Share

Dua Wanita

"Kamu kenal dia, Ngga?" bisik Lukman.

Jingga tak menjawab. Dia hanya bisa terpaku dengan tatapan yang terkunci pada Ganendra.

Sementara Ganendra yang juga sempat terkejut, segera mengendalikan diri. Dia berdehem pelan, lalu mengalihkan pandangan pada Sandra yang berdiri tepat di sebelahnya.

"Mana catatan dari Papa?" tanya Ganendra seraya mengambil tempat duduk di hadapan Lukman dan Jingga.

"Ini, Pak." Sandra menyerahkan map berisi beberapa lembar kertas.

Ganendra membaca dengan saksama, kata demi kata yang tertulis di sana. Sesekali matanya melirik ke arah Jingga yang terus memandangnya dengan sorot tertegun.

"Jadi ... anda yang bernama pak Lukman?" tanya Ganendra membuka pembicaraan.

"Betul, Pak. Saya sudah mengenal ayah anda sejak lama," jawab Lukman.

Ganendra mengangguk, lalu beralih pada Jingga. "Kamu?" tanyanya lagi.

"Dia keponakan saya, Pak. Dia saya ajak kemari karena saya memakai rekening dia untuk membayar utang," sahut Lukman sebelum Jingga sempat menjawab.

"Begitu rupanya," gumam Ganendra. "Berapa yang akan anda transfer?" tanyanya kemudian.

"Dua ratus juta, Pak. Sisanya akan saya kembalikan secepatnya," jawab Lukman.

"Secepatnya? Kapan itu?" Nada bicara Ganendra terkesan meremehkan.

"Saya akan mencari cara, Pak." Lukman mulai kehilangan kepercayaan diri. Sebenarnya, dia juga belum memikirkan bagaimana cara melunasi sisa utang.

"Padahal papaku memberikan solusi mudah. Serahkan rumah atas nama Agung Prasetyo, maka semua akan dianggap lunas," ujar Ganendra.

"Tidak bisa! Itu adalah peninggalan ayah saya!" seru Jingga nyaring. Ganendra tak menyangka bahwa gadis yang baru saja disewanya itu berani bersuara. Mengingat sebelumnya, Jingga terus bersikap diam dan selalu memperhatikan Ganendra.

"Baiklah, kalau kalian tidak mau. Aku akan memberi jangka waktu seminggu untuk membayar sisa utang papa sebanyak tiga ratus juta!" tegas Ganendra.

"Seminggu?" Lukman terbelalak. "Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Tenang saja, Om. Aku akan mengusahakan, apapun caranya," timpal Jingga.

"Oh, ya? Aku jadi penasaran dengan caramu berusaha," celetuk Ganendra, membuat wajah cantik Jingga bersemu merah.

Dirinya tidak bodoh dalam menyadari sikap Ganendra barusan. Itu adalah sebuah sindiran serta ejekan yang ditujukan khusus untuk Jingga.

"Saya akan melunasinya," tegas Jingga.

"Kalau begitu, pikirkan mulai sekarang, kira-kira apa yang bisa kalian jual seharga tiga ratus juta." Ganendra menyeringai lebar.

"Akan saya usahakan semaksimal mungkin. Seminggu lagi, kami akan datang ke sini," ucap Lukman.

"Bersiaplah kehilangan rumah kalau sampai kalian gagal mengumpulkan uangnya," ancam Ganendra dengan raut dingin. Tak ada belas kasih sama sekali dalam sorot mata coklatnya.

Hal itu sungguh berbeda dengan yang Ganendra tampakkan selama kebersamaannya dengan Jingga, tujuh hari ke belakang.

Jingga tak dapat lagi menahan rasa marah dan kecewa. Keperawanannya seolah melayang sia-sia. Gadis itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari keluar, tanpa menunggu sang paman yang kebingungan.

"Jingga! Tunggu!" sergah Lukman, meskipun tak mengubah apapun. Keponakannya itu tetap berlalu meninggalkannya. "Maafkan keponakan saya," sesal pria paruh baya itu.

"Jadi, namanya Jingga?" gumam Ganendra lirih seraya terus memandang Lukman sampai sosok itu menghilang.

"Siapa Jingga?" sahut Sandra yang sedari tadi berdiri di belakang Ganendra.

"Kenapa kamu selalu ingin tahu?" Ganendra menoleh seraya mengerling nakal. "Bersikaplah profesional sedikit. Saat jam kerja, kamu adalah asisten papaku. Di luar itu ...."

Ganendra sengaja menggantungkan kalimatnya. Tangannya nakal meraih pinggang ramping Sandra, lalu menarik tubuh molek itu mendekat. Sebuah ciuman panas dan sedikit kasar, dia daratkan di bibir Sandra yang berpoleskan lipstik merah.

"Ya, ampun. Ini jam kerja. Kamu sendiri yang bilang barusan." Sandra mendorong pelan tubuh tegap Ganendra. "Lagipula, istri sirimu yang berlagak jadi nyonya besar itu sudah menunggu di rumah sejak subuh tadi," ujar Sandra dengan nada tak suka.

"Dia sudah datang?" Ganendra terbelalak tak percaya.

"Dia mengeluh perutnya kram. Apa mungkin Hilda ...."

"Hilda tidak mungkin hamil! Aku sudah memberinya alat kontrasepsi yang tepat!" potong Ganendra.

"Bisa saja dia berbuat curang di belakang, tanpa sepengetahuanmu," balas Sandra.

"Kata-katamu itu seperti penghinaan bagiku, Sandra. Tidak ada yang bisa membodohiku, termasuk Hilda dan kamu." Ganendra menyentuh hidung mancung Sandra menggunakan ujung telunjuknya.

"Oh, ya? Aku terlambat haid bulan ini," sahut Sandra.

Sontak raut Ganendra berubah menjadi menakutkan. "Aku bisa memastikan bahwa itu bukan anakku," ujarnya tegas.

"Jangan dikira alat pengamanmu itu bisa mencegah kehamilan hingga seratus persen. Akan selalu ada kesalahan kecil, Sayang," ujar Sandra jumawa.

Namun, Ganendra malah tertawa. Dia tidak akan menunjukkan kelemahannya di depan siapapun. "Jadi, apa maumu?" tanyanya enteng.

"Aku ingin kamu meresmikan hubungan kita. Nikahi aku seperti halnya kamu menikahi Hilda. Ah, tidak. Aku tidak mau menjadi istri siri. Aku harus menjadi istri sah," desak Sandra.

Di luar dugaan, Ganendra malah tertawa semakin lebar. "Ya, ampun, Sandra. Jangan dikira kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu. Selama ini, kita hanya bermain-main saja, kan? Tidak perlu sampai terbawa perasaan," ujarnya tanpa beban.

"Kamu ...." Sandra mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Lagipula, terlambat haid itu tidak berarti hamil," ledek Ganendra.

"Dengar, ya. Jika kamu berani, lakukan tes kehamilan tepat di hadapanku, dan bila memang positif, aku akan mengatur untuk menjalankan tes DNA, walaupun aku sudah bisa menebak hasilnya," tantang Ganendra.

"Bajingan kamu, Ga! Tunggu sampai Pak Atmawirya mengetahui skandal kita!" seru Sandra dengan muka merah padam.

"Kenapa memangnya kalau dia tahu?" Ganendra tergelak. "Kamu pikir bisa mengancamku? Begitu? Ya, ampun," ucapnya sambil menggelengkan kepala.

"Apa salahnya kita meresmikan hubungan?" Sandra tak mau kalah. Dia maju dengan wajah setengah mendongak, seakan menantang kekasih gelapnya.

"Serakah juga rupanya kamu," olok Ganendra. "Apa penghasilan menjadi pacar simpanan mulai terasa kurang, sehingga kamu meminta lebih?"

"Kenapa kamu selalu menganggap jika semua selalu tentang uang? Aku cinta kamu, Ga!"

"Cinta?" Ganendra tersenyum sinis. "Mimpimu terlalu tinggi," ujarnya seraya meninggalkan ruangan itu. Ganendra tak memedulikan Sandra yang hanya bisa menatap punggung lebarnya berlalu dan menghilang

Ganendra berjalan tergesa-gesa menuju bangunan utama, lalu masuk ke kamarnya. Di sana telah menunggu seorang wanita yang tak lain adalah Hilda.

Wanita itu tampak tak suka saat Ganendra melangkah mendekat padanya. "Sudah puas senang-senangnya?" sindir Hilda.

"Jangan mulai, deh!" Ganendra berdecak kesal.

"Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu sudah bermain gila dengan Sandra?" Nada bicara Hilda semakin meninggi.

"Lantas? Apa masalahnya?" sahut Ganendra enteng. Hal itu semakin memantik emosi Hilda.

"Masalah? Aku istrimu, Ga!" sentak wanita cantik itu.

"Ck!" Ganendra menggaruk pelipisnya. "Kalian semua sama saja!"

"Apanya yang sama? Kamu tuh, yang brengsek!" tuding Hilda.

"Ya, sudah. Kita akhiri saja pernikahan ini," timpal Ganendra dengan santainya.

"Ya, ampun. Gampang sekali kamu bicara seperti itu!" Hilda bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri sang suami. Langkahnya penuh emosi dengan satu tangan bersiap untuk menampar Ganendra.

Akan tetapi, Ganendra sudah bisa menebak gerakan Hilda. Lihai, dirinya menangkis lalu mencengkeram pergelangan istri sirinya itu kuat-kuat.

"Perlukah kuingatkan lagi posisimu, Hilda? Kamu hanyalah seorang wanita yang dipaksa masuk ke hidupku oleh Papa. Jangan harap aku bisa memberimu status yang lebih dari ini," geram Ganendra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status