dia menatap Maureen dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa menyembunyikan kekagumannya."Can-cantik... cantik sekali," pujinya dengan canggung. "O'ya?" pekik Maureen girang.Hatinya seakan terbang ke luar angkasa. Kalau tidak malu, mungkin dia sudah salto atau loncat-loncat saking senangnya. Erland sangat pelit pujian. Kalau sampai dia memuji, berarti itu yang sebenarnya."Ayo masuk!" ajak Erland, ingin menyudahi kecanggungan yang tiba-tiba menyeruak dari dalam diri."Ayo," angguk Maureen sambil berbalik badan, dan mata Erland langsung membelalak lebar."Sial! Harusnya aku tidak memilih baju ini untukmu!" gerutu laki-laki itu, menyalahkan diri sendiri.Meski rambut Maureen dibiarkan tergerai, ternyata masih kurang panjang untuk menutupi pungggungnya yang terbuka. Erland
Sesaat Erland berdiri canggung. Jujur hatinya bergetar setiap melihat wanita yang sudah melahirkannya ini. "Kalau Ibuku datang berkunjung, pasti aku akan senang sekali." Suara Maureen terngiang di kepalanya, seakan mengingatkannya untuk memperlakukan Lillian dengan lebih sopan. “Terima kasih sudah datang, Nak," ucap Lillian akhirnya. Suara lembutnya menyusup masuk ke telinga Erland, lalu merasuk hingga ke dalam hatinya. Terasa hangat dan tulus. "Aku kesini karena mengantar Maureen. Kalau bukan demi dia, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki kesini," ucap Erland dengan nada tajam. Ah, lagi-lagi Erland mengeraskan hati. Dia sedikit berbohong pada Lillian, padahal Maureen tidak pernah mengusulkan untuk datang ke Oddelia House. Ini semua murni idenya karena melihat rancangan Lillian sangat pas di tubuh Maureen. Lillian tersenyum penuh pengertian, tatapannya teduh saat berkata, "Apapun alasanmu datang, aku tetap berterima kasih atas kunjungannya. "Aku ada urusan penting," jawab
"Dia mau datang kesini saja, sudah sangat bagus," ketik Lillian di ponselnya. Satu tetes air mata meluncur saat dia mengirimkan pesan pada Marco, orang yang selama ini selalu memberikan informasi tentang puteranya.Wanita itu duduk dengan anggun di ruangan yang letaknya tepat bersebelahan dengan ruang dimana Erland dan Maureen berada. Matanya tak bisa lepas dari layar CCTV besar yang menampilkan suasana ruang fitting utama. Dari layar itu, setidaknya dia bisa lebih lama melihat puteranya.Dia mengerjapkan mata supaya pandangannya tidak kabur. Tidak hanya rindu tapi juga ada haru menyesakkan dada Lillian."Ini kabar baik, Nyonya. Sepertinya Nona Maureen membawa kebaikan untuk Tuan Muda. Akhir-akhir ini, Tuan Muda juga lebih fokus bekerja dan tidak pernah pergi ke club malam," balas Marco, sekaligus menceritakan kabar baik tentang Erland. "Dia kesini sebagai pelanggan, bukan untuk menemuiku. Meski begitu aku sudah senang sekali," tambah Lillian. Sudah bertahun-tahun Erland menjauh dari
"Boleh aku menciummu?" bisik Erland dengan suara serak."Eh?" Maureen mendongak kaget. Erland adalah tipe lelaki yang melakukan apa pun sesuka hatinya, tapi sekarang dia minta ijin untuk menciumnya."Boleh?" tanya Erland lagi, menarik tubuh Maureen lebih merapat hingga tubuh bagian depan mereka saling menempel."Eeerr.. Erland?" lirih Maureen, sedikit menjauhkan badan, tapi tidak bisa karena pelukan Erland terlalu kuat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah sedikit memalingkan wajah.Kepala Erland menunduk, menghirup aroma shampoo Maureen yang lembut. Tangannya merayap di punggung Maureen yang terbuka."Oh, Erland!" pekik Maureen. Dia menarik napas, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar tak terkontrol. Gelenyar-gelenyar aneh merambati tubuhnya tanpa bisa dicegah."Kenapa? Tidak boleh?" bisik Erland didekat telinga Maureen. Tangan satunya mengarahkan wajah Maureen kepadanya dengan tangan yang lain menahan tubuh sang istri supaya tidak menjauh darinya.Selanjutnya, Erland mu
"Sayang, yuk shopping..." Erland menoleh sekilas, lalu mengedipkan sebelah mata. Tangannya terjulur seperti seorang pengawal menyambut seorang tuan puteri. Maureen kembali menoleh cepat, matanya tertuju pada tangan Erland yang terulur sementara perasaannya masih campur aduk saat mendengar sebutan sayang untuk kedua kalinya. Sebutan sayang itu tidak hanya canggung di telinga, tapi juga mendebarkan hati. Namun, diantara perasaan itu ada sebuah hati kecil yang terus mengomel, "Ingat, Maureen! Erland punya banyak wanita. Pasti dia terbiasa berbicara manis." "Ayo! Lambat banget sih?" Tidak sabar, Erland menarik tangan Maureen yang terbengong-bengong, lalu menggandeng gadis itu masuk ke dalam rumah mode. Seorang perempuan cantik menyambut mereka. "Selamat siang, Tuan dan Nyonya, silahkan," sapanya dengan keramahan yang luar biasa. Maureen mengangguk canggung, matanya melirik kearah tangannya yang digandeng oleh Erland. Dia memberi kode pada Erland untuk melepaskan tangannya, tapi Erlan
"Jahat sekali! Mereka menggunakan Nenek untuk menekan aku," geram Maureen dalam hati. Miris sekali, padahal Nenek Argantha adalah ibu mertua Paulin dan nenek kandung Jillian. "Apa mau kalian sebenarnya?" tanya Maureen pelan, kedua tangannya mengepal di pangkuan. "Tidak ada. Aku cuma ingin mendidikmu supaya tidak suka merebut milik orang," ucap Paulin dengan intonasi yang tenang namun menusuk. "Merebut apa? Kapan?" dengus Maureen. Selama ini Jillian yang selalu merebut semua miliknya, bahkan hadiah ulang tahun dari Kakek dan Nenek Argantha. "Pertama Reinner, sekarang Erland! Kamu masih mau menyangkal? Dasar penggoda!" sergah Jillian penuh kebencian. Maureen menghela napas panjang. Masalah Reinner sudah lama berlalu, tapi dendam Jillian berkepanjangan. "Aku mengenal Reinner lebih dulu darimu. Soal penolakan itu, aku tidak tahu menahu. Lalu, Erland..." Maureen berhenti sejenak dan menarik napas, lalu melontarkan jawaban ambigu, "aku bekerja di Argantha Group. Papa Erland adalah boss