Share

Perjanjian

"Instingku tajam, Sayang. Aku bisa mencium niatmu. Anak manja yang berprofesi sebagai seorang artis, tentu saja harus mencari suami kaya raya untuk menyokong biaya hidupnya yang mewah dan fantastis," cibir Ganendra.

"Lalu, kamu akan memaksaku untuk mengesahkan pernikahan kita. Itu artinya, kamu bisa menuntut segala hal, termasuk harta. Apalagi kalau kau berhasil memiliki anak. Mungkin kamu akan memerasku sampai habis." Ganendra terkekeh pelan.

"Kamu gila," desis Hilda.

"Oh, tidak. Aku tidak gila. Aku hanya memaksimalkan ini." Ganendra mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan telunjuk, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Hilda. Dia mendorong wanita cantik itu pelan.

"Kalau kamu pikir aku menyerah hanya karena gertakanmu, kamu salah, Ga! Aku tidak akan mundur! Aku akan tetap berjuang menjadi satu-satunya untukmu!" seru Hilda penuh percaya diri.

"Terserah kamu saja! Aku tidak peduli!" timpal Ganendra dingin. Dia membalikkan badan dan meninggalkan Hilda begitu saja di dalam kamar.

Ganendra malas jika harus berada satu ruangan dengan Hilda. Kepalanya sudah panas memikirkan tingkah Sandra. Dia tak ingin moodnya menjadi semakin berantakan.

Ganendra memutuskan untuk kembali ke apartemen mewah yang menjadi saksi percintaan panasnya dengan Jingga selama seminggu penuh. Dia melepas kancing teratas kemeja, lalu mengempaskan diri ke sofa. Terbayang oleh Ganendra senyuman dan tawa Jingga yang sempat memenuhi apartemen mewah yang selalu sepi dan kosong itu. Terbayang pula saat mereka berpisah dan Jingga nekat mencium bibirnya. Tanpa sadar, Ganendra menyentuh permukaan bibir, lalu tersenyum samar.

"Semua wanita itu menyusahkan," gumam Ganendra pada diri sendiri. Dia berniat bangkit untuk berolahraga di ruang gym pribadi ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Tertera nama Atmawirya di layar. Mau tak mau, Ganendra harus menerima panggilan itu. "Ada apa, Pa?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Sandra sudah menceritakan semuanya padaku. Begitu pula Hilda," jawab Atmawirya. Pria itu juga tak suka basa-basi, sama halnya dengan Ganendra.

"Apa Papa hendak menekanku juga?" gerutu Ganendra.

"Oh, tentu tidak. Aku sudah tahu pasti sifatmu yang keras kepala itu. Walaupun aku harus menodongkan senjata ke kepalamu, kamu tak akan patuh padaku. Ya kan?" terka Atmawirya.

"Aku dulu sempat patuh pada Papa yang berambisi menjodohkanku dengan Hilda. Namun, lihat hasilnya sekarang. Dia tak sebaik yang Papa pikirkan," ujar Ganendra.

"Bukankah wajar jika seorang wanita menuntut kejelasan?" tutur Atmawirya.

"Kurang jelas apalagi? Dia sudah menjadi istriku. Begitu pula dengan Sandra, dari awal sudah kutegaskan padanya bahwa hubungan kami hanya main-main," elak Ganendra.

"Sampai kapan kamu akan begini, Ga?" Terdengar hempasan napas pelan dari Atmawirya. "Berapa banyak wanita lagi yang akan menjadi korbanmu?"

"Aku sudah menawarkan perceraian pada Hilda, tapi dia menolak. Apa perlu kupaksa?" Ganendra malah mengalihkan fokus pembicaraan.

"Tentu saja dia menolak. Hilda tidak ingin kehilangan tambang emasnya. BIsa bahaya kalau sampai kamu melepas dia," ungkap Atmawirya.

"Nah, itu Papa sudah tahu bagaimana liciknya Hilda. Kenapa dulu menjodohkan dia denganku?" Ganendra mendengkus kesal.

"Kupikir kehadiran Hilda bisa membuatmu berubah. Saat itu, kulihat kalian memiliki banyak sekali kesamaan," dalih Atmawirya.

"Pilihan papa tak selalu benar," sindir Ganendra. Dia mulai lelah berbincang dengan sang ayah. "Kumatikan dulu teleponnya, ya."

"Tunggu! Bagaimana dengan keponakan Lukman? Apa dia turut hadir dalam pertemuan pagi tadi?" tanya Atmawirya.

"Jingga, dia ...." Kata-kata Ganendra mengambang. Tiba-tiba saja benaknya dipenuhi oleh bayangan Jingga saat Ganendra menyebutkan nama itu.

"Kalian sudah bertemu?" sahut Atmawirya antusias.

"Aku tidak yakin gadis itu bisa mendapatkan uang tiga ratus juta dalam seminggu. Sedikit lagi, rumah dan tanah milik Agung Prasetyo akan menjadi milik Papa, seperti yang Papa impi-impikan selama ini," jawab Ganendra.

"Sepertinya ... aku tidak ingin lagi rumah itu," celetuk Atmawirya.

"Apa? Nggak salah, nih?" seru Ganendra setengah tak percaya.

"Aku punya ide lain yang mungkin bisa menjauhkanmu dari para wanita lintah itu," cetus Atmawirya.

"Oh, ya? Apa?"

"Manfaatkan Jingga," ujar Atmawirya.

"Manfaatkan?" ulang Ganendra. "Apa maksudnya?"

"Kalau kamu menikahi seorang wanita dengan sah, baik secara agama dan negara, aku yakin, Hilda dan Sandra akan mundur perlahan," jelas Atmawirya hati-hati.

"Konyol sekali!" tolak Ganendra keberatan. "Berapa kali harus kukatakan pada Papa. Aku tidak ingin menikah secara sah. Aku tidak mau hidupku hancur oleh seorang wanita berstatus istri sah!"

"Justru itu," sela Atmawirya. "Buatlah perjanjian dengan Jingga supaya tidak menuntut macam-macam. Kalian hanya cukup menikah di atas kertas secara sipil. Sandiwara saja."

Ganendra seketika terdiam. Tak dapat dipungkiri bahwa ide sang ayah sangatlah brilian. "Benar juga," gumamnya. "Baiklah, Pa. Kututup dulu teleponnya. Nanti kuhubungi lagi."

Belum sempat Atmawirya menanggapi, Ganendra sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya. Buru-buru dia mengaitkan kancing yang sempet terlepas, sambil kepalanya mengingat-ingat alamat rumah Agung Prasetyo yang sempat dia baca di berkas dokumen saat pertemuannya dengan Lukman tadi.

Ganendra melajukan kendaraannya kencang hingga tiba di depan sebuah rumah sederhana, tetapi terlihat cukup luas. Pekarangannya asri dan terawat. Terdapat beberapa tanaman hias yang tumbuh di tiap sisi pekarangan.

Setelah memarkirkan mobilnya di tanah kosong samping rumah, Ganendra turun dan membuka pagar tanpa permisi. Saat itulah, pintu rumah terbuka. Tampak Jingga keluar dari sana sambil membawa wadah air berukuran sedang untuk menyiram tanaman.

Sama halnya dengan Jingga, Ganendra pun terpaku melihat sosok gadis yang hanya mengenakan daster sederhana bermotif bunga tersebut. Pria rupawan itu seolah membeku di tempatnya. Sedangkan Jingga menelan ludah berkali-kali.

"Ada apa anda ke sini? Ini belum satu minggu!" ucap Jingga ketus.

"Aku tidak pikun," balas Ganendra dengan nada datar.

"Lalu?" Jingga melayangkan tatapan permusuhan.

"Boleh aku masuk?" tawar Ganendra. Intonasinya berubah menjadi sedikit lembut.

"Di sini saja. Om sedang keluar. Tidak enak dilihat tetangga kalau aku memasukkan pria asing," tolak Jingga.

"Oke." Dengan santainya Ganendra berjalan melintasi pekarangan, lalu duduk di kursi rotan yang terdapat di teras. "Aku bisa membantumu melunasi hutang Pak Lukman," ujar Ganendra.

"Bagaimana caranya? Aku sudah tidak perawan lagi. Tak ada lagi yang berharga dalam hidupku. Semua sudah kujual," timpal Jingga.

Ganendra terdiam mendengar kalimat Jingga. Entah kenapa, dia merasa sedikit bersalah. Ganendra lalu menggeleng pelan demi menepiskan perasaan aneh tersebut. "Anggap saja aku yang akan melunasi seluruh utang-utang om-mu. Jadi, kamu tidak perlu kehilangan rumah peninggalan ayahmu ini," terangnya.

"Apa yang harus kulakukan untuk membayar kebaikan anda?" tanya Jingga setengah menyindir.

Ganendra tak segera menjawab. Dia bangkit dari kursi, lalu mendekat ke arah Jingga. "Menikahlah denganku," ucap Ganendra pelan, tapi penuh penekanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status