Share

Bab 4. Mari Berdamai!

“Whoa!” Abidzar berseru keras. Matanya mengerling pada Zayra dan berucap, “Kau beringas sekali,

Sayang!” Jelas, si suami hanya menyindir. “Sudah saya katakan, dilarang minta berhu—”

Pletak

Zayra menjitak kening Abidzar kencang. “Nyonya Ruhi yang bilang, anda selalu tidur hanya dengan bokser. Saya tidak mau anda sembarang lagi menaruh celana seperti kemeja tadi. Jadi, tak perlu bertingkah seolah naga anda itu menggiurkan. Ukurannya pun kecil, anda tak usah terlalu bangga.”

“Sembarangan sekali kau bilang kecil. Tahu dari mana memangnya? Lihat saja tak pernah!”

“Tak perlu melihat langsung, nanti saya muntah!”

“Awas saja kau ketagihan!”

“Tidak akan!”

Sudah lah, Abidzar hilang akal. Dia langsung saja membuka celananya di hadapan Zayra, bahkan berniat menunjukkan naganya supaya tak lagi diejek.

Namun, gerakan pria itu terhenti begitu Zayra bertanya, “Bagaimana rasanya ludah sendiri?”

Saraf-saraf otak Abidzar kembali tersambung dan dia mengumpat begitu sadar telah dibodohi.

Zayra pun berkata, “Lain kali, sebelum bertindak dan bicara itu biasakan berpikir dulu, Tuan.”

Si istri pun memangkas jaraknya dari Abidzar, lalu berbisik, “Anda tak akan pernah menang melawan saya, Suamiku sayang!”

***

“Sakit, Bodoh!”

Abidzar langsung duduk seraya mengusap daun telinga kirinya yang baru lepas dari tarikan kencang sesosok manusia. Kedua bola mata sang tuan muda pun menyorot tajam ke arah si pelaku nan sayangnya, tak merasa takut barang sedikit saja.

Jelas, orang itu adalah Zayra. Tanpa berlama-lama, gadis yang mengenakan celana training tersebut berkata, “Makanya kalau disuruh bangun itu jangan, ‘Iya,’ ‘Hm,’ ‘Iya,’ ‘Hm,’ melulu. Saya saja bahkan sudah pulang dari lari pagi—“

“Bisa tidak, mulutmu itu dikunci sehari saja?” Abidzar balas mengomel. “Ini masih terlalu pagi, jangan membuat saya naik darah!”

“Terlalu pagi apanya?” Zayra pun gegas menyibak gorden. “Lihat ke luar, matahari sudah bersinar terang, tapi lihat diri anda? Masih betah saja di bawah selimut. Tapi pantas juga sebenarnya, anda itu ‘kan Tuan Muda Manja!”

Abidzar lantas mendecakkan lidah, lalu berkata kesal, “Masih jam setengah tujuh, jadwal bangun saya masih tiga puluh menit lagi.”

“Dan anda melewatkan shalat subuh setiap harinya?” tanya Zayra sembari menyandarkan sebelah pundaknya pada kusen jendela. Dia memandang Abidzar sambil geleng-geleng kepala. “Pantas saja otak anda sering macet dan selalu melakukan hal-hal bodoh!”

Mendengarnya, Abidzar tak lagi membalas. Dia ingin pagi yang indah dan damai, bukan malah pagi yang penuh huru-hara.

Namun, Zayra sama sekali tak berniat membiarkan Abidzar merasa tenteram.

Tepat saat sang suami ingin kembali merebahkan tubuh, gadis itu berujar, “Omong-omong, Tuan Muda, saya punya satu pertanyaan. Tolong dijawab dulu, kenapa udara subuh itu dingin?”

“Karena suhunya rendah!” Abidzar membalas seadanya. Cahaya mata pria itu meredup, rona wajah pun keruh. “Kau gemar sekali mengatai saya bodoh, tapi hal seperti itu pun masih kau pertanyakan. Memang dasarnya kau itu hanya sok pintar, bukan benar-benar pintar.”

Perihal pernyataan terakhir suaminya, Zayra hanya merespons dengan seulas senyum tipis, tetapi tentang jawaban pertanyaannya, dia membalas, “Memang benar karena rendahnya suhu, tetapi saya pernah mendengar jawaban versi lain. Apakah anda mau mengetahuinya juga?”

“Ya, katakanlah.” Jangan dulu berpikir Abidzar telah luluh. Dia hanya ingin membiarkan Zayra melakukan apa yang gadis itu mau, dengan harapan Zayra juga akan membiarkannya melakukan apa yang dia mau. Katakanlah, Abidzar sedikit menekan ego.

Zayra yang senang dibuatnya langsung berujar, “Karena di waktu subuh, udaranya masih bersih dan murni. Belum tercemar oleh keberadaan umat muslim munafik yang bahkan shalat dua rakaat pun enggan ditunaikannya.”

Di titik tersebut, Abidzar sadar bahwa dirinya sedang disindir. “Saya tak menyangka, ternyata kau orang yang religius. Sekarang coba jawab pertanyaan saya, kenapa kau tidak menjadi ustazah saja?”

“Pengetahuan saya belum pantas untuk itu, Tuan.”

Abidzar tentu saja tercengang. Dia tak menyangka bahwa Zayra akan membalasnya dengan tenang, padahal sudah jelas pria itu bertanya dengan maksud memojokkan.

Tak mau menyerah, Abidzar kembali mencoba. “Satu lagi, kenapa kau tidak menutup aurat? Bukankah sebagai muslimah yang taat hal itu adalah perkara wajib?”

Bersama air muka bersahaja, Zayra menjawab, “Jujur saja, sebenarnya saya ingin, tapi hati saya masih sering kali goyah. Maka dari itu, saya minta doa anda, semoga saya cepat mendapatkan hidayah untuk itu, Tuan.”

“Ya!!” Abidzar frustrasi seketika. Dia bertanya dengan berteriak, “Kenapa kau menjawabnya setenang itu? Apa kau benar-benar telah menjadi bodoh sampai tak sadar bahwa saya hanya sedang menyindir? Ayolah! Apa kau pikir saya benar-benar penasaran tentang dirimu itu, gadis perawan tua?”

Melihat raut wajah Abidzar, nyatanya berhasil menggelitik saraf otak seorang Zayra. Namun, gadis itu memilih menahan tawanya dan balik melayangkan tanya, “Jadi, anda berharap saya akan marah? Ayolah, Tuan, sadar sedikit. Itu hanya salah satu perbedaan antara kita.”

“Apa maksudmu?”

Sebelum menjawab, Zayra menyempatkan untuk menyeringai. “Saat berhadapan dengan fakta yang menyinggung ego, orang bijak akan mencari tahu kebenarannya lalu introspeksi diri, sementara orang bodoh, dia akan marah seperti bayi tantrum yang kemauannya tak ditiruti.”

Maka langsung saja, Abidzar bangkit berdiri. Pria itu mengejar Zayra sambil memaki, “Sekali lagi kau menyebu saya bodoh, percayalah mulutmu itu tak akan selamat!”

Zayra sama sekali tak gentar, malahan dia senang sebab sudah berhasil membuat Abidzar tak tidur kembali. Tugasnya tinggal membiasakan si tuan muda untuk bangun lebih pagi dan lebih produktif. Dia pun berseru, “Anda bodoh, Tuan Muda!”

“Zayra!”

“Sungguh, anda itu bayi tua tantrum, Tuan,” ujar Zayra yang sedetik berikutnya memilih bersembunyi di kamar mandi, sekaligus bebersih diri.

•••

“Bagaimana istirahatmu tadi malam, Zayra? Abidzar tak mengganggu atau memaksamu tidur di lantai, ‘kan?”

Zayra yang baru keluar dari dapur membawa teko minuman pagi, lantas menatap ke arah Tuan Sam nan sudah duduk nyaman di ruang makan. Tentu saja, gadis yang ditanyai itu lekas menjawab, “Semuanya aman, Tuan.”

“Jangan lagi panggil Tuan, panggil beliau Papa saja,” imbuh Nyonya Ruhi yang berada di kursi sebelah kanan dari kursi utama. Beliau mengingatkan Zayra seraya meraih cangkir yang diulurkan sang menantu.

Zayra pun tersenyum. “Saya rasa, lebih baik tetap seperti dulu saja, Nyonya.”

“Tap—“

“Biarkan saja, Ma!” Sebuah suara bariton langsung memotong ucapan Nyonya Ruhi dari arah belakang.

Kompak, Nyonya Ruhi, Tuan Sam serta Zayra menatap ke sumber suara dan menemukan Abidzar di sana.

“Bukankah kita sepakat merahasiakan pernikahan ini dari publik?” sambung Abidzar mendudukkan diri pada kursi di seberang sang Papa. “Kalau dia mengubah panggilannya pada kalian, orang lain bisa saja curiga.”

“Ya, saya juga berpikir demikian, Nyonya, Tuan,” kata Zayra lalu melangkah ke arah Abidzar. Bagaimana lagi? Di mansion itu statusnya adalah sebagai Nyonya Muda, sudah jelas kursinya adalah di sisi sang Tuan Muda.

Namun, gadis berpakaian rumahan itu dibuat tercengang dengan apa yang dilihat. Bisa-bisanya Abidzar duduk mengangkang semata agar kedua kakinya menempati permukaan kursi pada sisi kanan dan kirinya?

Bukankah itu kelewatan?

Nyonya Ruhi yang menyadari hal tersebut, tersenyum kecil dibuatnya. Dalam hati, wanita bernama belakang Altamimi tersebut berharap, semoga kebencianmu segera berubah menjadi cinta, Abi!

Lekas, Nyonya Ruhi berkata, “Ke mari, Zayra, duduk di kiri Papa mertuamu saja. Abi itu menyebalkan, biar saja dia sendiri tanpa kawan!”

Jelas, Zayra tak menolak.

Sesi sarapan pun berjalan lancar dengan Abidzar yang terus saja memandang istrinya penuh permusuhan. Sejak dulu, gadis itu mudah sekali menjadi pusat dunia kedua orang tuanya.

Sampai pukul delapan kurang dua puluh menit, Tuan Sam dan Abidzar bertolak ke kantor. Sebagai istri yang baik, Nyonya Ruhi mengantar suaminya sampai ke pintu utama. Zayra yang juga telah menjadi istri pun, mau tak mau melakukan hal serupa.

Berbeda dari pasangan paruh baya nan masih mesra dengan adegan cium tangan dibalas cium kening, Abidzar dan Zayra justru berdiri berhadapan seperti atasan dan bawahan.

Abidzar yang sedikit penasaran, lebih dulu bersuara. Dia bertanya, “Kau tidak bekerja?”

“Tuan Muda, perlu anda ingat bahwa saya baru kembali dari Nantong kemarin lusa. Jadi, Tuan Sam menyuruh saya istirahat sampai beberapa hari ke depan.” Zayra pun mengikis jaraknya dari Abidzar, lalu memperbaiki tatanan dasi si suami yang sedikit miring ke kiri.

“Mata saya sakit melihatnya. Anda ini sudah tua, lain kali lebih rapilah berpenampilan!” ucap Zayra.

“Telinga saya sakit mendengarnya, kau ini cerewet sekali!” balas Abidzar bernada jengkel. Dia pun menyusul ayahnya menuju bagasi, tetapi berhenti pada langkah ke lima sebab Zayra mencegatnya. “Kenapa lagi?”

“Mari berdamai, Tuan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status