Share

Pernikahan Sandiwara
Pernikahan Sandiwara
Penulis: Icha Isnaini

Lamaran Pernikahan

"Aku akan pergi sekarang!" pekik Brianna sambil keluar dari rumah.

"Jangan lupa bawa uang yang banyak!" pekik Eddy dari ambang pintu. "Kau tahu, ayahmu harus minum alkohol, kan? Dan itu tak gratis, Nak."

Brianna hampir menangis rasanya saat ayahnya membanting pintu rumah dengan sangat keras.

"Kalau sampai pintu itu rusak, jangan pernah minta aku untuk membayar perbaikannya. Okey?" umpat Brianna sambil sejenak mengacungkan jari tengahnya.

Sial, batin Brianna.

"Kau berangkat kerja, Bri?" tanya si tua John, pria yang tinggal sendiri di ujung jalan. "Kudengar ini pertunjukan terakhirmu, ya? Huh? Kau dipecat?"

Gosip itu lagi. Sudah lama ada gosip beredar bahwa ia akan dipecat.

Gadis itu menoleh pada John yang melangkah melewati dirinya. Brianna memang hampir membeku sejak masih berada di dalam rumah. Pemanasnya mati dan ia tak bisa memperbaikinya karena tak punya cukup uang.

Ia menguatkan dirinya. Brianna tak boleh berhenti sekarang atau ia harus melihat ayahnya mengamuk dan membanting seluruh isi rumah jika tak bisa membawa uang malam ini.

Kalau benar ini adalah malam terakhirnya di pementasan, bukankah Brianna tetap akan digaji, bukan? Menjadi pemain utama dalam pementasan ini membuatnya punya cukup uang untuk bertahan hidup dan memberikan ayahnya beberapa botol alkohol dalam sehari.

"Kau baru saja datang? Kau telat?"

Brianna tak menggubris perkataan Gwen. Ia adalah pemeran yang begitu pintar bermain kata-kata. Brianna mencoba menghindarinya sejak Gwen ada di grup ini.

Gadis itu menghempaskan jaket berbulunya ke kursi dan berniat untuk segera mencari dimana gaun yang harus ia kenakan untuk pementasan.

Tak ada. Gaunnya hilang.

Lalu ia tersadar bahwa gaun yang Gwen pakai sekarang adalah gaun milik Brianna.

"Siapa yang memberimu izin memakai gaun itu? Cepat lepas," ucap Brianna. Tatapannya tak lepas dari Gwen yang sejak tadi tengah memandanginya sinis.

"Dave yang memberiku izin," ucap Gwen penuh percaya diri.

"Apa?"

"Kau tak percaya? Dave memang benar-benar memberiku izin," ucap Gwen lagi.

Brianna segera mencari Dave di tengah kerumunan para pemain teater yang sudah sejak tadi ada di belakang panggung.

"Dave!" pekik Brianna pada Dave yang sedang mengurus sesuatu. Pria itu bahkan tak menggubris teriakan Brianna.

Dengan jengkel, Brianna menghampiri Dave yang tampak sibuk.

"Dave? Kau tak mendengarku? Aku memanggilmu sejak tadi. Kau tahu?" sentak Brianna.

"Kau tak lihat aku sedang sibuk? Lalu apa yang kau lakukan di sini? Kau tak memakai gaunmu?"

"Kebetulan kau bertanya. Gaunku. Gaun yang harusnya kupakai sekarang sedang digunakan oleh Gwen."

"Apa? Gwen?"

"Dengarkan aku, Dave. Semua orang di sini tahu bahwa kau sedang mengencani Gwen dan mengakibatkan diriku digosipkan akan dipecat. Tapi aku harap, kau profesional," bisik Brianna sambil di telinga Dave meletakkan telapak tangannya di pinggang.

"Tapi aku tak menyuruh Gwen untuk memakai gaunmu."

Dave segera berlari ke ruang ganti. Ia berbicara dengan Gwen tentang sesuatu yang membuat gadis itu merasa kesal. Sepertinya mereka berdua sedang berbicara sesuatu tentang Brianna.

Pada akhirnya, Gwen harus melepas kembali gaun yang sudah ia pakai itu dan memberikannya pada Brianna setelah ini.

"Waktumu 15 menit untuk memakai gaunnya," ucap Dave pada Brianna sambil berlalu pergi.

Tanpa pikir panjang, Brianna segera mengambil gaun yang memang harusnya ia pakai malam itu.

Pertunjukan opera berlangsung lancar. Selama satu jam, Brianna berhasil memainkan tokoh bernama Putri Salju malam itu membuat dirinya diberikan tepuk tangan yang gemuruh.

Ia merasa puas dan bahagia dengan pekerjaannya kali ini. Tak hanya itu. Tentu saja Brianna akan mendapatkan uang dari pertunjukan teater. Ayahnya bisa minum beberapa botol alkohol malam ini.

"Brianna," panggil Dave.

Brianna menoleh. "Ya, Dave?" Ia baru saja keluar dari ruang ganti.

Sebuah amplop putih ada di depan mata Brianna.

"Terima kasih b-"

"Kau tak perlu datang besok." Ucapan Dave mengejutkan Brianna. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan benar-benar dipecat malam ini. Ia pikir pemecatan dirinya itu adalah sebuah gosip.

Tampak Gwen di sebelah sana sedang terkikik sambil menatap telepon genggamnya. Brianna tahu bahwa Gwen sedang tak tersenyum karena hal itu. Ia bahagia kekasihnya sudah memecatnya.

"Kau memecatku?" tanya Brianna dengan nada ketus pada Dave.

"Kau tahu? Kau tak begitu populer ternyata untuk peran utama yang selalu kau dapatkan. Aku tak ada pilihan lain, Bri. Pulanglah. Ayahmu pasti menunggumu."

Brianna hanya bisa menyeringai tajam saat melihat Dave menghampiri Gwen. Mencium wanita itu dengan mesra.

Brianna terdiam. Ia merutuki dirinya malam ini. Mengutuk nasib buruk yang menimpanya. Entah pekerjaan macam apa yang harus ia lakukan setelah pemecatan ini.

"Sial," gerutu Brianna.

Yang Brianna pikirkan sekarang adalah membelikan ayahnya alkohol. Mungkin dua sudah cukup untuk membuat dirinya agak tenang.

Malam itu, kota New York bersuhu dibawah 0 derajat. Bibir Brianna sudah hampir membeku. Ia bisa membayangkan bagaimana dinginnya di rumah malam ini.

Brianna mematung cukup lama di depan rumahnya sambil membawa dua botol alkohol yang ia beli. Sepertinya jika dilihat dari suara televisi dan lampu rumahnya yang masih menyala begini, sepertinya ayahnya masih terjaga.

Gadis itu memberanikan dirinya untuk masuk kedalam rumah. Ia berharap ayahnya sudah tidur dan lupa untuk mematikan televisi dan lampu. Brianna terlalu malas untuk menemui pria itu.

Harapannya terjadi. Ayahnya sudah pulas di depan televisi yang masih menyala. Kopi yang ada di meja juga tumpah karena tendangan Eddy. Brianna meletakkan alkohol yang ayahnya pesan itu di meja. Ia berharap pria itu segera meminumnya segera setelah terbangun.

"Kenapa kau tak mati saja, Ed?" gumam Brianna.

Ibunya bunuh diri saat Brianna berusia 10 tahun karena perangai ayahnya ini. Brianna selalu membelikan pria ini alkohol saat ia memiliki uang. Ia berharap ayahnya mati saja.

Brianna mematikan televisi dan dan lampu ruang tamu dan hanya menyisakan lampu kecil yang ada di meja.

Gadis itu kembali keluar dari rumah. Lebih baik kedinginan di luar daripada harus mendengar igauan ayahnya yang mengganggu.

"Nona Westbrook?"

Seorang pria tampan dengan setelan mahal berdiri tepat di hadapan Brianna. Memanggil nama belakangnya. Ah, Brianna membenci hal itu.

"Ayahku sedang tidur. Dia punya hutang padamu, Tuan?"

"Aku ke sini bukan untuk menemui ayahmu. Kau adalah alasanku untuk menemuimu."

Brianna mengernyitkan dahinya.

"Tapi aku tak mengenalmu. Maaf. Kalau kau ingin memperkenalkan sebuah agama, kau tahu, aku tak tertarik. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali pergi ke gereja."

Matthew, nama pria itu. Ia tersenyum manis. Menahan tawanya saat mendengar ucapan Brianna.

"Aku menginginkanmu untuk menikah denganku, Nona Westbrook."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status