Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam
Duniaku tidak sesempit urusan nasabah, jumlah saldo dan segala urusan kantor berlantai tiga. Tidak hanya itu. Di kepalaku, di pundak dan segumpal darah di balik dada ini menyimpan kesakitan luar biasa. Termasuk bakal janin di dalam perutku ini. Semuanya terasa sulit diurai, sulit dimengerti oleh diri sendiri apalagi orang lain. Logikaku nyaris mati bahkan pendidikan selama enam belas tahun serasa tidak berguna.Oleh sebab itu akhir-akhir ini aku sering mengabarkan kematian dari akhir sebuah masalahku. Meskipun aku tahu itu sebuah kesalahan fatal. Tidak ada satupun manusia yang mengerti mengapa aku begitu rumit.Aku merasa kehilangan diriku yang sesungguhnya. Yollanda manusia tanpa jiwa.Akan tetapi ketika pria yang mengaku bernama Ben, mengatakan jika ia mengerti keadaanku berat, satu persen beban di pundakku mulai lepas. Dan aku mulai ragu untuk loncat jembatan tempat aku berpijak sekarang. Membayangkan jika aku tidak mati, tapi hanya patah tulang. Itu justru semakin menambah se
Satu jam berlalu, Ben hanya omong kosong. Dia tidak akan kemari. Lagipula untuk apa dia kemari? Untuk menertawakan diriku yang gagal bunuh diri? Aku tersenyum kecut sambil menutup wajah dengan bantal. Kuraba perutku yang masih rata, sedangkan pikiranku berlayar tanpa arah. Membayangkan tubuhku beberapa bulan yang akan datang dengan perut buncit. Sedangkan orang-orang akan bertanya siapa bapak dari anakku. Sebagian akan mencibir aku sebagai wanita tak bermartabat, wanita murahan. Mungkin sebagian orang yang mengenal diriku akan menyangkut pautkan pekerjaanku sebagai pegawai bank ternama. Dan aku yang bergelar sarjana tapi berotak udang, atau malah tidak berotak. Sungguh ngeri sekali jika aku membayangkan semua itu. Harus bagaimana aku menghadapi semuanya sendirian. Suara ketukan pintu membuat lamunan itu bubar. Aku bangun membuka pintu, ternyata aku salah besar, Ben datang dengan membawa makanan. “Aku beli makanan, ini untuk kamu. Katanya coklat bisa mengatasi gangguan mood.” W
Dari jam ke hari aku terus menunggu kedatangan Arya namun tak kunjung pria itu menunjukan batang hidungnya. Dan baru aku sadari setelah beberapa hari kemudian jika BPKB (Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) di laci lemari hilang.Entah sejak kapan benda itu hilang. Yang jelas semua surat-surat berharga telah aku satukan salam map dan aku simpan dalam laci lemari. Aku tidak mungkin lupa!Kamar kostku hanya seluas lima kali lima, hanya ruang tidur dan kamar mandi. Dan furniture pun terbatas, satu tempat tidur, satu lemari kayu ukuran sedang, meja dan kursi hanya itu. Barang-barang pribadiku pun terhitung sedikit, aku hanya punya sesuatu yang benar-benar aku butuhkan. Aku bukan tipikal orang gemar belanja.Dan seluruh kamar sudah aku bongkar dan BPKB tidak aku temukan. Dan aku menduga Arya telah mengambilnya ketika aku pergi membeli jus waktu itu. Aku yakin seratus persen.Dan fakta yang memperkuat duganku itu, ketika beberapa hari lalu aku datang ke rumah dinas yang selama ini tempat
Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya. Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe. Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran. “Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku. “Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda. “Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan. Aku ragu-ragu t
Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu. Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok." "Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku. Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini." "Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi." "Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagai
Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l