Share

Kedua Kali

"Apa maksudnya, Om?" Jingga menggeleng tak mengerti.

"Surat pemberitahuan penyitaan oleh bank itu palsu, Ngga. Maafkan om." Pria paruh baya itu tiba-tiba bersimpuh di hadapan Jingga. Dia memeluk kaki keponakannya itu sambil tergugu.

"Jingga nggak ngerti, Om," desis gadis itu lirih. Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan, tiba-tiba saja pamannya berkata demikian.

"Om hanya ingin memperbaiki hidup kita. Ayahmu dulu sudah menyerahkan tanggung jawab untuk merawatmu pada Om, Nak. Om malu kalau selamanya kita harus hidup susah," paparnya.

"Om Lukman, tolong jangan bertele-tele." Jingga berusaha melepaskan diri dan menjauh dari pamannya.

Masih dalam posisi bersimpuh, pria bernama Lukman itu mendongak dengan air mata bercucuran.

"Lima tahun lalu, Om meminjam uang lima ratus juta pada seorang teman lama. Uang itu Om pergunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Awalnya, bisnis berjalan lancar. Om bisa membelikan segala macam kebutuhan kita, sekaligus membayar cicilan utang dan bagi hasil tiap bulan," jelas Lukman.

"Tapi ... dua tahun terakhir ini semua serba sulit, Ngga. Perjanjian pengembalian utang yang harus dikembalikan tiap bulan, harus Om ingkari. Uang itu habis untuk membayar kuliahmu dan makan sehari-hari. Tanpa sadar, utang om sudah menumpuk. Om juga tidak lagi memberikan bagi hasil." Lukman menundukkan kepala dalam-dalam. Dia begitu malu membalas tatapan Jingga.

"Awalnya Om mengajukan pailit ke Pengadilan Niaga, tapi semua dipersulit. Teman Om juga tidak mau tahu. Dia ingin sisa uangnya kembali, ditambah bunga," lanjut Lukman.

"Jadi, Om berpura-pura kalau rumah ini hendak disita bank? Padahal mau diberikan pada teman Om itu untuk membayar utang, begitu?" terka Jingga.

Lukman menjawabnya dengan anggukan.

"Berapa utang Om sebenarnya? Yang kutahu, rumah ini bisa dihargai lima ratus juta," ucap Jingga curiga.

"Sudah dua tahun Om menunggak, Ngga. Bisa dibayangkan berapa bunganya," dalih Lukman.

"Astaga ...." Jingga menyugar rambut panjangnya dengan kasar. "Aku tidak mau kehilangan rumah ini. Hanya tempat ini satu-satunya kenangan dari ayah."

"Om minta maaf, Ngga." Entah sudah berapa kali Lukman mengucapkan itu.

"Apa yang harus kukatakan pada ayahmu? Om sudah menghancurkan hidup kita. Terutama hidup kamu." Lukman kembali menangis sesenggukan.

"Semua sudah terjadi," sahut Jingga gamang. Terbayang tiba-tiba dalam benaknya, pergumulan panas penuh dosa bersama Ganendra selama seminggu penuh. Jingga menggeleng pelan. Perih rasa hati mengingat semua keputusan yang telah dilaluinya. "Disesali pun percuma."

"Om hanya berniat untuk memberikan yang terbaik untukmu. Om sungguh tidak menyangka kalau akan seperti ini akhirnya," sesal Lukman.

"Yang terpenting, sekarang serahkan uang dua ratus juta itu pada teman Om secepatnya. Nanti kita bisa berunding ulang untuk melunasi sisanya," saran Jingga.

Lukman tak mampu berkata-kata. Dia kembali mengangguk lemah tanpa bersuara. "Apa kamu mau ikut menemui teman Om?" ajak Lukman.

"Terserah Om. Aku ganti baju dulu," sahut Jingga yang sudah merasa tak nyaman dengan dress ketat yang dia pinjam dari lemari Ganendra.

Selama Jingga masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap, Lukman menghubungi seseorang. Cukup lama dia menunggu sampai teleponnya diangkat.

"Pak Atmawirya, bisakah kita bertemu? Saya ingin membicarakan masalah penyitaan rumah," ujar Lukman sesaat setelah panggilannya diterima.

"Aku sedang di luar negeri. Biar anakku nanti yang mengurus semuanya," sahut suara di seberang sana. "Apakah rumah itu bisa dibaliknamakan secepatnya?" tanya Atmawirya.

"Ehm, ma-masalah itu ...." Lukman tergagap. "Saya tidak jadi memberikan rumah abang saya sebagai pengganti pelunasan utang. Saya baru berhasil mengumpulkan dua ratus juta saja, Pak. Selebihnya akan saya lunasi dalam waktu secepatnya."

"Ya, ampun, Lukman. Jika bukan karena berutang budi pada kakakmu, mungkin aku sudah menjebloskanmu ke penjara." Atmawirya berdecak kesal.

"Sudahlah, datang saja dulu ke rumah. Nanti biar anakku yang mengatur semuanya!" tegas Atmawirya, kemudian mengakhiri teleponnya begitu saja.

Beberapa menit kemudian, Jingga sudah siap dengan setelan favoritnya, kemeja sederhana dipadu dengan celana bahan berwarna gelap.

Lukman menyodorkan helm pada Jingga dan menunggu sampai keponakannya itu duduk di jok motor. "Maaf ya, Ngga. Kamu jadi naik motor ke mana-mana. Semoga nanti kesampaian, kita membeli mobil lagi," ujarnya.

"Sudahlah, Om. Yang penting sekarang adalah melunasi utang," timpal Jingga sedikit kesal.

Lukman tak menimpali lagi. Mereka saling diam sampai motor yang Lukman kendarai tiba di kawasan perumahan elit. Mereka berhenti di depan gerbang sebuah rumah paling megah di blok itu.

Lukman memberi isyarat pada Jingga untuk turun dari motor dan mendekat ke pintu kecil yang berada di sisi gerbang. Lukman menekan tombol yang terdapat di samping pintu.

Sebuah kamera CCTV yang terpasang di atas gerbang, bergerak hingga lensanya mengarah lurus pada Lukman.

"Perkenalkan diri bapak dan sebutkan tujuan bapak datang," ujar suara yang keluar dari pengeras suara yang terpasang di bawah kamera.

"Nama saya Lukman Ardana. Tadi saya sudah menghubungi Pak Atmawirya. Beliau menyuruh saya bertemu dengan putra beliau," jelasnya.

"Oh, baik, Pak. Silakan masuk. Kebetulan putra Pak Atmawirya juga baru saja datang. Langsung menuju balai, ya," ujar suara itu lagi.

"Balai?" Jingga mengernyit. Sesaat kemudian, pintu kecil di hadapannya itu terbuka. Lukman dipersilakan membawa motornya masuk. Dua orang itu sempat kebingungan saat melintasi halaman luas berumput. Beruntung, seseorang dari kejauhan setengah berlari menghampiri mereka.

Seorang wanita bersetelan rapi menyambut kedatangan Lukman dan Jingga. "Saya Sandra, asisten Pak Atmawirya," sapanya sambil mengulurkan tangan.

""Saya teman lama Pak Atmawirya." Lukman memperkenalkan diri seraya membalas jabat tangan Sandra.

"Tadi beliau sudah menceritakan semua. Sebenarnya, saya sudah diberi beberapa catatan. Namun, biar putra Pak Atmawirya sendiri yang akan menjelaskan secara detilnya. Saya hanya ditugaskan untuk mengantar anda ke balai," tutur Sandra sopan.

"Mari." Wanita itu mengarahkan tangannya ke bangunan lain yang berada tak jauh dari bangunan utama.

"Silakan." Sandra mempersilakan Lukman dan Jingga masuk ke ruangan yang mirip dengan ruang meeting berukuran besar. Mereka duduk bersebelahan.

"Iya, terima kasih," ucap Lukman sebelum beralih pada Jingga. "Bagaimana, Ngga? Apa sudah kamu siapkan rekeningnya?" tanyanya.

"Sudah, Om." Jingga menunjukkan aplikasi di ponselnya ketika ruangan itu terbuka. Sesosok pria berpakaian rapi, masuk dan berjalan mendekat.

Baik Jingga maupun pria itu sama-sama saling pandang dengan sorot terkejut. "Pak Ganendra?" desis Jingga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status