Share

Kedua Kali

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2024-01-08 10:54:44

"Apa maksudnya, Om?" Jingga menggeleng tak mengerti.

"Surat pemberitahuan penyitaan oleh bank itu palsu, Ngga. Maafkan om." Pria paruh baya itu tiba-tiba bersimpuh di hadapan Jingga. Dia memeluk kaki keponakannya itu sambil tergugu.

"Jingga nggak ngerti, Om," desis gadis itu lirih. Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan, tiba-tiba saja pamannya berkata demikian.

"Om hanya ingin memperbaiki hidup kita. Ayahmu dulu sudah menyerahkan tanggung jawab untuk merawatmu pada Om, Nak. Om malu kalau selamanya kita harus hidup susah," paparnya.

"Om Lukman, tolong jangan bertele-tele." Jingga berusaha melepaskan diri dan menjauh dari pamannya.

Masih dalam posisi bersimpuh, pria bernama Lukman itu mendongak dengan air mata bercucuran.

"Lima tahun lalu, Om meminjam uang lima ratus juta pada seorang teman lama. Uang itu Om pergunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Awalnya, bisnis berjalan lancar. Om bisa membelikan segala macam kebutuhan kita, sekaligus membayar cicilan utang dan bagi hasil tiap bulan," jelas Lukman.

"Tapi ... dua tahun terakhir ini semua serba sulit, Ngga. Perjanjian pengembalian utang yang harus dikembalikan tiap bulan, harus Om ingkari. Uang itu habis untuk membayar kuliahmu dan makan sehari-hari. Tanpa sadar, utang om sudah menumpuk. Om juga tidak lagi memberikan bagi hasil." Lukman menundukkan kepala dalam-dalam. Dia begitu malu membalas tatapan Jingga.

"Awalnya Om mengajukan pailit ke Pengadilan Niaga, tapi semua dipersulit. Teman Om juga tidak mau tahu. Dia ingin sisa uangnya kembali, ditambah bunga," lanjut Lukman.

"Jadi, Om berpura-pura kalau rumah ini hendak disita bank? Padahal mau diberikan pada teman Om itu untuk membayar utang, begitu?" terka Jingga.

Lukman menjawabnya dengan anggukan.

"Berapa utang Om sebenarnya? Yang kutahu, rumah ini bisa dihargai lima ratus juta," ucap Jingga curiga.

"Sudah dua tahun Om menunggak, Ngga. Bisa dibayangkan berapa bunganya," dalih Lukman.

"Astaga ...." Jingga menyugar rambut panjangnya dengan kasar. "Aku tidak mau kehilangan rumah ini. Hanya tempat ini satu-satunya kenangan dari ayah."

"Om minta maaf, Ngga." Entah sudah berapa kali Lukman mengucapkan itu.

"Apa yang harus kukatakan pada ayahmu? Om sudah menghancurkan hidup kita. Terutama hidup kamu." Lukman kembali menangis sesenggukan.

"Semua sudah terjadi," sahut Jingga gamang. Terbayang tiba-tiba dalam benaknya, pergumulan panas penuh dosa bersama Ganendra selama seminggu penuh. Jingga menggeleng pelan. Perih rasa hati mengingat semua keputusan yang telah dilaluinya. "Disesali pun percuma."

"Om hanya berniat untuk memberikan yang terbaik untukmu. Om sungguh tidak menyangka kalau akan seperti ini akhirnya," sesal Lukman.

"Yang terpenting, sekarang serahkan uang dua ratus juta itu pada teman Om secepatnya. Nanti kita bisa berunding ulang untuk melunasi sisanya," saran Jingga.

Lukman tak mampu berkata-kata. Dia kembali mengangguk lemah tanpa bersuara. "Apa kamu mau ikut menemui teman Om?" ajak Lukman.

"Terserah Om. Aku ganti baju dulu," sahut Jingga yang sudah merasa tak nyaman dengan dress ketat yang dia pinjam dari lemari Ganendra.

Selama Jingga masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap, Lukman menghubungi seseorang. Cukup lama dia menunggu sampai teleponnya diangkat.

"Pak Atmawirya, bisakah kita bertemu? Saya ingin membicarakan masalah penyitaan rumah," ujar Lukman sesaat setelah panggilannya diterima.

"Aku sedang di luar negeri. Biar anakku nanti yang mengurus semuanya," sahut suara di seberang sana. "Apakah rumah itu bisa dibaliknamakan secepatnya?" tanya Atmawirya.

"Ehm, ma-masalah itu ...." Lukman tergagap. "Saya tidak jadi memberikan rumah abang saya sebagai pengganti pelunasan utang. Saya baru berhasil mengumpulkan dua ratus juta saja, Pak. Selebihnya akan saya lunasi dalam waktu secepatnya."

"Ya, ampun, Lukman. Jika bukan karena berutang budi pada kakakmu, mungkin aku sudah menjebloskanmu ke penjara." Atmawirya berdecak kesal.

"Sudahlah, datang saja dulu ke rumah. Nanti biar anakku yang mengatur semuanya!" tegas Atmawirya, kemudian mengakhiri teleponnya begitu saja.

Beberapa menit kemudian, Jingga sudah siap dengan setelan favoritnya, kemeja sederhana dipadu dengan celana bahan berwarna gelap.

Lukman menyodorkan helm pada Jingga dan menunggu sampai keponakannya itu duduk di jok motor. "Maaf ya, Ngga. Kamu jadi naik motor ke mana-mana. Semoga nanti kesampaian, kita membeli mobil lagi," ujarnya.

"Sudahlah, Om. Yang penting sekarang adalah melunasi utang," timpal Jingga sedikit kesal.

Lukman tak menimpali lagi. Mereka saling diam sampai motor yang Lukman kendarai tiba di kawasan perumahan elit. Mereka berhenti di depan gerbang sebuah rumah paling megah di blok itu.

Lukman memberi isyarat pada Jingga untuk turun dari motor dan mendekat ke pintu kecil yang berada di sisi gerbang. Lukman menekan tombol yang terdapat di samping pintu.

Sebuah kamera CCTV yang terpasang di atas gerbang, bergerak hingga lensanya mengarah lurus pada Lukman.

"Perkenalkan diri bapak dan sebutkan tujuan bapak datang," ujar suara yang keluar dari pengeras suara yang terpasang di bawah kamera.

"Nama saya Lukman Ardana. Tadi saya sudah menghubungi Pak Atmawirya. Beliau menyuruh saya bertemu dengan putra beliau," jelasnya.

"Oh, baik, Pak. Silakan masuk. Kebetulan putra Pak Atmawirya juga baru saja datang. Langsung menuju balai, ya," ujar suara itu lagi.

"Balai?" Jingga mengernyit. Sesaat kemudian, pintu kecil di hadapannya itu terbuka. Lukman dipersilakan membawa motornya masuk. Dua orang itu sempat kebingungan saat melintasi halaman luas berumput. Beruntung, seseorang dari kejauhan setengah berlari menghampiri mereka.

Seorang wanita bersetelan rapi menyambut kedatangan Lukman dan Jingga. "Saya Sandra, asisten Pak Atmawirya," sapanya sambil mengulurkan tangan.

""Saya teman lama Pak Atmawirya." Lukman memperkenalkan diri seraya membalas jabat tangan Sandra.

"Tadi beliau sudah menceritakan semua. Sebenarnya, saya sudah diberi beberapa catatan. Namun, biar putra Pak Atmawirya sendiri yang akan menjelaskan secara detilnya. Saya hanya ditugaskan untuk mengantar anda ke balai," tutur Sandra sopan.

"Mari." Wanita itu mengarahkan tangannya ke bangunan lain yang berada tak jauh dari bangunan utama.

"Silakan." Sandra mempersilakan Lukman dan Jingga masuk ke ruangan yang mirip dengan ruang meeting berukuran besar. Mereka duduk bersebelahan.

"Iya, terima kasih," ucap Lukman sebelum beralih pada Jingga. "Bagaimana, Ngga? Apa sudah kamu siapkan rekeningnya?" tanyanya.

"Sudah, Om." Jingga menunjukkan aplikasi di ponselnya ketika ruangan itu terbuka. Sesosok pria berpakaian rapi, masuk dan berjalan mendekat.

Baik Jingga maupun pria itu sama-sama saling pandang dengan sorot terkejut. "Pak Ganendra?" desis Jingga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status