Pria itu sama sekali tak peduli tatkala Jingga merintih kesakitan. Ganendra terus bergerak memuaskan hasratnya sampai tuntas.
Dia sama sekali tak memedulikan air mata Jingga yang meleleh. Ganendra bahkan melanjutkan aksinya di atas ranjang.Entah berapa detik dan menit berlalu, Jingga tak lagi menghitung. Dia terlalu lelah dan lemah. Bahkan untuk mengangkat tangan saja dirinya tak sanggup. Gadis malang itu terkulai di atas ranjang setelah Ganendra 'memakannya' dengan beringas.Jingga tertidur pulas seperti orang pingsan. Dia baru terbangun saat mendengar dering ponsel yang berbunyi nyaring di sekitar kepalanya.Jingga mengangkat kepala dan mendapati sebuah telepon genggam mahal tengah menyala. Nama Hilda tertera di layarnya.Ragu-ragu dia hendak membangunkan Ganendra yang tidur dalam posisi tertelungkup. Hati-hati dia menyentuh permukaan punggung yang dihiasi bulu-bulu halus."Pak, ada telepon," ucap Jingga pelan.Sentuhan lembut ternyata tak membangunkan pria itu, sehingga Jingga harus menepuknya lebih keras. Namun, Ganendra malah mendengkur halus."Pak ...." Jingga menggoyang-goyangkan lengan pria tampan itu. Setengah terkejut, Ganendra terbangun. Refleks dia meraih tangan Jingga dan mencekalnya kuat-kuat.Jingga sama terkejutnya. Tubuhnya membeku selama beberapa saat. Iris mata hitamnya beradu dengan iris mata coklat terang milik Ganendra."Ada apa?" desis Ganendra."Telepon anda berbunyi tadi. Se-sekarang sudah mati." Jingga tergagap.Ekor mata Ganendra bergerak ke arah ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Dia lalu meraih ponsel itu dan memeriksa catatan panggilan.Ganendra mengempaskan napas pelan saat membaca nama kontak yang masuk. Dia pun memutuskan untuk menelepon balik."Kenapa meneleponku pagi-pagi begini, Hil?" ujar Ganendra saat seseorang di seberang sana menerima panggilannya."Lagi di mana, Ga? Bukannya kamu sudah berjanji mengantarkanku belanja?" balas suara wanita yang samar-samar tertangkap oleh telinga Jingga."Kapan aku berjanji? Berapa kali harus kukatakan jika minggu pertama awal bulan, aku tidak mau diganggu siapapun! Kalau mau belanja, belanja saja. Jatah bulananmu sudah kutransfer kemarin, kan?" timpal Ganendra."Ck! Kamu nggak peka!" sentak wanita di seberang sana, sebelum mengakhiri telepon secara sepihak. Namun, Ganendra tak ambil pusing. Dia melemparkan ponsel itu, lalu kembali tidur.Jingga yang sudah kehilangan rasa kantuknya, hanya bisa duduk terpaku di samping Ganendra. Dia terus memperhatikan punggung lebar itu sambil meremas selimut putih yang menyelimuti tubuhnya hingga ke dada.Tak disangka, Ganendra tiba-tiba berbalik menghadap Jingga. Lagi-lagi pandangan mereka menyatu. "Jangan pernah bertanya macam-macam! Aku tidak suka perempuan cerewet!" ujar Ganendra mengingatkan."Kamu cukup melakukan tugasmu dengan baik selama seminggu ini, yaitu melayaniku." Ganendra menyeringai sembari menarik tubuh Jingga agar mendekat kepadanya.Dia tiba-tiba menghentikan geraknya saat menyadari bahwa Jingga tengah menangis. "Kenapa?" tanya Ganendra tak suka.Jingga menggeleng lemah. "Aku sudah membuat keputusan bodoh," isaknya lirih.Ganendra sempat terheran-heran. Baru kali ini dia menyewa seorang gadis, dan menjanjikannya uang yang banyak. Bukannya bahagia, gadis itu malah bersedih.Namun, pada akhirnya Ganendra tak peduli. Seperti yang telah dia katakan, selama seminggu penuh Jingga dikurung bak narapidana. Selama itu pula, Jingga menjadi budak Ganendra. Pria rupawan itu benar-benar tak membiarkan Jingga diam sedikitpun.Ganendra memakai Jingga kapan saja dia mau. Dia juga tak keluar sama sekali dari apartemen mewahnya barang sedetikpun. Untuk urusan perut, Ganendra memiliki pegawai khusus yang bertugas mengantarkan makanan sebanyak tiga kali dalam sehari. Hal itu terus terjadi sampai di hari ketujuh, hari terakhir Jingga tinggal bersama Ganendra."Apa barangmu hanya ini?" Ganendra mengangkat tas selempang kecil milik Jingga.Gadis itu mengangguk lemah. "Lalu, bagaimana dengan baju yang saya pakai ini, Pak? Kapan saya harus mengembalikannya?" Jingga balik bertanya."Pakai saja. Lagipula, baju itu tak terpakai. Masih banyak di lemari," jawab Ganendra enteng.Rasa hati ingin menanyakan, pakaian-pakaian itu milik siapa. Akan tetapi, Jingga sadar diri dengan posisinya yang hanyalah seorang wanita bayaran.Tak dapat dipungkiri, seminggu terkurung bersama Ganendra, telah menumbuhkan perasaan aneh sekaligus istimewa dalam hati Jingga. Namun, dia memilih untuk memendam dan menghapusnya."Periksa rekeningmu. Aku sudah menransfernya barusan," ujar Ganendra, membuyarkan angan Jingga. "Oh, ya. Kamu tidak perlu memberi tips pada Anton. Aku sendiri yang akan memberikannya nanti," imbuhnya."Iya, Pak. Terima kasih." Jingga memaksakan senyum. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan pada pria itu. Sayang, semua harus tertahan di dada."Anton sudah datang. Dia menunggu di bawah," ucap Ganendra memecah keheningan yang hadir sejenak."Selamat tinggal, Pak." Pertama kali dalam seumur hidup, Jingga melakukan sesuatu yang menurutnya teramat berani. Jingga tiba-tiba menyentuh pipi Ganendra, lalu berjinjit mengecup bibir tipis pria itu.Perasaannya campur aduk, tapi Jingga tak berani menatap Ganendra. Dia langsung berbalik meninggalkan apartemen tanpa menoleh lagi.Entah apa yang Jingga tangisi. Yang jelas kini dia sibuk menghapus air mata sebelum pintu lift terbuka.Sesampainya di lobi, Jingga memasang wajah ceria. Dia tersenyum ramah saat Anton menghampirinya."Terima kasih, ya!" ucap Anton tiba-tiba."Untuk apa?" Jingga menautkan alis tak mengerti."Saking puas dan senangnya dengan pelayananmu, Pak Ganendra memberikan tips yang cukup besar buatku," jelas Anton antusias. "Kamu berhasil menaklukkan dia. Padahal selama ini, dia terkenal sangat rewel," lanjutnya."Oh, ya?" Pipi mulus Jingga bersemu merah. Setitik harapan muncul di dalam hati. "Apa saya bisa bertemu dengan dia lagi?" tanyanya ragu."Kalau itu sepertinya tidak mungkin. Pak Ganendra hanya mencari yang benar-benar perawan. Dia tidak pernah memakai wanita yang sama lebih dari sekali," beber Anton, menghancurkan harapan Jingga seketika."Oh." Hanya itu yang bisa Jingga ucapkan. Gadis itu terdiam sejak keluar dari kompleks apartemen mewah sampai tiba di depan rumah peninggalan orang tuanya.Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih. Lengkap dengan pekarangan yang mungil dan asri. Sambil memasang raut lesu, Jingga membuka pagar kayu setinggi pinggang, kemudian menoleh ke belakang. Tampak Anton sudah bersiap melajukan mobilnya."Masuk dulu, Pak Anton," tawar Jingga."Kapan-kapan saja. Bos sudah menunggu," jawab Anton ramah dari balik kemudi. Pria itu melambaikan tangan sebelum berlalu.Jingga tersenyum getir saat sedan hitam milik Anton sudah tak tampak dari pandangan. Dia kembali melanjutkan langkah menuju teras.Sekilas Jingga melirik sebuah motor yang terparkir di halaman sambil menghela napas panjang. Motor tersebut adalah milik sang paman. Artinya, pria itu sedang ada di rumah. "Kebetulan," gumam Jingga."Om?" panggil Jingga saat tak menemukan keberadaan pamannya di ruang tamu. "Om, aku punya dua ratus juta! Apa om bisa mengubah jangka waktu pelunasan dengan pihak bank?" serunya.Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya tergopoh-gopoh keluar dari bagian dalam rumah. "Jingga?" desis pria yang tak lain adalah pamannya. "Dapat darimana uang sebanyak itu?""Tidak penting aku dapat darimana, asalkan rumah peninggalan ayah tidak disita," sahut Jingga kesal. "Apa om bisa menghubungi pihak bank untuk menjadwalkan ulang pembayaran utang?""Jingga ...." Pria itu tampak gugup dan salah tingkah. "Maaf, tapi ....""Apa?" Jingga mulai tak sabar melihat sikap sang paman."Maaf, kalau Om tidak jujur. Sebenarnya, rumah ini bukan hendak disita oleh pihak bank, tapi oleh seseorang yang pernah meminjamkan uang dalam jumlah besar pada Om," jawabnya."Apa maksudnya, Om?" Jingga menggeleng tak mengerti. "Surat pemberitahuan penyitaan oleh bank itu palsu, Ngga. Maafkan om." Pria paruh baya itu tiba-tiba bersimpuh di hadapan Jingga. Dia memeluk kaki keponakannya itu sambil tergugu. "Jingga nggak ngerti, Om," desis gadis itu lirih. Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan, tiba-tiba saja pamannya berkata demikian. "Om hanya ingin memperbaiki hidup kita. Ayahmu dulu sudah menyerahkan tanggung jawab untuk merawatmu pada Om, Nak. Om malu kalau selamanya kita harus hidup susah," paparnya. "Om Lukman, tolong jangan bertele-tele." Jingga berusaha melepaskan diri dan menjauh dari pamannya. Masih dalam posisi bersimpuh, pria bernama Lukman itu mendongak dengan air mata bercucuran. "Lima tahun lalu, Om meminjam uang lima ratus juta pada seorang teman lama. Uang itu Om pergunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Awalnya, bisnis berjalan lancar. Om bisa membelikan segala macam kebutuhan kita, sekaligus membayar cicilan utang dan bagi
"Kamu kenal dia, Ngga?" bisik Lukman.Jingga tak menjawab. Dia hanya bisa terpaku dengan tatapan yang terkunci pada Ganendra.Sementara Ganendra yang juga sempat terkejut, segera mengendalikan diri. Dia berdehem pelan, lalu mengalihkan pandangan pada Sandra yang berdiri tepat di sebelahnya."Mana catatan dari Papa?" tanya Ganendra seraya mengambil tempat duduk di hadapan Lukman dan Jingga."Ini, Pak." Sandra menyerahkan map berisi beberapa lembar kertas.Ganendra membaca dengan saksama, kata demi kata yang tertulis di sana. Sesekali matanya melirik ke arah Jingga yang terus memandangnya dengan sorot tertegun."Jadi ... anda yang bernama pak Lukman?" tanya Ganendra membuka pembicaraan."Betul, Pak. Saya sudah mengenal ayah anda sejak lama," jawab Lukman. Ganendra mengangguk, lalu beralih pada Jingga. "Kamu?" tanyanya lagi."Dia keponakan saya, Pak. Dia saya ajak kemari karena saya memakai rekening dia untuk membayar utang," sahut Lukman sebelum Jingga sempat menjawab."Begitu rupanya,
"Instingku tajam, Sayang. Aku bisa mencium niatmu. Anak manja yang berprofesi sebagai seorang artis, tentu saja harus mencari suami kaya raya untuk menyokong biaya hidupnya yang mewah dan fantastis," cibir Ganendra."Lalu, kamu akan memaksaku untuk mengesahkan pernikahan kita. Itu artinya, kamu bisa menuntut segala hal, termasuk harta. Apalagi kalau kau berhasil memiliki anak. Mungkin kamu akan memerasku sampai habis." Ganendra terkekeh pelan."Kamu gila," desis Hilda."Oh, tidak. Aku tidak gila. Aku hanya memaksimalkan ini." Ganendra mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan telunjuk, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Hilda. Dia mendorong wanita cantik itu pelan."Kalau kamu pikir aku menyerah hanya karena gertakanmu, kamu salah, Ga! Aku tidak akan mundur! Aku akan tetap berjuang menjadi satu-satunya untukmu!" seru Hilda penuh percaya diri."Terserah kamu saja! Aku tidak peduli!" timpal Ganendra dingin. Dia membalikkan badan dan meninggalkan Hilda begitu saja di dalam kamar. Gan
Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga. "Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri. "Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra. "Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga. Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala. Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang."Bagaimana, Jingga? Aku menunggu
Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak."Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya."Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar."Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu."Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra."Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat."Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng."Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!""Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ....""Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambi
"Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka."Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan d
"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern