Share

Bab 2. Berharap Pada Abidzar

“Selamat malam, Tuan,” sapa Zayra begitu dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Besar Daneswara yang berada di lantai tiga.

“Akhirnya kamu datang juga, Zayra. Maaf membuatmu ke mari malam-malam begini.” Tuan Abrisam pun mengajak Zayra duduk ke sofa, semata supaya perbincangan mereka berjalan lebih santai.

Saat Zayra mengangguk atas ucapan maafnya, beliau pun menyambung kata, “Saya benar-benar tak bisa tidur rasanya. Kali ini, kelakuan Abidzar membuat saya hampir mati berdiri. Kamu sudah mendengar ceritanya, bukan?"

"Ya," Zayra menjawab singkat.

Sehingga Tuan Sam tak mampu menahan lidahnya untuk membeberkan, "Bisa-bisanya anak itu tidak jadi merilis produk terbaru kita yang sudah disiapkan dengan sempurna dari segala aspek, hanya karena istri sekretarisnya melahirkan dadakan. Ya Tuhan, padahal dia hanya tinggal—ah, sudahlah. Memikirkan hal itu lagi, membuat saya malu menampakkan wajah di hadapan dewan direksi perusahaan."

“Saya turut menyayangkan hal tersebut, Tuan,” ucap Zayra pelan lantaran melihat jelas wajah Tuan Sam yang muram. “Besok pagi, saya akan menyelesaikan masalah tersebut. Anda tak perlu merasa khawatir lagi.”

Lantas, Tuan Sam menatap senang pada Zayra yang begitu perhatian. Rasanya, beliau akan berbangga diri jika memiliki anak perempuan seperti gadis di hadapan. Sayang sekali, dia dan istri hanya dikarunia putra semata wayang, yang kelakuannya justru membuat kepala pusing berkepanjangan.

“Untuk masalah di perusahaan, hal itu sudah saya bereskan tadi pagi,” Tuan Sam menjeda, menatap lekat pada raut ingin tahu Zayra yang menunggu kalimatnya sempurna. “Sore tadi saya berdiskusi dengan istri saya, dan kami sepakat meminta bantuanmu, Zayra.”

“Tak perlu sungkan, Tuan, katakan saja terus terang. Saya pasti melakukan apa pun untuk anda dan Nyonya,” tutur Zayra cepat begitu melihat kegamangan di wajah lawan bicaranya.

“Tapi ini bukan untuk kami.”

“Lantas?”

“Untuk Abidzar.”

Tuan Sam memijat pelipis kanannya sembari menimang keputusan. Saat merasa patut mencoba, lekas beliau berkata, “Harus diakui, Abidzar jadi begini karena kekeliruan kami sebagai orang tuanya. Setiap kali dia membuat masalah, kami selalu membereskannya hingga bersih tak bernoda tanpa melibatkannya sama sekali. Setelah itu, kami pun tak pernah menegurnya.”

Zayra diam saja, menunggu Tuan Sam tuntas bicara.

“Sejak dulu, kami hanya berharap dia akan sadar seiring dengan berjalannya waktu. Namun, rupanya tidak. Alih-alih menjadi bijak, Abidzar justru membiarkan sifat arogannya tumbuh tak terkendali. Kamu tahu bukan, saya hanya punya satu putra? Artinya, Abidzar adalah satu-satunya pewaris saya. Tapi, melihat sikapnya sekarang, bagaimana bisa saya memberikan Dantex Grup padanya dengan tenang? Karena itu, kami butuh bantuan kamu, Zayra. Bimbing dia, menikahlah dengannya.”

“Menikah?” Zayra terkejut bukan main. Kelopak matanya yang membuka lebar, segera dinormalkannya dan menatap lekat pada Tuan Sam yang memasang wajah penuh harap.

“Saya berjanji akan membimbing Tuan Muda Abidzar semaksimal mungkin, Tuan. Tapi untuk menikah dengannya—” Zayra menggelengkan kepala dengan gerakan pelan, lalu menyambung ucapan, “saya rasa itu tidak perlu.”

Mendapati Tuan Sam terdiam, Zayra lekas mengingatkan, “Anda tahu sendiri, bukan? Kami tak pernah akur sejak dulu, dan saya pun dua tahun lebih tua darinya, Tuan. Saya yaki—”

“Usia hanya angka, Zayra,” potong Tuan Sam cepat. “Ada banyak sekali pasangan yang berhasil di pernikahan mereka meski usia istrinya lebih tua. Jadi, saya rasa itu bukanlah masalah.”

Zayra bungkam, jelas saja perasaannya masih sama.

Keberatan.

Tuan Sam pun kembali memberi pertimbangan, “Tentang kalian yang tak pernah akur sejak kecil, saya tahu betul bahwa itu adalah ulah Abidzar yang mengganggu kamu lebih dulu. Saya hanya berharap semoga kamu selalu sabar menghadapinya, dan bimbing tingkah lakunya juga.”

“Tapi—”

“Zayra, kami memang memanjakan Abidzar sejak dia kecil. Tetapi sejak anak itu kuliah Magister, kami tidak lagi begitu. Kami sering kali mengingatkannya, bahkan sampai dia menyuruh kami menjadi ustaz dan ustazah saja karena terlalu sering memberinya ceramah. Jadi, kalau kamu pikir akan berhasil membimbingnya tanpa menikah, saya yakin itu hanya akan membuang-buang waktumu.”

“Lain halnya jika kalian menikah, kamu bisa membimbingnya sepanjang hari. Dari pagi sampai malam, dari perkara luar maupun dalam, tak ada lagi batasan yang perlu kalian perhitungkan,” sambung Tuan Sam masih berusaha membujuk Zayra.

Zayra sendiri tak langsung menjawab.

Lagi, Tuan Sam menyampaikan, "Dia juga tak akan berani memandangmu sebelah mata, Zayra, karena di belakang kamu, ada saya dan ibunya."

Melihat sorot putus asa di netra Tuan Sam, sebenarnya membuat gadis itu tak tega, tetapi untuk menerima permintaan tersebut?

Ayolah, baru beberapa menit lalu dia dan Abidzar bentrok cukup hebat. Abidzar menoyor kepalanya kencang, Zayra pula balas mencederai pergelangan tangan si Tuan Muda. Gadis itu yakin tak akan patah, tetapi yang bernama Abidzar pasti akan menyimpan dendam tak berkesudahan.

Mereka yang demikian, lantas disatukan dalam bahtera pernikahan? Oh Tuhan, selamat tinggal pada keharmonisan.

“Kamu tidak sedang punya pacar, ‘kan, Zayra?” Pertanyaan Tuan Sam seketika membawa Zayra keluar dari lamunan.

Si gadis pun balas dengan menggeleng.

“Syukurlah, artinya tidak ada masalah. Abidzar juga sedang tidak punya pacar, bersama mantannya pun sudah putus kontak sejak mereka berpisah tiga bulan lalu.” Tuan Sam tersenyum lega.

Zayra makin nelangsa.

Menyadari Zayra belum berkata setuju, Tuan Sam menambahkan, “Kalau kamu ragu karena tidak adanya cinta antara kalian, maka saya yakin, tak akan butuh lama bagi Abidzar untuk menyukaimu, Zayra.”

“Kamu gadis cerdas, pasti banyak pria yang ingin memilikimu. Karier kamu bagus, paras pun jelita. Begitu juga dengan Abidzar—” Tuan Sam menyeruput air beningnya, sekadar membasahi kerongkongan nan telah kerontang.

“Kalian sangat cocok, benar-benar serasi untuk bersanding. Kamu hanya perlu memoles sikapnya saja, dan dia akan jadi sosok yang nyaris sempurna. Sungguh, Zayra, saya tulus meminta bantuanmu, tanpa sedikit pun maksud menuntut balas budi.”

Justru karena kalimat terakhir itulah, Zayra jadi sedikit tertekan.

Dulu, Tuan Sam yang memenuhi kebutuhan hidupnya, membayar hutang-hutang mendiang orang tuanya, membiayai sekolahnya hingga jenjang magister bahkan menawarkan study lanjutan ke tingkat strata tiga, memberinya jabatan tinggi di kantor Dantex Grup cabang luar negeri, dan kini meminta bantuan tanpa mengungkit jasa ataupun balas budi.

Jika masih menolak, rasanya Zayra akan menjadi manusia paling tak berhati di muka bumi.

Akhirnya, gadis itu memutuskan, “Baik, saya setuju, Tuan. Asalkan Tuan Muda Abidzar juga setuju.”

Dalam hati, Zayra hanya bisa berharap pada Abidzar, "Semoga kecongkakanmu cukup berguna untuk menolak ini, Tuan Muda Arogan."

***

“Saya gak mau, Pa!” Abidzar langsung berdiri dan menatap ayahnya tajam. “Dijodohkan saja saya ogah, apalagi dengan Zayra. Yang benar saja? Bagaimana mungkin saya sudi memperistri gadis tua sepertinya? Huh, apa ini karena permintaannya? Katakan padanya, upik abu tak usah berlagak menjadi Cinderella!”

“Jaga ucapan kamu, Abidzar!” Nyonya Ruhi memelotot pada sang putra semata wayang. Wanita yang baru pulang dari kampung halamannya di negara Dubai tersebut melanjutkan kata, “Biar pun Zayra lahir dari kalangan bawah, tapi dia mampu membuktikan bahwa dirinya berkualitas di atas rata-rata. Kamu harusnya introspeksi diri. Jika menikahinya, siapa yang sebenarnya untung dan merugi?”

“Ma,” ucap Abidzar lirih seraya menghela napas.

Jika dengan ayahnya, si tuan muda tak segan untuk bersikeras, tetapi jika berhadapan dengan sang ibu, keberaniannya seakan hangus tak berbekas. “Tolong, hukum saya dengan cara lain saja. Apa pun, selain menikah dengan Zayra. Hidup anakmu ini pasti akan sengsara jika bersamanya, Ma.”

“Sengsara dari segi mananya, Abidzar?” tanya Nyonya Ruhi ingin tahu pandangan si putra.

“Jelas, Zayra itu gadis baik,” sambung Tuan Sam membela.

Abidzar langsung menyahut jengkel, “Ya, gadis baik yang membuat pergelangan tangan anakmu ini terkilir di rumahmu sendiri, Pa. Bahkan ngilunya terapi masih terasa, tapi kalian justru menyuruh saya menikahi perawan tua barbar itu dengan alasan dia gadis baik. Sungguh, itu lelucon paling tidak lucu sealam raya, Pa, Ma.”

“Itu pasti karena kamu dulu yang berulah, Abi,” balas Nyonya Ruhi disusul dengan memanggil Kepala Maid untuk dimintai keterangan.

Tatkala mendapatkan cerita lengkapnya, beliau murka pada sang putra. “Bisa-bisanya kamu memperlakukan Zayra seperti itu, Abi! Kamu pepet dia ke pilar, kamu jambak rambutnya, dan menuduhnya yang bukan-bukan. Kalau Mama yang di posisi Zayra, Mama pasti akan menendang aset masa depanmu biar kamu kapok seumur hidup!”

Membayangkan itu, Abidzar mendesis khawatir tiba-tiba. Dia tahu betul bahwa ibunya tak sedang membual belaka. Si tuan Muda pun membela diri, “Saya tidak menjambak rambutnya, Ma. Saya hanya memegangnya saja, hanya menggertak, tak lebih!”

“Tapi Tuan Muda juga menoyor kepala Nona Zayra kencang, hampir saja beliau terjengkang!” ungkap Kepala Maid sambil menunduk. Beliau sedikit takut jika si tuan muda mengamuk, tetapi merasa perlu mengungkap kebenaran sedetail-detailnya.

“Astaga, Abidzar, kenapa kamu sekasar itu pada wanita? Ingat, Nak, Mamamu ini pun wanita!” Nyonya Ruhi yang tadinya berdiri, kini lemas dan segera duduk ke kursi. Beliau langsung menyandarkan kepalanya pada dada sang suami, minta ditransfer energi. “Mas, anak kita kenapa jadi seperti ini? Dia salah makan apa sebenarnya?”

“Saya pun bingung, Sayang. Tenang ya, biar saya yang bicara dengannya,” ujar Tuan Sam sembari mengelus-elus puncak kepala istri tercintanya. Beliau ganti menatap Abidzar dan menyuruh, “Duduk, kita bicarakan ini dengan kepala dingin, serius, dan tuntas sampai ke akar-akarnya!”

“Dari mana jalannya kamu menyangka Papa dan Zayra terlibat hal yang bukan-bukan, boy? Otakmu sepertinya sudah terlalu pendek.” Tuan Abrisam menyambung ucapan seraya menepuk bahu anaknya sebanyak dua ketukan, “Kalau pun iya, harusnya Papa lakukan sejak dulu saja, sejak dia masih dua puluh tahunan dan sedang segar-segarnya.”

“Nah, itu. Zayra sudah tidak segar lagi, Pa,” sahut Abidzar cepat, enggan menyia-nyiakan kesempatan. Terbilang jarang papanya itu membahas kekurangan seorang Zayra di hadapannya. “Tidak mungkin, bukan, Papa membiarkan anak tampanmu ini berakhir dengan perawan tua sepertinya?”

Tuan Sam menyengir. Dia punya sebuah frasa. “Ibaratkan jambu air, buahnya yang baru dipetik dari pohon itu kadang masih ada asam-asamnya, Abidzar. Berbeda dengan Zayra sekarang ini. Dia sedang ranum—”

“Papa sengaja menjebakku!” Abidzar mendelik. “Papa sengaja mengambil contoh buah jambu air yang ada asam-asamnya, padahal ada buah durian yang dijamin manis.”

“Ya, kamu cabalah belah dengan Zayra dulu, baru kau tahu duriannya itu manis atau tidak.” Tuan Sam lalu memandang istrinya yang terkekeh melihat tampang tak terima di wajah Abidzar. “Satu lagi poin pentingnya, Abi, Zayra itu sedang di masa produktif. Papa yakin, fisik dan psikologinya sudah siap untuk mengandung. Rasanya, papa tidak sabar memomong cu—”

“Itu mimpi buruk!”

“Ayolah, Abi,” Nyonya Ruhi tak ingin ketinggalan. “Begini saja, jika kamu memberi kami cucu dari Zayra, semua harta milik Mama akan jadi milikmu.”

“Tidak usah, Ma. Harta saya dari Papa sudah lebih dari cukup.” Abidzar sebenarnya tergiur, tetapi jika gantinya adalah memperistri Zayra, dia memilih untuk mundur saja.

Sementara dua detik berikutnya, Tuan Sam menyeringai. Beliau pun menyampaikan ultimatum penting yang membuat mata Abidzar memelotot seketika.

“Perlu kamu ketahui, Papa berencana mengalihkan semua harta Papa pada Zayra!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status