"Aku akan pergi sekarang!" pekik Brianna sambil keluar dari rumah.
"Jangan lupa bawa uang yang banyak!" pekik Eddy dari ambang pintu. "Kau tahu, ayahmu harus minum alkohol, kan? Dan itu tak gratis, Nak."Brianna hampir menangis rasanya saat ayahnya membanting pintu rumah dengan sangat keras."Kalau sampai pintu itu rusak, jangan pernah minta aku untuk membayar perbaikannya. Okey?" umpat Brianna sambil sejenak mengacungkan jari tengahnya.Sial, batin Brianna."Kau berangkat kerja, Bri?" tanya si tua John, pria yang tinggal sendiri di ujung jalan. "Kudengar ini pertunjukan terakhirmu, ya? Huh? Kau dipecat?"Gosip itu lagi. Sudah lama ada gosip beredar bahwa ia akan dipecat.Gadis itu menoleh pada John yang melangkah melewati dirinya. Brianna memang hampir membeku sejak masih berada di dalam rumah. Pemanasnya mati dan ia tak bisa memperbaikinya karena tak punya cukup uang.Ia menguatkan dirinya. Brianna tak boleh berhenti sekarang atau ia harus melihat ayahnya mengamuk dan membanting seluruh isi rumah jika tak bisa membawa uang malam ini.Kalau benar ini adalah malam terakhirnya di pementasan, bukankah Brianna tetap akan digaji, bukan? Menjadi pemain utama dalam pementasan ini membuatnya punya cukup uang untuk bertahan hidup dan memberikan ayahnya beberapa botol alkohol dalam sehari."Kau baru saja datang? Kau telat?"Brianna tak menggubris perkataan Gwen. Ia adalah pemeran yang begitu pintar bermain kata-kata. Brianna mencoba menghindarinya sejak Gwen ada di grup ini.Gadis itu menghempaskan jaket berbulunya ke kursi dan berniat untuk segera mencari dimana gaun yang harus ia kenakan untuk pementasan.Tak ada. Gaunnya hilang.Lalu ia tersadar bahwa gaun yang Gwen pakai sekarang adalah gaun milik Brianna."Siapa yang memberimu izin memakai gaun itu? Cepat lepas," ucap Brianna. Tatapannya tak lepas dari Gwen yang sejak tadi tengah memandanginya sinis."Dave yang memberiku izin," ucap Gwen penuh percaya diri."Apa?""Kau tak percaya? Dave memang benar-benar memberiku izin," ucap Gwen lagi.Brianna segera mencari Dave di tengah kerumunan para pemain teater yang sudah sejak tadi ada di belakang panggung."Dave!" pekik Brianna pada Dave yang sedang mengurus sesuatu. Pria itu bahkan tak menggubris teriakan Brianna.Dengan jengkel, Brianna menghampiri Dave yang tampak sibuk."Dave? Kau tak mendengarku? Aku memanggilmu sejak tadi. Kau tahu?" sentak Brianna."Kau tak lihat aku sedang sibuk? Lalu apa yang kau lakukan di sini? Kau tak memakai gaunmu?""Kebetulan kau bertanya. Gaunku. Gaun yang harusnya kupakai sekarang sedang digunakan oleh Gwen.""Apa? Gwen?""Dengarkan aku, Dave. Semua orang di sini tahu bahwa kau sedang mengencani Gwen dan mengakibatkan diriku digosipkan akan dipecat. Tapi aku harap, kau profesional," bisik Brianna sambil di telinga Dave meletakkan telapak tangannya di pinggang."Tapi aku tak menyuruh Gwen untuk memakai gaunmu."Dave segera berlari ke ruang ganti. Ia berbicara dengan Gwen tentang sesuatu yang membuat gadis itu merasa kesal. Sepertinya mereka berdua sedang berbicara sesuatu tentang Brianna.Pada akhirnya, Gwen harus melepas kembali gaun yang sudah ia pakai itu dan memberikannya pada Brianna setelah ini."Waktumu 15 menit untuk memakai gaunnya," ucap Dave pada Brianna sambil berlalu pergi.Tanpa pikir panjang, Brianna segera mengambil gaun yang memang harusnya ia pakai malam itu.Pertunjukan opera berlangsung lancar. Selama satu jam, Brianna berhasil memainkan tokoh bernama Putri Salju malam itu membuat dirinya diberikan tepuk tangan yang gemuruh.Ia merasa puas dan bahagia dengan pekerjaannya kali ini. Tak hanya itu. Tentu saja Brianna akan mendapatkan uang dari pertunjukan teater. Ayahnya bisa minum beberapa botol alkohol malam ini."Brianna," panggil Dave.Brianna menoleh. "Ya, Dave?" Ia baru saja keluar dari ruang ganti.Sebuah amplop putih ada di depan mata Brianna."Terima kasih b-""Kau tak perlu datang besok." Ucapan Dave mengejutkan Brianna. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan benar-benar dipecat malam ini. Ia pikir pemecatan dirinya itu adalah sebuah gosip.Tampak Gwen di sebelah sana sedang terkikik sambil menatap telepon genggamnya. Brianna tahu bahwa Gwen sedang tak tersenyum karena hal itu. Ia bahagia kekasihnya sudah memecatnya."Kau memecatku?" tanya Brianna dengan nada ketus pada Dave."Kau tahu? Kau tak begitu populer ternyata untuk peran utama yang selalu kau dapatkan. Aku tak ada pilihan lain, Bri. Pulanglah. Ayahmu pasti menunggumu."Brianna hanya bisa menyeringai tajam saat melihat Dave menghampiri Gwen. Mencium wanita itu dengan mesra.Brianna terdiam. Ia merutuki dirinya malam ini. Mengutuk nasib buruk yang menimpanya. Entah pekerjaan macam apa yang harus ia lakukan setelah pemecatan ini."Sial," gerutu Brianna.Yang Brianna pikirkan sekarang adalah membelikan ayahnya alkohol. Mungkin dua sudah cukup untuk membuat dirinya agak tenang.Malam itu, kota New York bersuhu dibawah 0 derajat. Bibir Brianna sudah hampir membeku. Ia bisa membayangkan bagaimana dinginnya di rumah malam ini.Brianna mematung cukup lama di depan rumahnya sambil membawa dua botol alkohol yang ia beli. Sepertinya jika dilihat dari suara televisi dan lampu rumahnya yang masih menyala begini, sepertinya ayahnya masih terjaga.Gadis itu memberanikan dirinya untuk masuk kedalam rumah. Ia berharap ayahnya sudah tidur dan lupa untuk mematikan televisi dan lampu. Brianna terlalu malas untuk menemui pria itu.Harapannya terjadi. Ayahnya sudah pulas di depan televisi yang masih menyala. Kopi yang ada di meja juga tumpah karena tendangan Eddy. Brianna meletakkan alkohol yang ayahnya pesan itu di meja. Ia berharap pria itu segera meminumnya segera setelah terbangun."Kenapa kau tak mati saja, Ed?" gumam Brianna.Ibunya bunuh diri saat Brianna berusia 10 tahun karena perangai ayahnya ini. Brianna selalu membelikan pria ini alkohol saat ia memiliki uang. Ia berharap ayahnya mati saja.Brianna mematikan televisi dan dan lampu ruang tamu dan hanya menyisakan lampu kecil yang ada di meja.Gadis itu kembali keluar dari rumah. Lebih baik kedinginan di luar daripada harus mendengar igauan ayahnya yang mengganggu."Nona Westbrook?"Seorang pria tampan dengan setelan mahal berdiri tepat di hadapan Brianna. Memanggil nama belakangnya. Ah, Brianna membenci hal itu."Ayahku sedang tidur. Dia punya hutang padamu, Tuan?""Aku ke sini bukan untuk menemui ayahmu. Kau adalah alasanku untuk menemuimu."Brianna mengernyitkan dahinya."Tapi aku tak mengenalmu. Maaf. Kalau kau ingin memperkenalkan sebuah agama, kau tahu, aku tak tertarik. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali pergi ke gereja."Matthew, nama pria itu. Ia tersenyum manis. Menahan tawanya saat mendengar ucapan Brianna."Aku menginginkanmu untuk menikah denganku, Nona Westbrook.""Kau seperti anak kecil, Brianna," ucap Matthew saat pria itu keluar dari kamar mandi."Apa maksudmu?""Kemarin kau bilang bahwa kau tak ingin membicarakan ayahmu. Lalu kau tiba-tiba ingin menemuinya saat malam natal."Brianna melihat bagaimana Matthew seolah sedang mengoloknya."Kau keberatan karena aku ingin menemui ayahku, Matt?" tebak Brianna. "Kau bahkan tak mengizinkan ayahku untuk pergi ke pesta pernikahan kita."Matthew tak menggubris ucapan Brianna. Ia tak peduli. Ia punya alasan khusus untuk tak ikut mengundang ayah Brianna ke pesta pernikahan."Lagipula itu hanya pernikahan sandiwara, Bri. Pernikahan sandiwara. Kau ingin mengundang ayahmu di acara seperti itu? Ayolah, Bri. Aku tahu kau tak akan melakukan hal itu."Ucapan Matthew ada benarnya. Lusa adalah sebuah acara pernikahan sandiwara, bukan pernikahan s
Eddy Westbrook memicingkan matanya. Mengamati mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Ia meletakkan sekop pembersih saljunya yang ia gunakan untuk menyingkirkan salju yang ada di tangga depan rumahnya."Kau di sini?" tanya Eddy pada Brianna yang baru saja keluar dari sana. Anak perempuannya itu membawa sebotol anggur di tangannya."Untuk apa kau berlelah membersihkan salju di depan rumah? Tak akan ada yang mengunjungimu untuk merayakan natal," ucap Brianna sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuklah. Kau pasti sudah ingin mabuk sejak tadi."Eddy tak menjawab perkataan putrinya.Tampak Matthew mengikuti langkah Brianna masuk ke dalam rumahnya.Tentu saja Eddy harus bergabung dengan mereka yang sudah datang di malam natal ini.Brianna menuangkan anggurnya ke dalam masing-masing gelas."Dia ingin sekal
Grey terkesima dengan apa yang baru saja Matthew bicarakan. Pria itu masih saja mengingat perkataan Grey saat di telepon."Kau mengingatnya?" tanya Grey. "Oh, ayolah, Tuan. Saat itu aku sedang mabuk. Semua pria tak sadar apa yang sedang ia katakan saat sedang mabuk.""Kau mengenalnya, Grey?" tanya Zack sambil berbisik di telinga Grey."Tentu," jawab Grey dengan lantang. "Dia adalah kekasihku saat masa sekolah menengah atas. Brianna Westbrook.""Grey namamu? Sebaiknya kau mematikan nomor teleponmu saat sedang minum. Karena dengan mulutmu itu, kau bisa saja menghancurkan hubungan seseorang," ucap Matthew memperingatkan."By the way, Bri. Tadi pagi aku meneleponmu dan calon suamimu yang mengangkatnya."Perkataan Grey membuat Matthew salah tingkah.Tentu saja ia tak memberi tahu Brianna tentang hal itu. Bahkan Matthew s
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki
"Bangunlah. Cepat." Suara serak di pagi hari.Wanita setengah telanjang itu berbisik di telinga Grey Jordan yang masih tertidur tengkurap."Kau sudah bangun?" tanya wanita itu lagi.Grey mengerjapkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering sekali mabuk dan pulang pagi."Apa yang kau lakukan? Kau mau pergi?" tanya Grey pada wanita yang baru saja ia kenal semalam. Grey bahkan tak tahu siapa nama wanita yang umurnya jauh lebih tua itu."Ya, aku harus pergi."Sambil berlari, wanita itu pergi ke kamar mandi hanya dengan memakai pakaian dalam.'Kau mau pergi sekarang? Secepat itu?""Suamiku meneleponku semalaman dan aku tak mengangkat teleponnya. Dia pasti marah padaku. Maaf aku harus pergi sekarang," pekik wanita itu dari kamar mandi.Ia membersihkan badannya seadanya. Hanya mencu
"Kita berdua tidur satu ranjang?"Matthew menganggukkan kepalanya."Kenapa? Kau keberatan? Bukankah itu tertulis di surat kontrak? Kau tak membacanya?" Matthew melepas dua kancing kemejanya. "Kau sudah membersihkan tubuhmu, bukan? Pakailah pakaian tidur yang pelayan siapkan untukmu dan naiklah ke ranjang."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi dan berniat membersihkan dirinya.Tak butuh waktu lama untuk menggosok gigi. Cukup dua menit. Ia kemudian membersihkan wajah yang sudah rupawan itu. Hanya sebulir sabun cuci muka dan beberapa kali cipratan air di wajahnya.Bayangan wanita berambut pirang sekilas melintas di pikiran Matthew. Pria itu berusaha menepisnya. Wanita yang pernah ada di kehidupannya itu kini sudah menikah. Tak ada yang perlu dipikirkan sekarang. Ia harus berpikir tentang pernikahan sandiwaranya dan juga calon istri pura-puranya, Brianna."
Brianna menunggu steak-nya dipotongkan oleh Matthew. Entah berapa pasang mata yang menyaksikan perhatian Matt pada Bri."Silakan," ucap Matthew dengan mesra pada Brianna.Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.Harusnya yang bermain peran kan dirinya. Bukan Matthew.Laura MacMillan, ibu tiri Matthew yang sedang menyuap steak yang masih berdarah itu hampir tersedak dengan perlakuan anak tirinya itu pada calon istrinya."Kau ingin minum, Bu?" tanya Aaron pada ibunya.Laura menggeleng. Ia menolak untuk minum air putih. Matanya yang kecil dan tajam itu memperhatikan gerak-gerik Matthew dan Brianna."Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Laura memulai pembicaraan setelah ia mengusap mulutnya dengan kain lap."Cukup lama," ucap Matthew. "Namun, benih-benih cinta